Hannah, Lisa dan Nur. Tiga anak perempuan yang bisa dibilang adik kelas Bora namun sekarang menjadi teman sekelas. Dulu Bora sempat mendapat perundungan saat kelas satu SMA, namun berkurang saat membawa Bern dan sekarang, setelah satu tahun tidak masuk sekolah karena syok, adik-adik kelas yang mengetahui kasus itu semakin meremehkan Bora."Hanya karena anak walikota terkenal, kamu bisa berbuat sesuka hati? Hah!" Hannah memeriksa kukunya yang dikikir dengan indah. "Apakah kamu tidak malu datang ke sekolah setelah membuat kejadian heboh yang memalukan?"Bora melihat layar monitor di atas kepala ketiga anak itu, rupanya mereka dulu adalah bawahan kakak tiri perempuannya. Bora mengambil napas perlahan lalu menghembuskannya, tidak mau cari masalah dengan mereka. Dia berjalan melewati mereka bertiga.Ketiga orang yang tahu Bora nekat berjalan melewati, segera menarik Bora ke belakang hingga membuat tas ranselnya putus.Semua orang yang ada di parkiran terkejut dan melihat apa yang terjadi
Bora yang sudah berganti pakaian bersih dan mandi, disuruh makan oleh pemilik rumah. Dua anak pemilik rumah yang masih kecil, menatap Bora dengan kagum. Mereka kenal Bora di media sosial namun tidak menyangka bisa melihat sosok aslinya. "Aku selalu melihat media sosial kakak saat bersama Bern. Sayang sekali Bern meninggal karena sakit."Itu adalah alasan yang dibuat papa Bora ke media sosial, kejadian aslinya hanya diketahui oleh orang terdekat.Bora tersenyum dan makan dengan lahap.Ibu pemilik Husky meletakan air di samping piringnya. "Makan pelan-pelan."Bora mengangguk kecil. "Terima kasih."Ibu pemilik Husky memperkenalkan dirinya. "Nama saya Ratih, yang besar Juno dan yang kecil Justin."Juno dan Justin menyapa Bora bersamaan. "Hallo, kakak."Ratih sudah membaca media sosial Bora. "Saya dulu pengikut media sosial kamu, interaksi dengan Bern sangat bagus terutama saat kamu mendapat serangan panik. Apakah sekarang kamu sudah tidak butuh anjing pendamping lagi?"Bora menghela nap
Bora berhasil mendapat tanda tangan surat kuasa dari sang papa, lalu diberikan ke dokter Ditya.Dokter Ditya menepuk kepala Bora. "Bagus.""Dokter, boleh aku bertanya?""Apa itu?""Kenapa dokter membantu aku sampai sejauh ini? Apakah ada sesuatu yang diinginkan dokter? Atau karena aku adalah anak walikota?"Ditya tersenyum. "Bukankah kita pernah membahas masalah ini?""Itu-"Bora menundukkan kepala, masih penasaran dengan jalan pikiran dokter Ditya yang selalu menolongnya. "Bern yang minta bantuan kepada aku, jadi kamu jangan terlalu memikirkannya." Ditya mengacak rambut Bora. "Kamu sudah selesai membuat makalah?"Bora mengangguk. "Baru garis besar."Ditya mengangguk. "Bagus, tunggu aku di sini. Aku sedang ada operasi."Bora mengangguk lagi lalu duduk di meja kerja Ditya, dia memeriksa garis besar makalah yang akan ditulisnya lalu tidak lama handphone bergetar."Mama?"Nama mama Bora muncul, Bora segera mengangkatnya."Bora?""Mama, aku-""Bora, apakah kamu menjadi anak nakal di sana
'Pergilah ke rumah sakit swasta yang dekat dari sini, bilang kamu ada janji bertemu dengan profesor Hendra dan sebut saja nama kamu Bora.'Bora masih mengingat pesan yang diberikan dokter Donny. Setelah diskusi mengenai makalah yang akan diikutkan lomba, dokter Ditya memberikan sedikit saran dan juga perbaikan, besok hari terakhir dia mengumpulkan makalah. Jam sudah menunjukan lima sore dan sekarang Bora sudah berdiri di depan pintu masuk rumah sakit.Bora menyemangati diri sendiri dan masuk ke dalam. "Selamat sore, apakah ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang perawat di lobby."Saya ada janji dengan profesor Hendra."Perawat itu menatap curiga Bora. "Janji untuk?"Bora tahu tatapan curiga perawat tersebut. "Bora, bilang saja saya Bora."Perawat itu mendadak teringat sesuatu. "Ah, kamu kan..."Perawat itu tidak melanjutkan kalimatnya dan bergegas menghubungi seseorang.Bora mendengar percakapan orang-orang di sekitarnya."Bukankah dia anak walikota?""Ah, benar. Anak bermasalah i
Bora pulang ke rumah dengan perasaan lelah, hari ini dia benar-benar sibuk. Ibu tiri sudah menunggu di ruang tamu dengan amarah luar biasa. "BORA!"Bora tidak menghentikan langkahnya dan tetap naik ke atas tangga, jika dulu dirinya ketakutan dan menurut ke ibu tiri, sekarang dia tidak peduli lagi.Ibu tiri mengikuti Bora dari belakang dan berteriak di bawah tangga. "TURUN, BORA!"Bora menghentikan langkah di tengah tangga lalu balik badan. "Ada apa?""Kamu- bagaimana bisa kamu membuat skandal mengerikan seperti itu?""Bisa beritahu aku, skandal apa yang sudah aku buat?" Tanya Bora.Ibu tiri terkejut lalu kedua mata menyipit curiga. "Semenjak kamu berupaya bunuh diri, sepertinya semua sifat kamu berubah total. Apakah aku harus bawakan kamu untuk ruqiah?"Bora tertawa sinis. "Tidak ada yang berubah.""Bohong! Kamu berubah seolah bukan Bora pengecut yang kami kenal.""Apakah Ibu suka dengan aku y
"Tapi kamu bisa pulih dengan cepat, mengingat ada kepentingan yang harus kamu lakukan." Hendra mengembalikan catatan kesehatan Bora dan mengusir perawat itu. "Apa yang harus saya lakukan?"Setelah perawat menutup pintu, Hendra menunduk dan menatap Bora. "Bukankah kamu punya cheat yang sangat menguntungkan?""Cheat?""Semacam kekuatan atau berkah yang diberikan oleh Bern."Bora menatap lurus Hendra. "Selain itu? Tidak ada lagi alternatif lain?""Apakah cheat yang diberikan tidak berguna?"Bora mengalihkan tatapan. "Dibilang berguna sih iya, tapi tidak terlalu berguna untuk melihat kondisi kesehatan. Karena itu-"Hendra angkat tangan untuk menghentikan cerita Bora. "Oke, cukup. Lebih baik kamu simpan sendiri cheat tidak berguna itu."Bora cemberut."Karena tidak terlalu berguna, yang bisa saya lakukan hanya memberikan resep obat dan juga- kamu harus selalu mengunjungi saya.""Baik.""Tidak ada berita mengenai kamu jatuh dari tangga
Hendra mengikuti Bora di belakang dengan jalan perlahan. "Jadi, apakah itu hasil dari peringatan sistem milik kamu yang diberikan Bern?"Bora tidak menjawab."Kamu pasti kecewa melihat kedua orang tua perlahan melupakan kamu.""Sejak awal aku memang berusaha dilupakan, mereka hanya berusaha tanggung jawab atas kesalahan masa lalu. Bahkan aku pun terlahir dari kesalahan." Jawab Bora.Mendengar nada suara Bora yang seperti biasa, menandakan remaja perempuan itu mendengar cerita yang sama berulang kali.Bora mulai cerita. "Sejak kecil mereka selalu bertengkar dan merasa tidak cocok, di keluarga mama- wanita harus bisa tegas tapi di keluarga papa, wanita harus selalu tunduk. Awalnya mereka bertengkar di dalam kamar sehingga kami bertiga tidak tahu, tapi lama kelamaan- semuanya berubah sejak papa ketahuan selingkuh."Hendra memukul kepala Bora.Bora teriak kesakitan sambil mengusap kepalanya dan melirik tajam Hendra.
Keesokan harinya Bora duduk di samping jendela sambil mencuri dengar diskusi papa dan ibu tirinya, pandangan mata kosong ke luar jendela. Pagi ini sepertinya mereka berdiskusi di meja makan, rupanya setelah profesor Hendra mengeluarkan larangan kunjungan, papa dan ibu tiri lebih memilih pulang."Bora sepertinya tidak punya semangat di akademi, pernikahan adalah yang terbaik untuknya. Kamu lihat sendiri 'kan- hanya demi seekor anjing, dia stres seperti itu.""Benar, pa.""Dia juga membuat banyak kebohongan untuk menarik perhatian orang lain, bully salah satunya.""Aku melihat kalian berdua mendorong anakku, kalian kira aku buta? Aku menutup mata karena kalian adalah anak dari wanita yang aku cintai, dan kamu- aku sudah merawat anak-anak kamu dengan baik, kenapa kamu tidak mau merawat anakku dengan perlakuan yang sama?""Aku merawatnya, tapi dia terlalu lebay dan mencari perhatian. Anak-anakku juga broken home tapi mereka mampu mengatasi kesulitannya send