“Arrghh sialan…!”
Saras berteriak sembari memaki. Segelas beer besar yang sengaja disiramkan oleh Misha, membuat matanya membelalak tak terima. Tatapan terkejut itu tak hanya dilemparkan oleh Saras, tapi juga tim lainnya. Benar-benar sesuatu yang tidak terduga telah terjadi. “Apa yang kamu lakukan, Misha?!” protes Saras dengan nada tak ramah. Misha tersenyum. Ia sudah sangat mabuk saat ini. “Ops….” Ucapnya tanpa rasa bersalah. “Telingaku sakit mendengar kamu yang terus saja mengoceh. Beer ini ternyata ampuh juga untuk membuatmu diam. Kamu berisik sekali seperti bebek, Saras.” Saras makin mengepalkan tangannya. Matanya semakin tajam menatap Misha. Ia tidak terima atas apa yang dilakukan oleh Misha. Harga dirinya terasa diinjak-injak di depan juniornya, meski mereka tidak ada yang berkomentar. Mau ditaruh di mana mukanya setelah ini. “Apa kamu bilang? Bebek?!” sungut Saras. Saras mengikis jarak, tangannya dengan mudahnya menjambak rambut Misha yang tergerai. Jambakan itu begitu kuat hingga membuat kepala Misha terhuyung. “Kurang ajar kamu! Berani sekali kamu menyiramku! Sudah menyiramku, kamu juga mengataiku bebek!” Bukan takut, Misha malah menyeringai. Ia menggigit tangan Saras sebagai balasannya. Saras berteriak sakit. Tangannya terlepas bersama dengan helaian rambut Misha yang menempel di tangannya. “Aku tidak akan kurang ajar jika kamu tidak mengganggu tim memberku, dasar bebek cerewet!” balas Misha. Matanya menajam, tidak terlihat takut sama sekali. Suasana yang tadinya hanya dipenuhi dengan ocehan terhadap Zayden, kini berubah mencekam. Tidak ada suara, tidak ada pula tindakan yang terlihat mau memisahkan pertengkaran itu. Bahkan Satria yang tidak berani berkomentar. Dua wanita yang tengah adu mulut itu sama-sama seorang team leader. Mereka sama berkuasanya. “Cukup!” Joshua yang tadi hanya diam, kini berusaha melerai. Ia berdiri di antara Misha dan Saras. “Sudah Saras, anggap saja Misha tidak sengaja. Ia sedang mabuk saat ini.” Joshua mencoba membujuk Saras, meski tangan wanita itu terus berusaha meraih Misha. “Mabuk?” Misha terkekeh. “Aku sama sekali tidak mabuk. Katakan pada wanita bermulut bebek itu, jika ingin menindas seseorang carilah lawan yang sepadan!” Saras mendengus. Tangannya terus berusaha meraih Misha untuk membalasnya, begitu juga Misha. Pertengkaran itu membuat Joshua yang ada di tengah terhuyung. Perkelahian kedua wanita ini sungguh sangat merepotkan. “Siapapun tolong bantu aku memisahkan mereka!” lontar Joshua. Meski mengatakan siapapun, tapi sorot mata Joshua menatap ke arah Zayden. Pertengkaran ini terjadi karenanya. Zayden yang merasa ditatap oleh Joshua menegang. Ia membenarkan kacamatanya, bingung harus melakukan apa. Sementara Joshua berusaha keras menahan tubuh Saras, membuat wanita itu tidak bisa melakukan apa pun. Sedangkan Misha, ia masih bebas. Tidak ada yang menahan tubuh wanita itu. Tidak ada seorangpun yang tergerak untuk membantunya. “Apa yang kamu lakukan?! Cepat bawa pergi Misha!” perintah Joshua saat Misha mendekat dan ingin menggapai tubuh Saras. Zayden yang memang tidak berani membantah, akhirnya berdiri. Tangannya takut-takut menyeret tangan Misha, membawa atasannya itu keluar. “Cih … bisa-bisanya si bebek itu memperlakukan tim memberku seperti itu. Tidak ada yang bisa menindas tim memberku selain aku,” omel Misha, masih sambil memaki Sarah. Zayden yang sedang memapah Misha, tersenyum kecil. Merasa lucu melihat keadaan Misha yang sedang mabuk. Wanita itu selalu terlihat tegas dan perfeksionis, tapi siapa yang menyangka jika Misha memiliki sisi seperti ini. “Bu, di mana rumah anda? Saya akan memanggil taxi untuk mengantarkan Anda pulang?” tanya Zayden, mencoba mencari informasi meski keadaan Misha tidak bisa dikatakan baik. Bukan menjawab, Misha malah menatap Zayden dengan mata menyipit. “Apa kamu bodoh?! Kenapa kamu diam saja saat diperlakukan tidak adil! Apa katanya tadi? Simpanan tante-tante! Yang benar saja.” “Bukannya ia yang simpanan. Aku yakin barang branded yang dipakainya bukan hasil kerja kerasnya!” omel Misha lagi. Misha berjongkok, kepalanya menunduk, tapi mulutnya masih bergumam tak jelas. Rasanya omelan ini tidak akan berakhir dengan cepat. Melihat Misha yang berjongkok, mau tak mau Zayden juga berjongkok di depan Misha. Pria berkacamata itu terlihat kesusahan karena membawa beban tas kerja miliknya dan juga milik Misha. Merasa khawatir karena Misha tiba-tiba saja diam, Zayden menyentuh bahu Misha. Ia membenarkan kacamatanya sambil bertanya, “Bu Misha, apakah Anda baik-baik saja?” “Apa sih yang membuat mereka sangat membencimu,” gumam Misha. Kepalanya yang tadi menunduk, tiba-tiba mendongak. Membuat Zayden yang ada di depannya terkejut. Badannya tersentak ke belakang, tapi masih di posisi yang sama. Berjongkok di depan Misha dengan jarak yang sangat dekat. Misha menatap lekat Zayden, tangannya terjulur menangkup kedua pipi Zayden, membuat pria itu didera rasa canggung. Namun, Zayden tetap diam meski Misha terus mengamati wajahnya. “Kenapa mereka jahat padamu, ya? Kamu memang culun,” ucap Misha, sambil melepas kacamata yang dipakai Zayden. “Tapi kalau kacamatamu dilepas seperti ini, kamu sangat tampan.” Zayden menelan salivanya susah payah, tidak tahu harus bersikap seperti apa. Jantungnya berdegup kencang saat tiba-tiba Misha semakin mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka hampir bersentuhan. “Kamu….” Misha menekan telunjuknya di dada Zayden. “Kamu seharusnya tidak mengikuti kemauan menyebalkan mereka.” Zayden tidak menjawab, membiarkan saja Misha menatapnya penuh telisik, meski tidak fokus tapi seakan-akan mata itu memancarkan rasa penasaran yang besar. Zayden diam membeku hingga Misha nampak mengerucutkan bibirnya dan kemudian…. Hoeekk! Sesuatu yang tak disangka itu membuat tubuhnya membeku. Misha muntah di bajunya begitu saja tanpa memberinya kesempatan untuk menghindar. ***“Kenapa harus berpapasan lagi,” desah Misha dalam hati saat berdiri berdua bersisian dengan Zayden saat menunggu lift datang. Misha berusaha tetap tenang, dengan wajah dingin seperti biasanya dan tanpa senyuman. Seakan-akan tidak ada Zayden di sana.Kedok yang berusaha dia pertahankan meski hatinya berdebar tidak karuan.“Tenang, Misha. Rileks,” Misha berusaha menyabarkan diri.Tidak ada yang berbicara, hanya ada keheningan dan riuhnya beberapa percakapan dari dalam ruangan yang terdengar sampai lorong sebagai latarnya. Misha juga enggan untuk berbicara duluan.Lift akhirnya tiba, yang terasa begitu lama bagi Misha. Keduanya masuk bersamaan ke dalam lift yang kosong dengan tujuan yang sama yaitu lobbi.Pintu lift tertutup, menampilkan pantulan sosok mereka berdua di sana dengan jelas.“Zayden.”Misha akhirnya buka suara.Zayden meliriknya sekilas sebelum menjawab. “Iya, Bu Misha.”“Senin besok akan ada anak intern di team kita. Kamu yang akan menjadi pengawasnya ya.”Zayden sontak me
Di antara riuhnya obrolan para karyawan di jam makan siang, Misha nampak gelisah. Padahal saat itu dia sedang tidak makan sendirian melainkan bersama beberapa rekan kerja dan Joshua yang duduk di depannya sembari mengoceh panjang lebar entah menceritakan apa.Misha berusaha menikmati makanannya, namun fokusnya berada di tempat lain. Pada pria yang juga sedang menikmati makan siangnya duduk beberapa meja darinya sembari di ganggu oleh rekan kerjanya.“Kamu tahu, Misha. Aku harap kita akan dapat bonus dari proyek…”Misha mengangguk-anggukan kepalanya, seakan merespon ucapan Joshua agar pria itu tidak curiga kalau dia sejak awal mencuri-curi pandang ke arah Zayden. Berusaha dibuat senatural mungkin agar tidak ada yang menyadari kemana perhatiannya berada. Kunyahan demi kunyahan yang ditelannya, tidak begitu terasa oleh Misha. Hatinya merasa tidak tenang. Batinnya kembali bergejolak, seperti malam itu. Saat Zayden diganggu oleh rekan kerjanya yang lain.Namun di sisi lain, Misha masih m
Misha yakin, dia tidak salah dengar. “Zay? Apa kamu baru saja berdecak padaku?”Pria itu nampak bergeming, ekspresinya sedatar biasanya hingga Misha harus menyipitkan mata untuk mencari celah.Zayden menggeleng. “Tidak, Bu. Mungkin Anda salah dengar.”“Benarkah salah dengar?” Batin Misha penuh keraguan. “Sepertinya tidak.”Misha sangat yakin dia mendengar pria itu berdecak tadi. Namun sepertinya, percuma saja jika memaksa pria itu mengakuinya. Zayden pandai mengatur ekspresinya untuk mengelabui orang-orang. Setelah melihat sisi lain Zayden yang liar tadi malam, Misha tidak bisa lagi melihat pria itu seperti biasanya. Tatapan mata Zayden mengisyaratkan jika ada banyak hal yang disembunyikan olehnya. Teringat tentang hal semalam, tanpa sadar Misha merasa malu sendiri dan mengalihkan pandangan dari Zayden yang tengah menatapnya.Misha mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka kembali ke pekerjaan. “Kalau begitu, tolong kamu lakukan riset untuk mencari beberapa bahan campaign besert
“Zayden, kemarilah!” Misha memanggil Zayden ke mejanya. Ia sedikit meninggikan suara karena posisi duduk Zayden yang terpisah cukup jauh dengannya. Merasa dipanggil, Zayden dengan sigap menghampiri meja Misha. Dia berdiri dengan sopan di samping Misha. Menunggu atasannya memberikan instruksi untuk dikerjakan. Sepertinya Misha sudah tidak terganggu dengan yang mereka lakukan tadi malam. Mungkin baginya, hal itu memang bukan apa-apa.“Ini, kerjakan semuanya dan berikan lagi ke saya setelah selesai sebelum makan siang!” perintahnya.Misha menyodorkan tumpukkan kertas yang harus dikerjakan oleh Zayden. Dari beberapa tumpukkan kertas itu, ada yang sebagian adalah pekerjaannya. “Baik, Bu Misha.”Misha tersenyum puas melihat Zayden yang dengan mudah mengiyakan perintahnya. Memang seperti itulah Zayden—penurut dan tidak bisa membantah.“Apa kamu juga sepenurut ini ketika di atas ranjang,” batin Misha diiringi senyum tipis. Matanya diam-diam menatap tubuh Zayden. Bayangan tubuh seksinya
“Astaga! Apa yang telah aku lakukan?!” Misha memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Semalam ia terlalu banyak minum. Saat hendak bangun untuk memulai aktivitasnya, matanya membulat lebar. Zayden— pria culun yang juga bawahannya itu ada di sampingnya dan bertelanjang dada!Misha menjambak rambutnya, frustasi. Tidak seharusnya ia tidur dengan bawahannya. Bahkan jika dia mabuk, seharusnya dia bisa menahan diri.“Tenang Misha, jangan panik!” batin Misha kembali menoleh ke samping, di mana Zayden masih tidur.Misha menggigit bibirnya sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya. “Baiklah, kamu bisa mengatakannya pada Zayden untuk melupakan semua ini.” Misha menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini bukanlah apa-apa. Namun, di tengah kepanikannya, Zayden justru bangun. Pria itu menatapnya sambil tersenyum tipis.“Selamat pagi, Bu Misha,” sapa Zayden.Misha berdeham, mencoba menyembunyikan kegusarannya. Matanya menatap gelisah Zayden yang menyandarka
Zayden menghela napas panjang. Ia baru keluar dari kamar mandi setelah tadi Misha mengotori pakaiannya dengan muntahan.“Bisa-bisanya dia tertidur pulas setelah memuntahkan hampir seluruh isi perutnya ke anak buahnya sendiri.”Zayden berdecak kesal, menatap Misha yang masih terlelap di atas kasur motel. Pakaian wanita itu masih bersih, kontras dengan miliknya yang basah dan bau—yang sudah ia buang ke tempat sampah kamar mandi. Sepertinya ia harus menelepon seseorang untuk membawakannya pakaian ganti. Di tubuhnya, hanya ada handuk yang melilit dari pinggang ke bawah. Badannya masih setengah basah. Saat berjalan sambil mengeringkan rambut, ia terkejut karena melihat Misha yang terbangun. Misha duduk di pinggir kasur, setengah limbung karena mabuk. Namun ia belum menyadari keberadaannya. “Syukurlah, ternyata masih mabuk.”Zayden menghela napas lega, ia tak terlalu malu karena sedang setengah telanjang. Ia akhirnya berjalan ke arah nakas di samping tempat tidur, berencana menelepon ses