Share

Ch.04 Mertua Kampungan

Author: Rein_Angg
last update Last Updated: 2023-11-22 20:45:52

Lyra meninggalkan ruang kerja Harlan. Berjalan dengan menunduk, menatap lantai. ‘Minggu depan sudah menikah? Aku harus berbohong pada Bapak dan Ibu di rumah,” keluhnya gundah. ‘Apa mereka akan percaya?’

Ketika kaki mengayun dengan gontai, mendadak seorang lelaki muncul dari arah belakang dan menarik lengannya hingga tubuhnya sontak berputar.

“T-Tuan Rex,” engahnya terkejut sekaligus takut.

“Kamu sudah dengar? Kita akan menikah bulan depan, perempuan brengsek!” desis Rex menyeringai bengis. “Kamu puas sekarang, hah?”

Menggeleng, Lyra berucap dengan terbata, “Saya … s-saya hanya … saya hanya mengikuti pe-perintah Tuan Harlan.”

“Banyak omong, kamu! Dikira aku tidak tahu kalau kamu sengaja menjebakku? Kamu ingin jadi istriku, ‘kan? Kamu sengaja melakukan semua ini!”

“Saya bersumpah, Tuan Rex! Demi Tuhan! Saya tidak menjebak Anda!” sanggah sang gadis.

Namun, Rex tidak peduli. Ia mencengkeram lengan Lyra semakin keras hingga tedengar suara mengaduh dari sang gadis karena sakit.

“Camkan ini, Lyra! Kita boleh saja menikah! Tapi, akan kupastikan pernikahan ini menjadi neraka jahanam untukmu!”

Pria itu lalu meninggalkan Lyra yang terdiam.

Tanpa terasa, hari pun berlalu.

Kini mereka berada di Malang, kota kelahiran Lyra Kanigara.

Hanya saja, tempat tinggal Lyra tidak terletak di tengah kota, tetapi masih masuk lebih ke dalam lagi. Naik turun gunung hingga memakan waktu hampir dua jam dari pusat kota.

“Rumah kamu itu kenapa ngampung sekali, hah?” sembur Ajeng pada calon menantunya.

“Ya, namanya saja orang kampung, Ma,” celoteh Eva, adiknya Rex.

Harlan menoleh ke belakang sambil menghela napas panjang. Ia duduk di depan, di sisi sopir. “Berhenti menghinanya.”

“Kita sudah dua jam lebih mengendarai mobil sejak mendarat di Surabaya! Ini sebenarnya mau ke mana?” kesal Ajeng. “Semakin lama kita semakin jauh dari peradaban! Lihat saja, hutan lembah tidak jelas!"

Lyra terdiam. Ia duduk di belakang sendiri sementara Rex beserta ibu dan adiknya ada di baris tengah. Memang, rumahnya sangat masuk ke pedalaman desa, jauh dari kata kota.

“Punya kakak ipar sama sekali tidak bisa dibanggakan! Orang miskin, orang kampung tidak berpendidikan! Apa sih pendidikan dia terakhir? Paling SMP!” Eva terus mencibir, merendahkan wanita yang duduk di kursi paling belakang.

“Sekalinya punya istri, orang udik! Luar biasa!” geleng Rex mencibir wanita yang ada di belakangnya. “Kalau cantik masih lumayan! Ini sudah jelek, tolol, kampungan pula! Apa yang mau aku banggakan?”

“Papa bilang berhenti menghinanya! Kamu sendiri yang membuat masalah, Rex! Makanya, berhentilah mabuk-mabukan!”

Semua terdiam begitu suara Harlan sudah menggelegar sarat dengan emosi. Rex yang duduk di dekat jendela menoleh ke belakang dengan sorot kebencian.

“Kalian semua nanti jangan buat Papa malu di depan keluarga Lyra! Kalian harus bersikap baik dan terlihat menyayangi dia! Awas, ya, kalau sampai kalian seperti ini!” pungkas lelaki berusia menjelang 60 tahun tersebut sedikit terengah.

Ajeng melengos, “Cih! Dengan keluarga kampung yang miskin saja kita harus berpura-pura baik? Apa untungnya? Kalau di depan keluarga Karina yang pejabat itu barulah kita harus jaga sikap!”

“Melepas calon mantu seperti Karina, dapatnya malah Lyra! Membuang berlian, dapatnya kotoran kucing!” desis ibu dua anak tanpa rasa berdosa menyamakan perawat manis di kursi belakang dengan seonggok kotoran kucing.

“Kamu lagi! Terus saja begini! Bulan depan kita batalkan saja pergi ke Paris!” ancam Harlan. Telinganya sendiri panas mendengar Lyra disebut kotoran kucing.

Melototlah mata istrinya. “Heh, apa-apaan, Pa? Tidak boleh begitu!”

“Kamu juga, Eva! Kalau mulutmu itu masih terus pedas, tidak usah beli Honda Accord terbaru, ya!”

Gadis cantik berkulit sawo matang ikut mendelik. “Jangan begitu, Pa! Aku diam saja nanti! Mau taruh di mana mukaku kalau tidak jadi beli Accord baru? Diana baru ganti Fortuner! Dia akan menertawakan aku kalau tidak jadi beli mobil!”

“Makanya jaga mulutmu itu!” tegas Harlan sekali lagi. “Dan kamu Rex! Kalau sampai kamu tidak mesra dengan Lyra, kalau sampai keluarganya curiga, Papa usir kamu dari rumah! Semuanya paham atau tidak!”

“Paham, Pa!” seru ketiga orang serempak.

Lyra yang duduk di belakang sendiri terus menunduk sambil menahan isak. Hatinya pedih, teriris sembilu hingga membuat panas matanya yang berkaca-kaca. Akan tetapi, sebisa mungkin dia menahan diri agar tidak menangis.

Malu rasanya kalau harus menangis. Direndahkan dan dihina seperti ini, tentu ia sakit hati. Namun, apa mau dikata? Jika sampai yang lain tahu dia menangis, tentu akan semakin dihina. Maka, gadis itu hanya diam dan meremas celana kainnya sendiri.

Demi menjaga nama baik keluarga, ia bersedia menjadi istri Rex dan dihina. Tidak apa, toh hutang berobat ayahnya akan dilunasi. Berkorban, bukankah itu sesuatu yang mulia? Menguatkan diri, membayangkan wajah keluarganya demi menjadikan diri lebih kuat!

Untungnya, setelah perjalanan yang melelahkan, sampailah mereka di rumah Lyra ketika hari menjelang sore. Turun dari mobil sewaan, keluarga Adiwangsa terperangah dengan tampilan sekitar.

Pohon rindang mengelilingi rumah yang terbuat dari bata tanpa disemen. Pintu serta jendela dan semua kusennya dari kayu yang tidak dicat. Pagar rumah tidak ada, yang menyambut mereka pertama justru sekian ekor ayam berkeliaran bebas.

Rex langsung berbisik pada ibu dan adiknya. “Awas! Hati-hati! Banyak kotoran ayam di sini!”

Di Jakarta -terutama bagian Selatan yaitu kawasan Pondok Indah- tidak ada rumah seperti di sini yang punya ayam berkeliaran dan kotorannya di mana-mana.

Lyra berjalan, lalu membuka pintu dan menyerukan salam. “Bapak, Ibu?” panggilnya.

Sontak terdengar suara langkah kaki berlari dari ruangan belakang. Itu adalah kedua adik Lyra. Lalu, di belakangnya ada dua sosok yang wajahnya sudah mulai keriput.

“Itu calon mertuamu, Kak? Ya, ampun! Lebih baik kamu bunuh diri saja!” cibir Eva berbisik meski bibirnya tersenyum ramah.

Rex melirik dengan matanya yang sedikit sipit seperti aktor Korea. Tidak menjawab apa-apa, tetapi hatinya sama muak dengan Eva. Melihat ayah Lyra yang kulitnya hitam legam memakai baju koko dan sarung, ia seperti melihat tukang kebun di rumah saat sore hari.

‘Mati sajalah aku! Demi apa aku harus memiliki mertua sekampungan ini!’ jerit pemuda itu ingin menangis di dalam hati.

“Maaf, kami sedang mempersiapkan makanan di belakang. Jadi, tidak dengar,” sapa ayahnya Lyra. Mereka semua telah dipesani agar jangan berbicara bahasa Jawa Timuran karena keluarga Adiwangsa tidak mengerti bahasa tersebut.

“Saya Suripto, ayahnya Lyra,” ucap lelaki yang sehari-hari biasa mengurusi kolam ikan lele di belakang rumah.

“Saya Narsih, ibunya Lyra,” ucap wanita yang rambutnya ditumbuhi uban. Ia memakai gamis lusuh berwarna biru muda. Sepertinya, ini adalah pakaian terbaik yang mereka miliki.

Bagaimana bisa membeli baju mewah kalau lantainya masih terdiri dari plesteran semen saja tanpa lantai? Apalagi, atapnya langsung genteng tanpa eternit.

Harlan menjabat kedua tangan calon besannya dengan sopan dan hangat. Berbeda ketika Ajeng yang harus bersalaman. Wajah istrinya langsung memerah dan napas berembus kencang.

Tangan yang diangkat tidak sanggup berjaba sehangat suaminya. Yang ada di bayangan Ajeng adalah tangan orang tua Lyra pasti kotor penuh kotoran ayam di depan tadi. Maka, ia hanya menyentuhkan ujung jari-jarinya ke ujung jari-jari orang desa tersebut.

Bahkan, setelah menyentuhkan jari, ia mengusap di balik punggung. ‘Sialan! Bakteri apa ini yang sudah menempel di tanganku! Harus segera disemprot hand sanitizer!’ geram Ajeng dalam hati.

“Bapak, Ibu, ini Mas Rexanda, calon suamiku,” ucap Lyra tersenyum sendu, memperkenalkan pemuda yang berdiri di sebelahnya.

“Ehm, iya, selamat sore, Pak, Bu,” angguk Rex menjabat singkat. Tidak ada cium tangan seperti adat orang Jawa pada umumnya.

Suripto dan Narsih saling pandang, tetapi mereka kembali teringat ini adalah keluarga dari Ibu Kota Jakarta di mana adat sopan santun serta norma sudah semakin luntur.

“Pa, Ma, ini Endaru dan Gayatri, adik-adik saya.” Lyra memperkenalkan kedua adiknya.

“Hmm,” senyum Ajeng dingin dan segera melengos. Mendengar Lyra memanggilnya Ma sudah cukup untuk membuat asam lambung naik hingga ingin muntah.

“Monggo, monggo! Silakan duduk! Mohon maaf rumahnya kotor karena di kampung,” senyum Suripto lebar mempersilakan semua duduk di kursi rotan yang benar-benar terlihat usang.

“Aku yakin kursi itu banyak kutunya, Ma!” bisik Eva menarik-narik lengan baju ibunya.

Ajeng menoleh dan berbisik balik. “Diam saja kamu! Mau tidak jadi beli Accord, hah? Pakai saja terus mobil bututmu itu ke mana-mana tidak usah ganti baru!”

Cemberut dan ingin berteriak jengkel, tetapi Eva akhirnya duduk berdampingan dengan ibu dan ayahnya.

“Mbak Eva kalungnya bagus sekali,” puji Gayatri memandangi kalung emas calon iparnya dengan takjub.

Eva tersenyum culas. “Ini kalung emas putih! Harganya sekitar 20 juta!”

Maka, terbelalaklah keluarga Suripto mendengar harga kalung tersebut. Mereka langsung menggelengkan kepala.

“Oleh sepeda motor siji!” bisik Suripto pada istrinya terkekeh.

“Oleh loro yen second, Pak!” tanggap Narsih mengatakan dengan harga demikian  bisa dapat dua sepeda motor bekas.

Eva menggelengkan kepala. Kembali berbisik kepada ibunya. “Ma, sumpah! Demi apa mereka kampungan sekali! Harga segitu saja sudah terheran-heran! Dasar orang miskin!”

Harlan segera mulai berbicara agar suasana tidak semakin canggung dan berlarut. Ia khawatir anak dan istrinya merusak semua rencana yang telah ia bangun. “Mohon maaf atas kedatangan kami yang mendadak ini.”

“Kami datang kemari untuk melamar Lyra Kanigara menjadi istri dari Rexanda Adiwangsa. Mereka sudah berpacaran selama enam bulan. Supaya tidak terjadi fitnah, maka saya berniat untuk menikahkan mereka.”

Sungguh indah ucapan Harlan. Supaya tidak terjadi fitnah? Padahal, bukan hanya fitnah, tetapi sang gadis telah dinoadi dengan kejam. Namun, tidak ada cara lain kecuali mengarang cerita untuk menutupi aib putranya.

Suripto menghela napas panjang, lalu menatap pada Lyra dan Rex. “Kok, mendadak sekali sebenarnya ada apa?”

“Saya hanya ingin segera menghalalkan Lyra, Pak. Saya sangat mencintainya,” jawab Rex bermain peran. Ia rangkul calon istri sambil merengkuh jemari lentik. “Betul, ‘kan, Lyra?”

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rini Desmiati
semoga eva mengalami nasib seperti lyra
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SIKSA BATIN ISTRI TUAN MUDA    Ch.87 Buah Hati Tercinta (END)

    “Apa-apaan! Kalian apa sudah gila menuduhku begitu!” bentak Marina dengan dada kembang kempis dan wajah yang mulai memucat. Dua polisi tetap tenang dan hanya tersenyum datar. “Anda baru saja melakukan pemerasan terhadap Tuan Rexanda Adiwanga. Semua bukti percakapan telah direkam, dan bukti pengiriman uang telah dilakukan oleh beliau.”“Oleh beliau? Beliau siapa?” engah Marina menggeleng. “Ini sebuah kesalahan! Aku tidak melakukan apa pun!”“Itu, pria yang ada di depan restoran yang telah melaporkan kasus ini kepada kami sejak tadi malam.”Dua lelaki bertubuh besar menggeser posisi mereka agar Marina bisa melihat siapa yang dimaksud. Mata wanita licik itu tebelalak saat memandang siapa yang ada di depan pintu restoran.Rexanda berdiri di sana, merangkul Lyra dengan mesra. Keduanya menatap ke arah Marina sambil tersenyum puas. Kali ini, tidak akan ada lagi yang mengganggu rumah tangga mereka. “Selamat menikmati penjara sampai beberapa tahun ke depan!” seru Rex sambil memberikan kiss b

  • SIKSA BATIN ISTRI TUAN MUDA    Ch.86 Transaksi Dengan Marina

    “Pilihan apa yang kamu punya, hah? Mau hamil seorang diri? Mumpung kehamilanmu masih di awal, lebih baik punya suami supaya tidak malu!” bentak Harlan. “Kamu punya calon lebih baik?”Rex menghela panjang, “Sudahlah, Eva. Terima saja, kamu tidak ada pilihan lain. Kalau mencari lelaki yang sederajat dengan kita, mana ada yang mau?”Gadis itu menangis tersedu sembari menangkup wajahnya. Ia kembali didera perasaan sedang dihukum. Dulu selalu menghina Lyra orang kampung. Sekarang, dirinya pun akan memiliki suami orang kampung. Harlan mengembus berat, penuh beban, “Sudah, itu adalah yang terbaik. Minggu depan mereka datang ke rumah dan kalian akan menikah secara sederhana. Kita akan mengatakan pada orang-orang karena Mama sedang sakit, maka tidak jadi mengadakan pesta.”“Apa Papa sudah berhasil menemukan Ichad?” isak Eva masih berharap kekasihnya yang akan menikahi dia.“Polisi masih mencarinya. Tapi, saat ditemukan pun, kata polisi bukti penipuan adalah lemah. Kamu dengan sengaja dan sada

  • SIKSA BATIN ISTRI TUAN MUDA    Ch.85 Apakah Lyra Beruntung

    “Kurang ajar! Wanita siala4n!” Rex memaki layar ponselnya sendiri. “Bisa-bisanya kamu mengancamku!”Dengan terengah, ia segera menelepon Marina. “Bangs4t kamu, ya!”Namun, yang dimaki hanya tertawa santai, “Kamu yang bangs4t, Rex! Kamu dulu janji mau menikahi aku saat mengambil keperawananku. Masih ingat, tidak?”“Waktu itu, saat kamu menelanjangiku, kamu bilang … aku mencintaimu, Marina. Aku akan menikahimu, aku berjani. Dan aku percaya, aku serahkan kesucianku padamu. Nyatanya apa? Dua tahun berlalu, kamu justru meniduri pembantu sialan itu!” desis foto model seksi itu tersenyum culas. Rex terengah, “Kalau sampai kamu sebar video itu, aku akan membuat perhitungan denganmu, brengs3k! Aku tidak akan tinggal diam!” “Silakan saja, silakan buat perhitungan denganku. Kamu pikir aku takut? Biar semua teman-teman kita, biar semua keluargamu melihat kita sedang sama-sama telanjang. Aku mau tahu, apa kamu dan istri kampungan tercinta masih bisa hidup nyaman setelah itu?” tawa Marina makin t

  • SIKSA BATIN ISTRI TUAN MUDA    Ch.84 Balasan Setiap Perbuatan

    Mengurungkan niat untuk pergi ke restoran dan merayakan kehamilan Lyra, akhirnya justru mereka mengepak barang untuk kembali ke Jakarta. Kondisi Ajeng yang kritis membuat detak jantung Harlan dan Rex tidak bisa tenang.“Pak, Bu, maaf, karena kami harus segera kembali ke Jakarta siang ini juga. Nanti, saya akan kirim kontraktor kemari untuk memperbaiki rumah Bapak dan Ibu, ya,” pamit Rex sekaligus mengatakan itu semua saat mencium tangan kedua mertuanya.“Kontraktor untuk memperbaiki rumah? Tidak usah, Nak Rexanda. Bapak belum ada dananya. Lain kali saja, ya?” geleng Suripto menolak dengan gugup. “Saya yang menanggung biayanya. Bapak dan Ibu tenang saja dan tinggal menikmati rumah yang nanti lebih baik dari ini,” senyum Rex. Lyra yang ada di sebelahnya terbelalak, nyaris tak percaya.Ajeng menggeleng, “Aduh, jangan, Nak Rexanda. Nanti habisnya banyak. Sudah, yang penting Bapak dan Ibu titip Lyra saja. Perlakukan istrimu dengan baik dan penuh kasih sayang, itu sudah lebih dari cukup. K

  • SIKSA BATIN ISTRI TUAN MUDA    Ch.83 Dua Garis Biru

    Pagi yang berembun di kaki gunung, tempat Lyra tinggal selama beberapa hari ini. Seperti biasa, mereka semua sarapan pagi bersama. Namun, kali ini ada yang berbeda. “Hmmppp!” Lyra menutup mulutnya secara mendadak dan berlari ke kamar mandi. “Hmppff!” Suara muntah tertahan semakin intens terdengar.Narsih dan Suripto saling pandang, begitu juga Rex dan Harlan yang bertukar tatap dengan bingung. Tanpa disuruh, Tuan Muda Adiwangsa cepat berlari mengikuti langkah istrinya menuju kamar mandi. “Hoeeek! Hoeeek!”Lyra memuntahkan apa yang dia makan barusan. Rasa mual menghajarnya dengan cukup ekstrim pagi ini. Rexanda memasuki kamar mandi, membantu menyibak ke belakang rambut hitam tebal dan panjang milik sang istri.Lalu, ia bertanya, “Kamu masuk angin, Sayang?” Dengan khawatir memijit tengkuk wanita yang ia cintai.Lyra tidak menjawab, terus saja ia memuntahkan sarapan yang baru beberapa menit masuk ke dalam lambung. Suara terengah hebat terdengar dari bibirnya.“Panggil dokter, ya?” Rex

  • SIKSA BATIN ISTRI TUAN MUDA    Ch.82 Boleh Peluk Kamu?

    Tiga hari berlalu dan Lyra belum ada tanda-tanda akan luluh. Pagi keempat, saat sarapan bersama, wajah Rex terlihat pucat. Ia pun berkali-kali bersin dan berdehem. “Kamu sakit?” tanya Harlan melirik. “Cuma flu saja, Pa,” geleng Rex. “Tenggorokanku agak perih. Mungkin efek hawa dingin. Aku belum terbiasa.”“Di kamarmu ada AC yang selalu dipasang 18’, Mas. Apa iya kamu tidak tahan dingin?” sindir Lyra melirik dan tetap cemberut. Rex mengendikkan bahu, “Mungkin karena aku selalu tidur di lantai. Jadi, dinginnya lebih menusuk tulang.”“Nak Rex tidur di lantai? Ya, Tuhan! Lyra, kamu apa-apaan!” pekik Narsih terkejut. Lyra mendelik, menatap jengkel pada suaminya. Lalu, ia menoleh pada ibunya, “Kasur aku kan kecil, Bu. Mana muat dibuat tidur berdua? Jadi, ya, Mas Rex tidur di atas tikar.”Harlan terkikik, lalu menggeleng. ‘Sekarang kamu merasakan jadi orang susah, Rex!’“Tidak apa, Bu. Saya hanya flu biasa. Apa ada obat flu?” senyum Rex berusaha nampak sebagai menantu idaman yang tidak ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status