Share

2. Dinding Hotel Yang Dingin

Lebih dari tiga jam berlalu sejak Velica memberitahu lokasi acara pembukaan hotel pada Bonita. Dia sudah mencoba menelepon sahabatnya itu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Saat ini, dia sedang berdiri di tepi jalan raya seraya memicingkan mata untuk melihat mobil Bonita yang mungkin akan muncul kapan saja. Namun, hari semakin larut. Cahaya lampu mobil yang hilir-mudik mungkin saja membuatnya salah melihat.

''Ayolah, Boo. Percuma saja kamu datang." Gumam Velica seraya berjalan menghampiri gedung hotel. Dia menyandarkan punggung ke dinding. Matanya melirik ke arah kotak peralatan rias yang tergeletak di sebelahnya. 

Entah sudah berapa puluh orang yang melewatinya dan menatap aneh ke arahnya sejak tadi. Dia bahkan sempat menatap tajam pada beberapa pria hidung belang yang terlihat berniat mengganggu hingga mereka pergi dengan sendirinya.

Velica menghela napas berat. Dia menyesal karena baru menyadari lebih baik memberitahu Bonita tentang perselingkuhan Benjamin besok saja. Dia terlalu terkejut saat melihat Benjamin dipeluk oleh Zayna hingga tidak berpikir panjang.

Menit demi menit berlalu setelah Velica menyandarkan tubuh pada dinding hotel. Orang-orang yang lalu-lalang mulai berkurang. Jika bukan karena tiba-tiba melihat keberadaan mobil Bonita, mungkin detik itu juga Velica akan pergi ke salah satu restoran di sekitar sana.

"Boo!" Teriak Velica seraya berlari menghampiri mobil Bonita yang melambat.

Bonita menghentikan mobil dan menurunkan jendela, "Kamu menungguku?"

"Maafkan aku. Sepertinya kamu tidak akan bisa masuk. Hotel itu ditutup khusus malam ini untuk menjamu tamu yang memiliki undangan." Sesal Velica dengan raut wajah sangat bersalah melalui sela jendela mobil yang terbuka.

Bonita tertegun dengan kekecewaan yang jelas terpeta. Hampir empat jam dia membelah jarak dan menahan kegelisahan hanya untuk bertemu dengan Benjamin. Namun, usahanya sia-sia.

"Tunggulah besok. Kamu sudah mencoba menelepon Benjamin?"

"Teleponku tidak diterima."

"Tunggu sebentar." Ujar Velica seraya menjauh untuk mengambil kotak peralatan rias miliknya yang masih tergeletak dekat dinding, lalu memasuki mobil Bonita. "Ayo, kita ke restoran dan bicara. Kita bisa melihat siapa saja yang keluar dan masuk hotel dari sana."

Mereka beranjak ke restoran yang berada tepat di seberang hotel. Velica yang memesan makanan untuk mereka berdua karena Bonita terus diam. Dia sengaja mengajak Bonita duduk di dekat jendela agar leluasa memperhatikan siapa saja yang hilir-mudik di seberang sana.

"Apakah ponselmu mati?" tanya Velica.

Bonita mengambil ponsel dari saku celana dan bergumam seorang diri, "Aku baru menyadarinya."

"Aku meneleponmu agar kamu tidak perlu datang, tapi tidak apa. Pakailah dan coba telepon Benjamin." Ujar Velica seraya meminjamkan pengisi daya yang diambil dari dalam tas.

Bonita menerimanya tanpa mengatakan apapun. Baterai ponselnya akan membutuhkan waktu untuk terisi kembali, maka dia membiarkannya tergeletak di atas meja setelah menyambungkannya pada kabel pengisi daya.

"Aku minta maaf, Boo. Jika Isabell tidak pulang lebih dulu, mungkin kamu bisa menemui Benjamin sekarang."

"Kamu tidak perlu meminta maaf untuk itu."

"Tapi kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang." Ujar Velica dengan tatapan sangat bersalah. Velica merasa salah tingkah karena Bonita hanya menatapnya tanpa mengatakan apapun hingga memutuskan untuk mendekatkan bibir pada telinga Bonita dan berbisik. "Dan lagi ..., sepertinya mereka sekamar."

Bonita terkesiap, "Maksudmu ...?"

Velica mengangguk ragu, "Aku sempat bertanya pada Isabell sebelum dia pulang. Hanya ada satu kamar untuk satu kartu undangan. Isabell cukup yakin bahwa yang diundang untuk acara pembukaan hotel adalah Zayna. Benjamin mungkin hanya diajak."

Bonita membeku. Namun, jantungnya berdetak kencang dengan sensasi panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Dia cemburu. Sangat cemburu. Ada sesuatu yang terasa sangat salah dengannya. Entah kehilangan salah satu syaraf di otak atau mungkin salah satu pembuluhnya tiba-tiba tersumbat.

Velica menatap Bonita nanar, "Aku sempat meminta kartu undangan pada Isabell dan beralasan ingin menginap karena ada seseorang yang ingin kutemui di kota ini besok, tapi dia menolak memberikannya."

Alih-alih menanggapi Velica, Bonita menambatkan tatapan pada hotel baru di seberang jalan. Di salah satu kamar hotel itu, kekasihnya sedang bersama seorang wanita anggun dan seksi. Entah apa yang terjadi pada keduanya. Pikiran Bonita mulai menduga-duga semua hal buruk yang bisa saja terjadi.

"Kamu —maksudku, kalian pernah melakukannya?"

Bonita menggeleng dengan tatapan tetap tertambat pada hotel di seberang sana. Dia tahu dengan jelas apa maksud pertanyaan Velica. Selama empat tahun menjalin hubungan dengan Benjamin, mereka memang belum pernah melakukannya. Sejauh ini mereka hanya saling berpelukan dan berciuman di berbagai kesempatan. Tidak pernah lebih dari itu.

Bonita selalu memberi batas yang jelas walau hasrat mereka menggebu. Dia sangat menjaga hal itu karena tidak ingin bernasib sama seperti wanita lain yang merasa sangat terikat dengan seorang pria hingga kehilangan akal dan bersedia melakukan apa saja.

Ada banyak wanita yang dikenalnya mengalami gangguan mental karena pernah memberikan segalanya hingga berakhir dengan menjalani kehidupan menyiksa selamanya. Bahkan di lingkungan sosialnya yang sangat bebas pun, para wanita masih saja naif dan mengharap pria akan bertekuk lutut hanya pada dirinya jika mereka memberikan segala yang pria inginkan. Padahal yang sesungguhnya terjadi, pria manapun akan tetap pergi jika tidak berniat untuk tinggal dan menetap pada satu hati.

"Kamu serius?" Ada nada tidak percaya pada pertanyaan Velica, tapi anggukan singkat di kepala Bonita yang masih menatap hotel di seberang sana menjawab segalanya. "Dia tidak mungkin berselingkuh darimu karena membutuhkan pelampiasan, bukan?"

Bonita tersenyum getir menatap ponsel yang masih tergeletak mati di atas meja, "Entahlah. Bee hanya memberitahu dia ingin ke kota ini untuk membantu teman lama. Aku tidak tahu siapa teman yang dia maksud dan apa yang akan dia lakukan untuk membantu."

Velica mengusap bahu Bonita, "Aku minta maaf, Boo."

"Tidak perlu. Kamu bertindak benar dengan memberitahuku. Aku akan meminta penjelasan padanya. Aku ...," tenggorokan Bonita tercekat hingga tidak mampu melanjutkan. Ada terlalu banyak hal yang dia pikirkan. Sayatan di hatinya bertambah saat memikirkan segala kemungkinan yang ada. Dua orang berbeda jenis kelamin berada di dalam satu kamar yang sama merupakan pertanda buruk. Teramat-sangat-buruk.

Pramusaji mengantarkan makanan dan pergi sesaat setelahnya. Velica mengajak Bonita untuk mulai makan, tapi Bonita menolak.

Bonita menyalakan ponsel dan mencoba menelepon Benjamin sekali lagi. Namun, panggilan teleponnya tetap tidak diterima. Bulir air panas yang menetes di pipinya segera dihapus dengan punggung tangan. Dia tidak ingin seorang pun tahu dia sedang menangisi seorang pria. Terlebih pria yang sedang berselingkuh darinya.

Tatapan Bonita kembali beralih ke gedung hotel baru di seberang jalan. Dinding-dindingnya terasa dingin dan menjulang dengan arogan. Catnya yang memantulkan puluhan cahaya lampu meninggalkan kesan kusam di relung hati Bonita yang paling dalam.

Jarak antara dirinya dan kekasihnya sudah sedekat itu, tapi jarak yang muncul di hatinya terasa sejauh bumi dan matahari. Jarak itu meninggalkan gelenyar sakit yang perlahan menggerogoti, rongga hampa yang tiba-tiba muncul di sudut hati, keragu-raguan untuk memilih tindakan, serta berbagai pikiran yang membuat kepercayaannya akan cinta kembali memudar.

Hari semakin larut saat Bonita dan Velica menyelesaikan makan malam. Velica yang lapar menghabiskan semua makanan pesanannya, sedangkan Bonita hanya menyentuh beberapa suapan dan meninggalkan sisanya tanpa belas kasihan.

Velica mengajak Bonita menginap di hotel lain yang berjarak satu blok dari hotel tempat Benjamin menginap. Mereka memilih satu kamar yang memiliki dua tempat tidur terpisah. Kemudian mandi bergantian dan berbaring di tempat tidur pilihan masing-masing. 

"Tidurlah, Boo. Kita bisa bangun lebih pagi dan mencoba datang ke hotel itu lagi besok."

Bonita menatap langit-langit kamar tanpa mengatakan apapun. Ada banyak sekali yang dia pikirkan, tapi tidak ada satupun yang mampu diutarakan pada sahabatnya. Terlalu rumit bahkan hanya dengan mengucapkan satu kata.

"Maafkan ...."

"Kamu sudah meminta maaf padaku, Ve. Sungguh, kamu tidak perlu mengatakannya." Ujar Bonita seraya memejamkan mata dengan hati penuh luka dan rasa getir yang menyebar hingga membuatnya berpikir untuk melepaskan Benjamin saja. "Mungkin ... aku memang tidak ditakdirkan menikah."

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status