“Zayden, kemarilah!”
Misha memanggil Zayden ke mejanya. Ia sedikit meninggikan suara karena posisi duduk Zayden yang terpisah cukup jauh dengannya. Merasa dipanggil, Zayden dengan sigap menghampiri meja Misha. Dia berdiri dengan sopan di samping Misha. Menunggu atasannya memberikan instruksi untuk dikerjakan. Sepertinya Misha sudah tidak terganggu dengan yang mereka lakukan tadi malam. Mungkin baginya, hal itu memang bukan apa-apa. “Ini, kerjakan semuanya dan berikan lagi ke saya setelah selesai sebelum makan siang!” perintahnya. Misha menyodorkan tumpukkan kertas yang harus dikerjakan oleh Zayden. Dari beberapa tumpukkan kertas itu, ada yang sebagian adalah pekerjaannya. “Baik, Bu Misha.” Misha tersenyum puas melihat Zayden yang dengan mudah mengiyakan perintahnya. Memang seperti itulah Zayden—penurut dan tidak bisa membantah. “Apa kamu juga sepenurut ini ketika di atas ranjang,” batin Misha diiringi senyum tipis. Matanya diam-diam menatap tubuh Zayden. Bayangan tubuh seksinya masih tersimpan baik di otaknya. Begitu juga bagaimana liarnya pria itu tadi malam. Seakan-akan yang melakukannya bukanlah si culun di depannya ini. Menyadari akan pikiran kotor yang merasuki otaknya, Misha langsung menggelengkan kepala. “Jika ada yang tidak kamu mengerti, kamu bisa menanyakan pada rekan kerjamu,” ujar Misha mencoba bersikap profesional kembali. “Baik, Bu Misha.” Lagi-lagi Zayden menurut dan hal itu sukses mengundang senyum miring Misha. “Selamat pagi,” sapa Joshua yang baru saja datang dengan segelas teh di tangannya, menyela percakapan Misha dan Zayden. “Bagaimana, kamu sampai dengan selamat kan? Apakah Zayden mengantarkanmu sampai rumah?” tanya Joshua, tidak sabaran. Misha dan Zayden bereaksi sama, tubuh keduanya menegang. Namun, semuanya hanya terjadi beberapa saat sebelum semuanya kembali normal. “Iya, Zayden mengantarkanku sampai depan pintu,” jawab Misha. “Sampai depan pintu motel!” sambung Misha dalam hati. Joshua tersenyum, lega mendengar jawaban Misha. “Syukurlah, apakah perutmu baik-baik saja? Semalam kamu terlalu banyak minum,” tanya Joshua dengan nada khawatir. “Sedikit tidak nyaman, tapi masih oke,” balas Misha. Matanya sesaat melirik Zayden yang masih berdiri di sampingnya, sementara Joshua sudah menarik kursi dan duduk di sebelah Zayden. “Oh ya, ini!” Joshua menyodorkan gelas berisi teh yang dibawanya. Ia sengaja membuatnya untuk menarik perhatian Misha. Sejak bergabung dengan tim pemasaran, ia sudah tertarik dengan Misha. Wanita itu sesuai dengan tipenya, cantik, perfeksionis, dan ambisius. “Minumlah, ini bisa membuat perutmu hangat!” sambung Joshua. Garis bibir Misha tertarik melengkung. Wanita dengan rambut dikuncir kuda itu menyesap teh yang dibawakan oleh Joshua. Matanya tampak berbinar, menikmati teh yang terasa nikmat. “Terima kasih,” ucap Misha. “Apapun untukmu. Kalau kamu mau, aku bisa membawakannya untukmu. Teh ini diracik spesial oleh pembuatnya.” Zayden berdecak samar, muak mendengar kata-kata dari bibir Joshua yang lebih terdengar seperti bualan. Sementara Misha, wanita itu hanya tersenyum menanggapi Joshua. Tidak tahu apakah dia benar-benar tertarik atau sekedar basa-basi. “Oh ya, tentang intern yang masuk senin depan, apa kamu yang akan mengawasinya?” Joshua membuka obrolan. Sebenarnya ini hanya alasan. Dia hanya ingin berlama-lama bersama dengan Misha. Lagipula jam kantor juga belum menunjukkan kesibukannya. Tidak ada salahnya jika dia melakukan pendekatan. “Intern ya…?” Misha melirik Zayden lagi yang masih berdiri di tempatnya. “Aku akan memikirkannya dulu akan menunjuk siapa sebagai pengawasnya.” “Omong-omong, internnya laki-laki atau perempuan?” tanya Misha setelah sempat terdiam beberapa saat. “Kalau di timmu perempuan,” jawab Joshua. Misha mengangguk mengerti. Sebuah ide untuk balas dendam tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Menjadikan Zayden yang baru bekerja untuk mengawasi intern mungkin bisa memuaskan kekesalannya. “Sampai kapan aku harus berdiri di sini,” gerutu Zayden dalam hati. Telinga serta kakinya lelah mendengar percakapan dua orang di dekatnya ini, terlebih Joshua. Terlihat sekali jika pria itu ingin mendekati Misha, beruntung Misha hanya diam, entah memikirkan apa. “Misha….?” Joshua mengibaskan tangannya di depan wajah Misha ketika wanita itu hanya diam dan tidak menanggapi ucapannya. Namun, malah tersenyum aneh. “Aahh… iya, ada apa?” celetuk Misha terkesiap. Joshua berusaha tersenyum, meski hatinya menggerutu. Dia sudah bicara panjang lebar tapi Misha tidak mendengarkannya. “Aku memiliki dua tiket untuk menonton konser pianis dan ketika aku lihat, ternyata pianis itu adalah pianis kesukaanmu. Seorang teman memberikannya padaku. Aku ingin menontonnya tapi….” “Kamu ingin mengajakku?” potong Misha dengan cepat. Dia sudah cukup hafal dengan trik murahan seperti ini. “Jika kamu tidak keberatan? Nanti setelah pulang dari konser kita bisa mampir ke restoran milik temanku. Kebetulan dia membuat menu baru dan memintaku untuk mencicipinya,” sahut Joshua bersemangat. “Bagaimana?” Tanya Joshua penuh harap. Misha melirik Zayden sebentar sebelum kembali pada Joshua. “Boleh,” jawab Misha. “Baiklah kalau begitu. Aku… kembali ke ruanganku dulu.” Misha mengangguk. “He’em…. Terima kasih atas tehnya.” Joshua mengangguk menjawab ucapan Misha. Sebelum benar-benar pergi, Joshua tersenyum sambil menepuk pundak Zayden dua kali. Hal itu sukses membuat Zayden kesal. Dia melirik sebentar ke arah pundaknya sebelum berdecak kecil, sangat kecil tapi mampu tertangkap oleh Misha. Misha mengerutkan keningnya, sedikit tercengang. “Apa dia baru saja berdecak padaku?” ***“Kenapa harus berpapasan lagi,” desah Misha dalam hati saat berdiri berdua bersisian dengan Zayden saat menunggu lift datang. Misha berusaha tetap tenang, dengan wajah dingin seperti biasanya dan tanpa senyuman. Seakan-akan tidak ada Zayden di sana.Kedok yang berusaha dia pertahankan meski hatinya berdebar tidak karuan.“Tenang, Misha. Rileks,” Misha berusaha menyabarkan diri.Tidak ada yang berbicara, hanya ada keheningan dan riuhnya beberapa percakapan dari dalam ruangan yang terdengar sampai lorong sebagai latarnya. Misha juga enggan untuk berbicara duluan.Lift akhirnya tiba, yang terasa begitu lama bagi Misha. Keduanya masuk bersamaan ke dalam lift yang kosong dengan tujuan yang sama yaitu lobbi.Pintu lift tertutup, menampilkan pantulan sosok mereka berdua di sana dengan jelas.“Zayden.”Misha akhirnya buka suara.Zayden meliriknya sekilas sebelum menjawab. “Iya, Bu Misha.”“Senin besok akan ada anak intern di team kita. Kamu yang akan menjadi pengawasnya ya.”Zayden sontak me
Di antara riuhnya obrolan para karyawan di jam makan siang, Misha nampak gelisah. Padahal saat itu dia sedang tidak makan sendirian melainkan bersama beberapa rekan kerja dan Joshua yang duduk di depannya sembari mengoceh panjang lebar entah menceritakan apa.Misha berusaha menikmati makanannya, namun fokusnya berada di tempat lain. Pada pria yang juga sedang menikmati makan siangnya duduk beberapa meja darinya sembari di ganggu oleh rekan kerjanya.“Kamu tahu, Misha. Aku harap kita akan dapat bonus dari proyek…”Misha mengangguk-anggukan kepalanya, seakan merespon ucapan Joshua agar pria itu tidak curiga kalau dia sejak awal mencuri-curi pandang ke arah Zayden. Berusaha dibuat senatural mungkin agar tidak ada yang menyadari kemana perhatiannya berada. Kunyahan demi kunyahan yang ditelannya, tidak begitu terasa oleh Misha. Hatinya merasa tidak tenang. Batinnya kembali bergejolak, seperti malam itu. Saat Zayden diganggu oleh rekan kerjanya yang lain.Namun di sisi lain, Misha masih m
Misha yakin, dia tidak salah dengar. “Zay? Apa kamu baru saja berdecak padaku?”Pria itu nampak bergeming, ekspresinya sedatar biasanya hingga Misha harus menyipitkan mata untuk mencari celah.Zayden menggeleng. “Tidak, Bu. Mungkin Anda salah dengar.”“Benarkah salah dengar?” Batin Misha penuh keraguan. “Sepertinya tidak.”Misha sangat yakin dia mendengar pria itu berdecak tadi. Namun sepertinya, percuma saja jika memaksa pria itu mengakuinya. Zayden pandai mengatur ekspresinya untuk mengelabui orang-orang. Setelah melihat sisi lain Zayden yang liar tadi malam, Misha tidak bisa lagi melihat pria itu seperti biasanya. Tatapan mata Zayden mengisyaratkan jika ada banyak hal yang disembunyikan olehnya. Teringat tentang hal semalam, tanpa sadar Misha merasa malu sendiri dan mengalihkan pandangan dari Zayden yang tengah menatapnya.Misha mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka kembali ke pekerjaan. “Kalau begitu, tolong kamu lakukan riset untuk mencari beberapa bahan campaign besert
“Zayden, kemarilah!” Misha memanggil Zayden ke mejanya. Ia sedikit meninggikan suara karena posisi duduk Zayden yang terpisah cukup jauh dengannya. Merasa dipanggil, Zayden dengan sigap menghampiri meja Misha. Dia berdiri dengan sopan di samping Misha. Menunggu atasannya memberikan instruksi untuk dikerjakan. Sepertinya Misha sudah tidak terganggu dengan yang mereka lakukan tadi malam. Mungkin baginya, hal itu memang bukan apa-apa.“Ini, kerjakan semuanya dan berikan lagi ke saya setelah selesai sebelum makan siang!” perintahnya.Misha menyodorkan tumpukkan kertas yang harus dikerjakan oleh Zayden. Dari beberapa tumpukkan kertas itu, ada yang sebagian adalah pekerjaannya. “Baik, Bu Misha.”Misha tersenyum puas melihat Zayden yang dengan mudah mengiyakan perintahnya. Memang seperti itulah Zayden—penurut dan tidak bisa membantah.“Apa kamu juga sepenurut ini ketika di atas ranjang,” batin Misha diiringi senyum tipis. Matanya diam-diam menatap tubuh Zayden. Bayangan tubuh seksinya
“Astaga! Apa yang telah aku lakukan?!” Misha memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Semalam ia terlalu banyak minum. Saat hendak bangun untuk memulai aktivitasnya, matanya membulat lebar. Zayden— pria culun yang juga bawahannya itu ada di sampingnya dan bertelanjang dada!Misha menjambak rambutnya, frustasi. Tidak seharusnya ia tidur dengan bawahannya. Bahkan jika dia mabuk, seharusnya dia bisa menahan diri.“Tenang Misha, jangan panik!” batin Misha kembali menoleh ke samping, di mana Zayden masih tidur.Misha menggigit bibirnya sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya. “Baiklah, kamu bisa mengatakannya pada Zayden untuk melupakan semua ini.” Misha menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini bukanlah apa-apa. Namun, di tengah kepanikannya, Zayden justru bangun. Pria itu menatapnya sambil tersenyum tipis.“Selamat pagi, Bu Misha,” sapa Zayden.Misha berdeham, mencoba menyembunyikan kegusarannya. Matanya menatap gelisah Zayden yang menyandarka
Zayden menghela napas panjang. Ia baru keluar dari kamar mandi setelah tadi Misha mengotori pakaiannya dengan muntahan.“Bisa-bisanya dia tertidur pulas setelah memuntahkan hampir seluruh isi perutnya ke anak buahnya sendiri.”Zayden berdecak kesal, menatap Misha yang masih terlelap di atas kasur motel. Pakaian wanita itu masih bersih, kontras dengan miliknya yang basah dan bau—yang sudah ia buang ke tempat sampah kamar mandi. Sepertinya ia harus menelepon seseorang untuk membawakannya pakaian ganti. Di tubuhnya, hanya ada handuk yang melilit dari pinggang ke bawah. Badannya masih setengah basah. Saat berjalan sambil mengeringkan rambut, ia terkejut karena melihat Misha yang terbangun. Misha duduk di pinggir kasur, setengah limbung karena mabuk. Namun ia belum menyadari keberadaannya. “Syukurlah, ternyata masih mabuk.”Zayden menghela napas lega, ia tak terlalu malu karena sedang setengah telanjang. Ia akhirnya berjalan ke arah nakas di samping tempat tidur, berencana menelepon ses