Se connecterZayden menghela napas panjang. Ia baru keluar dari kamar mandi setelah tadi Misha mengotori pakaiannya dengan muntahan.
“Bisa-bisanya dia tertidur pulas setelah memuntahkan hampir seluruh isi perutnya ke anak buahnya sendiri.” Zayden berdecak kesal, menatap Misha yang masih terlelap di atas kasur motel. Pakaian wanita itu masih bersih, kontras dengan miliknya yang basah dan bau—yang sudah ia buang ke tempat sampah kamar mandi. Sepertinya ia harus menelepon seseorang untuk membawakannya pakaian ganti. Di tubuhnya, hanya ada handuk yang melilit dari pinggang ke bawah. Badannya masih setengah basah. Saat berjalan sambil mengeringkan rambut, ia terkejut karena melihat Misha yang terbangun. Misha duduk di pinggir kasur, setengah limbung karena mabuk. Namun ia belum menyadari keberadaannya. “Syukurlah, ternyata masih mabuk.” Zayden menghela napas lega, ia tak terlalu malu karena sedang setengah telanjang. Ia akhirnya berjalan ke arah nakas di samping tempat tidur, berencana menelepon seseorang untuk membawakan baju ganti. “Akhirnya Anda bangun juga, Bu Misha. Sepertinya Anda masih mabuk, tidurlah lagi. Tenang saja, Anda tidak terkena muntahan Anda sendiri,” kata Zayden pada Misha. Melihat Misha yang hanya diam dan tidak menanggapi ucapannya, Zayden kembali pada tujuannya untuk menelpon seseorang. Zayden sama sekali tidak menyadari saat Misha tiba-tiba bangkit dari kasur, berjalan mendekatinya. Dan lagi-lagi Zayden terkejut karena Misha tiba-tiba menyentuh otot perutnya. “Badanmu bagus juga,” ucap Misha sambil menatap otot perut Zayden. “Sebaiknya jangan terlalu sering menyembunyikan otot tubuhmu di balik semua kemeja longgarmu itu.” Ada tatapan takjub di mata atasannya itu. “Andai saja bebek cerewet itu tahu bahwa ada otot seseksi ini di balik bajumu, mungkin dia akan langsung melemparkan dirinya sendiri padamu,” kekeh Misha dengan pemikirannya. Zayden merasa tak nyaman karena tiba-tiba disentuh seperti itu. “Bu Misha, apa yang Anda lakukan?” “Tentu saja mengagumi ciptaan Tuhan,” rancau Misha. Zayden berdiri terpaku saat tangan Misha masih menyentuh otot perutnya. Hingga sentuhan itu semakin turun sedikit ke garis batas handuk yang melilit pinggangnya. Akan semakin bahaya jika dia tidak segera menghindar. Seseorang yang mabuk tentu saja tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. “Aku jadi penasaran…” gumam Misha, matanya setengah terpejam, senyumnya tipis tapi jelas menantang. “Yang di bawah sini … bagaimana, ya?” Jari Misha berhenti di ujung handuk, membuat napas Zayden tercekat. Zayden memejamkan mata sesaat. Setengah karena ingin mengontrol diri, setengah karena hampir kehabisan napas. Misha menyeringai, tidak kehabisan cara untuk menggoda Zayden. Dia lanjut berkata, “Apa aku boleh melihatnya?” bisik Misha, kali ini nyaris tanpa suara. “Sedikit saja, untuk riset pribadi.” Zayden tidak langsung menjawab. Rahangnya mengencang, tangan yang semula menggenggam handuk kini bergerak, menahan tangan Misha yang hampir menyentuh bagian paling sensitif dari tubuhnya. “Hentikan!” perintah Zayden. Misha hanya tersenyum miring. Genggaman Zayden bukan dorongan untuk menolak. Tidak ada kekuatan, hanya sekedar menunda waktu. “Saya bukan pria baik-baik seperti yang Anda kira, Bu Misha,” lanjutnya menatap mata Misha dengan intens. “Kalau Anda terus seperti ini… saya tidak akan melepaskan Anda.” Bukannya takut, justru senyum Misha makin lebar, antara mabuk, berani dan menantang. Tak lagi bisa menahan, Zayden akhirnya menarik Misha, satu tangannya memeluk pinggang Misha, yang satu lagi menyentuh tengkuknya, lalu berbisik di telinganya, “Ingatlah, Anda yang memulai ini. Jadi jangan salahkan… kalau saya selesaikan semuanya.” Misha tersenyum. Usahanya membuat Zayden goyah tidak sia-sia. “Kalau begitu, selesaikan semuanya, Zay,” balas Misha menantang. Misha mendorong dada Zayden, menciptakan sedikit jarak agar bisa melihat wajah Zayden yang memerah. Tanpa menunggu lama, Misha mendekatkan wajahnya. Bibirnya yang berlapis gincu merah meraup bibir Zayden. menyesap dan menggigitnya kecil, penuh tuntutan. Tubuhnya menghangat, membara oleh gairah yang tak tertahankan. Begitupun Zayden, pria itu sama terbakarnya. Tangan Zayden yang tadi memeluk pinggang Misha kini beralih merambat, menyentuh kancing kemeja yang dikenakan wanita itu dan membukanya satu persatu. Tak butuh waktu lama hingga Zayden disuguhkan pemandangan menakjubkan. Jakunnya terlihat naik turun menahan hasratnya yang semakin liar. “Sentuh aku, Zay!” bisik Misha lirih saat Zayden sedang betah menikmati tubuhnya yang setengah telanjang, belum sempat menyentuhnya. “Kau yang memintanya, Bu Misha. Jangan menyesal!” Zayden tidak lagi menahan diri. Pria itu bergerak menyentuh leher Misha. Mengendus, menyesap serta menggigitnya hingga meninggalkan jejak yang terlalu nyata. Ciuman itu tak berhenti sampai di situ, bahu Misha menjadi incarannya setelah kemeja yang dipakainya meluncur begitu saja. “Aahh….” “Kamu menyukainya?” Erangan yang lolos dari bibir Misha, menggelitik rasa penasaran Zayden. Dia belum sepenuhnya menjamah tubuh Misha, tapi wanita itu tampak sudah terbang ke nirwana. Misha mengangguk. Sentuhan Zayden pada tubuhnya membangkitkan kembali rasa nikmat yang sudah lama dilupakannya. Dia ingin lebih dari sekedar sentuhan. Dia menginginkan Zayden lebih dari itu. “Aku sudah mengatakan padamu, jika aku bukan pria baik-baik. Membuatmu melayang seperti ini bukan hal yang sulit bagiku, Bu Misha.” Zayden kembali melancarkan aksinya, kali ini dia menggendong tubuh Misha, membawanya ke atas ranjang. Namun, tidak melepaskan pagutan mereka. Decapan itu semakin panas seiring tangan Zayden yang menyentuh dan meremas bagian depan tubuh Misha yang masih terbungkus kain pelindung. “Uughh….” Lenguhan itu kembali terdengar. Misha benar-benar dibuat gila oleh sentuhan-sentuhan Zayden. Puncaknya, saat tangan Zayden menyentuh bagian sensitifnya. Ia mengerang panjang seiring tubuhnya yang melengkung ke atas. Ia mendapatkan pelepasannya bahkan sebelum Misha memasukinya. Sudah sangat lama dia tidak merasakan perasaan memabukkan seperti ini lagi. Rasanya membuatnya hampir gila. Bisikan Zayden yang sensual membuat Misha semakin menginginkan lebih. “Sekarang giliranku, Bu Misha….” ***“Misha…” Misha terlonjak kaget saat Joshua menyapanya membuat pria itu menatapnya heran. “Apa telah terjadi sesuatu?” Tanyanya penasaran. Misha menggelengkan kepala, merapikan rambutnya dan kembali menatap layar ipadnya. Dia tidak mungkin mengatakan perihal Revan pada Joshua yang bukan siapa-siapa. Sejak pulang dari jalan-jalan dengan Arsa dan melihat Revan, Misha jadi banyak pikiran. Pria itu seakan sedang mengintai sesuatu membuatnya tidak tenang. Takut jika sewaktu-waktu Arsa akan dibawa pergi. “Katakan saja jika ada sesuatu yang membebani pikiranmu,Misha. Mungkin aku bisa membantu.” “Tidak ada apa-apa,Jo. Aku hanya agak lelah saja akhir-akhir ini.” Joshua menatapnya agak lama sebelum menghembuskan nafasnya. “Baiklah. Bilang saja jika membutuhkan bantuanku.” “Iya.” Misha hanya mengangguk saat Joshua berbalik pergi kembali ke ruangannya. Ada beberapa pekerjaan yang membuat Misha agak pusing namun masalah utamanya adalah Revan. Laki-laki itu sepertinya akan membawa masalah
Misha duduk di tepi tempat tidur Arsa. Tatapannya sendu, telapak tangannya mengusap kepalanya penuh sayang meski hatinya sedang gelisah. Sekalipun tidak ada hubungan darah di antara mereka berdua tapi Misha tidak akan bisa jika harus kehilangan Arsa.Seseorang yang dengan ceria selalu menunggunya di ruang tamu setiap Misha pulang bekerja dengan segelas air putih yang sudah dia siapkan sebelumnya.Selama ini Misha bisa bertahan karena ada Arsa yang menemaninya. Anak laki-laki itu dia cintai seperti anak kandungnya sendiri.Arsa perlahan membuka mata, Misha kaget.“Mam….”“Iya,sayang. Maaf, Arsa kebangun gara-gara Mama.”Arsa menggeleng samar. “Tidak. Arsa senang bisa melihat Mama sebelum kembali tidur. Apa pestanya menyenangkan?”Misha terdiam, bayangan Revan dan semua pembicaraan mereka tadi muncul di kepala Misha.“Iya,menyenangkan,” ucapnya getir.“Pasti seru sekali.” Misha tersenyum, mengelus pipi Arsa dengan lembut. “Soalnya Mama tadi dandan cantik sekali.”Misha tertawa kecil. Du
Revan Alviano.Nama lelaki yang sudah dikenal Misha hampir sepanjang hidupnya. Besar dan tumbuh bersama di panti asuhan membuat keduanya tidak terpisahkan seakan-akan mereka saling menguatkan satu sama lain.Jadi wajar saja jika dulu, Misha menaruh perasaan lebih pada sahabatnya itu karena dialah satu-satunya orang yang tahu bagaimana dia bangkit dan bertahan.Namun perasaannya tidak terbalas. Misha harus menelan semua rasa itu sendiri dan tetap berada di depan Revan meski hanya dianggap sebagai saudara, sahabat dan juga adik. Misha belajar untuk menerima itu semua asalkan mereka masih bisa selalu bersama.Seiring berjalannya waktu, Misha bisa melihat dengan jelas,obsesi yang nampak di mata Revan. Obsesi dan keinginan terpendam untuk melakukan apapun demi mendapatkan apa yang dia inginkan selama itu menguntungkan dirinya. Berkat itu, Revan tumbuh menjadi lelaki yang perfeksionis,ambisius dan rela melakukan apa saja. Misha yang melihatnya tentu saja menganggap bahwa semua itu terlalu
Misha kembali bekerja bersama dengan Juno dan Doni seperti biasanya. Zayden tidak lagi menjadi bagian dari timnya lagi karena sebentar lagi dia akan diumumkan sebagai calon Presiden Direktur selanjutnya yang akan menjalani masa percobaan sebelum akhirnya akan ditetapkan secara sah.Sabtu nanti, perusahaan akan mengadakan jamuan makan malam di salah satu aula hotel dalam rangka kegiatan ramah tamah dan perkenalan.Misha yakin, Satria dan teman kantornya dulu yang pernah mengejeknya pasti tidak akan berkutik. Juno saja beberapa hari ini nampak gelisah dan mencoba meyakinkan dirinya kalau Zayden tidak akan memecatnya setelah kelakuannya yang dulu.Misha tidak tahu harus merasa senang atau tidak namun saat ini dia menyadari jika hatinya sedang tidak baik-baik saja. Selama seminggu, dia tidak pernah bertemu lagi dengan Zayden namun dia mendapati sesuatu yang lain dari pengasuh Arsa, Lala.“Pria itu datang setiap hari setelah Arsa pulang sekolah,Bu.” Mirsa tidak tahu apa yang sedang dilaku
Misha lelah.Saat jam istirahat, dia memilih untuk duduk sendirian di coffee shop seberang kantornya sambil makan kue manis dan segelas kopi untuk meredam segala gejolak yang dia rasakan setengah harian ini. Terlebih setelah keluar dari ruangan presdir tadi.Banyak hal yang dia pikirkan sejak skandalnya nampak di permukaan. Tentang anak angkatnya dan kenyataan bahwa pria yang dirindukan beberapa waktu ini ternyata seseorang yang memiliki identitas yang serumit itu.Sejak awal, dia bahkan tidak pernah membayangkan situasinya akan jadi seheboh ini.Mungkin, memang akan heboh jika hubungan asmaranya dengan Zayden yang statusnya masih bawahannya akan membuat banyak orang bertanya-tanya tapi Misha yakin, mereka pasti akan melewatinya berdua dan kehebohan itu akan reda dengan sendirinya. Tapi sekarang, Misha bahkan tidak tahu lagi harus bagaimana berhubungan dengan Zayden. Statusnya yang tinggi membuat Misha tidak akan pernah bisa bersanding dengannya.Zayden ternyata anak Pemilik Perusahaa
Misha menghentikan langkah kakinya sesaat setelah masuk ke dalam ruangan Presiden Direktur. Tubuhnya menegang kaku, tatapannya nyalang ke satu titik yang membuatnya benar-benar kaget. Pada sosok yang sangat dia kenal luar dan dalam, yang selama ini selalu dia rindukan kehadirannya, bayangan percintaan panas mereka yang tidak bisa Misha hilangkan dan tatapan lembut pria itu yang membuat Misha semakin hari semakin dalam merindukannya.Pada hari biasanya, Misha akan melihat Zayden bekerja dengan setelan yang sebagian orang menganggapnya cupu dengan kacamata yang selalu membingkai wajahnya.Namun, saat ini penampilan pria itu berbeda. Pria tampan, tanpa kacamata, rambut diatur dengan rapi dan setelan kerja layaknya seorang CEO. Begitu memikat dan tanpa cela.Namun bagi Misha, tampilan Zayden saat ini membuatnya merasa begitu asing. Misha lalu menyadari jika selama ini, dia tidak pernah mengenal siapa Zayden sesungguhnya. Pria itu telah mempermainkannya.Ternyata selama ini dia memang







