Se connecter“Astaga! Apa yang telah aku lakukan?!”
Misha memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Semalam ia terlalu banyak minum. Saat hendak bangun untuk memulai aktivitasnya, matanya membulat lebar. Zayden— pria culun yang juga bawahannya itu ada di sampingnya dan bertelanjang dada! Misha menjambak rambutnya, frustasi. Tidak seharusnya ia tidur dengan bawahannya. Bahkan jika dia mabuk, seharusnya dia bisa menahan diri. “Tenang Misha, jangan panik!” batin Misha kembali menoleh ke samping, di mana Zayden masih tidur. Misha menggigit bibirnya sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya. “Baiklah, kamu bisa mengatakannya pada Zayden untuk melupakan semua ini.” Misha menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini bukanlah apa-apa. Namun, di tengah kepanikannya, Zayden justru bangun. Pria itu menatapnya sambil tersenyum tipis. “Selamat pagi, Bu Misha,” sapa Zayden. Misha berdeham, mencoba menyembunyikan kegusarannya. Matanya menatap gelisah Zayden yang menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang, dan itu tidak lepas dari tatapan Misha. Meski tidak mengatakan apapun, Zayden cukup paham jika Misha merasa tidak nyaman. Dia adalah bawahan sementara Misha adalah atasan. Apa yang mereka lakukan tadi malam tentu saja sesuatu yang tidak terduga akan mereka lakukan. “Kita bisa melupakan ini, Bu Misha. Seharusnya yang semalam tidak terjadi,” ucap Zayden. Alis Misha menukik samar. Harga dirinya seolah diinjak saat Zayden mengatakannya. Meski memang itulah yang awalnya diharapkannya, namun entah kenapa dia malah tidak suka ketika mendengarnya. Bibirnya terkatup rapat tak mampu berkata-kata. Saat dirinya masih mencoba menguasai diri, ekor matanya melirik Zayden yang tiba-tiba bangkit dan berjalan ke arah lemari di dekat pintu, meraih paper bag dan mengeluarkan isinya yang ternyata pakaian bersih. Pria itu lantas menghilang ke dalam kamar mandi, meninggalkan Misha yang masih di atas kasur. Misha masih menggerutu. Dia tahu bahwa semua ini adalah salahnya. Dia yang terlebih dulu menggoda Zayden saat mabuk. Namun, tidak seharusnya Zayden yang mengatakannya. “Melupakannya? Yang benar saja!” Misha mendengus kesal. Diraihnya bantal sebelum ia remas keras. “Berani sekali kamu mengatakannya lebih dulu dari aku. Apa karena kamu berhasil membuatku melayang semalam, jadinya kamu punya nyali untuk mengatakannya!” imbuhnya lagi. Tangannya masih sibuk memukul bantal yang tak bersalah sebagai pelampiasan emosinya. “Dasar menyebalkan!” “Bu Misha, apakah Anda baik-baik saja?” tanya Zayden yang ternyata sudah keluar kamar mandi. Ia membungkuk dan memungut pakaian Misha sebelum memberikannya. Misha berdeham. Kepalanya tegak ke atas. “Tentu! Aku baik-baik saja. Dan seperti yang sudah kamu katakan tadi, sebaiknya kita melupakan kejadian tadi malam, ” jawabnya dengan cepat. “Kamu bisa pulang duluan saja! Sampai bertemu lagi di kantor nanti.” Zayden terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Misha, sebelum akhirnya mengangguk. “Sampai bertemu lagi di kantor, Bu Misha,” ucap Zayden sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Tangan Misha mengepal sementara tangan satunya melempar bantal ke arah pintu hingga terdengar bunyinya yang keras. Misha benar-benar merasa kesal. *** Misha menarik napas panjang di setiap langkahnya pagi ini. Kakinya yang berbalut stiletto melangkah menuju ruang kerjanya. Di sana, dia bisa melihat Zayden sudah berada di meja kerjanya. “Selamat pagi, Bu Misha,” sapa Zayden saat menyadari kehadiran Misha. Dia menyapa Misha dengan ramah seperti biasa seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal mereka telah bercumbu semalaman. Misha mendengus, tapi tetap berusaha tersenyum ramah pada Zayden. “Pagi juga, Zay. Bagaimana semalam, kamu pulang dengan selamat?” balas Misha diimbuhi dengan sedikit sindiran. Zayden terlihat tenang dan tidak terganggu sama sekali atas ucapan Misha, sambil menjawab, “Ya Bu Misha, saya pulang dengan selamat sampai rumah.” Misha melemparkan senyum yang tentunya hanya sebuah pemanis ke pada Zayden sebelum menuju ke mejanya. Hatinya masih membara karena kesal dengan Zayden. Pria itu terlihat seperti pemain sejati. Terlihat tenang dan tidak terpengaruh. Ternyata di balik wajah dan penampilan culunnya, ada sosok liar yang tidak terduga oleh siapapun, bahkan Misha sekalipun sampai mereka bercinta tadi malam. Misha sudah duduk di mejanya. Komputer juga sudah menyala, tapi matanya masih lurus ke depan menatap Zayden seolah tak puas. “Cih… apa-apaan sikapnya itu. Apa dia pikir dia keren!” Misha membuka tasnya dengan kasar, meraih pelembab bibir sebelum memakainya. “Terlepas dari penampilannya yang culun, nyatanya dia memang sangat keren. Tubuhnya, wajahnya—” Misha menggelengkan kepalanya. “Sadar Misha, sadar! Dia hanya laki-laki brengsek yang tidak tahu diri!” Misha menghela napas panjang. Matanya kembali menyipit memperhatikan Zayden yang sibuk di depan layar komputer. “Gaya culunnya itu pasti hanya tipuan saja. Buktinya, semalam dia bergerak dengan liar sekali.” Misha kembali menggelengkan kepalanya. Matanya kembali fokus pada layar komputer. “Lihat saja nanti, aku tidak akan membiarkanmu merasa di atas angin, Zayden!” ***“Misha…” Misha terlonjak kaget saat Joshua menyapanya membuat pria itu menatapnya heran. “Apa telah terjadi sesuatu?” Tanyanya penasaran. Misha menggelengkan kepala, merapikan rambutnya dan kembali menatap layar ipadnya. Dia tidak mungkin mengatakan perihal Revan pada Joshua yang bukan siapa-siapa. Sejak pulang dari jalan-jalan dengan Arsa dan melihat Revan, Misha jadi banyak pikiran. Pria itu seakan sedang mengintai sesuatu membuatnya tidak tenang. Takut jika sewaktu-waktu Arsa akan dibawa pergi. “Katakan saja jika ada sesuatu yang membebani pikiranmu,Misha. Mungkin aku bisa membantu.” “Tidak ada apa-apa,Jo. Aku hanya agak lelah saja akhir-akhir ini.” Joshua menatapnya agak lama sebelum menghembuskan nafasnya. “Baiklah. Bilang saja jika membutuhkan bantuanku.” “Iya.” Misha hanya mengangguk saat Joshua berbalik pergi kembali ke ruangannya. Ada beberapa pekerjaan yang membuat Misha agak pusing namun masalah utamanya adalah Revan. Laki-laki itu sepertinya akan membawa masalah
Misha duduk di tepi tempat tidur Arsa. Tatapannya sendu, telapak tangannya mengusap kepalanya penuh sayang meski hatinya sedang gelisah. Sekalipun tidak ada hubungan darah di antara mereka berdua tapi Misha tidak akan bisa jika harus kehilangan Arsa.Seseorang yang dengan ceria selalu menunggunya di ruang tamu setiap Misha pulang bekerja dengan segelas air putih yang sudah dia siapkan sebelumnya.Selama ini Misha bisa bertahan karena ada Arsa yang menemaninya. Anak laki-laki itu dia cintai seperti anak kandungnya sendiri.Arsa perlahan membuka mata, Misha kaget.“Mam….”“Iya,sayang. Maaf, Arsa kebangun gara-gara Mama.”Arsa menggeleng samar. “Tidak. Arsa senang bisa melihat Mama sebelum kembali tidur. Apa pestanya menyenangkan?”Misha terdiam, bayangan Revan dan semua pembicaraan mereka tadi muncul di kepala Misha.“Iya,menyenangkan,” ucapnya getir.“Pasti seru sekali.” Misha tersenyum, mengelus pipi Arsa dengan lembut. “Soalnya Mama tadi dandan cantik sekali.”Misha tertawa kecil. Du
Revan Alviano.Nama lelaki yang sudah dikenal Misha hampir sepanjang hidupnya. Besar dan tumbuh bersama di panti asuhan membuat keduanya tidak terpisahkan seakan-akan mereka saling menguatkan satu sama lain.Jadi wajar saja jika dulu, Misha menaruh perasaan lebih pada sahabatnya itu karena dialah satu-satunya orang yang tahu bagaimana dia bangkit dan bertahan.Namun perasaannya tidak terbalas. Misha harus menelan semua rasa itu sendiri dan tetap berada di depan Revan meski hanya dianggap sebagai saudara, sahabat dan juga adik. Misha belajar untuk menerima itu semua asalkan mereka masih bisa selalu bersama.Seiring berjalannya waktu, Misha bisa melihat dengan jelas,obsesi yang nampak di mata Revan. Obsesi dan keinginan terpendam untuk melakukan apapun demi mendapatkan apa yang dia inginkan selama itu menguntungkan dirinya. Berkat itu, Revan tumbuh menjadi lelaki yang perfeksionis,ambisius dan rela melakukan apa saja. Misha yang melihatnya tentu saja menganggap bahwa semua itu terlalu
Misha kembali bekerja bersama dengan Juno dan Doni seperti biasanya. Zayden tidak lagi menjadi bagian dari timnya lagi karena sebentar lagi dia akan diumumkan sebagai calon Presiden Direktur selanjutnya yang akan menjalani masa percobaan sebelum akhirnya akan ditetapkan secara sah.Sabtu nanti, perusahaan akan mengadakan jamuan makan malam di salah satu aula hotel dalam rangka kegiatan ramah tamah dan perkenalan.Misha yakin, Satria dan teman kantornya dulu yang pernah mengejeknya pasti tidak akan berkutik. Juno saja beberapa hari ini nampak gelisah dan mencoba meyakinkan dirinya kalau Zayden tidak akan memecatnya setelah kelakuannya yang dulu.Misha tidak tahu harus merasa senang atau tidak namun saat ini dia menyadari jika hatinya sedang tidak baik-baik saja. Selama seminggu, dia tidak pernah bertemu lagi dengan Zayden namun dia mendapati sesuatu yang lain dari pengasuh Arsa, Lala.“Pria itu datang setiap hari setelah Arsa pulang sekolah,Bu.” Mirsa tidak tahu apa yang sedang dilaku
Misha lelah.Saat jam istirahat, dia memilih untuk duduk sendirian di coffee shop seberang kantornya sambil makan kue manis dan segelas kopi untuk meredam segala gejolak yang dia rasakan setengah harian ini. Terlebih setelah keluar dari ruangan presdir tadi.Banyak hal yang dia pikirkan sejak skandalnya nampak di permukaan. Tentang anak angkatnya dan kenyataan bahwa pria yang dirindukan beberapa waktu ini ternyata seseorang yang memiliki identitas yang serumit itu.Sejak awal, dia bahkan tidak pernah membayangkan situasinya akan jadi seheboh ini.Mungkin, memang akan heboh jika hubungan asmaranya dengan Zayden yang statusnya masih bawahannya akan membuat banyak orang bertanya-tanya tapi Misha yakin, mereka pasti akan melewatinya berdua dan kehebohan itu akan reda dengan sendirinya. Tapi sekarang, Misha bahkan tidak tahu lagi harus bagaimana berhubungan dengan Zayden. Statusnya yang tinggi membuat Misha tidak akan pernah bisa bersanding dengannya.Zayden ternyata anak Pemilik Perusahaa
Misha menghentikan langkah kakinya sesaat setelah masuk ke dalam ruangan Presiden Direktur. Tubuhnya menegang kaku, tatapannya nyalang ke satu titik yang membuatnya benar-benar kaget. Pada sosok yang sangat dia kenal luar dan dalam, yang selama ini selalu dia rindukan kehadirannya, bayangan percintaan panas mereka yang tidak bisa Misha hilangkan dan tatapan lembut pria itu yang membuat Misha semakin hari semakin dalam merindukannya.Pada hari biasanya, Misha akan melihat Zayden bekerja dengan setelan yang sebagian orang menganggapnya cupu dengan kacamata yang selalu membingkai wajahnya.Namun, saat ini penampilan pria itu berbeda. Pria tampan, tanpa kacamata, rambut diatur dengan rapi dan setelan kerja layaknya seorang CEO. Begitu memikat dan tanpa cela.Namun bagi Misha, tampilan Zayden saat ini membuatnya merasa begitu asing. Misha lalu menyadari jika selama ini, dia tidak pernah mengenal siapa Zayden sesungguhnya. Pria itu telah mempermainkannya.Ternyata selama ini dia memang







