Share

Bab 6

“Mas, tadi Tiara bikin rusuh,” lapor Mila pada Adnan sesaat setelah pulang kerja.

“Hmm... “

“Kok gitu doang sih jawabnya? Gak seru ah!” sungut Mila kesal.

“Mau dijawab gimana maunya?” tanya Adnan sedikit kesal.

Mila bersungut-sungut meninggalkan Adnan yang masih termangu di dalam kamar bingung. Ada-ada saja kelakuan istrinya. Ia hanya berusaha menjaga hati Mila, ia tidak ingin Mila tersakiti bila ia terlalu menanggapi obrolan tentang Tiara.

“Mas, makan malam sudah siap,” teriak Mila dari dapur. Bu Rini, mertua Mila datang ke dapur dengan menggandeng Mehra.

Inilah kelebihan Mila, ia mudah marah, tapi mudah pula luluh dengan sendirinya. Ia tidak bisa berlama-lama memendam sakit hati, apalagi dengan Adnan. Entah mengapa pesona Adnan sudah membutakan mata dan batin Mila.

Mila teringat, saat masih kuliah dulu, Adnan bersama temannya nekat menemuinya naik kereta. Dulu kereta belumlah nyaman seperti sekarang, mereka harus rela berdiri di toilet berjam-jam karena kereta yang sangat penuh. Karena kegigihan Adnan akhirnya Mila tetap melabuhkan hatinya pada Adnan, walaupun Adnan sudah menikah dengan Tiara.

Setelah selesai makan malam, mereka berkumpul di ruang keluarga, ada Adnan, bu Rini, Mehra, dan Mila sedang menyiapkan kopi untuk Adnan, dan teh hangat untuk mertuanya. Sedangkan Mehra, ia buatkan susu dalam botol, apabila sewaktu-waktu Mehra mengantuk, tak perlu repot lagi membuatkan susu.

“Adnan, si Tiara itu kenapa sih sebenarnya? Setiap itu habis ketemu sama dia, ibu selalu lemes. Detak jantung ibu jadi gak teratur. Tadi Ibu ingat, dia nyemprotin parfum ke baju ibu, setelah itu ibu gak inget. Tau-tau udah merem aja di kursi.” Bu Rini mengadu pada Adnan panjang lebar. Sebenarnya ia merasakan sesuatu yang tidak beres, tapi ia sendiri tidak tahu apa itu.

Adnan tersenyum pada Ibunya, lalu berkata, “ Buk, ibuk tenang aja. Gak usah berpikir macam-macam. Masalah Tiara biar jadi urusan kami. Yang penting Ibuk hati-hati kalau sedang bersama Tiara. Jangan langsung memakan, memakai, atau menerima.”

“Jujur sama ibuk, Adnan! Ada apa sebenarnya?” tanya bu Rini penasaran.

Adnan membuang napas dengan kasar, sebenarnya ia tidak ingin bercerita dengan ibunya masalah Tiara. Ia lebih suka ibunya tidak tahu apa pun, agar ia lebih leluasa menyembuhkan Ibunya.

“Dia ingin menghancurkan hubunganku dengan Mila, lewat Ibu.” Akhirnya lolos dari mulut Adnan ucapan itu. Ia terbiasa membicarakan semua hal kepada Ibunya, tidak ada yang ia tutupi.

Seperti saat masalah Adnan dan Mila santer menjadi gosip semua orang, Adnan berkata jujur pada Ibunya, bahwa ia lebih memilih Mila daripada mempertahankan hubungannya dengan Tiara. Bagi Adnan, cukup sudah hidupnya yang selalu terbelenggu dengan banyak aturan dari Tiara.

Bu Rini terkejut mendengar jawaban Adnan, kedua tangannya menutup mulut dan matanya melotot lebar.

“Benarkah? Tapi kenapa harus ibu?” tanya Bu Rini tidak percaya. Melihat dari penampilan Tiara sepertinya tidak mungkin ia melakukan itu. Sikapnya sangat baik padanya, akhir-akhir ini. Berbeda saat masih menjadi menantu bu Rini.

Adnan mengangguk, “Iya, Bu. Buktinya ibu selalu lemas setelah terkena pelet dari Tiara.

“Jahat sekali, Tiara. Padahal Ibuk selalu baik sama dia,” keluh bu Rini sedih, ia menunduk. Tak lama air mata mulai menetesi pipinya.

Mila segera merengkuh tubuh mertuanya ke dalam pelukan. Ia tidak tega melihat ibunya menangis, apalagi menangisi Tiara.

“Kita harus apa?” tanya Mila, pikirannya buntu tidak bisa berpikir normal.

Adnan tampak berpikir sejenak,” Aku akan memagari rumah ini, agar pelet atau ilmu Hitam apa pun tidak bisa masuk ke dalam rumah. Kalaupun masuk ia akan menjadi netral,” jelas Adnan, membuat bu Rini dan Mila sedikit lega.

“Kalau dia nekat merusak pagar gimana?” tanya Mila was-was, ia hanya takut Tiara akan nekat, karena Tiara sudah terlanjur masuk dan memakai ilmu Hitam.

“InsyaAllah kita tidak akan apa-apa. Kalaupun dia nekat, aku yang akan menghadapinya. Kalian jangan kuatir, kalian tahu siapa Adnan bukan?”

Ya, pagar yang Adnan maksud adalah pagar doa, yang berguna untuk melindungi penghuni rumah dari serangan ilmu Hitam. Pagar doa ini bermacam-macam jenis dan durasinya. Ada yang bertahan hanya berapa bulan, harus segera diperbarui lagi, ada juga yang bisa bertahan sampai beberapa tahun.

Untuk rumahnya sendiri, Adnan akan menggunakan yang sedang, artinya beberapa bulan ia akan memperbaruinya dengan doa-doa.

Saat tiba tengah malam, Adnan sibuk menggunting kain Mori yang selalu ia simpan di lemari, diguntingnya beberapa bagian, ada yang berukuran 3 cm x 6 cm ada pula ukuran yang lebih besar, sekitar 10 cm x 15 cm. Setelah mencapai jumlah yang ia butuhkan, Adnan menulis doa-doa pada setiap lembar potongan kain Mori.

Setelah semua selesai, Adnan melipat semuanya dan memaku kain Mori yang ukuran kecil di atas pintu. Semua tak luput Adnan pasang. Potongan besar nanti akan ia kuburkan di sekeliling rumah. Saat memasang mulutnya tidak berhenti komat-kamit membacakan doa. Ia berharap setelah ini Ibunya tidak lagi terkena pelet atau apapun dari Tiara.

Adnan duduk di teras setelah semua selesai ia pasang. Tangannya masih kotor terkena tanah saat ia mengubur potongan kain Mori yang besar. Pikirannya menerawang, teringat saat dulu ia masih menjadi suami Tiara, tak sekalipun Tiara menghormatinya sebagai suami. Berbeda jauh dengan Mila yang sangat menjaga mulutnya agar tidak menyakiti hatinya.

“Kalau sudah, lekas tidur, Mas.” Mila mengingatkan Adnan, karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 malam.

“Iya, Sayang.”

.

.

“Yah, aku gak mau tahu. Pokoknya malam ini juga, buat mereka sakit! Aku gak terima dengan perlakuan mereka semua!” adu Tiara pada Ayahnya.

Kebetulan pak Surya memiliki sedikit kemampuan untuk melumpuhkan orang, sudah banyak orang dari luar kota meminta bantuannya untuk mengirim guna-guna pada orang yang dibenci. Seperti kemarin saat Tiara pergi kerumah Adnan, semua yang Tiara bawa sudah ia beri mantra.

“Kenapa lagi mereka?” tanya pak Surya heran. Sebenarnya ia pun sakit hati dengan Adnan, ingin membalaskan sakit hati kepada mereka. Namun, pak Surya tahu Adnan bukanlah orang sembarangan. Salah sedikit ia bisa mati melawan Adnan, pak Surya tahu Adnan tidak bekerja sendiri. Ada guru dan teman-temannya yang melindungi Adnan dari belakang.

“Aku sebel, Yah, pokoknya. Bikin mereka sakit atau apalah. Yang penting susah! Biar aku bisa mencari muka di depan mas Adnan lagi,” rengek Tiara pada Ayahnya yang masih terdiam memikirkan sesuatu.

“Ayah hanya takut Adnan akan membalas, Tiara.” Tolak pak Surya, hatinya sangat bimbang, di satu sisi ia tidak terima Tiara bersedih karena ulah mereka, tapi di satu sisi ia masih memikirkan keselamatannya sendiri. Seperti makan buah simalakama.

“Tiara jamin Mas Adnan tidak akan membalas, ada Nando di sini. Ayah tenang saja. Aku tahu dia tidak akan tega melihat anaknya ku siksa.” Tiara menyeringai tajam, menakutkan.

“Kau yakin?” tanya pak Surya memastikan.

Tiara mengangguk meyakinkan ayahnya, ia akan sangat senang melihat keluarga mereka menderita, terutama Mila!

Saat tengah malam, pak Surya sudah duduk di kamar khusus yang biasa ia gunakan untuk mengirimkan guna-guna, tempat biasa ia menerima klien. Di depannya terdapat dupa, dan air bunga tujuh rupa.

Mata pak Surya terpejam, mulutnya terus mengucapkan mantra. Sesekali ia menaburkan garam ke dalam cawan yang berisi bunga tujuh rupa.

Di tempat yang berbeda, Adnan terkejut genting rumahnya berbunyi seperti ada yang melempar batu. Seketika matanya terpejam, dalam penerawangan Adnan ia melihat pak Surya, ayah Tiara sedang membuat masalah dengannya.

“Dasar pak tua sialan!” umpat Adnan, ia segera bangun dari tidurnya, lalu pergi ke kamar mndi untuk mengambil air wudhu.

Setelah itu Adnan duduk di kamar khusus untuk salat, ia melaksanakan sholat sunah 2 rakaat, begitu selesai Adnan duduk bersila, matanya terpejam, mulutnya tak berhenti membacakan doa-doa.

Cahaya merah lagi-lagi datang menjatuhi rumah Adnan, sebelumnya cahaya merah yang datangnya dari pak Surya itu berubah menjadi kerikil, karena gagal masuk rumah Adnan yang kebetulan sudah ada di kelilingi pagar doa.

Kali ini keluarlah cahaya putih yang keluar dari rumah Adnan, dua cahaya itu saling bersahutan seolah sedang menyerang satu sama lain. Berkali-kali cahaya merah itu hampir mengenai rumah Adnan, beruntung cahaya putih itu sigap menghalau membuatnya menjauh dari atap rumah.

Pak Surya berkali-kali mengumpat kasar, kuat sekali kekuatan Adnan menghalau santet yang ia kirimkan. Keringat mulai membanjiri tubuh pak Surya, hampir saja ia menyerah. Namun, saat mengingat sakit hati Tiara, semangat untuk menyakiti Adnan dan keluarganya berkobar.

Keadaan Adnan tidak berbeda jauh dengan pak Surya, tubuhnya mulai banjir oleh keringat, ia berusaha mati-matian mempertahankan keselamatan keluarganya. Dengan menggunakan seluruh kekuatannya tiba-tiba terdengar suara.

Duar! Klatak klatak!

Alhamdulillah sihir itu telah berubah menjadi batu.

“Alhamdulillah, maafkan aku pak. Jangan salahkan aku kali ini! Kalau bukan kamu yang memulai aku tidak ingin mencelakaimu,” gumam Adnan bersedih.

Adnan paham pak Surya sebenarnya enggan membuat masalah dengannya, mungkin keadaan yang memaksa pak Surya nekat mencelakai Adnan dan keluarganya.

Segera Adnan merebahkan diri di atas sajadah, tubuhnya lemas setelah pertarungan sengit barusan.

Di tempat yang berbeda, Tiara menjerit melihat keadaan ayahnya.

“Ayah, apa yang terjadi dengan ayah?” teriak Tiara pilu, menatap keadaan Ayahnya.

Apa yang terjadi dengan Ayah Tiara?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status