Aku tak dapat menolak ajakan Pak Abi yang katanya mau mengenalkanku pada seseorang, dia bilang ini adalah bagian dari hukuman atas semua kesalahan baik sebelum dan sesudah aku bekerja di perusahaannya.Saat jam pulang tiba, dia memanggilku ke ruangannya. Dan di sinilah aku, duduk berhadapan dengan pria yang paling menyebalkan seantero kantor."Kenapa Bapak melihat saya segitunya? Ada yang salah?" tanyaku sedikit risi dengan dia yang menatapku sejak tadi."No, sorry, saya ingin tanya satu hal," ucapnya menjeda ucapan, seperti tengah menunggu persetujuanku. "Sure, tanya apa?" "Kenapa gaya busanamu mendadak berubah?" tanyanya."Saya rasa itu urusan pribadi, Pak. Bapak tidak perlu tau," sahutku datar. Mana mungkin aku menjelaskan asal mula aku memakai baju tertutup padanya. Walaupun pada akhirnya aku memutuskan itu karena ingin berubah jadi lebih baik, tapi tetap saja."Hmm, oke. Tapi, kamu ikut saya setelah ini," ucapnya."Iya, Pak. Saya sudah setuju sejak siang, tidak usah diulang-ula
"Sudah berapa lama Hanin kenal dengan Abi?" tanya eyang setelah hening beberapa saat. "Belum lama Eyang, Hanin bekerja sebagai sekretarisnya di kantor," sahutku sembari melempar senyum. Eyang tampak manggut-manggut."Abi itu sebenarnya baik, cuma dia jadi terlalu keras pasca patah hati tiga bulan lalu," ucap eyang menerawang jauh.Wow! Fakta baru yang mengejutkan, aku meringis turut memasang wajah prihatin kala mendapati tatapan eyang berubah sendu. Aku mengusap punggung tangannya hangat."Hanin mau nggak tolong eyang?" tanyanya dengan tatapan penuh harap."Tolong apa, Eyang?" tanyaku penasaran, wanita renta itu semakin lekat menatapku."Tolong Hanin bahagiakan Abi dengan tetap ada di sampingnya, dia sudah menderita sejak kecil karena kehilangan orang tuanya dalam sebuah tragedi kecelakaan," ucapnya. Tangan keriput itu bergerak mengusap sudut mata yang sudah berair."Selama Abi menjalin hubungan dengan wanita, hanya dua orang yang dia bawa pada eyang. Dulu Kiara, wanita yang kini sud
Kupacu motorku membelah jalanan menuju rumah, semua pekerjaan dan tugas dari Pak Abi selesai tepat waktu sehingga aku bisa pulang lebih awal.Tiba di rumah, aku mendapati sebuah mobil mewah terparkir di dekat pagar, begitu motorku memasuki halaman rumah, dua orang yang cukup kukenal keluar dari mobil itu lantas ikut masuk.Mau apa lagi mereka? Mas Amm dan wanita barunya. Mereka dengan lancang berani datang menyambangi. Dia—pria yang dulu sangat kucintai merangkul pinggang wanita lain di depan mataku. Aku masih terpaku saat mereka sudah ada di hadapan, keduanya saling melempar senyum bahagia."Hanin, kamu apa kabar?" tanya Mas Amm menyentakku dari lamunan, kupalingkan wajah demi menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, Ya Allah, kenapa dadaku mendadak sesak menyaksikan kehadiran mereka. Kembali kutatap keduanya dengan seulas senyum penuh kegetiran."Aku ... baik, ada keperluan apa kalian kemari?" tanyaku, tak perlu beramah-tamah dengan mengajak tamu tak diundang ini masuk."Aku— aku ...."
Kuayunkan langkah ke ruangan Pak Abi dengan paper bag kujinjing di tangan, tak perlu waktu lama aku sudah sampai di depan ruangannya."Masuk!" seru si bos dari dalam setelah tiga ketukan mendarat di daun pintu ruangannya. Gegas aku menekan hendel pintu kemudian beranjak memasuki ruangan itu.Pak Abi terlihat mengernyitkan alis dengan pandangan tertuju pada bawaanku. "Silakan duduk, Hanin!" titahnya. Aku menjatuhkan bobot tubuh di sofa empuk bahan beludru ini, Pak Abi menatapku saat aku meletakkan paper bag itu di hadapannya."Apa itu?" tanyanya."Jas Bapak dan ... paket yang dikirimkan untuk saya malam itu," sahutku menjelaskan. Dia meraih paper bag itu lantas membukanya."Apa maksudnya, ini?" Ya Salam! Memang apa lagi selain mengembalikan pemberiannya? Dasar lemot! Masalah kerja aja dia cepat tanggap."Saya mau mengembalikan barang yang Bapak kirim buat tugas malam itu, sekaligus jas yang Bapak pinjamkan di mobil, semua sudah saya cuci, jadi Bapak tenang saja, nggak ada bakteri apal
Setelah tiga jam menempuh perjalanan akhirnya kami tiba di hotel bintang lima pilihan Pak Abi. Pria itu memesan kamar yang berbeda tetapi letaknya berhadapan, katanya agar lebih mudah jika dia butuh sesuatu terkait pekerjaan kami.Setelah menaruh koper di kamar masing-masing, Pak Abi langsung mengajakku ke lapangan, kami tak punya waktu untuk istirahat karena pekerjaan yang terus mengejar. Kami menaiki undakan tangga ke bagian atas gedung yang baru jadi tiga tingkat.Pak Abi menaikinya sangat cepat, membuat aku ngos-ngosan, kewalahan mengikuti kaki panjangnya yang sekali loncat dua sampai tiga anak tangga terlampaui."Pak, pelan-pelang dong!" Napasku sudah terputus-putus saking lelahnya, Dia berhenti kemudian menoleh ke belakang, jarak kami sejauh enam anak tangga sekarang."Kita harus buru waktu, Hanin," sahutnya. Aku menepuk dada yang sudah sesak."Tapi saya nggak bisa napas lagi nih!" seruku kesal, dan sekarang dia malah menyeringai, apa lagi yang akan dilakukan pria itu kali ini.
Dengan kecepatan penuh aku bangkit dari rebahan, menuju kamar mandi, membersihkan diri kemudian melaksanakan shalat Magrib, pria itu tidak akan suka menunggu lama. Hampir satu bulan bekerja sedikit banyak aku tahu sifat-sifatnya.Selesai shalat, gegas aku membuka koper, Ya Allah ... aku nggak bawa baju lagi, hanya ada baju kantoran, masa iya makan malam pakai baju kantoran? Gimana dong?Saat tengah bingung akan mengenakan apa untuk makan malam dadakan ini layar ponselku berpendar, menampilkan sebuah pesan masuk. Aku membukanya, dari siapa lagi kalau bukan si pengacau.[Saya hampir siap, jangan sampai harus nunggu kamu nanti,] Tuh, kan! Dia pakai acara nekan segala, bikin emosi saja, gegas kuketik pesan balasan untuk pria itu.[Saya nggak jadi pergi, Pak, Bapak makan sendiri saja atau ajak siapa pun, pokoknya jangan saya,] tulisku, lantas aku menekan opsi sending. Belum satu menit dia sudah membalasnya.@Pak Abi[Kenapa lagi?][Saya tidak punya pakaian yang pantas, Pak]@Pak Abi[Maks
Netraku beralih saat pintu ruangan itu terbuka, aku tak dapat menahan diri untuk tidak kagum dengan penampilan baru Hanindiya. Dia terlihat lebih modern, tetapi tetap anggun dengan hijabnya.Aku bangkit dengan netra tak berkedip menatapnya. Wanita itu terlihat gugup, dia berusaha mengalihkan pandangan saat aku menatapnya selekat itu."Cantik," gumamku tanpa sadar, dia terkejut, terlihat dari pupil dengan netra indahnya yang melebar, lalu semburat merah yang menggemaskan terlihat di kedua pipinya.Deheman Diane membuyarkan lenaku yang tengah hanyut, jatuh dalam pribadi seorang Hanin. Dia terlihat manis dengan sikap malu-malunya. Kenapa tak selamanya saja sikapnya begini? Aku lebih suka yang ini, ketimbang sikap ketus yang selalu dia perlihatkan."Kami ambil yang satu itu, pilihkan beberapa lagi untuknya. Ah, ya! Satu lagi, beri juga beberapa dress yang cocok untuk pesta! Aku akan percayakan padamu, Diane," ucapku pada wanita yang sudah tiga tahun kukenal saat melakukan perjalanan dinas
“Hanin," panggilnya, aku pura-pura tidak dengar, biar saja dia bicara sepuasnya, bodo amat!"Saya tau kamu belum tidur. Dengar! Lusa kamu temani saya ke pesta." Dia berhasil mengusik."Ngapain?" tanyaku penasaran, pesta apa?"Kamu akan berperan sebagai kekasih saya. Eh ralat! Maksudnya calon istri. Ya! Kau harus berakting dengan baik demi nama baik bosmu, it's a part of your work!" Aku bangkit serta merta, memelototi Pak Abi yang masih saja santai setelah berucap demikian, dasar sinting!"APA? CALON ISTRI?" teriakku di depan wajahnya, aku rasa sebentar lagi bola mataku akan keluar saking tajam kubelalakkan. "Ck! Udah, nggak usah lebay. Saya cuma minta kamu pura-pura jadi calon istri, bukan jadi istri beneran," ucapnya santai. Asli, dia benar-benar keterlaluan saat ini, tanganku bergerak menggulung selimut yang dilemparnya tadi membentuk seperti bola, cukup keras.Sekuat tenaga kulemparkan padanya, dia mengaduh saat selimut itu mendarat sempurna di bahunya. Rasakan!"Kamu apa-apaan, s