Misha yakin, dia tidak salah dengar.
“Zay? Apa kamu baru saja berdecak padaku?” Pria itu nampak bergeming, ekspresinya sedatar biasanya hingga Misha harus menyipitkan mata untuk mencari celah. Zayden menggeleng. “Tidak, Bu. Mungkin Anda salah dengar.” “Benarkah salah dengar?” Batin Misha penuh keraguan. “Sepertinya tidak.” Misha sangat yakin dia mendengar pria itu berdecak tadi. Namun sepertinya, percuma saja jika memaksa pria itu mengakuinya. Zayden pandai mengatur ekspresinya untuk mengelabui orang-orang. Setelah melihat sisi lain Zayden yang liar tadi malam, Misha tidak bisa lagi melihat pria itu seperti biasanya. Tatapan mata Zayden mengisyaratkan jika ada banyak hal yang disembunyikan olehnya. Teringat tentang hal semalam, tanpa sadar Misha merasa malu sendiri dan mengalihkan pandangan dari Zayden yang tengah menatapnya. Misha mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka kembali ke pekerjaan. “Kalau begitu, tolong kamu lakukan riset untuk mencari beberapa bahan campaign beserta brand ambassador yang cocok untuk digunakan bulan depan.” Zayden diam saja. Tidak langsung menurut dan mengiyakan seperti sebelumnya saat dia menerima perintah. “Jadi, bukan hanya dokumen bertumpuk ini saja yang harus saya kerjakan, tapi juga melakukan riset untuk campaign?” Misha mengangguk. “Benar. Cari yang sesuai dengan target pasar perusahaan.” Zayden mengeryit, nampak sedang memikirkan sesuatu dan sepertinya Misha tahu apa yang tengah dia pikirkan karena Misha memang sengaja melakukannya. “Apa mungkin Zayden menyadarinya?” Gumam Misha dalam hati. “Kenapa? Apa ada masalah dengan tugas ini?” Zayden menggeleng. “Tidak, Bu Misha.” “Bagus. Kalau begitu, kamu pasti bisa menyelesaikannya sebelum makan siang kan?” Tidak hanya tugas yang banyak, Zayden juga ditekan dengan waktu yang sedikit untuk mengerjakannya. Misha awalnya yakin kalau Zay akan protes tapi ternyata pria itu malah mengangguk setuju. “Bisa, Bu Misha.” “Baiklah. Silahkan kembali ke tempatmu.” Zayden mengangguk, membawa berkasnya dan berbalik pergi menuju ke mejanya di bawah tatapan Misha yang tidak lepas memperhatikannya dari belakang. Misha yakin, Zayden berdecak padanya tadi entah untuk alasan apa meski pria itu tidak mengakuinya. Hal itu malah membuatnya semakin kesal. “Kita lihat saja, apa yang bisa aku lakukan padamu setelah ini,” ucap Misha dalam hati sembari tersenyum penuh akal licik. *** “Bu Misha.” Misha yang tadinya sedang fokus mengerjakan pekerjaannya tidak menyadari jika Zayden sudah berada di dekat mejanya. “Iya. Apa ada yang mau kamu tanyakan?” “Saya sudah melakukan riset campaign seperti yang diperintahkan dan sudah mengirimnya ke email. Silahkan Bu Misha cek pekerjaan saya.” Misha terdiam sesaat. Perasaan belum lama dia memberikan banyak tugas pada pria itu hingga tidak menyangka jika bisa selesai secepat ini. Misha melihat ke arah jam tangannya dan waktu menunjukkan belum mencapai jam makan siang. “Kamu sudah selesai mengerjakannya?” Misha mencoba memastikan lagi. “Iya, Bu Misha.” Misha benar-benar takjub. Kinerja Zayden memang patut diapresiasi. Misha langsung mengecek email, menemukan file kiriman dari Zayden dan langsung membukanya. “Saya akan menjelaskannya satu persatu, Bu. Jadi, tema campaign yang saya ajukan…..” Selagi Misha membacanya dengan teliti, Zayden di depannya tanpa diminta langsung memberikan penjelasan panjang lebar sesuai dengan apa yang dia tuliskan di file hingga membuat Misha tanpa sadar mengangguk-anggukan kepalanya penuh pemahaman. Tugas sebanyak itu yang Misha berikan ternyata bisa diselesaikan dengan baik dan dalam tenggat waktu yang cukup cepat. Misha kagum dengan kemampuan yang dimiliki pria di depannya itu. Pantas saja jika Satria dan Sarah sering mengerjai Zayden karena dia mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan tanpa celah. Misha diam mendengarkan hingga Zayden mengakhiri penjelasannya dan Misha berakhir menatapnya tidak percaya. “Kamu mengerjakan semua ini sendirian?” tanya Misha, menujuk layar di depannya. “Tanpa bantuan siapapun.” Zayden mengangguk. “Iya, Bu. Saya melakukannya sesuai dengan perintah yang diberikan Bu Misha.” Misha mengeryit, kembali menatap layar monitornya dan membaca kembali semuanya. Penjelasannya sangat mudah dipahami dan sesuai dengan target yang diinginkan. Tidak ada cela sedikitpun yang bisa Misha koreksi. “Apakah ada yang kurang, Bu Misha? Atau tidak sesuai?” tanya Zayden ragu. Misha menggelengkan kepala. Kecewa karena Zayden bisa mengerjakan tugasnya dengan baik dan tidak ada yang bisa dikritik. Tidak sesuai dengan yang diharapkannya saat dia memberikan setumpuk tugas pada Zayden agar pria itu kerepotan mengerjakannya dan meminta bantuannya. “Tidak. Kamu mengerjakannya dengan baik. Semuanya sesuai dengan ekspektasi.” Zayden tersenyum tipis melihat Misha yang masih menatap layar monitornya hingga tidak menyadari ekspresinya yang puas. “Apa ada yang mau Bu Misha tanyakan terkait isi filenya?” Misha menggelengkan kepala, nampak sepeti kecewa. “Tidak. Ini bisa digunakan untuk minggu depan.” “Syukurlah, Bu. Apakah saya sudah boleh kembali ke meja saya?” Misha mengangguk, Zayden kembali ke mejanya, tidak menyadari tatapan kesal yang dilayangkan Misha dari tempatnya duduk. Niat awal ingin mengerjai Zayden namun malah Misha yang berakhir kecewa. “Dasar pria menyebalkan!” Gerutu Misha dalam hati karena gagal membuat Zayden kerepotan. ***Misha gelisah seharian ini. Dia tidak tahu apakah Zayden akan mendengarkan sarannya untuk tidak datang ke klub bersama Satria dan teman-temannya. Pria itu hanya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.Bagaimana bisa Misha tidak khawatir dengan perangai Satria yang seperti itu yang terlihat suka sekali membully Zayden?Misha berusaha mencari tahu klub mana yang akan mereka datangi namun nihil. Dia tidak tahu pasti siapa saja orang kantor yang akan datang. Jika terpaksa, Misha akan bertanya pada Joshua. Meskipun dia tahu pria itu mungkin akan bertanya banyak hal.Misha hanya ingin memastikan Zayden tidak datang ke sana agar dia tidak terus merasa gelisah. “Kenapa kamu terus melihat ponselmu?” Tanya Dena, saat mereka berada di minimarket mencari bahan untuk membuat sushi di apartemen. “Apa ada seseorang yang sedang kamu tunggu? Bawahanmu itu?”Misha berdecak. “Aku seperti ini mungkin dia juga tidak akan peduli. Bodoh sekali aku yang terlalu mengkhawatirkan dia.”Dena berdecak mel
Misha semalam agak kurang tidur setelah berendam agak lama di dalam bath up untuk menenangkan diri. Kembali mengulang-ulang adegan di dalam mobil kalau saja tidak ada yang menelepon saat itu. Mungkin mereka akan melakukannya di sana di area apartemennya.Misha hanya bisa menyebut dirinya sendiri gila kalau sampai hal itu terjadi.Semalaman Misha berpikir, kalau dia merasa jika selama ini Zayden juga menginginkannya sama seperti dirinya yang menginginkan pria itu. Misha berniat untuk menanyakannya nanti jika ada kesempatan.Misha masuk ke dalam ruangan sambil menyesap kopi panas yang dia beli di cafe dalam perjalanan pergi ke kantor. Kaget mendapati Zayden ternyata sudah berada di mejanya dan balik menatapnya. Misha malu, buru-buru berjalan ke tempat duduknya dengan langkah agak dipercepat. Misha merasa seperti sedang kepergok melakukan perbuatan dosa dan sedang menghindar.Misha menyalakan monitornya dan meletakkan barang-barangnya seperti biasa saat Zayden ternyata sudah berdiri di
Zayden melihat layar ponselnya menyala. Dia menoleh ke Misha yang ternyata tertidur di kursinya dengan kepala menunduk. Setelah memastikan Misha memang tidur,Zayden mengangkat panggilan dari seseorang.“Bagaimana?” Ucapnya tanpa salam pembuka. “Filenya aman?”“Aman,Pak. Saya sudah mengembalikannya.”“Kerja bagus. Kirim email.”“Baik,Pak.”Panggilan ditutup. Zayden melihat waktu sudah menunjukkan hampir jam sembilan malam. Digerakkannya kepalanya ke kanan dan ke kiri yang terasa pegal, mematikan layar monitornya dan selama menunggu,dia melakukan satu lagi panggilan yang lain.“Pastikan tidak ada orang di lantai bawah. Dan bawa mobil ke area parkir samping.”Setelah menutupnya, Zayden berdiri dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Layar monitornya sudah mati, dia mendekati meja Misha dan membereskan barang-barang wanita itu.Zayden memegang tas Misha lalu menghampiri wanita yang terlihat tidur nyenyak itu setelah salah tingkah menghadapi ciumannya. Zayden mengangkatnya ala brid
“Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi, Hana?” Tanya Misha.Hana nampak gelisah,berdiri saling meremas kedua tangannya di depan meja Misha sementara Zayden mencoba untuk mencari file tersebut bersama Doni dan Juno.“Saya tidak sengaja,Bu Misha,” suaranya pelan.Misha mencoba untuk menahan emosinya. Sebelum menjawab, dia menghela nafas panjang membuat Hana makin merunduk.“Ini adalah sebuah kecerobohan. Apa kamu mengakui kesalahanmu?”“Iya,Bu.”Doni dan Juno di belakang memandangi Hana sembari berdecak dan menggelengkan kepala. Zayden yang sejak datang tadi langsung memeriksa server kantor untuk mencari filenya hanya diam dengan tatapan serius. Dia lantas berdiri dan mendekati meja Misha, berdiri di samping Hana.“Tidak ada. Terpaksa kita harus lembur untuk membuat ulang.” Zayden menoleh ke Hana. “Waktunya masih cukup.” “Rasanya seperti membuang-buang waktu. File kampanye itu sudah hampir selesai dan sekarang kita harus kembali membuatnya,” decak Juno, nampak kesal melihat Hana da
Misha kembali ke ruangan setengah jam kemudian setelah berdiam beberapa saat di kamar mandi untuk menenangkan diri sekaligus memeriksa penampilannya. Joshua sudah ada di sana, menunggu di dekat mejanya seraya memeriksa berkas di tangannya.Misha berjalan ke arah mejanya, melewati Zayden yang sedang berdiri di samping Hana yang fokus pada layar komputernya seperti sedang memberikan arahan. Namun, saat Misha lewat, dia bisa merasakan tatapan Zayden pada dirinya.Misha berusaha keras untuk tidak menatap balik.“Kamu dari mana saja?” Tanya Joshua saat dia duduk di kursinya. “Aku mencarimu sejak tadi.”“Apa ada yang penting sampai kamu mencariku?” Tanya Misha.Joshua tersenyum. “Kita dapat jawaban klien yang kita datangi kemarin.”Misha fokus mendengarkan Joshua. “Mereka meminta kita datang untuk beberapa pembenahan.”“Datang langsung?” “Iya.”Misha mengangguk, pasti ada yang harus ditinjau ulang hingga mereka menyuruh untuk kembali datang.“Kapan?”“Besok. Aku akan menjemputmu karena me
Seperti dugaan Misha, keduanya makan siang di meja yang sama. Misha hanya melihat dari luar, tidak lagi berselera untuk makan dan masuk ke sana apalagi harus satu ruangan. Misha berdecak, merasa menyesal telah mengikuti kata hatinya seperti ini karena pada akhirnya, dialah yang merasa sakit sendiri.Misha berbalik, namun seseorang menyenggolnya dari belakang dengan cukup keras.“Aduh,” erangnya, dilihatnya pria itu tidak berhenti untuk meminta maaf malah berjalan terus saja tanpa memperdulikan sekitarnya.“Hei!” Misha menegur, namun pria itu tidak mendengar. Dia menyipitkan mata mencoba untuk mengenali gesturenya dari belakang, sebelum pria itu berbelok, Misha menyadari jika pria itu adalah bawahannya Joshua yaitu Satria. Pria itu terlihat nampak kesal dari kepalan tangannya yang kemudian sosoknya menghilang di lorong.“Kenapa dia?” Misha bertanya-tanya sembari mengelus lengannya. “Sikapnya menyebalkan.”Misha berjalan menuju ke arah lift dan memutuskan untuk membeli roti isi kesuka