Share

Bab 5

“Ibu, kenapa?” tanyaku bingung dengan perubahan Ibu.

Kulihat Tiara tersenyum sinis melihatku. Ah, sepertinya ada yang ia rencanakan.

“Apa kamu lihat-lihat?” teriak Ibu, matanya kini memerah, menatapku nyalang. Ada apa dengan Ibu?

“Apa yang terjadi pada Ibu?” Aku berlari menghampiri Ibu, kuteliti semua anggota tubuh Ibu, mungkin saja ada yang sakit atau apa.

Namun, aku terkejut, Ibu menampik tanganku. Lalu mendorongku hingga aku terjatuh. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Mehra. Aku meringis, bokongku sakit sekali rasanya. Segera aku berdiri sambil terus mengelus bokongku yang sakit.

“Gak usah pegang-pegang, najis!” hardik Ibu padaku, jangan-jangan Ibu kena pelet lagi? Ya Allah, menyusahkan sekali sih.

“Bu, ini aku Mila. Menantu Ibu!” seruku berusaha mendekati Ibu lagi.

“Gak usah dekat-dekat, pergi kamu. Lebih bagus kamu pergi dari rumah ini sekalian!” teriak Ibu, ya Allah, kasihan sekali Ibu, bagaikan kalau nanti fisik Ibu lemas lagi?

Aku berhenti, kutatap Tiara yang terus menatapku sinis.

“Apa yang Mbak lakukan pada Ibu?” tanyaku tegas, aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan Tiara.

“Yang aku lakukan adalah yang seharusnya aku lakukan dari dulu!” jawab Tiara dengan pongah. Menyebalkan sekali dia.

Aku memejamkan mata sejenak, tidak berhenti hati ini terus mengucap istighfar. Berharap sedikit melonggarkan sesak di dada melihat perbuatan Tiara.

“Kamu jahat, Mbak! Ibu bisa sakit kalau seperti ini terus.”

Tiara mendecih,” Salah siapa kamu mengambil suamiku.”

Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Benar apa yang dikatakan Tiara, tapi kenapa sangat menyakitkan? Inginku berkata bahwa semua bukan sepenuhnya salahku. Ini kesalahan bersama, kesalahan kami bertiga. Aku, mas Adnan, dan Tiara. Tidaklah ia instropeksi diri? Apa alasan mas Adnan memilihku?

“Itu... “ Aku tidak mampu membalas ucapan Tiara. Sepertinya dia memiliki daya magis tersendiri, yang mampu membuat lawan bicaranya tidak berkutik.

“Gak bisa jawab, kan?” sindir Tiara, bibirnya terangkat sebelah. Menyebalkan!

“Bukan maksudku... “ Ah sial! Kenapa mulutku susah untuk berbicara.

“Jadi orang jangan asal ambil suami orang!” teriak Tiara, kulihat Ibu ikut menatapku sinis, kadang memalingkan wajah seolah tidak ingin menatap wajahku.

“Ada apa jni? Kok ramai sekali,” tanya Mbak Resti, dia adalah sepupu mas Adnan. Rumahnya bersebelahan dengan rumah ini. Suara Tiara melengking, wajar saja Mbak Resti mendengar keributan di rumah ini.

“Mila harusnya pergi dari rumah ini!” Ibu menjawab pertanyaan Mbak Resti dengan lantang, tatapannya menyiratkan kebencian yang mendalam padaku. Sakit sekali rasanya.

“Enggak gitu, Mbak. Tiba-tiba Ibu jadi aneh seperti ini. Aku juga gak tau.” Ku gelengkan kepala, meyakinkan Mbak Resti ketidaktahuanku dengan apa yang terjadi.

“Kamu memang pantas pergi dari sini!” hardik Tiara

Sungguh menyakitkan, rasanya hati ini tercabik-cabik dengan ucapan Tiara. Tidakkah ia sadar, dulu ia sangat jahat dengan Ibu? Tiara tidak sepatutnya mengatakan siapa yang pantas di rumah ini.

“Sudah, malu dilihat tetangga. Semua keluar mendengar suara dari rumah ini,” jelas Mbak Resti.

“Tapi aku beneran gak tahu Ibu kenapa.” Aku mengusap air mata yang mulai membasahi pipi. Kenapa aku tidak berdaya, Ya Allah.

“Ibu kenapa Ra?” Mbak Resti menoleh Tiara, sedangkan yang ditoleh membuang muka sambil mencebik.

“Sejak awal Ibu gak suka sama dia, Ibu pengennya dia pergi dari sini. Eh... Malah gak nyadar!” hina Tiara menunjukku dengan dagunya.

Kulihat Mbak Resti mengernyitkan dahi, heran. Wajar heran, setahu dia kami baik-baik saja. Aku dan Ibu tidak pernah bertengkar, Ibu selalu memperlakukan aku dengan baik.

“Biasanya mereka baik-baik saja, Ra,” seru mbak Resti.

“Halah, baik apa. Ini tanya Ibu sendiri.” Dagu Tiara mengarah pada Ibu, sepertinya ia merasa di atas awan karena Ibu sudah ia pengaruhi, dan aku sama sekali tidak bisa membela diri.

“Budhe gak suka Mila jadi menantuku, Res. Aku ingin dia pergi, muak sekali dilihat,” cemooh mertuaku.

Tak terasa aku menitikkan air mata, walau aku tahu itu bukan murni yang ingin Ibu ucapkan dari hati. Namun, tetap saja menyakitkan.

“Istighfar Budhe, Resti tahu ini bukan Budhe biasanya,” ujar mbak Resti sambil mengelus lengan mertuaku.

‘Ayolah, Bu. Sadarlah' batinku berharap.

“Mbak Resti denger sendiri kan? Jadi gak usah bilang ini bukan Ibu biasanya. Sudah usir aja Mila sekarang!”

“Cukup Tiara! Diam kamu!” hardik Mbak Resti sedikit kesal, terlihat dari wajahnya yang mulai merah, napasnya tidak teratur dan suaranya sedikit bergetar.

Maafkan aku, Mbak!

“Kenapa aku harus diam? Harusnya Mbak yang diam, gak usah ikut campur masalah kami!” teriak Tiara, suaranya melengking memekakkan telingaku.

“Kamu... “ Tangan Mbak Resti mengepal menahan marah, pasti. Aku sendiri yang mendengar ucapan ingin sekali merobek mulutnya yang tidak berakhlak.

“Apa? Aku gak akan takut sama kamu, Mbak! Apalagi sama pelakor ini.” Lagi-lagi Tiara menunjukku dengan dagunya. Tiara yang tadinya duduk sekarang sudah berdiri menghadap ke arah Mbak Resti, ada Ibu di antara mereka. Sedangkan posisiku sedikit jauh dari mereka.

“Bener-bener gak punya akhlak ya kamu. Rugi sekolah tinggi, sekarang sudah jadi guru tapi tidak bisa menjaga mulut saat berbicara. Apa kamu tidak pernah diajari sopan santun?” hardik Mbak Resti kesal.

“Tau apa kamu, Mbak! Akhlakku gak ada urusannya sama kamu. Jadi gak usah menghinaku tentang akhlak.” Tiara mengambil tas yang berada di kursi yang ia duduki tadi.

Brakk!

Tiara membanting pintu, lalu segera ia pergi meninggalkan kami semua, juga meninggalkan anaknya di rumah ini. Nando melihat motor ibunya pergi, seketika menangis dan menjerit.

Mbak Resti menghampiri Nando, lalu menggendongnya, membawa Nando ke rumahnya untuk diajak bermain dengan Arsya, anaknya yang seumuran Nando.

Tinggallah aku dan ibu di ruang tamu. Ibu memalingkan wajahnya tidak mau menatapku. Sekuat itukah pengaruh pelet Tiara?

Apa yang harus kulakukan? Aku menggigit jari, mencoba berpikir apa yang harus kulakukan agar pelet yang mengenai Ibu hilang.

Ah, aku baru ingat....

Tadi pagi mas Adnan menyiapkan air minum di dalam botol untuk Ibu, berjaga-jaga apabila ibu kena pelet lagi. Air itu bukan air biasa, sudah ada doa-doa, hanya mas Adnan yang tahu doanya seperti apa.

Segera aku ke kamar, mengambil air itu, lalu mengambil gelas ke dapur. Setelah menuang air ke dalam gelas, kusuguhkan pada Ibu. Berharap pengaruh pelet itu akan hilang.

“Air apa ini?” tanya Ibu sangsi, padahal masih terpengaruh, mengapa bisa curiga sih?

“Bukan apa-apa, Bu. Minum dulu, biar pikirannya jernih.” Aku kembali menyodorkan gelas itu pada ibu.

Ragu-ragu beliau menerima uluran gelas dariku, lalu meminumnya perlahan. Sesaat setelah Ibu menghabiskan air itu, tubuh ibu lemas dan tertidur di kursi tamu. Karena tidak mungkin aku memindahkannya, akhirnya ku ambilkan banyak dan selimut untuk Ibu, dan menata bantal untuknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status