Keesokan harinya, Hayden masih belum terbangun dengan tubuh yang masih tertutup selimut tebal. Hari libur memang menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya, karena satu hari itu ia bisa bermalas-malasan dengan puas.
Sedangkan Kanaya yang lebih dulu terbangun atau bisa dikatakan sudah terbangun sejak satu jam yang lalu tengah bingung sekarang. Setelah mandi tadi Kanaya mulai bingung hendak melakukan apa, gadis itu hanya diam di kamar karena takutnya jika keluar akan mengacau."Huh, apakah dia sedang mencoba menjadi kerbau?" tanya Kanaya pada dirinya sendiri ketika belum mendengar sesuatu yang disebabkan oleh Hayden. Yang pastinya pria itu masih tertidur pulas sekarang.Tiba-tiba saja Kanaya menyengir kuda ketika mengingat malam tadi Hayden terus menemani dirinya yang tidak bisa tertidur, sedangkan pria itu sampai meminum kopi 2 kali agar bisa menahan kantuk dan menemani Kanaya dengan tenang.Betapa baiknya pria itu meskipun ia sendiri merasa dirinya menyebalkan."Kau harus sabar, jika aku yang memasak maka dapur itu akan meledak!" ujar Kanaya sambil menusuk-nusuk perutnya menggunakan jari telunjuk mungilnya ketika berbunyi tanda lapar.Ketukan di pintu kamarnya mulai memecah keheningan kamar Kanaya, asisten rumah tangga Hayden itu menyuruhnya untuk sarapan terlebih dahulu. Tanpa menunggu waktu lama lagi Kanaya segera keluar dari sangkarnya guna menikmati sarapan agar perutnya kembali terisi dengan penuh."Hayden belum terbangun?" tanya Kanaya pada asisten yang kini tengah membuatkan susu putih untuknya. "Sepertinya belum. Dia memang seperti ini jika hari libur. Bahkan sampai lupa sarapan dan makan siang," jawab asisten itu membuat Kanaya mengangguk paham.Tapi ... bukankah perut akan sakit jika tidak diberi asupan? Oh tidak bisa seperti itu! Secepat mungkin Kanaya menghabiskan sarapan serta susunya, barulah setelah itu mengambil sarapan serta air minum dan membawanya menuju kamar Hayden.Keadaan tempat itu masih gelap dengan seseorang yang masih sibuk terpejam dibalik selimut tebal dan di atas kasur yang empuk."Hey, kau harus sarapan. Setelah itu terserah hendak melanjutkan tidur atau apa," ujar Kanaya membuat Hayden mau tak mau bangkit dan membasuh wajahnya sebentar. Memang perutnya lapar, tapi rasa malas itu lebih dulu menyerang membuat Hayden memilih tidur saja."Kau sudah sarapan?" tanya Hayden, anggukan dari Kanaya membuatnya tenang dan bisa menikmati sarapan itu dengan hati yang senang. Jika saja Kanaya belum memasukkan sesuatu ke dalam perut, mungkin kini Hayden memilih untuk memastikan Kanaya sarapan terlebih dahulu saja. Gadis itu akan marah secara tidak sadar jika perutnya mulai lapar.Selesai sarapan, kantuk yang sedari tadi menjadi setan terdekat Hayden mulai hilang. Pria itu kini tengah membersihkan diri dan menyusul Kanaya yang sedang menikmati acara televisi pagi hari. Keduanya menonton televisi itu dengan camilan yang masing-masing memegang. Jika seperti ini keadaan akan tetap sepi dan aman.Kanaya mulai merasa bosan setelah satu jam setengah matanya menatap televisi tanpa jeda. Gadis itu beranjak pergi membuka lemari dingin dan menemukan makanan lain di sana. Tanpa memperdulikan makanan itu milik siapa, Kanaya segera memakannya tanpa ragu. Toh ia suka."Padahal aku membelinya untuk diriku sendiri," ujar Hayden pada Kanaya yang terlihat sangat asik memakan makanan kesukaannya."Tatap wajahku. Apa terlihat raut peduli? Tidak, bukan?" wajah sombong itu melengos begitu saja membuat Hayden hanya bisa bersabar agar tidak memancing amarah Kanaya. Toh ia bisa membelinya lain kali, biarkan saja Kanaya memakannya.Jujur saja, ini kali pertama Hayden merasa tempat tinggalnya tidak sepi seperti dulu. Ocehan Kanaya terkadang membuat Hayden merasa nyaman di apartemennya."Oh ya, jika nanti aku sudah sembuh dan hidup seperti biasa, kau akan menangis tidak kalau aku pergi?" tanya Kanaya setelah mengunyah dan menelan makanannya. Hayden hanya mengendikkan bahu acuh, toh baginya Kanaya memang seorang gadis yang terlunta-lunta dan Tuhan mengirimnya untuk memberi bantuan. Cukup sebatas itu."Tentu tidak, karena kau bukan siapa-siapa bagiku. Aku hanya menolongmu sampai sembuh nanti," jawab Hayden membuat Kanaya mengangguk paham. Dirinya tidak sabar untuk sembuh sepenuhnya dan bisa menjadi seorang gadis pada umumnya, hidup tanpa didampingi obat dan psikiater."Tapi ... kalau aku tidak bisa sembuh bagaimana? Apakah kau akan marah karena aku terus merepotkanmu?" Hayden menarik nafas pelan, mencoba mengalihkan tatapannya dari layar televisi dan beralih pada seorang perempuan yang tidak bisa berhenti bertanya itu."Kau pasti sembuh. Marah mungkin tidak, tapi ada masanya aku lelah dan tidak bisa mengurusmu. Dan pastinya bukan aku yang marah, melainkan kau yang mengamuk jika perutmu lapar." Kanaya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ucapan Hayden memang ada benarnya juga. Lagi pula, manusia mana yang tidak kesal jika perutnya lapar namun di dapur tidak ada makanan? Hayden harusnya tahu itu! Hanya saja, kadang Kanaya sendiri tidak bisa mengontrol emosi."Kau harusnya tahu aku gadis seperti apa. Hehe," cengir Kanaya membuat Hayden menggeleng pelan dibuatnya. Entah apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh Kanaya, gadis itu kini tengah membuka gorden jendela besar yang menampakkan keadaan kota di pagi hari dari atas. Terlihat sangat menakjubkan.Kanaya sudah bersiap hendak membuka jendelanya, namun Hayden lebih dulu tiba dan mencekal kedua pergelangan tangannya. "Jangan macam-macam," peringat Hayden membuat Kanaya mau tidak mau mengurungkan niat itu. Gadis itu memilih untuk menikmati matahari pagi di balkon kamarnya saja. Toh tempat itu lebih aman dengan pembatas yang kokoh juga cukup tinggi. Lagi pula, Kanaya bisa menjamin jika dirinya tidak akan terjun ke bawah."Huh, padahal aku hanya ingin melihat matahari saja, tapi dia sangat pelit! Lihatlah, di sini aku bisa menikmati kehangatanmu," ujar Kanaya sambil menunjuk matahari dengan mata tertutup karena tidak kuat dengan sinarnya.Hayden yang sedari tadi mengikuti Kanaya pun tersenyum tipis melihat gadis yang berbicara tidak jelas dengan telunjuk mungil yang menunjuk-nunjuk matahari.Hayden segera menarik salah satu kursi yang ada di kamar Kanaya untuk terus bisa mengawasi gadis itu dengan nyaman. Gadis itu tampak sedang bernyanyi, dilanjut menari, dan diakhiri dengan berpidato asal. Senyum tipis Hayden sedari tadi tidak surut sedikit pun, tingkah Kanaya benar-benar menghiburnya.Gadis itu mulai mengedarkan pandangan ke arah lain dan menemukan Hayden sedang menatapnya dari dalam kamar dengan duduk santai. Mendadak Kanaya kikuk dan duduk tenang pada kursi yang tersedia. Gadis itu merutuki dirinya sendiri lantaran telah bertingkah sesuka hati tanpa menyadari jika ada Hayden sedari tadi. Astaga, bagaimana jika pria itu akan menertawainya? Ish, benar-benar memalukan!Hayden yang menyadari sesuatu pun mulai beranjak pergi mendekati Kanaya, duduk di hadapan seorang gadis yang sedang memalingkan wajah darinya."Tidak perlu malu, hal itu sangat menghibur." Kanaya yang sudah tidak kuat menahan malu pun menutup wajahnya rapat-rapat menggunakan kedua telapak tangan mungilnya. Kekehan kecil lolos dari bibir Hayden namun tidak dihiraukan oleh Kanaya. Kekehan itu justru bagaikan ledekan baginya."Bisakah kau pergi? Aku benar-benar malu sekarang!" pinta Kanaya. Bukannya menuruti permintaan gadis itu, Hayden justru dengan sengaja menopang dagu dan semakin memerhatikan wajah Kanaya, sang empu yang diperlakukan seperti itu semakin kesulitan bernafas saja."HAYDEN MALLORY LUCANO!" tawa Hayden pecah ketika Kanaya sudah menyebutkan nama panjangnya. Itu artinya Kanaya sedang berada di puncak malu paling tinggi. Tidak mau merusak mood Kanaya, Hayden memilih untuk pergi dan meninggalkan Kanaya yang kini memasuki kamar dan bersembunyi di balik selimut tebalnya guna menghilangkan kejadian memalukan tadi dari kepalanya."Aish, kenapa aku benar-benar memalukan?! Apakah sedari tadi Hayden telah memerhatikanku menari? Bernyanyi? Berpidato bak orang bodoh? Oh God ... kirim aku ke lautan dan tenggelamkan saat ini juga!" Kanaya terus bergerak tidak jelas sampai rambut yang sedari tadi tergerai indah telah berantakan bak singa betina sedang kelaparan.Hayden sendiri masih tenang dengan mata yang memerhatikan video sembunyi-sembunyi yang diambil sewaktu Kanaya menari. Tawanya pecah ketika rekaman itu menunjukan kaki Kanaya yang tidak sengaja membentur meja kecil di sampingnya. Ada-ada saja tingkahnya.***Kini, kehidupan Kanaya dan Hayden berjalan dengan begitu indah. Mereka menikmati waktu demi waktu sambil membesarkan Reynald yang terus tumbuh. Mereka rasa, kemarin agaknya Reynald masih bayi dan membutuhkan ASI. Saat ini, anak itu sudah memasuki sekolah dasar seraya terus berdoa pada Tuhan agar memberinya adik.Pulang sekolah, Reynald di jemput oleh Kanaya beserta sopir pribadi ibunya. Hayden belum pulang, pria itu semakin sibuk karena perusahaannya semakin berkembang pesat."Rey, Ibu punya sesuatu untuk Rey. Apakah Rey tahu apa itu?" tanya Kanaya pada sang anak yang duduk di sampingnya. Rey menoleh di sela-sela kesibukannya yang sedang membuka sepatu."Apa itu, Ibu? Apa ada mainan baru?" tebak Reynald dengan wajah yang begitu sumringah. Biasanya, seminggu atau dua minggu sekali Kanaya ataupun Hayden selalu membelikan mainan baru untuk Reynald.Kanaya menggeleng, wanita itu semakin membuat Reynald bertanya-tanya."Ibu ... Reynald tidak tahu. Bisakah beritahu Rey sekarang saja?" pinta
Pergulatan panas mereka selesai bertepatan dengan Reynald yang terbangun. Memang anak itu sesekali bangun untuk memberitahukan pada ayah dan ibunya jika ia lapar. Belum lagi popok yang digunakan sudah penuh meminta diganti.Untuk saat ini Kanaya memasrahkan Reynald pada Hayden sepenuhnya, wanita itu sudah tak sanggup membuka mata apalagi bangun dari tempat tidurnya. Alhasil, Hayden-lah yang menenangkan Reynald serta mengganti popok anaknya. Beruntung Kanaya selalu menyediakan ASI di dalam botol dan hanya perlu dipanaskan sebentar. "Cup cup cup, cepat tidur kembali ya anak Ayah. Ayah lelah sekali, Sayang. Lihat ibumu, ada gempa pun sepertinya dia tidak akan bangun," ujar Hayden pada sang anak. Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, Hayden terus menimang dan menyenandungkan nada lagu kecil agar mempercepat kantuk sang anak datang. Reynald yang sangat nyaman dipeluk ayahnya pun perlahan-lahan kembali tertidur. Bayi itu juga tampaknya tahu jika sang ayah sangat mengantuk.Hayden terse
Saat ini, Hayden maupun Kanaya masih dalam masa pemulihan. Mungkin sekitar dua hari lagi mereka berdua bisa dipulangkan.Saat ini, Hayden tengah diperiksa untuk kesekian kalinya. Pria itu sebenarnya sudah muak berhadapan dengan dokter, namun apa boleh buat? Ia hanya bisa pasrah dan menerima semuanya.Kanaya sendiri saat ini tengah menimang Reynald setelah bayi itu diberi susu. Mata Reynald yang sesekali terbuka membuat Kanaya sangat gemas dan ingin menggigit anaknya sendiri. Beruntung Kanaya masih waras dan tidak melakukan hal itu pada buah hatinya."Dokter, apakah ayah sudah sembuh?" tanya Kanaya menirukan suara anak-anak seolah Reynald-lah yang bertanya. Dokter maupun Hayden yang sedang diperiksa sontak terkekeh geli mendengar suara Kanaya. "Ayahmu sudah sehat, anak tampan. Hanya saja, masih butuh perawatan selama beberapa hari sebelum diizinkan pulang. Reynald pasti bosan ya di rumah sakit?" tanya dokter pada bayi itu. Yang menjawab tentu bukan Reynald, melainkan ibunya."Sangat
Beberapa hari kemudian, tanpa diduga dan disangka Kanaya mengalami kontraksi hebat ketika sedang menjenguk Hayden yang belum sadarkan diri. Dokter memperkirakan beberapa jam lagi Hayden akan membuka matanya setelah melihat kondisi pria itu yang semakin membaik. Namun, Kanaya tak sempat melihat sang suami membuka mata karena rasa sakit yang dialaminya. Padahal, hari perkiraan lahir masih tersisa satu minggu, namun Tuhan berkehendak lain.Alhasil, Kanaya segera dimasukkan ke dalam ruang bersalin dan langsung ditangani oleh dokter yang biasa memantaunya. Proses melahirkan secara normal Kanaya tempuh sendirian tanpa dukungan sang suami. Wanita itu sempat merasa sedih, namun setelah mendengar kata-kata penyemangat dari dokter, Kanaya menjadi lebih semangat lagi untuk melahirkan anaknya.'Semoga setelah anak kita lahir, kau secepatnya membuka mata, Suamiku.' Kanaya terus berdoa di dalam hati untuk suaminya, rasa sakit yang begitu dahsyat tak bisa dielakkan selain dihadapi."Nyonya, tolong m
Hayden ditangani sebaik mungkin oleh dokter yang ada di rumah sakit. Pria itu mengalami kecelakaan cukup parah sewaktu mencari kedai bakso yang istrinya inginkan. Sungguh, kejadian itu terasa begitu cepat seolah hanya kilatan cahaya. Kanaya sendiri masih tak sadarkan diri setelah ditangani oleh dokter, wanita itu benar-benar tidak terima dengan kabar yang didengarnya. Para orang kepercayaan Hayden yang selalu menjaga keluarga itu pun segera berdatangan dan mengambil alih kendali semuanya. Beberapa saat kemudian, Kanaya telah sadar dari pingsan dan langsung mencari suaminya. Tepat saat itu pula Hayden sudah dipindahkan ke ruangan yang lebih intensif lagi agar cepat pulih. Kanaya segera dibantu oleh suster serta orang kepercayaannya untuk melihat Hayden. Air mata wanita itu tak henti bercucuran melihat kondisi sang suami yang begitu memprihatinkan. Kanaya menyesal meminta pria itu keluar untuk mengabulkan keinginannya."Aku mohon ... bangun, Sayang. Maafkan aku, maafkan aku," racau K
Perut Kanaya tampak semakin membesar seiring berjalannya waktu. Saat ini usia kandungan wanita sudah menginjak bulan ke sembilan, mereka semakin dibuat tak sabar menanti kelahiran sang buah hati. Segala persiapan untuk kelahiran sang anak sudah Hayden dan Kanaya siapkan sebaik mungkin. Meskipun saat anak mereka lahir tidak langsung di tempatkan pada kamar terpisah, namun kamar bayi itu sendiri sudah siap pakai dengan segala fasilitas yang lengkap di dalamnya. Kanaya sebenarnya tidak meminta Hayden untuk menyiapkan kamar anak secepat itu. Namun, Hayden sendiri yang sudah tidak sabar ingin mendekor kamar sang anak. "Kau sangat yakin mendekor kamar dengan warna biru seolah anak kita laki-laki," celetuk Kanaya pada sang suami yang baru selesai menata ulang letak kamar tidur sang anak bersama orang-orang suruhannya."Tentu saja warna biru karena aku yakin anak kita akan laki-laki. Meskipun perempuan, warna biru juga tidak terlalu buruk. Kita bisa mengganti dekorasi kapan saja," balas Ha
Pesawat pribadi milik Hayden dan Kanaya kembali mengudara untuk mengantarkan pemiliknya ke tanah air. Tak banyak yang mereka lakukan selama berada di pesawat selain makan dan tidur. Kadang juga pergi ke kamar mandi sesekali. "Huh, nyawaku seperti masih tertinggal di Bora Bora," gumam Kanaya lesu. Wanita itu tengah bermalas-malasan di dalam kamar bersama suaminya. Mereka sempat menonton film, namun tidak sampai selesai karena Kanaya mendadak tidak suka dengan aktornya. Alhasil, Hayden segera mematikan televisi. "Setelah anak kita bisa diajak bepergian, kita akan kembali berlibur ke tempat yang kau inginkan itu," ujar Hayden agar Kanaya tidak terlalu sedih memikirkan Bora Bora. Wanita hamil satu ini sangat sensitif dan cengeng."Itu masih lama," cicit Kanaya sambil menenggelamkan wajahnya di tumpukan selimut yang tampak kusut.Hayden menghela napas cukup panjang untuk mencari stok kesabaran. Setelah mendapatkannya, Hayden kembali mendekati wanita itu dan menghiburnya. "Apakah ingin
Setelah aktivitas meninggalkan jejak telah terlaksana dengan baik, keduanya kini tengah menikmati waktu romantis di emperan resort yang langsung menghadap ke arah matahari tenggelam.Kanaya duduk di antara dua kaki Hayden dan tubuh bersandar nyaman pada dada kokoh suaminya. Kedua tangan Hayden pun tak bisa diam dan terus mengusap permukaan perut sang istri. Perut buncit ini selalu menjadi favorit tempat kedua tangannya."Ah iya, aku ingin meminta bantuan pada pengawalmu untuk memotret kita di sini," ujar Kanaya seraya menengadah untuk bisa menatap suaminya.Pria itu tersenyum kecil, tak tahan untuk tidak mengecup dahi Kanaya ketika melihat tatapan penuh binar di kedua mata istrinya itu."Mereka sudah melakukannya, Sayang." Hayden menunjuk salah satu anak buahnya yang sedang memegang kamera beresolusi tinggi untuk bisa menghasilkan gambar terbaik. Kanaya cukup terkejut sebenarnya karena menyadari ada seseorang yang memotretnya sedari tadi."Sejak kapan dia ada di sini?""Sejak kita men
Demi istri tercinta, apapun akan Hayden lakukan bahkan menggali batu sekalipun. Kurang lebih satu jam Hayden meminta pada salah satu warga lokal dan seorang nelayan untuk membantunya menangkap cumi-cumi. Kanaya menunggu dengan hati berbunga di tepi pantai sambil sesekali melihat ke arah tengah laut di mana Hayden sedang menangkap cumi-cumi.Pria itu berhasil membawa 5 buah cumi-cumi berukuran sedang, Hayden segera menunjukkan pada sang istri penuh percaya diri.Kanaya sontak berjingkrak-jingkrak bahagia mendapatkan apa yang dirinya mau. Wanita itu bahkan sampai memfoto cumi-cumi lucu hasil kerja keras Hayden."Terima kasih, Suamiku! Terima kasih, Paman!" ujar Kanaya pada seorang nelayan yang telah membantu Hayden.Kanaya juga memberikan beberapa lembar uang untuk nelayan tadi, meskipun pada akhirnya ditolak karena paman nelayan membantu dengan tulus tanpa mengharap imbalan apapun. Terlebih lagi ketika mengetahui Kanaya tengah hamil besar, nelayan itu dengan senang hati membantu mengab