Dea masih mematung di hadapan Gilang, ia tak tau apa yang harus di lakukannya. sementara ia tak pernah melakukan kesalahan. Hatinya menjadi kesal dan ingin berontak, namun ia tersadar siapa kah dirinya?"Baik, jika itu kemauan kalian, aku akan keluar dari kantor ini." Ucap Dea tegas sembari berlalu.Fitri tersenyum miring, semenjak kejadian malam itu, Fitri tak mau dekat dengan mantan adik iparnya itu. "Alhamdulillah... terima kasih ya Mas," lembut suara Fitri menolehkan ke arah Gilang. Gilang merasa bahagia, karena sikap Fitri telah kembali hangat, apapun akan ia lakukan demi keharmonisan rumah tangganya. "Iya, sayang .."Dea bergegas masuk ruangannya dengan mata merah padam dan nafas naik turun. "Ada apa De? serius banget keliatannya?" tanya Rina penasaran. "Gila, gue di pecat, Rin.""Serius?""Ya, dan gue yakin ini keinginan Fitri, Bukan Mas Gilang."Rina mendekat dan berdiri di hadapan Dea seakan masih tak percaya. "Kamu serius?""Iya Rin. Sekarang juga aku harus beresin bar
"Bagaimana dia bisa hamil? Aku sama sekali tidak sadar melakukannya.""Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada Fitri?"Pertanyaan satu persatu memenuhi isi kepala Gilang, kegelisahannya kembali muncul. "Pak, rapat hari ini sudah bisa di mulai?" tanya Rendi yang menyembulkan kepalanya ke ruangan Gilang. "Rendi, rapat kita tunda.""Di tunda lagi pak?""Ya, saya sedang tidak fokus hari ini.""Baik Pak. Apa pak Gilang sedang sakit?""Ya, sepertinya begitu, saya izin pulang cepat." ucap Gilang terburu-buru meninggalkan ruangan. Gilang menaiki mobilnya melaju dengan kecepatan sedang. tak lama berselang, Fitri yang baru sampai kantor suaminya, sekilas melihat sebuah mobil yang ia kenali melaju keluar."Mas Gilang? Mau kemana dia?" tanya Fitri penasaran. Dengan cepat ia pun mengikuti mobil Gilang dari belakang. "Apa sebaiknya aku telepon Mas Gilang?""Ah, tidak. Sebaiknya aku ikuti saja, di jam kerja mau kemana dia?" bisik hati Fitri gelisah. Gilang menuju kesebuah
"Jangan Ge' Er kamu! Aku kenal suamiku, dia tidak serendah itu!" Hardik Fitri. "Oya? Jadi Mbak mau bukti, serendah apa suami mbak di hadapan aku?""Hmmm, sebentar!" Dea mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, lalu membuka-buka galerinya. "Kita pernah menikmati malam bersama berdua, nih." Ucapnya dengan semangat menunjukkan photo saat keadaan Gilang tengah tak sadar. Fitri membuang muka, seakan jijik melihat photo yang Dea unjukkan pada dirinya."Oya, satu lagi yang harus Mbak tau, sebenarnya aku capek jadi kekasih gelap kakak iparku sendiri, dari itu aku memutuskan untuk memberitahu Mbak juga hal ini.'' sambungnya. Dea menyodorkan testpack di atas meja tepat di hadapan Fitri. "Itu hasil hubungan kami selama ini. Maafin aku ya Mbak." ujar Dea menatap lekat wajah Fitri."Apa ini? Kamu?" Bola mata Fitri seketika membesar saat menatap barang bergaris dua di hadapannya. Bagai petir menyambar dirinya, Ingin menjerit saat itu juga, namun ia menahannya sekuat tenaga. "Ya, itulah yang s
Cukup jauh keduanya baru menemukan pom mini, Bastian langsung membeli bensin yang di masukan kedalam botol, setelah selesai mereka pun kembali ke jembatan."Ayok cepat isikan!" seru Fitri. Bastian langsung menurutinya, tak lama motor Fitri pun kembali menyala. " Alhamdulillah.... nyala. Makasih ya?""Oke! Silahkan kamu duluan hati-hati. "Fitri mengangguk dan melepas senyum sebelum berlalu meninggalkan Bastian. ***"Ya Allah... kamu dari mana sayang? Jam segini baru sampe rumah?" tanya Gilang dengan penuh kekhawatiran, sementara Fitri hanya menatapnya sekilas lalu berlalu ke arah kamar.Gilang merasa ada yang aneh dari sikap istrinya, ia mengikuti Fitri kedalam kamar dan memastikan bahwa Fitri baik-baik saja."Kamu baik-baik saja kan Bu?""Ponsel mu nggak aktif, aku khawatir nunggu kamu, sebenarnya kamu dari mana?"Gilang menodong Fitri dengan pertanyaannya. Fitri terlihat terdiam, sesekali terlihat ia mengatur nafasnya. "Aku dari kantor mu, dan kamu pergi, dari mana kamu Mas?"F
“Mas, apa tidak sebaiknya Mas Gilang, dan Mbak Fitri cari kerja di kampung ini?” ucap Dea. Ia merasa risi, semenjak kedatangan keluarga Gilang Kakak iparnya, yang baru pindah dari kota sekitar dua minggu lalu. Gilang dan Fitri, bersama satu anaknya yang berusia enam tahun, bernama Mentari. Sementara rumah yang mereka tinggali saat ini, hanya rumah berukuran kecil, itu pun milik Ibu mereka. Meskipun demikian, Gilang dan keluarganya selalu terlihat santai. Membuat Dea merasa tidak nyaman. “Kerja? Kerja apa Dea? Di desa ini, mata pencaharian penduduk rata-rata bertani. Mas Gilang, dan Mbak Fitri ini tidak bisa tani, ”jawab Fitri dengan santai. “Ya sudah, kalau tidak bisa bertani, Mas Gilang bisa kerja bangunan, dan Mbak Fitri bisa berjualan.” Fitri dan Gilang hanya saling tatap satu sama lain, keduanya melepas senyum ke arah Dea. “Iya, iya. Nanti Mas nyari kerja,” jawabnya sembari meminum teh hangat yang ada di hadapannya. Pagi hari, terlihat Ibu sedang duduk seorang diri, tangann
“Apa? Kamu barusan bilang apa De?” tanya Fitri serius menatap Dea. “Sudahlah, intinya aku nggak suka Mbak Fitri memakai uang tanpa perhitungan. Pemborosan saja!” “Mbak tanya sama kamu. Yang buat boros itu siapa De?” “Masih nggak ngerasa juga ya Mbak? Sering masak ini, masak itu, bikin kue segala, apa itu nggak bikin boros?” tukas Dea dengan lancang. “Loh..., memangnya kenapa? Toh, makanannya habis semua, nggak ada yang terbuang sia-sia?” timpal Fitri.Dea memutar bola matanya malas. Tak lama ia pun berlalu meninggalkan Fitri seorang diri. “Apaan si maksud si Dea?” gumam Fitri sembari menggaruk-garuk kepalanya bingung. **** Sore hari Fitri sedang menyuapi Mentari di teras rumah, tiba-tiba seorang penjual baju berhenti dan menggelar dagangannya begitu saja di teras rumah Bu Aminah.Sesekali memanggil para ibu-ibu dengan panggilan khasnya. Tak lama para tetangga pun berbondong-bondong datang menghampiri si pedagang dan langsung memilih barang barang yang tergelar. “Ini berapa Ba
"Apa yang Mbak lakukan pada istriku?" hardik Diki menatap Fitri tajam."Jaga ucapan kamu ya De, kamu pikir kami penjilat? Seenak kata kamu tuduh kami memakai uang kamu!''"Buktikan! Buktikan kalau ucapanku salah. Kamu pikir aku nggak berani sama kamu?" Dengan cepat Dea menyerang Fitri. Diki dan Gilang mencoba memisahkan keduanya dengan memegangi istri mereka masing-masing."Sudah Sayang.... Sabar, jangan begini.""Dia terus terusan nuduh kita memakai uangnya Mas, pantang bagi aku di rendahkan seperti ini!'' jawab Fitri sambil terus meronta. "Nuduh? Siapa yang nuduh? Kalian memang memakai uangku, uang suamiku, orang -orang malas dan miskin seperti kalian memang pantas di rendahkan!" balas Dea yang sama tak mau kalah."Diki! Bawa istrimu ke kamar! Cepat!'"Baik, Mas." Dengan sedikit paksaan Diki menarik tubuh Dea dan masuk kedalam kamar.Sementara Gilang terus menenangkan Fitri. Beruntung Mentari dan Icha tidak menyaksikan keributan yang terjadi, saat melihat Dea yang mulai berkata
"Mas, apa kamu tau sampai kapan kakakmu di kota?" tanya Dea."Hmmm, katanya cuma satu mingguan De.""Apa? Cuma satu minggu?"Diki mengangguk, dengan tatapan yang masih fokus ke layar laptop di hadapannya."Aku mau mereka tidak tinggal di sini Mas," keluh Dea."Loh, tidak bisa begitu De, mau tinggal dimana Mas Gilang kalau tidak k di sini?""Ya terserah mereka, bukankah ini rumah kamu ya Mas?""Ini rumah Ibu De.""Iya, tapi rumah ini jatah buat kamu kan?""Ibu belum membaginya.""Kalau begitu aku mau bicara sama Ibu supaya Ibu cepat membaginya.""Jangan De. Itu namanya tidak sopan.""Kalau tidak begitu, nanti bagaimana kalau tidak adil?""Tunggu saja nanti sampai Kak Gilang pulang. ya?"Dea terdiam, pikirannya menjadi tak tenang."Oya Mas, mana jatah buat Ibu bulan ini? Biar aku yang kasih."Diki segera merogoh tasnya, dan mengambil sebuah amplop berisi uang. "Berapa ini Mas?""Seperti biasa De, sejuta setengah.""Tambahin Mas, biar dua juta."Sekilas Diki menatap Dea aneh, biasanya D