Dengan kecepatan penuh aku bangkit dari rebahan, menuju kamar mandi, membersihkan diri kemudian melaksanakan shalat Magrib, pria itu tidak akan suka menunggu lama. Hampir satu bulan bekerja sedikit banyak aku tahu sifat-sifatnya.Selesai shalat, gegas aku membuka koper, Ya Allah ... aku nggak bawa baju lagi, hanya ada baju kantoran, masa iya makan malam pakai baju kantoran? Gimana dong?Saat tengah bingung akan mengenakan apa untuk makan malam dadakan ini layar ponselku berpendar, menampilkan sebuah pesan masuk. Aku membukanya, dari siapa lagi kalau bukan si pengacau.[Saya hampir siap, jangan sampai harus nunggu kamu nanti,] Tuh, kan! Dia pakai acara nekan segala, bikin emosi saja, gegas kuketik pesan balasan untuk pria itu.[Saya nggak jadi pergi, Pak, Bapak makan sendiri saja atau ajak siapa pun, pokoknya jangan saya,] tulisku, lantas aku menekan opsi sending. Belum satu menit dia sudah membalasnya.@Pak Abi[Kenapa lagi?][Saya tidak punya pakaian yang pantas, Pak]@Pak Abi[Maks
Netraku beralih saat pintu ruangan itu terbuka, aku tak dapat menahan diri untuk tidak kagum dengan penampilan baru Hanindiya. Dia terlihat lebih modern, tetapi tetap anggun dengan hijabnya.Aku bangkit dengan netra tak berkedip menatapnya. Wanita itu terlihat gugup, dia berusaha mengalihkan pandangan saat aku menatapnya selekat itu."Cantik," gumamku tanpa sadar, dia terkejut, terlihat dari pupil dengan netra indahnya yang melebar, lalu semburat merah yang menggemaskan terlihat di kedua pipinya.Deheman Diane membuyarkan lenaku yang tengah hanyut, jatuh dalam pribadi seorang Hanin. Dia terlihat manis dengan sikap malu-malunya. Kenapa tak selamanya saja sikapnya begini? Aku lebih suka yang ini, ketimbang sikap ketus yang selalu dia perlihatkan."Kami ambil yang satu itu, pilihkan beberapa lagi untuknya. Ah, ya! Satu lagi, beri juga beberapa dress yang cocok untuk pesta! Aku akan percayakan padamu, Diane," ucapku pada wanita yang sudah tiga tahun kukenal saat melakukan perjalanan dinas
“Hanin," panggilnya, aku pura-pura tidak dengar, biar saja dia bicara sepuasnya, bodo amat!"Saya tau kamu belum tidur. Dengar! Lusa kamu temani saya ke pesta." Dia berhasil mengusik."Ngapain?" tanyaku penasaran, pesta apa?"Kamu akan berperan sebagai kekasih saya. Eh ralat! Maksudnya calon istri. Ya! Kau harus berakting dengan baik demi nama baik bosmu, it's a part of your work!" Aku bangkit serta merta, memelototi Pak Abi yang masih saja santai setelah berucap demikian, dasar sinting!"APA? CALON ISTRI?" teriakku di depan wajahnya, aku rasa sebentar lagi bola mataku akan keluar saking tajam kubelalakkan. "Ck! Udah, nggak usah lebay. Saya cuma minta kamu pura-pura jadi calon istri, bukan jadi istri beneran," ucapnya santai. Asli, dia benar-benar keterlaluan saat ini, tanganku bergerak menggulung selimut yang dilemparnya tadi membentuk seperti bola, cukup keras.Sekuat tenaga kulemparkan padanya, dia mengaduh saat selimut itu mendarat sempurna di bahunya. Rasakan!"Kamu apa-apaan, s
"Hanin," lirih Dian, aku menautkan alis heran, melihat wajahnya semakin pias dengan tatapan lekat ke belakangku. Aku semakin penasaran saat dia mencengkeram tanganku, walhasil kutoleh ke belakang, mengikuti arah pandangnya."Astagfirullah!" pekikku kaget, Pak Abi berdiri menjulang dengan tatapan datar ke arahku, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Aku gelagapan, kok bisa seceroboh ini, sih! "Saya tunggu di ruangan lima menit dari sekarang," ucapnya kemudian berlalu pergi dengan langkah lebar menuju lift. Ya Allah, aku menatap Dian memasang ekspresi ketakutan. Tidak, aku benar-benar takut, bagaimana kalau tidak jadi gajian? Oh, jangan sampai."Di ....""Tenang, Han!""Apa tenang-tenang? Kamu sih, mancing aku tadi, gimana dong?" ucapku gusar."Ya sorry, mana aku tau dia bisa muncul tiba-tiba kayak oppa Do Min Joon di film My Love From the Star," Kutimpuk kepala Dian dengan tas sekali lagi."Awh! Sakit tauk!""Makanya jangan banyak halu!""Dah, ah! Cepet nyusul bos, kamu harus mi
"Makanya bantuin, eyang kasih tau dulu gimana caranya minta maaf, Abi terlanjur ngajak dia ke resepsi Kiara, kalau dia membatalkan, aku bisa malu sama si lacur itu—""Hus! Mulutnya, ya! Dengerin eyang baik-baik, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah bawa Hanin ke sini, gimana pun caranya,""Loh? Kok dibawa ke sini? Ngapain?" tanyaku penasaran."Ck, nanti biar urusan eyang." Aku manggut saja walau pun sedikit ragu, selanjutnya pamit kembali ke kantor. Satu nasehat eyang dan rasanya seperti mendapat mood booster untuk berkutat lagi dengan pekerjaan.***Tiba di kantor aku langsung ke ruangan, ini adalah jam makan siang, aku harus mengesampingkan rasa tak enak ini, memberanikan diri menghubungi Hanin. Aku raih interkom kemudian menghubungi dia, aku memejamkan mata saat suara sumbang itu terdengar.[Ya, Pak?] Aku berdeham demi mengusir kecanggungan, jangan sampai terdengar menye-menye olehnya."Ini sudah jam makan siang, bisa ke ruangan saya?" Ah, itu bukan gayaku, tetapi kali ini ak
Argh! Sial, sial, sial! Kenapa denganku? Apa yang kulakukan tadi? Aku baru saja merendahkan diri di depan Hanin, dia pasti sedang menertawakan kebodohanku saat ini.Dia keterlaluan, aku tak tahan untuk memendam keresahan lebih lama, wanita itu cukup membuat aku terbakar, saat netranya berbinar, dan itu untuk lelaki lain. Walau pun mereka tidak hanya berdua, tapi tetap saja aku tak suka.Ya, sore tadi aku mengikutinya, aku tak bisa mengontrol perasaan aneh yang tiba-tiba datang, aku tak suka dia dekat dengan Brian.Aku marah dia tertawa lepas dengan pria lain, aku benci saat Brian menatapnya sedalam itu, dan mereka sudah sama-sama kuperingatkan, berani sekali! Aaargh! Ini gila!———Aku membelokkan mobil memasuki rumah eyang, setelah tadi, aku belum bicara lagi sepatah kata pun dengan Hanin, Aku membuka seat belt lalu turun, aku melihat dia juga melakukan hal sama.Aku bersandar di bagian depan mobil, memasukkan kedua tangan di saku celana, menatap lurus ke depan. Mendadak aku jadi ta
Dalam perjalanan pulang, aku memergoki Pak Abi beberapa kali menatapku dari kaca mobil.Lagi, aku teringat dengan perkataan eyang, apa yang salah dengannya? Baiklah, kali ini aku akan coba bicara langsung untuk mengetahui apa sebenarnya yang ada dalam pikiran pria itu.Ehm!Ehm! Kami berdeham bersamaan."Saya—""Saya—"Lagi, dia juga mencoba bicara saat aku membuka mulut, sesaat keheningan menyelimuti."Kamu duluan!""Bapak duluan!"Nah, kan! Lagi. Kali ini kami malah sama-sama diam."Bapak mau bicara apa?" tanyaku setelah beberapa saat."Saya ... saya cuma mau minta maaf, atas kelancangan dan sikap keterlaluan saya tadi, maafkan saya, Hanin," Aku melihat raut wajahnya dari kaca mobil, netranya bergerak gelisah, benar kata eyang, dia terlihat menyesal."Sudah saya maafkan, tapi saya harap tidak terjadi lagi untuk ke depannya," "Saya akan mengingat itu," dia menyahut cepat, bersamaan dengan kelegaan yang terpancar di wajahnya."Apa kau ... masih mau menghadiri pesta itu? Saya tidak a
"Heh! Hanin!" Langkah kami terhenti, aku ikut berbalik bersama Hanin, penasaran saja, siapa yang memanggilnya tadi. Aku memerhatikan dua wanita beda usia menghampiri kami dengan tergopoh-gopoh."Kamu!" Yang terlihat sudah tua di antara keduanya menuding Hanin penuh amarah, siapa mereka? Kenapa terlihat ingin melahap Hanin hidup-hidup? Wanita berhijabku masih bertahan dengan raut wajah santai, dia tak terkejut sedikit pun. "Pak Abi tunggu saya di mobil, ya?" Itu tanya yang lebih mirip permintaan, aku menoleh ragu pada dua wanita di hadapanku itu. Mana bisa meninggalkan dia sendiri? Dilihat dari gestur tubuh, mungkin saja mereka akan mengeroyoknya."Tidak usah, apa kau takut kalau dia mengetahui bahwa kau sudah janda?" Netraku langsung melebar, kenapa dengan orang ini? Aku memang sudah tahu Hanin janda, dan aku tetap suka, kok. Asli, dia punya dendam kesumat dengan sekretarisku ini."Apa masalah Anda Nyonya Khadijah?" Nada suara Hanin masih tenang, sedang wanita yang menudingnya terlih