POV 3 (AUTHOR)Setelah tragedi panas yang terjadi pada malam itu, Putra sibuk mengurus perceraiannya dengan Maura.Siapa sangka seorang Putra yang jumawa dan mengaku bangga karena memiliki dua istri, kini harus menjadi duda dua kali dari dua perempuan yang berbeda, dan hal itu terjadi dalam waktu berdekatan. Apalagi yang bisa dia banggakan sekarang? Istri pertamanya yang memiliki hati seluas samudera serta kebaikan dan ketulusan yang tiada batas, telah di sia-siakannya. Hingga takdir harus membawanya untuk pergi dan tidak akan pernah kembali. Hanya penyeselan lah yang dia dapat.Lalu Maura, wanita cantik yang selalu dia puja akan kemolekan wajah dan tubuhnya, nyatanya tidaklah sebaik yang dia kira, tidaklah setulus sangkaannya. Kisah masa lalunya yang kelam dan belum usai, membuat kehidupan pernikahan mereka berakhir pula dengan perceraian.Setelah semua kehancuran yang terjadi pada kehidupannya, Putra memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya. Rumah yang sempat dia belik
SISA CINTA UNTUK ISTRIKU 1"Mas, pakaian untuk kerja aku gantung, celananya ada di rak paling atas. Pakaian dalam ada di lemari laci, ya. Jangan lupa." Selalu itu-itu saja yang dia ucapkan saat sedang berdua denganku di dalam kamar."Hmmh." Aku hanya memberikan jawaban singkat."Untuk baju sehari-hari aku menyimpannya di rak kedua dari atas. Semuanya sudah aku pisahkan, untuk memudahkan kamu mencarinya kalau nanti aku lagi gak ada di rumah." Lagi, ocehan yang tidak penting yang selalu dia ucapkan.Dulu, hal itulah yang membuatku jatuh cinta padanya. Dia selalu memperhatikanku bahkan hal-hal kecil tentang diriku. Akan tetapi, ocehan itu kini menjadi hal yang paling tidak ingin aku dengar, aku merasa jenuh, aku pikir dia sangat berlebihan.Sebenarnya dia istri yang sempurna, segala kebutuhanku disiapkan olehnya. Dari mulai baju kantor, makanan kesukaanku, dia juga termasuk pendengar yang baik saat aku ada masalah atau saat aku mengeluh tentang kelelahan yang kualami. Entah apa yang te
Malam ini kami lewati hanya dengan keheningan, tidak ada drama menangis ataupun emosi yang meledak-ledak dari istriku, Mutia.Seharusnya aku senang, karena tidak perlu membuang tenaga untuk berdebat dengannya, tapi hati kecilku sedikit kecewa. Reaksi yang ditunjukan mutia seolah menggambarkan bahwa dia tidak lagi takut kehilanganku. Apa dia pun sama sepertiku, tidak lagi memiliki rasa yang seharusnya ada dan menguatkan hubungan diantara kami. Ada sedikit rasa cemas yang tergambar dalam hati, batinku pun terus berkecamuk.Sebelumnya Mutia sangat cerewet, mulutnya tidak bisa diam. Ada saja hal yang di bicarakan olehnya, tapi setelah aku mengungkapkan perihal keinginanku untuk menikah lagi, tiba-tiba reaksi yang diberikan Mutia hanya diam seribu bahasa. Dia tidak mengatakan tentang apapun lagi padaku.Aku mengacak rambut frustasi, merasa bingung dengan yang terjadi pada diri sendiri. Setelah merasa lelah karena sibuk berkecamuk dengan pikiranku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk ti
"Mutia, apa yang kamu lakukan disini dan bersama orang asing ini?" Aku menghampiri istriku, kutinggalkan Maura dengan semua kantong belanjaan di tangannya."Mas Putra, ah, ini ... kenalkan, dia Aldiansyah, dia ...." "Tidak perlu, aku tidak ingin tau siapa namanya, untuk apa kamu bersama pria ini? Kamu ini wanita bersuami, tidak pantas jalan berdua dengan pria lain." Argh, entah mengapa aku begini, bukankah semalam aku mengatakan bahwa aku sudah tidak lagi mencintainya. Tapi lihatlah, mengapa ada hawa panas yang begitu cepat menjalar dalam diriku, membuat darah ini terasa bergejolak saat melihat Mutia sedang duduk betdua dengan seorang pria yang tak kukenali."Mas, tenanglah, aku bisa jelaskan." Mutia berdiri, meraih tanganku. Dia begitu tenang, tidak seperti sedang melakukan sebuah kesalahan, padahal jelas aku memergokinya jalan berdua dengan pria lain."Dia Aldiansyah, dia adalah ...." Mutia tersenyum sambil menoleh pada pria itu, tapi pria yang kudengar bernama Aldiansyah menggele
POV MutiaAkhir-akhir ini tubuhku sering merasa lelah, padahal hanya mengerjakan pekerjaan di rumah saja. Aku juga sering merasa nyeri di bagian perut, terasa seperti kram. Kejadian itu terus berulang, hingga puncaknya pada hari Minggu kedua bulan ini, aku benar-benar tidak kuat menahannya lagi.Ini masih pagi, aku mencoba untuk membangunkan Mas Putra yang tertidur lagi setelah shalat subuh, itu memang sudah menjadi kebiasaannya saat libur kerja. Bermaksud untuk memintanya mengantarkan aku ke dokter, tapi nihil, dia tidak bangun.Aku bingung dengan perubahan sikap Mas Putra, dia tidak peduli lagi padaku, sikapnya yang dulu begitu manis kini terasa sangat hambar, tidak ada lagi perhatian-perhatian kecil yang selalu dia berikan padaku.Aku tahu, sebenarnya dia menyadari bahwa beberapa hari terakhir ini aku tidak baik-baik saja. Tapi dia memilih untuk tidak peduli."Mas, apa kamu bisa mengantarku? Tolong aku, kali ini saja." Ucapku sambil menahan sakit."Hmmh, kamu pergi sendiri saja na
Ini sudah tiga hari sejak peristiwa malam itu. Dan selama tiga hari pula Mutia melayaniku tanpa banyak bicara. Baguslah, aku sudah bosan mendengarkan ocehan-ocehan tidak penting yang keluar dari mulutnya. Saat ini Mutia tidak akan memulai pembicaraan kalau bukan aku yang memulainya lebih dulu.Suasana rumah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ah, sepertinya bukan tenang, tapi sunyi seperti ada bagian yang hilang. Namun, rasanya tidak terlalu berarti.Mungkin sebenarnya dia marah padaku, makanya kecerewetan yang telah mendarah daging itu tiba-tiba hilang bak ditelan bumi, tapi biarkan saja. Aku ingin tahu, seberapa lama dia kuat untuk menahan dirinya. Aku yakin itu tidak akan berlangsung lama."Mas Putra, boleh temani aku minum teh?" tanyanya saat aku melewati Mutia yang sedang duduk di sofa.'Tuh, 'kan. Apa aku bilang, dia tidak akan kuat mendiamkanku terlalu lama. Buktinya Mutia duluan yang mengajakku menemaninya,' batinku jumawa."Tumben, kemarin-kemarin kamu seperti menghindar darik
Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun untuk mandi besar sebelum shalat subuh. Seperti biasa, Mutia sudah tidak ada di sampingku. Kini hanya bunyi alarm dari jam kecil yang senantiasa membangunkanku. Aku pikir Mutia akan kembali seperti dulu, membangunkanku dengan segala tingkah anehnya setelah semalam kami mereguk kembali manisnya cinta. Ternyata tidak, dia tetap jadi Mutia yang sekarang. Aku merasa kami hanya hidup serumah tapi tetap dengan urusan masing-masing. Mutia, sepertinya aku rindu kita yang dulu.Setelah mandi dan shalat, aku menyusul Mutia ke dapur. Aku tahu dia pasti berada di sana, kegiatan yang selalu dilakukannya selama menjadi istriku. Pagi-pagi menyiapkan sarapan dan segala kebutuhanku sebelum pergi ke kantor."Wah, sarapannya sudah siap." Aku berjalan mendekati Mutia.Mutia hanya tersenyum tipis, lalu menatapku dari atas hingga bawah."Kenapa liatin aku sampe segitunya?" tanyaku heran."Enggak, kamu udah siap? Padahal ini masih pagi.""Iya, ada yang harus di beresin
POV MutiaHari ini aku ada jadwal cek up, bertemu dengan Dokter Aldian Syahputra pukul sembilan pagi.Kalian jangan salah paham dulu, ternyata Dokter Aldian Syahputra itu adalah sepupu jauhku dari pihak almarhumah ibu yang aku ketahui hanya bernama Aldiansyah. Ternyata aku yang salah informasi.Memang turunannya sudah jauh, dan kami tinggal di kota yang berbeda membuat kami jarang bertemu satu sama lain, terakhir aku bertemu dengannya saat pternikahanku dengan Mas Putra dulu. Aku tidak tau dia berprofesi sebagai seorang dokter, aku juga terkejut saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit. Dia dipindah tugaskan ke rumah sakit di daerahku sudah hampir enam bulan. Saat ini Aldiansyah adalah dokter yang menanganiku.Ini hari Minggu, hari libur kerja, tapi entah kenapa Dokter Aldian menjadwalkan aku cek up hari ini. Harusnya dia juga libur dan berjalan-jalan bersama keluarga atau pasangan. Aneh bukan? Sebelum pergi aku menyiapkan sarapan untuk Mas Putra, aku melihatnya masih tidur