Share

Sudah Berakhir

Untuk terakhir kali Hellena menoleh kembali, ke arah rumah besar tempat selama ini dia tinggal sebagai ratu dan merenda hari indah bersama Aksara suaminya.  Rumah yang telah banyak menorehkan cerita, kenangan manis, juga air mata. 

Hellena merasakan nafasnya terasa berat, saat berusaha menghalau kenangan pada peristiwa semalam, saat dirinya hanya sanggup menangis diam-diam, menyembunyikan air mata dengan kedua telapak tangannya. 

Sebenarnya Hellena sudah terbiasa dengan tuduhan menantu gak ada ahlak, materialistis dan tidak sayang keluarga suami. Baik secara langsung dari bibir Mama ataupun mbak Friska. biasanya Aksara hanya diam dan tidak semurka kala itu. 

Entah apa yang dikatakan Mama dan mbak Friska sebelumnya, sehingga Aksara yang biasanya lembut hati dan penuh cinta menjadi murka. Dia memang terbiasa berbeda pendapat dengan Aksara, terutama menyangkut kehadiran Mama dan Mbak Friska yang dirasanya terlalu manja dan merongrong kebahagiaan rumah tangga mereka. 

Hellena memang terbiasa menahan rasa jika Aksara selalu menganggap apa yang dia sampaikan selalu salah, dan Mama yang selalu benar. Tapi mendengar kata talak yang tiba-tiba dari bibir laki-laki yang teramat dicintainya, rasanya begitu menyakitkan. 

Saking sakitnya, hanya untuk menggeleng dan berkata tidakpun Hellena tidak sanggup. Apalagi mengucap sebuah pembelaan. 

Pembelaan macam apa yang akan di dengar Aksara? Penjelasan macam apa yang bisa membuat Aksara mengerti? 

Toh, selama ini semua penjelasan dan pembelaannya hanya  berujung pertengakaran dan keributan. 

Selebar apapun Hellena membuka pintu tabayyun untuk Mama mertua dan suaminya, hasilnya selalu sama. Hanya perbedaan pandangan dan salah faham. 

Sepanjang dan sedetil apapun ceritanya tentang sikap Mama dan Mbak Friska yang hedonis dan kerap meminta uang tabungan yang Hellena pegang, ceritanya selalu sama,  dirinya menantu yang pelt dan rakus harta.

Hellena menyeka air mata yang tiba-tiba saja sulit ditahan. Sekuat apapun dia berusaha tersenyum dan mengiklaskan apa yang terjadi, tetap saja ada yang menganga lebar di relung hatinya yang paling dalam. Luka yang penuh darah. 

Ia runtuh dan terjatuh. 

Langkah kakinya tertatih saat keluar dari pintu gerbang rumahnya. Cellia yang tertidur dalam dekapan menambah langkah kaki yang dirasa semakin berat. 

Entah kemana dia harus pulang? Entah kepada dia harus mengadu dan menyandarkan kepala dan jiwanya yang terluka. 

Tidak ada dada untuk bersandar, pun tidak ada bahu untuk berlabuh. Bahkan hanya untuk bercerita membagi kisah sedihpun Hellena tidak tahu. Dia sendiri. 

Tak ada sosok ayah yang menguatkan, tak ada sosok Ibu yang menenangkan. Satu-satunya yang bisa menjadi tumpuan kalbunya yang merana hanyalah sosok Ibu panti yang merawatnya sejak bayi. 

Kemanakah aku harus kembali? Haruskah aku kembali ke Panti Asuhan tempat kubesarkan?  Haruskah mereka tahu,  kalau aku jatuh dan hancur saat ini? 

Tidak. 

Aku belum saatnya pulang ke sana. Biar kubawa luka hati ini, kemanapun kaki membawa. 

***

Langit sudah senja, saat Hellena terduduk bersimpuh di sebuah pojok masjid yang Hellena tidak tahu persis tempatnya.  Entah kemana dia berjalan, dia hanya tahu waktu itu naik bus, entah jurusan apa dan kemana. Hatinya mengembara dan entah dimana.  

Langkahnya melayang dan jiwanya hampa, hanya senyum sendu yang dipaksakan setiap kali Cellia bertanya polos.

"Mama, mau kemana?"

"Mama, kok Papa gak ikut? "

"Mama, jalan mulu, Cellia capek."

"Mama, Cellia lapar dan haus."

Astaghfirullah, Hellena memeluk tubuh mungil anaknya yang kelelahan dan lusuh. Membawanya kerumah makan terdekat. Menyuapi Cellia sampai kenyang dan memaksakan menyuap nasi untuk dirinya, meski terasa hambar dan pahit. 

Entah berapalama Hellena bersimpuh. Suara muadzin di depan mimbar yang terhalang mihrab penyekat shaf perempuan dan laki-laki,  terdengar mengumandangkan azan maghrib, suaranya yang merdu menelusup hati yang terluka. Syahdu. 

Perlahan Hellena bangkit, menyandarkan tubuh Cellia yang kelelahan di dinding masjid pojok paling belakang. 

"Sayang, tunggu sebentar. Mama mau ambil wudlu dulu." Bisik Hellena yang dijawab anggukan kecil Cellia. 

Cellia masih terdiam anteng, saat lama Hellena bersimpuh dan bersujud. Bercucuran air mata dia mengadukan lara dan nestapa yang dia derita. 

Saat tak ada seseorang yang menguatkan, cukup Allah tempat bersandar. Masjid sunah hening. Udara malam mulai menyelinap, menusuk kalbu.  Hellena merasakan tubuh dan jiwanya yang sakit, dia ingin sedikit lebih lama bersandar di rumah Allah. Sebelum mencari penginapan terdekat untuk tidur malam ini. 

Tring. 

Suara notifikasi dari gawai yang ditaruhnya ditas. Hellena mengambilnya, membaca pesan dengan seksama. 

[Hellena, aku kembali seminggu lagi. Engkau bisa mengambil apapun yang kau mau dari rumah kita. Termasuk, uang tabungan dan seluruh perhiasanmu. Semoga kau puas.]

Hellena menyeka air matanya. Merasakan dirinya begitu hina di mata Aksara. Dia, merasa seluruh pengabdian, cinta dan ketulusan yang selalu ia persembahkan selama ini sia-sia belaka. 

Hellena merasa terhina. Dia tidak membalas pesan WA suaminya, dengan tangan bergetar, menahan rasa sakit yang menusuk hatinya, cepat dia membuka sim card gawainya. Membuangnya. 

Aku tidak menginginkan apapun dari rumah itu, bahkan aku tidak ingin kembali dan mengenangnya walau hanya dalam mimpi. 

Clik, air mata Hellena kembali jatuh. Saat menyadari bahwa episode cintanya dengan Aksara, laki-laki yang paling dicintainya telah berakhir sudah

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status