“Mas, tadi Tiara bikin rusuh,” lapor Mila pada Adnan sesaat setelah pulang kerja.
“Hmm... “
“Kok gitu doang sih jawabnya? Gak seru ah!” sungut Mila kesal.
“Mau dijawab gimana maunya?” tanya Adnan sedikit kesal.
Mila bersungut-sungut meninggalkan Adnan yang masih termangu di dalam kamar bingung. Ada-ada saja kelakuan istrinya. Ia hanya berusaha menjaga hati Mila, ia tidak ingin Mila tersakiti bila ia terlalu menanggapi obrolan tentang Tiara.
“Mas, makan malam sudah siap,” teriak Mila dari dapur. Bu Rini, mertua Mila datang ke dapur dengan menggandeng Mehra.
Inilah kelebihan Mila, ia mudah marah, tapi mudah pula luluh dengan sendirinya. Ia tidak bisa berlama-lama memendam sakit hati, apalagi dengan Adnan. Entah mengapa pesona Adnan sudah membutakan mata dan batin Mila.
Mila teringat, saat masih kuliah dulu, Adnan bersama temannya nekat menemuinya naik kereta. Dulu kereta belumlah nyaman seperti sekarang, mereka harus rela berdiri di toilet berjam-jam karena kereta yang sangat penuh. Karena kegigihan Adnan akhirnya Mila tetap melabuhkan hatinya pada Adnan, walaupun Adnan sudah menikah dengan Tiara.
Setelah selesai makan malam, mereka berkumpul di ruang keluarga, ada Adnan, bu Rini, Mehra, dan Mila sedang menyiapkan kopi untuk Adnan, dan teh hangat untuk mertuanya. Sedangkan Mehra, ia buatkan susu dalam botol, apabila sewaktu-waktu Mehra mengantuk, tak perlu repot lagi membuatkan susu.
“Adnan, si Tiara itu kenapa sih sebenarnya? Setiap itu habis ketemu sama dia, ibu selalu lemes. Detak jantung ibu jadi gak teratur. Tadi Ibu ingat, dia nyemprotin parfum ke baju ibu, setelah itu ibu gak inget. Tau-tau udah merem aja di kursi.” Bu Rini mengadu pada Adnan panjang lebar. Sebenarnya ia merasakan sesuatu yang tidak beres, tapi ia sendiri tidak tahu apa itu.
Adnan tersenyum pada Ibunya, lalu berkata, “ Buk, ibuk tenang aja. Gak usah berpikir macam-macam. Masalah Tiara biar jadi urusan kami. Yang penting Ibuk hati-hati kalau sedang bersama Tiara. Jangan langsung memakan, memakai, atau menerima.”
“Jujur sama ibuk, Adnan! Ada apa sebenarnya?” tanya bu Rini penasaran.
Adnan membuang napas dengan kasar, sebenarnya ia tidak ingin bercerita dengan ibunya masalah Tiara. Ia lebih suka ibunya tidak tahu apa pun, agar ia lebih leluasa menyembuhkan Ibunya.
“Dia ingin menghancurkan hubunganku dengan Mila, lewat Ibu.” Akhirnya lolos dari mulut Adnan ucapan itu. Ia terbiasa membicarakan semua hal kepada Ibunya, tidak ada yang ia tutupi.
Seperti saat masalah Adnan dan Mila santer menjadi gosip semua orang, Adnan berkata jujur pada Ibunya, bahwa ia lebih memilih Mila daripada mempertahankan hubungannya dengan Tiara. Bagi Adnan, cukup sudah hidupnya yang selalu terbelenggu dengan banyak aturan dari Tiara.
Bu Rini terkejut mendengar jawaban Adnan, kedua tangannya menutup mulut dan matanya melotot lebar.
“Benarkah? Tapi kenapa harus ibu?” tanya Bu Rini tidak percaya. Melihat dari penampilan Tiara sepertinya tidak mungkin ia melakukan itu. Sikapnya sangat baik padanya, akhir-akhir ini. Berbeda saat masih menjadi menantu bu Rini.
Adnan mengangguk, “Iya, Bu. Buktinya ibu selalu lemas setelah terkena pelet dari Tiara.
“Jahat sekali, Tiara. Padahal Ibuk selalu baik sama dia,” keluh bu Rini sedih, ia menunduk. Tak lama air mata mulai menetesi pipinya.
Mila segera merengkuh tubuh mertuanya ke dalam pelukan. Ia tidak tega melihat ibunya menangis, apalagi menangisi Tiara.
“Kita harus apa?” tanya Mila, pikirannya buntu tidak bisa berpikir normal.
Adnan tampak berpikir sejenak,” Aku akan memagari rumah ini, agar pelet atau ilmu Hitam apa pun tidak bisa masuk ke dalam rumah. Kalaupun masuk ia akan menjadi netral,” jelas Adnan, membuat bu Rini dan Mila sedikit lega.
“Kalau dia nekat merusak pagar gimana?” tanya Mila was-was, ia hanya takut Tiara akan nekat, karena Tiara sudah terlanjur masuk dan memakai ilmu Hitam.
“InsyaAllah kita tidak akan apa-apa. Kalaupun dia nekat, aku yang akan menghadapinya. Kalian jangan kuatir, kalian tahu siapa Adnan bukan?”
Ya, pagar yang Adnan maksud adalah pagar doa, yang berguna untuk melindungi penghuni rumah dari serangan ilmu Hitam. Pagar doa ini bermacam-macam jenis dan durasinya. Ada yang bertahan hanya berapa bulan, harus segera diperbarui lagi, ada juga yang bisa bertahan sampai beberapa tahun.
Untuk rumahnya sendiri, Adnan akan menggunakan yang sedang, artinya beberapa bulan ia akan memperbaruinya dengan doa-doa.
Saat tiba tengah malam, Adnan sibuk menggunting kain Mori yang selalu ia simpan di lemari, diguntingnya beberapa bagian, ada yang berukuran 3 cm x 6 cm ada pula ukuran yang lebih besar, sekitar 10 cm x 15 cm. Setelah mencapai jumlah yang ia butuhkan, Adnan menulis doa-doa pada setiap lembar potongan kain Mori.
Setelah semua selesai, Adnan melipat semuanya dan memaku kain Mori yang ukuran kecil di atas pintu. Semua tak luput Adnan pasang. Potongan besar nanti akan ia kuburkan di sekeliling rumah. Saat memasang mulutnya tidak berhenti komat-kamit membacakan doa. Ia berharap setelah ini Ibunya tidak lagi terkena pelet atau apapun dari Tiara.
Adnan duduk di teras setelah semua selesai ia pasang. Tangannya masih kotor terkena tanah saat ia mengubur potongan kain Mori yang besar. Pikirannya menerawang, teringat saat dulu ia masih menjadi suami Tiara, tak sekalipun Tiara menghormatinya sebagai suami. Berbeda jauh dengan Mila yang sangat menjaga mulutnya agar tidak menyakiti hatinya.
“Kalau sudah, lekas tidur, Mas.” Mila mengingatkan Adnan, karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 malam.
“Iya, Sayang.”
.
.
“Yah, aku gak mau tahu. Pokoknya malam ini juga, buat mereka sakit! Aku gak terima dengan perlakuan mereka semua!” adu Tiara pada Ayahnya.
Kebetulan pak Surya memiliki sedikit kemampuan untuk melumpuhkan orang, sudah banyak orang dari luar kota meminta bantuannya untuk mengirim guna-guna pada orang yang dibenci. Seperti kemarin saat Tiara pergi kerumah Adnan, semua yang Tiara bawa sudah ia beri mantra.
“Kenapa lagi mereka?” tanya pak Surya heran. Sebenarnya ia pun sakit hati dengan Adnan, ingin membalaskan sakit hati kepada mereka. Namun, pak Surya tahu Adnan bukanlah orang sembarangan. Salah sedikit ia bisa mati melawan Adnan, pak Surya tahu Adnan tidak bekerja sendiri. Ada guru dan teman-temannya yang melindungi Adnan dari belakang.
“Aku sebel, Yah, pokoknya. Bikin mereka sakit atau apalah. Yang penting susah! Biar aku bisa mencari muka di depan mas Adnan lagi,” rengek Tiara pada Ayahnya yang masih terdiam memikirkan sesuatu.
“Ayah hanya takut Adnan akan membalas, Tiara.” Tolak pak Surya, hatinya sangat bimbang, di satu sisi ia tidak terima Tiara bersedih karena ulah mereka, tapi di satu sisi ia masih memikirkan keselamatannya sendiri. Seperti makan buah simalakama.
“Tiara jamin Mas Adnan tidak akan membalas, ada Nando di sini. Ayah tenang saja. Aku tahu dia tidak akan tega melihat anaknya ku siksa.” Tiara menyeringai tajam, menakutkan.
“Kau yakin?” tanya pak Surya memastikan.
Tiara mengangguk meyakinkan ayahnya, ia akan sangat senang melihat keluarga mereka menderita, terutama Mila!
Saat tengah malam, pak Surya sudah duduk di kamar khusus yang biasa ia gunakan untuk mengirimkan guna-guna, tempat biasa ia menerima klien. Di depannya terdapat dupa, dan air bunga tujuh rupa.
Mata pak Surya terpejam, mulutnya terus mengucapkan mantra. Sesekali ia menaburkan garam ke dalam cawan yang berisi bunga tujuh rupa.
Di tempat yang berbeda, Adnan terkejut genting rumahnya berbunyi seperti ada yang melempar batu. Seketika matanya terpejam, dalam penerawangan Adnan ia melihat pak Surya, ayah Tiara sedang membuat masalah dengannya.
“Dasar pak tua sialan!” umpat Adnan, ia segera bangun dari tidurnya, lalu pergi ke kamar mndi untuk mengambil air wudhu.
Setelah itu Adnan duduk di kamar khusus untuk salat, ia melaksanakan sholat sunah 2 rakaat, begitu selesai Adnan duduk bersila, matanya terpejam, mulutnya tak berhenti membacakan doa-doa.
Cahaya merah lagi-lagi datang menjatuhi rumah Adnan, sebelumnya cahaya merah yang datangnya dari pak Surya itu berubah menjadi kerikil, karena gagal masuk rumah Adnan yang kebetulan sudah ada di kelilingi pagar doa.
Kali ini keluarlah cahaya putih yang keluar dari rumah Adnan, dua cahaya itu saling bersahutan seolah sedang menyerang satu sama lain. Berkali-kali cahaya merah itu hampir mengenai rumah Adnan, beruntung cahaya putih itu sigap menghalau membuatnya menjauh dari atap rumah.
Pak Surya berkali-kali mengumpat kasar, kuat sekali kekuatan Adnan menghalau santet yang ia kirimkan. Keringat mulai membanjiri tubuh pak Surya, hampir saja ia menyerah. Namun, saat mengingat sakit hati Tiara, semangat untuk menyakiti Adnan dan keluarganya berkobar.
Keadaan Adnan tidak berbeda jauh dengan pak Surya, tubuhnya mulai banjir oleh keringat, ia berusaha mati-matian mempertahankan keselamatan keluarganya. Dengan menggunakan seluruh kekuatannya tiba-tiba terdengar suara.
Duar! Klatak klatak!
Alhamdulillah sihir itu telah berubah menjadi batu.
“Alhamdulillah, maafkan aku pak. Jangan salahkan aku kali ini! Kalau bukan kamu yang memulai aku tidak ingin mencelakaimu,” gumam Adnan bersedih.
Adnan paham pak Surya sebenarnya enggan membuat masalah dengannya, mungkin keadaan yang memaksa pak Surya nekat mencelakai Adnan dan keluarganya.
Segera Adnan merebahkan diri di atas sajadah, tubuhnya lemas setelah pertarungan sengit barusan.
Di tempat yang berbeda, Tiara menjerit melihat keadaan ayahnya.
“Ayah, apa yang terjadi dengan ayah?” teriak Tiara pilu, menatap keadaan Ayahnya.
Apa yang terjadi dengan Ayah Tiara?
“Ayah kenapa, Yah?” Teriak Tiara histeris, dilihatnya mulut pak Surya mengeluarkan banyak darah, dan tubuhnya terlihat sangat lemas. Tubuhnya sudah terjerembap ke belakang saat Tiara masuk.“Ayah!” Panggil Tiara, berkali-kali ia menepuk pipi Ayahnya yang mulai terpejam. Kali ini ia mengguncang tubuh pak Surya, tapi tetap saja matanya tertutup.Dengan jantung yang berdebar ia mengecek nadi ayahnya, ‘Alhamdulillah, masih hidup’ batin Tiara. Segera ia keluar mencari bantal, air dalam wadah, dan handuk. Setelah mendapatkan itu semua, Tiara menaruh bantal di kepala pak Surya, tak lupa ia menyeka darah yang keluar dari mulutnya menggunakan handuk. Setelah lumayan bersih, Tiara mengambil selimut untuk pak Surya.“Awas kalian, aku akan membuat perhitungan dengan kalian!” sungut Tiara. Ia kembali ke kamarnya meninggalkan ayahnya yang sedang tertidur. Entah apa yang sakit dalam diri pak Surya, Tiara belum tahu, karena kejadian tadi seketika membuat ayahnya seketika pingsan.Setibanya di kamar,
“Bu Tiara, apakah benar, Ibu bikin masalah sama Rara?” tanya Bu Syida pada Tiara yang masih terdiam sejak selesai mengajar di kelas X A, ia masih terus memikirkan ucapan Rara yang akan mengadukan masalah tadi pada Papanya.Tiara mengangguk ragu, lalu berucap,” Saya lepas kontrol, Bu.”Bu Syida menghela napas kasar, pasti akan ada masalah besar terjadi setelah ini. Semua tahu, sekali Rara berucap, Papanya akan mengabulkan semua keinginannya.“Bu Tiara harus segera meminta maaf pada Rara sebelum dia mengadu Pak Raharjo,” saran Bu Syida cemas, saat ini mereka sedang berada di ruang guru. Tidak banyak guru yang berada di ruangan ini, karena waktu masih menunjukkan jam pelajaran.“Tidak, Bu! Saya tidak bersalah. Kenapa saya yang harus meminta maaf?” tanya Tiara sengit, ia tidak sudi meminta maaf pada anak bau kencur macam Rara.“Apakah Bu Tiara tidak memikirkan kelanjutan yayasan ini tanpa sumbangan dari pak Raharjo?” timpal Bu Syida tak kalah sengit, andaikan Pak Raharjo menyetop sumbanga
“Kita mau kemana sih?” Tanya Tiara penasaran. Pasalnya jalan yang Arya lewati adalah jalan menuju kota sebelah, tidak seperti biasanya. Tumben sekali Arya mengajaknya keluar kota, apa yang ingin Arya tunjukkan padanya?“Rahasia, pasti kamu akan suka,” jawaban Arya membuat Tiara semakin penasaran.“Kasih tahu kenapa sih, aku kepo,” rengek Tiara manja.“Aku kasih petunjuk, tempat ini berada di atas bukit,” ucap Arya terus menatap jalan.Tiara berpikir sejenak,” Ke taman langit kah?”Arya hanya tersenyum misterius, tanpa sadar ia mengecek k*ndom yang berada di saku celananya. Aman!Arya menyeringai, ia harap semuanya akan berjalan lancar. Mengingat desahan Tiara membuat Arya semakin tidak sabar untuk mencapai tujuan. Hasratnya ingin segera dituntaskan.Tiara tidak menyadari, bahwa ini adalah awal dari kehancuran hidupnya.Di lain tempat, Adnan nampak gelisah. Berkali-kali ia melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi Tiara belum terlihat barang hidungnya. Biasany
“Dari mana aja kamu semalam?” bentak pak Suryo pada Tiara yang baru saja datang. Tentu saja Pak Suryo marah, karena Tiara pulang esok paginya. Itu pun sudah siang, pukul 9 pagi Tiara baru datang.Tiara menunduk tidak berani menatap ayahnya yang sedang marah. Ia tahu, ia salah. Tapi bukan salah Tiara sepenuhnya. Ia tidak tahu, kejutan yang Arya maksud adalah pesta miras.Bangun tidur tadi, Tiara terkejut mendapati tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Ia melihat Arya dan teman-temannya pun sama, polos tanpa baju. Tubuhnya bergetar, ia menatap nanar tubuhnya dan mereka bergantian, ‘Mungkinkah mereka melakukan itu denganku? Bergantian?’ batin Tiara jijik dengan dirinya sendiri.Sepagian ia menangis, menangisi kebodohannya yang mudah terpedaya oleh Arya. Ia merasa dirinya lebih rendah dari pelac*r. Tubuhnya digilir tanpa bayaran, sedangkan pelac*r masih mendapatkan uang.Setelah membangunkan Arya dengan susah payah, akhirnya mereka pulang. Walau sebelumnya sudah diwarnai dengan ce
“Yah, tolong buat ibu Mas Adnan sakit!” ucap Tiara seketika membuat Pak Suryo melotot menatapnya.“Ada apa lagi?” tanya pak Suryo mengernyit.Tiara cemberut lalu menghentakkan kakinya. Ia duduk di samping ayahnya.“Aku sakit hati ayah, masak dia ngata-ngatain aku sih,” sungut Tiara.“Bu Rini? Masak dia ngata-ngatain kamu?” tanya pak Suryo gemas, ia paling tidak suka ada anggota keluarganya yang dihina orang lain. Siapapun itu harus mendapatkan balasannya, minimal sakit.“Masak dia bilang aku gak becus jaga anak, pake bilang aku perempuan gak bener, Yah.” Tentu saja Tiara menambahkan bumbu setiap kata yang ia keluarkan.“Lalu apa lagi?” tanya Pak Suryo.“Mereka bilang aku murahan, Yah. Dan mereka akan menuntut hak asuh Nando.” Dalam hati Tiara tersenyum bahagia, karena sepertinya ayahnya mulai terpengaruh lagi. Tiara tidak jera dan sangat tega melihat ayahnya kesakitan, ia tahu ayahnya pasti kalah melawan Adnan, tapi apa salahnya dicoba? Kita tidak tahu, keberhasilan biasanya akan sete
“Kalau begitu, ayo kita berhubungan serius, agar kamu tidak sungkan memanggilku.”Ucapan pak Raharjo membuat Tiara seketika terdiam. Ia tidak mengira wali muridnya ini memintanya berhubungan serius. Ia melirik wajah pak Raharjo, hatinya bimbang, di satu sisi ia masih mempunyai hubungan dengan Arya, tapi pak Raharjo memiliki segalanya. Tiara sungguh di lema.“Bagaimana?” tanya pak Raharjo lagi, sepertinya dia bukanlah orang yang sabar. Tidak tahukah dia, saat ini Tiara sedang bingung harus menjawab apa?“Maaf sebelumnya, Pak. Bolehkah saya memikirkan dulu, tidak mungkin saya menjawab sekarang.” Tiara mengulas senyum,Pak Raharjo seketika meleleh mendapatkan senyuman dari Tiara. Mungkin dia tidak sadar, bahwa dia masuk perangkap Tiara.“Baiklah, tapi jangan lama-lama. Aku ingin jawaban yang memuaskan secepatnya.” Tangan pak Raharjo menggenggam jemari Tiara dengan erat, seolah tidak ingin kehilangan.Tiara mengangguk dan mengulas senyum, sebelum akhirnya ia menunduk. Tiara menyeringai, m
[Aku akan menyebarkan video ini ke publik! ]Di bawah pesan itu masuk sebuah video yang membuat Tiara sangat syok, ia membanting ponselnya dengan marah.“Kurang ajar Arya, ternyata diam-diam dia merekam kejadian di hotel itu, sialan!” geram Tiara, ia takut video itu tersebar ke publik. Bisa gagal rencana dia untuk mendekati pak Raharjo, ia tidak mau kehilangan tambang uang yang sudah pasti di depan mata.“Aku harus menemui Arya. Harus!” Tekat Tiara, ia belum siap kehilangan Arya, dan kesempatan dekat dengan Pak Raharjo.Esoknya Tiara melakukan kegiatan seperti biasa, tadi pagi ia sudah mengabari Arya, bahwa ia ingin bertemu setelah mengajar. Tiara harus meyakinkan Arya bahwa ia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan pak Raharjo.Hari ini Tiara memiliki jadwal mengajar di kelas XA lagi, kelas Rara, anak satu-satunya dari Pak Raharjo. Sedikit grogi, Tiara memantapkan diri berjalan menuju kelas XA, kelas paling ujung. Ia berharap Rara belum mengetahui kedekatannya dengan pak Raharjo.Men
“Mama... “ Teriak Nando melihat Tiara datang menjemputnya.Bu Rini, ibu Adnan mengantarkan Nando sampai depan rumah menemui Tiara. Sedangkan Mila dan Adnan tetap berada di dalam rumah. Malas sekali mereka menemui Tiara, apalagi Adnan dalam keadaan emosi, bagaimana mungkin Tiara tega mengantar Nando ke rumahnya saat Ibunya sedang kesakitan karena ulah ayah Tiara?Tiara menciumi Nando dengan sayang, lalu ia segera menghampiri Bu Rini untuk segera berpamitan. Karena malam ini ia ada janji bertemu dengan pak Raharjo.“Tiara pamit dulu, Bu.” Bu Rini menampik tangan Tiara saat ia akan mengalami tangan Bu Rini.Tiara terkejut dan menganga,” Kenapa Bu? Apa salah Tiara?”“Tidak ada, hanya saja Ibu tidak mau tangan ibu terkontaminasi dengan keluguan kamu yang ternyata palsu!” tanpa menoleh, Bu Rini segera masuk ke dalam rumah, setelah sebelumnya mencium pipi Nando.Tinggallah Tiara yang menatap penuh kebencian pada mantan mertuanya itu. Kebencian itu semakin menumpuk di dalam hati Tiara. Pantas