“Ibu, kenapa?” tanyaku bingung dengan perubahan Ibu.
Kulihat Tiara tersenyum sinis melihatku. Ah, sepertinya ada yang ia rencanakan.
“Apa kamu lihat-lihat?” teriak Ibu, matanya kini memerah, menatapku nyalang. Ada apa dengan Ibu?
“Apa yang terjadi pada Ibu?” Aku berlari menghampiri Ibu, kuteliti semua anggota tubuh Ibu, mungkin saja ada yang sakit atau apa.
Namun, aku terkejut, Ibu menampik tanganku. Lalu mendorongku hingga aku terjatuh. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Mehra. Aku meringis, bokongku sakit sekali rasanya. Segera aku berdiri sambil terus mengelus bokongku yang sakit.
“Gak usah pegang-pegang, najis!” hardik Ibu padaku, jangan-jangan Ibu kena pelet lagi? Ya Allah, menyusahkan sekali sih.
“Bu, ini aku Mila. Menantu Ibu!” seruku berusaha mendekati Ibu lagi.
“Gak usah dekat-dekat, pergi kamu. Lebih bagus kamu pergi dari rumah ini sekalian!” teriak Ibu, ya Allah, kasihan sekali Ibu, bagaikan kalau nanti fisik Ibu lemas lagi?
Aku berhenti, kutatap Tiara yang terus menatapku sinis.
“Apa yang Mbak lakukan pada Ibu?” tanyaku tegas, aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan Tiara.
“Yang aku lakukan adalah yang seharusnya aku lakukan dari dulu!” jawab Tiara dengan pongah. Menyebalkan sekali dia.
Aku memejamkan mata sejenak, tidak berhenti hati ini terus mengucap istighfar. Berharap sedikit melonggarkan sesak di dada melihat perbuatan Tiara.
“Kamu jahat, Mbak! Ibu bisa sakit kalau seperti ini terus.”
Tiara mendecih,” Salah siapa kamu mengambil suamiku.”
Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Benar apa yang dikatakan Tiara, tapi kenapa sangat menyakitkan? Inginku berkata bahwa semua bukan sepenuhnya salahku. Ini kesalahan bersama, kesalahan kami bertiga. Aku, mas Adnan, dan Tiara. Tidaklah ia instropeksi diri? Apa alasan mas Adnan memilihku?
“Itu... “ Aku tidak mampu membalas ucapan Tiara. Sepertinya dia memiliki daya magis tersendiri, yang mampu membuat lawan bicaranya tidak berkutik.
“Gak bisa jawab, kan?” sindir Tiara, bibirnya terangkat sebelah. Menyebalkan!
“Bukan maksudku... “ Ah sial! Kenapa mulutku susah untuk berbicara.
“Jadi orang jangan asal ambil suami orang!” teriak Tiara, kulihat Ibu ikut menatapku sinis, kadang memalingkan wajah seolah tidak ingin menatap wajahku.
“Ada apa jni? Kok ramai sekali,” tanya Mbak Resti, dia adalah sepupu mas Adnan. Rumahnya bersebelahan dengan rumah ini. Suara Tiara melengking, wajar saja Mbak Resti mendengar keributan di rumah ini.
“Mila harusnya pergi dari rumah ini!” Ibu menjawab pertanyaan Mbak Resti dengan lantang, tatapannya menyiratkan kebencian yang mendalam padaku. Sakit sekali rasanya.
“Enggak gitu, Mbak. Tiba-tiba Ibu jadi aneh seperti ini. Aku juga gak tau.” Ku gelengkan kepala, meyakinkan Mbak Resti ketidaktahuanku dengan apa yang terjadi.
“Kamu memang pantas pergi dari sini!” hardik Tiara
Sungguh menyakitkan, rasanya hati ini tercabik-cabik dengan ucapan Tiara. Tidakkah ia sadar, dulu ia sangat jahat dengan Ibu? Tiara tidak sepatutnya mengatakan siapa yang pantas di rumah ini.
“Sudah, malu dilihat tetangga. Semua keluar mendengar suara dari rumah ini,” jelas Mbak Resti.
“Tapi aku beneran gak tahu Ibu kenapa.” Aku mengusap air mata yang mulai membasahi pipi. Kenapa aku tidak berdaya, Ya Allah.
“Ibu kenapa Ra?” Mbak Resti menoleh Tiara, sedangkan yang ditoleh membuang muka sambil mencebik.
“Sejak awal Ibu gak suka sama dia, Ibu pengennya dia pergi dari sini. Eh... Malah gak nyadar!” hina Tiara menunjukku dengan dagunya.
Kulihat Mbak Resti mengernyitkan dahi, heran. Wajar heran, setahu dia kami baik-baik saja. Aku dan Ibu tidak pernah bertengkar, Ibu selalu memperlakukan aku dengan baik.
“Biasanya mereka baik-baik saja, Ra,” seru mbak Resti.
“Halah, baik apa. Ini tanya Ibu sendiri.” Dagu Tiara mengarah pada Ibu, sepertinya ia merasa di atas awan karena Ibu sudah ia pengaruhi, dan aku sama sekali tidak bisa membela diri.
“Budhe gak suka Mila jadi menantuku, Res. Aku ingin dia pergi, muak sekali dilihat,” cemooh mertuaku.
Tak terasa aku menitikkan air mata, walau aku tahu itu bukan murni yang ingin Ibu ucapkan dari hati. Namun, tetap saja menyakitkan.
“Istighfar Budhe, Resti tahu ini bukan Budhe biasanya,” ujar mbak Resti sambil mengelus lengan mertuaku.
‘Ayolah, Bu. Sadarlah' batinku berharap.
“Mbak Resti denger sendiri kan? Jadi gak usah bilang ini bukan Ibu biasanya. Sudah usir aja Mila sekarang!”
“Cukup Tiara! Diam kamu!” hardik Mbak Resti sedikit kesal, terlihat dari wajahnya yang mulai merah, napasnya tidak teratur dan suaranya sedikit bergetar.
Maafkan aku, Mbak!
“Kenapa aku harus diam? Harusnya Mbak yang diam, gak usah ikut campur masalah kami!” teriak Tiara, suaranya melengking memekakkan telingaku.
“Kamu... “ Tangan Mbak Resti mengepal menahan marah, pasti. Aku sendiri yang mendengar ucapan ingin sekali merobek mulutnya yang tidak berakhlak.
“Apa? Aku gak akan takut sama kamu, Mbak! Apalagi sama pelakor ini.” Lagi-lagi Tiara menunjukku dengan dagunya. Tiara yang tadinya duduk sekarang sudah berdiri menghadap ke arah Mbak Resti, ada Ibu di antara mereka. Sedangkan posisiku sedikit jauh dari mereka.
“Bener-bener gak punya akhlak ya kamu. Rugi sekolah tinggi, sekarang sudah jadi guru tapi tidak bisa menjaga mulut saat berbicara. Apa kamu tidak pernah diajari sopan santun?” hardik Mbak Resti kesal.
“Tau apa kamu, Mbak! Akhlakku gak ada urusannya sama kamu. Jadi gak usah menghinaku tentang akhlak.” Tiara mengambil tas yang berada di kursi yang ia duduki tadi.
Brakk!
Tiara membanting pintu, lalu segera ia pergi meninggalkan kami semua, juga meninggalkan anaknya di rumah ini. Nando melihat motor ibunya pergi, seketika menangis dan menjerit.
Mbak Resti menghampiri Nando, lalu menggendongnya, membawa Nando ke rumahnya untuk diajak bermain dengan Arsya, anaknya yang seumuran Nando.
Tinggallah aku dan ibu di ruang tamu. Ibu memalingkan wajahnya tidak mau menatapku. Sekuat itukah pengaruh pelet Tiara?
Apa yang harus kulakukan? Aku menggigit jari, mencoba berpikir apa yang harus kulakukan agar pelet yang mengenai Ibu hilang.
Ah, aku baru ingat....
Tadi pagi mas Adnan menyiapkan air minum di dalam botol untuk Ibu, berjaga-jaga apabila ibu kena pelet lagi. Air itu bukan air biasa, sudah ada doa-doa, hanya mas Adnan yang tahu doanya seperti apa.
Segera aku ke kamar, mengambil air itu, lalu mengambil gelas ke dapur. Setelah menuang air ke dalam gelas, kusuguhkan pada Ibu. Berharap pengaruh pelet itu akan hilang.
“Air apa ini?” tanya Ibu sangsi, padahal masih terpengaruh, mengapa bisa curiga sih?
“Bukan apa-apa, Bu. Minum dulu, biar pikirannya jernih.” Aku kembali menyodorkan gelas itu pada ibu.
Ragu-ragu beliau menerima uluran gelas dariku, lalu meminumnya perlahan. Sesaat setelah Ibu menghabiskan air itu, tubuh ibu lemas dan tertidur di kursi tamu. Karena tidak mungkin aku memindahkannya, akhirnya ku ambilkan banyak dan selimut untuk Ibu, dan menata bantal untuknya.
Pukul 8 pagi, Jo sudah berada di kantornya, beberapa menit lagi ia harus meeting dengan klien penting. Ia berjalan cepat dari tempat parkir menuju ruangannya. Sesekali ia mengangguk saat berpapasan dengan karyawannya.CeklekJo mengernyitkan dahi saat melihat ada sebuah kotak yang berukuran sedang di atas mejanya. Ia menatap sekeliling sebelum masuk ke dalam ruangannya, tidak ada siapa pun yang bisa ditanyai.Setelah menutup pintu, ia berjalan menuju meja kerjanya. Ia menatap kotak yang berwarna merah muda itu dengan teliti, mencari nama pengirim atau semacamnya. Sayangnya, tidak ada.“Siapa pengirimnya? Salah kirim atau bukan?” tanya Jo, berbicara sendiri.Jo membuka kotak itu perlahan, matanya melebar saat melihat isinya. Ia mengangkat dengan ujung jarinya, seolah jijik. Sebuah celana dalam dan bra dengan renda di setiap tepi.‘Siapa orang g*la yang mengirimkan benda menjijikkan ini?’ batin Jo kesal.Tanpa sengaja ekor matanya melihat sebuah kertas yang terselip di antara bra berwar
[Mbak, ini foto yang mbak Tiara minta.]Pesan masuk dari bu Keke, tetangga Adnan yang rumahnya persis di depan. Beliau mengirimkan setidaknya ada 10 foto Nando, saat ia bermain di halaman, bahkan foto saat makan di suapi Bu Rini, ibu Adnan.“Ya Allah, cerdas sekali bu Keke, bisa mendapatkan foto di dalam rumah.”Mata Tiara terbelalak saat melihat salah satu foto Nando yang makan hanya dengan nasi putih, Tiara yakin itu hanya nasi yang ditaburi garam. Tiara ingat sekali, saat Adnan tidak punya uang, ia lebih memilih makan dengan garam saja.“Aku harus kirim foto ini agar segera di proses di pengadilan.” Tiara segera mengirimkan semua foto itu pada Jo yang saat ini masih berada di kantor.Tiara yakin, kemarin Jo sudah menghubungi pak Dewa untuk menggugat hak asuh Nando ke pengadilan.Memang salah Tiara, dulu mengizinkan Nando di asuh oleh Adnan, saat itu Tiara belum bisa berpikir jernih, belum berkomitmen dengan Jo. Jadi ia masih bingung dengan keadaan dirinya sendiri.Tok tok tok“Ma,
“Pa, tolong buatkan susu untuk Reihan.” Tiara sedang memandikan Reihan, buah cintanya bersama Jo.“Kan masih mandi?” protes Jo.“Iya, setelah mandi biar langsung minum susu, Pa. Udah gih, cepetan bikinin.”“Iya iya,” jawab Jo sambil beranjak keluar dari kamar mandi. Karena Tiara sudah menyiapkan air, botol, dan susu di atas meja, mudah saja Jo meraciknya.Tiara mengangkat Reihan ke atas ranjang, lalu mengeringkan tubuhnya menggunakan handuk. Lalu mengoleskan minyak telon, bedak, dan memakaikan baju. Bayi berumur 7 bulan itu terus menggerakkan kaki dan tangannya senang, sesekali menyunggingkan senyum.“Lucu sekali anak mama, udah ganteng sekarang.” Tiara menyemprotkan sedikit parfum pada baju Reihan setelah mengoleskan minyak rambut.Tiara bersyukur, Allah memberikan banyak berkah di dalam hidupnya. Menghadirkan Jo sebelum terlambat, memberikan kenikmatan hidup selama ini.Reihan hadir membawa suasana baru di rumah Jo, setelah ada Reihan, Jo lebih sering menghabiskan waktunya di rumah
“Kamu jahat, Mas. Kamu apakan dia?” teriak Mila sambil terisak.Mila segera berlari menghampiri Erga yang sudah terkapar tidak berdaya di teras. Ia menyangga kepala Erga dengan tangannya.“Kamu jahat sekali, apa salah dia? Kenapa kamu hajar sampai seperti ini?” teriak Mila histeris. Bukan seperti ini keinginan Mila, ia tidak suka Adnan berbuat kasar dan main hakim sendiri.“Bela terus selingkuhanmu itu! Kalau perlu sekalian saja kamu keluar dari rumah ini. Perempuan sepertimu tidak pantas diperjuangkan,” hardik Adnan, matanya memerah menahan emosi.Hati dan pikiran Adnan sudah dibutakan oleh nafsu dan gelap karena iri dan benci. Ia sudah pernah dikhianati, sekarang seseorang yang dulu ia perjuangkan mati-matian juga mengkhianati cintanya.“Jaga ucapanmu, Mas. Secara tidak langsung kamu sudah menalakku.”“Lebih baik berpisah saja, aku lelah terus dikhianati.”“Baiklah! Aku akan pergi dari sini.”Mila membantu Erga bangun, bibir dan hidungnya mengeluarkan darah segar bekas pukulan Adnan
“Mama... “ teriak Nando berlari dan menghamburkan peluk ke arah Tiara.Jo mengernyit melihat Nando begitu dekat dengan Tiara, dan memanggilnya mama.“Siapa anak ini?” Tanya Jo pada Tiara.Nando sudah berada di gendongan Tiara, sambil mencium dan memeluk leher mamanya erat.Tiara tersenyum pada Jo, lalu berkata,” Ini anakku yang pernah aku ceritakan.”“Jadi, kamu... “ Jo menunjuk Tiara dan Adnan bergantian.“Iya, Mas. Dia mantan suamiku.” Mendengar itu, Jo mengangguk paham. Lalu mengambil alih gendongan Nando, ia tidak mau Tiara kelelahan karena saat ini sedang hamil.“Halo, jagoan. Nama kamu siapa?” Jo bertanya pada Nando dengan riang, seolah sudah pernah bertemu.“Nando,” jawab Nando singkat.“Aku gak nyangka, ternyata istri lo bekas gue,” celetuk Adnan sambil menyunggingkan sebelah bibirnya.Seketika Jo merasa panas, emosi sudah berada di ubun-ubun. Segera Tiara mengelus lengan suaminya, dan mencoba menenangkannya.Sang tuan rumah belum terlihat, sepertinya masih sibuk di belakang.
“Ah, kenalkan, ini Mila. Dia pacarku,” ucap Erga jumawa.Tiara mengernyitkan dahinya tidak percaya dengan ucapan Erga.‘Dasar perempuan gila, sudah mengambil suamiku, masih mencari laki-laki lain’ batin Tiara kesal.“Pacar kamu?” tanya Tiara tak percaya.Erga menganggukkan kepala mantap, sedangkan Mila melotot menatap Tiara.“Kamu udah cek status dia?” Tanya Tiara tak peduli Mila yang terus melotot padanya. Ia harus menyelamatkan Erga dari jerat Mila, seingat Tiara Erga sekarang sedang berada di puncak kejayaannya. Bisa jadi Mila hanya memanfaatkan Erga. Setidaknya itu yang ada di pikiran Tiara sekarang.“Maksud kamu?” tanya Erga bingung mendengar pertanyaan Tiara.“Iya, coba tanya dia yang lebih paham. Dan juga, sekedar saran, jangan gampang percaya dengan ucapan orang, coba kamu cek siapa perempuan itu sebenarnya.” Setelah mengucapkan itu, Tiara menerima uang kembalian dadi kasir. “Aku duluan ya,” pamit Tiara cuek.Entah setelah ini Mila tetap berhubungan dengan Erga atau tidak buka