RAHASIA AYAH, IBU, DAN PAMANKU."Nak, malam ini kamu nginap tempat bibi Wati, ya. Ayah mau tidur di kebun. Padi, dan sayur-sayuran sudah dekat waktu panennya. Takut di makan sama monyet kalau nggak di awasi," ucap ayah yang tengah sibuk mempersiapkan perlengkapan untuk menginap di pondok nanti. Aku merasa bingung dengan ayah. Tiap hari kamis hingga Minggu. Dia selalu tinggal di pondok. Dia baru akan pulang setelah hari Minggu hampir usai, atau hari Minggu sore.Dan selama itu juga dia menyuruhku untuk tidur di rumah bibi Wati. Ada ibu di rumah ini. Untuk apa aku harus menginap di rumah bibi? Aku pun sama sekali tidak merasa takut jika hanya sendirian saja di sini."Sandra tidur disini aja, Yah. Malu sama bibi Wati. Tiap hari kamis pasti Sandra selalu nginap di sana." Aku menolak perintah ayah. "Lagian di rumah ini juga ada ibu. Sandra nggak sendirian," lanjutku lagi. Ayah menghentikan tangannya yang hendak mengisi botol air minumnya. Dia meletakkan kembali teko stainless itu di
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aku duduk dengan gelisah di ruang tamu.Aku ingin segera pergi ke rumah untuk mencari tau apa benar paman akan datang atau tidak malam ini.Tapi aku tak berani meminta izin pada bibi Wati."Sand, ayo makan dulu. Tolong panggilin Wiwin sekalian, ya." Suara bibi terdengar dari arah dapur. "Iya, Bi," sahutku segera bergegas memanggil Wiwin."Win, di panggil bibi, suruh makan." Gadis berjilbab coklat itu mengangkat kepalanya melihatku.Dia mengangguk lalu merapikan kembali peralatan belajar nya yang berserakan di atas tempat tidur, dan melangkah cepat ke arahku."Ayo. Aku udah lapar banget." Dia menarik tanganku agar tak tertinggal di belakang."Nanti selesai makan, kalian tolong antar makanan buat paman di pos ronda, ya. Sandra tolong temani Wiwin," pintah bibi seraya menuangkan air minum ke dalam gelas kaca. "Ya, ibu. Wiwin lagi banyak tugas. Sandra aja yang antar, ya," ucap Wiwin memelas.Dia melempar tatapannya padaku, seakan meminta persetujuan
Setelah ayah masuk, dan pintu kembali tertutup. Aku pun segera melangkah perlahan menuju samping rumah. Hanya di samping ini saja yang tak ada lampu sama sekali. Aku jadi bebas menguping pembicaraan mereka di dalam sana. "Kenapa datang? Ganggu aja." Itu suara ibu. Suaranya terdengar ketus tanpa merasa takut sedikitpun pada ayah. "Abang lupa, kalau hari kamis sampai hari Minggu adalah waktuku bersama Sari?" Suara paman pun terdengar kurang enak. Dia mungkin merasa terganggu. Karena kedatangan ayah membuatnya harus menghentikan kegiatannya bersama ibu. "Mas minta maaf karena mengganggu kalian. Tapi ada hal penting yang harus kita bicarakan malam ini juga." "Hal penting apa, sih? Emang nggak bisa besok aja?" tukas paman.Aku tak tau bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Tapi dari nada bicaranya, paman seperti tak menyukai ayah."Ini soal Sandra," jawab ayah tanpa mengindahkan protes dari paman."Kenapa dengan anakmu itu?" tanya paman dengan nada suara yang sama. "Dia anakmu, Ma
Ku buka pintu rumah bibi perlahan agar tak berderit.Ruang tamu tampak lengang. Bibi pasti sudah tidur.Biasanya dia akan duduk menonton tv disini. Ku hembuskan nafas sesaat, dan melangkah menuju kamar. Berusaha menetralkan perasaan yang masih kacau karena fakta mengejutkan tadi. "Kenapa baru pulang, nak? Kamu mampir kemana dulu?" Tanpa ku duga, bibi keluar dari kamar Wiwin, dan langsung bertanya padaku. Aku bingung harus menjawab apa. Tapi, tiba-tiba saja ada ide yang terlintas di pikiranku."Ada yang mau Sandra tanyakan pada bibi. Dan Sandra mohon bibi jawab dengan jujur," ujarku dengan serius.Bibi sampai menatapku dengan kening mengerut."Mau tanya apa? Sini, duduk dekat bibi." Dia melangkah menuju sofa, dan duduk di atasnya.Aku pun melangkah, dan duduk di sampingnya.1 menit.2 menit.3 menit."Mau tanya apa? Kok, malah diam?" Bibi bertanya saat aku tak kunjung melempar pertanyaan padanya.Hati, dan pikiranku sibuk bergelut di dalam sana. Aku masih bimbang untuk lanjut be
Plak!Satu tamparan keras menghantam pipi ini.Membuat telinga ini langsung berdenging. Rasa kebas bercampur dengan panas menjalar di pipiku."Lembur apa maksud mu, hah?! Masih kecil sudah berani ku*ang aj4r kamu, ya? Belajar dari mana? Dari Wati, perempuan sok baik itu? Iya?!" bentak ibu.Merasa belum puas dengan satu tamparan. Ibu kembali mencengkeram kuat mulutku hingga kuku-kuku lentiknya terasa menusuk permukaan kulitku.Aku meringis menahan sakit, dan rasa takut.Nyaliku seketika ciut melihat api amarah di wajahnya."Nggak usah banyak omong. Cepat masak, dan bereskan rumah ini!" Dia melepas cengkraman tangannya dengan kasar, dan berlalu masuk kedalam kamarnya lagi.Aku menatap sampai tubuhnya hilang di balik pintu kamar. Aku menghembuskan nafas perlahan, dan mengerjakan perintahnya tadi dengan lesu.___Ku kerjakan perintah ibu dengan terburu-buru karena takut terlambat masuk sekolah.Setelah semuanya selesai aku pun melangkah menuju kamar, hendak mengambil tas sekolahku.Namun,
Aku tak percaya dengan ucapan yang keluar dari bibir ayah. Dia tak mau menceraikan ibu karena tak bisa melihat ibu, dan paman hidup bahagia.Apa bedanya dengan sekarang? Sekarang pun ibu, dan paman sudah sangat bahagia. Mereka sampai-sampai tak tau waktu, dan tempat bila ingin melakukan hubungan intim."Alasan itu terlalu klasik, Yah. Sandra nggak percaya. Pasti ada alasan yang lain kan? Boleh Sandra tau?" Ayah terlihat menghela nafas cukup dalam, dan menghembuskan nya perlahan.Tatapannya mengarah padaku. "Ayah malu, nak. Semua ini terjadi karena kesalahan ayah di masa lalu," ucapnya lirih.Aku tak menyahut ucapannya. Aku tau dia sudah siap untuk menjelaskan semuanya padaku.Tatapannya kembali menerawang jauh, "dulu ayah sangat mencintai Sari,ibumu. Tapi, sayangnya Sari nggak cinta sama ayah. Dia malah mencintai Tejo, adik kandung ayah sendiri. Karena kesal, dan merasa kalah saing dari Tejo. Ayah pun nekat berbuat hal hina, dan menjijikan itu padanya. Berharap dengan begitu Sari m
"Diarak keliling desa saja, pak RT!" "Iya, betul itu! Diarak saja!" "Iya!""Iya!" Terdengar suara riuh dari depan rumah. Aku, dan ayah yang baru sampai di kebun belakang rumah pun saling pandang dengan wajah terkejut."Ayo, cepat, nak!" Ayah menarik tanganku, dan melangkah cepat menuju ke halaman depan rumah. Aku terkejut melihat ibu, dan paman Tejo berada di tengah-tengah kerumunan warga dengan penampilan yang tragis. Ibu hanya memakai kain jariknya tadi pagi untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan paman hanya memakai celana kolor saja.Sungguh pemandangan yang sangat memalukan.Rasanya aku ingin pergi dari sini, dan menyangkal bahwa dia bukan ibuku."Ada apa ini bapak-bapak, ibu-ibu? Ini istri, dan adik saya—" Ayah seakan tak sanggup berkata-kata lagi saat melihat wajah paman Tejo yang sudah babak-belur. Kondisi ibu pun sangat miris. Rambut yang berantakan dengan lelehan kuning telur di sekujur tubuhnya membuat tubuhnya menjadi berbau amis. "Istrimu itu sudah selingkuh sama adikmu
"Silahkan masuk, pak." Ayah berdiri menyambut mantan kades dengan senyum merekah. Dia mempersilahkan pak Salim, dan pak RT duduk di sofa. Pak Salim, dan ayah saling berjabat tangan. Usia mereka terlihat tak jauh berbeda. Hanya warna kulit ayah terlihat lebih gelap karena sering berjemur di bawah sinar matahari untuk mengurus kebun.Tak lama ibu, dan paman Tejo pun datang dari kamar mandi. Tapi sayang, penampilan ibu yang hanya mengenakan handuk membuat pak Salim, dan pak RT langsung membuang pandangannya. Aku, dan ayah hanya bisa menunduk diam. Karena seperti tadi, ibu sama sekali tak menghiraukan kami."Kamu masuk pake pakaian dulu, ya." Paman mendorong pelan tubuh ibu kearah kamar, dan tanpa menyapa kami. Paman langsung melangkah menuju sofa tunggal yang terletak di dekat tv. Paman terlihat cuek memangku kakinya dengan santai. "Bagaimana kabarnya mas Tejo?" Entah karena merasa tak enak hati. Pak RT pun berinisiatif mengajak paman berbincang."Seperti yang anda lihat," sahutny