Empat setengah tahun yang lalu, keributan terjadi di kampus Bonita setelah Benjamin terus datang secara berkala. Awalnya para gadis membuat berbagai spekulasi tentang apakah kedatangan Benjamin ada hubungannya dengan foto yang diunggah di media sosialnya yang tiba-tiba menghilang. Namun, spekulasi itu berkembang menjadi apakah Benjamin dan Bonita memang menjalin hubungan? Walau spekulasi itu berusaha ditepis Bonita dengan mengatakan hal yang sama berulang kali bahwa Benjamin hanya sekadar sahabat dari calon kakak iparnya.Tidak ada seorang pun yang percaya pada sanggahan Bonita. Bonita bahkan digosipkan sengaja menyebarkan kebohongan karena tidak ingin hubungannya dengan Benjamin diketahui."Sudah tentu Boo tidak akan mengaku. Pria tampan memang harus disembunyikan dari gadis lain agar tidak direbut, bukan?" sindir Maria pada semua orang yang sedang duduk bergerombol di dekatnya. Dia pasti terdengar membela Bonita bagi siapapun yang tidak cukup mengenal sifatnya. Namun, keberadaannya d
"Boleh aku memelukmu?" tanya Benjamin tiba-tiba.Bonita menoleh pada Benjamin, walau tidak mengatakan apapun pada akhirnya. Dia berpikir betapa pria itu sangat tidak tahu malu dan tidak peka bahwa dia hanya sedang ingin sendiri. Dia bahkan sengaja menjauh dari kerumunan sebagai sinyal agar tidak diganggu orang lain."Maaf jika aku lancang. Aku hanya merasa kamu terlihat kesepian.""Carilah wanita lain yang akan terpesona pada ketampananmu dan kupastikan wanita itu bukan aku." Hardik Bonita dengan langkah menjauh, tapi Benjamin menggenggam lengannya sebelum benar-benar berada di luar jangkauan. Tubuh Bonita membeku karena tidak benar-benar tahu apa yang dia harapkan dari Benjamin, tapi mungkin membiarkannya bicara tidak seburuk perkiraannya.Benjamin melepas jas berwarna coklat gelap dari tubuhnya dan memakaikannya di bahu Bonita, "Setidaknya jangan tolak jasku. Mungkin jasku akan menghangatkan tubuhmu. Angin di sini kencang sekali. Kamu akan sakit jika hanya memakai gaun seperti itu."
Berbagai memori bersama Benjamin membuat perjalanan Bonita menemui Zayna semakin kuat. Namun, perkiraan Bonita salah. Dia pikir Zayna akan mengajaknya minum kopi atau semacamnya di kafe yang sudah mereka sepakati sebagai tempat bertemu. Ternyata Zayna melangkah keluar dari kafe saat Bonita turun dari mobil, hingga membuat Bonita berpikir mungkin Zayna sengaja memilih duduk di dekat jendela agar bisa melihat semua orang yang datang dengan leluasa. Mungkin lebih tepatnya leluasa melihat kedatangan Bonita.Zayna menenteng kantong berisi roti dan dua gelas plastik berisi smoothies. Dia terlihat sangat seksi dengan tubuh dibalut gaun tanpa lengan bernuansa biru. Yang mengagetkan —walau Bonita merasa sedikit terguncang saat menyadari sikapnya yang tiba-tiba kaku karena gugup, Zayna langsung memasuki mobil Bonita tanpa mengatakan apapun hingga Bonita terpaksa memasuki mobilnya lagi."Maaf jika aku menyinggungmu, Boo —oh, itu nama panggilanmu, bukan?" tanya Zayna seraya menaruh satu gelas smoo
Zayna mengisi piring kosong dengan daging panggang, kentang goreng, sayuran, dan roti panggang untuk Bonita, "Lebih baik kamu isi perutmu lebih dulu. Aku akan memberi kontak dan alamat Mea setelahnya."Bonita tersenyum, "Terima kasih. Aku tidak mengira kamu akan bersikap hangat mengingat semua yang sudah kamu lakukan.""Aku memang terkesan seperti tokoh antagonis, tapi itu bukan bagianku." Ujar Zayna yang sedang sibuk memindahkan makanan ke piring lain untuk dirinya sendiri dengan nada sesantai semilir angin pantai. "Kamu mungkin akan terkejut jika tahu seperti apa aku sebenarnya.""Kuharap kamu tidak lebih jahat dibanding kelihatannya." Sindir Bonita seraya memotong daging di piringnya. "Asal tahu saja, aku tidak akan mudah mempercayai bias dari sikapmu. Kamu sudah membuatku berada dalam kesulitan belakangan ini. Aku sangat berharap pertemuan kita hari ini tidak membuat segalanya lebih buruk."Zayna tertawa renyah, "Yah, kuharap aku bisa bersikap lebih baik padamu. Kamu adalah ... cal
Hawa dingin yang menyergap Bonita bukan berasal dari hantaran suhu di sekitarnya, tapi dari dalam dirinya sendiri. Hawa dingin menusuk itu muncul dari ketiadaan. Memenuhi rongga-rongga tubuhnya hingga hampir membuatnya beku. Lidahnya mati rasa, pikirannya terhenti, tapi perasaannya bergolak bagai topan di lautan. "Mea akan membuatmu bingung dengan berbagai saran seolah sedang mendukungmu. Siapa yang tahu apa yang sedang dia rencanakan saat bicara denganmu dengan wajah bersinar seperti peri?" tanya Zayna.Bonita menelan ludah yang terasa getir membayangkan bagaimana jika gadis seperti Mea menjadi sahabatnya. Satu-satunya sahabatnya —Velica, selalu mencoba memberi saran terbaik walau Bonita sering kali tidak menghiraukan."Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu dengannya?" tanya Zayna dengan wajah pucat."Aku hanya akan menyapa dan sedikit berbasa-basi sebagai seorang wanita yang akan menjadi istri dari sahabatnya." Ujar Bonita dengan usaha sangat keras untuk tidak mengeluarkan suara y
"Aku akan pergi. Kamu tidak perlu merasa sungkan jika memang memiliki janji lain." Langkah Benjamin melesat untuk membuka pintu. Dia menggenggam tangan Bonita untuk menahan calon istri yang sudah jauh-jauh datang untuk menemuinya, "Tidak, Boo. Sungguh, aku tidak memiliki janji lain. Ayo, kita keluar untuk membeli makanan.""Maaf aku harus mengecewakanmu, tapi aku baru saja makan.""Bagaimana jika kita kencan saja?"Bonita tersenyum, "Apakah kamu ingin memajukan kencan kita akhir minggu nanti dan menggantinya dengan hari ini?""Bukan mengganti, tapi menggandakan. Kita akan tetap berkencan akhir minggu karena aku memiliki hadiah rahasia yang akan kuberikan padamu nanti.""Kamu baru saja membocorkan rahasia." Ujar Bonita yang sedang menahan diri agar tidak memutar mata."Oh, kamu benar." Gumam Benjamin dengan raut wajah kecewa karena benar-benar lupa."Sudahlah." Ujar Bonita seraya menarik tangan Benjamin menjauh dari kamar. "Kita bisa berjalan-jalan di luar.""Tunggu." Ujar Benjamin ser
Keraguan di mata Benjamin menyakiti Bonita tanpa ampun. Bonita diam untuk menahan semua rasa sakit, walau sangat berharap keraguan di mata calon suaminya itu hanya khayalan. Namun, jauh di lubuk hatinya, Bonita tahu usahanya untuk berharap sia-sia saat mendapati Benjamin diam tanpa ada sedikit pun reaksi yang menandakan sesuatu yang mungkin akan menenangkan hatinya.Bonita melepas tangan Benjamin dan turun dari meja. Dia berusaha tidak menatap Benjamin saat keluar kamar, "Aku akan menunggu di sofa."Tenggorokan Benjamin tercekat. Kata-kata penghiburan yang hampir keluar dari bibirnya hanya menyisakan kesunyian. Saat menyadari keadaan, Bonita sudah di luar jangkauan pandangannya hingga Benjamin terduduk di meja untuk meratapi diri. Tadi pagi, Benjamin sangat yakin semua urusan dengan Mea akan selesai hari itu. Dia ingin mengatakan semua hal yang tertunda selama bertahun-tahun. Dia ingin memilih Bonita dan melanjutkan hidup berdua bersamanya.Rasa gugup karena memiliki janji menemui Mea
Sudah bekali-kali Bonita merasa hampir pingsan saat membuat sketsa desain gaun untuk pelanggan hingga melimpahkan tugas itu pada Kenzo. Kenzo menatapnya curiga walau tetap melakukan perintah dengan sempurna. Hingga tiba saat pelanggan mereka menuruni tangga dengan diantar oleh Helga, Kenzo menatap Bonita dengan tatapan seolah akan sanggup memberikan ceramah dua jam tanpa jeda."Berhenti menatapku seperti itu." Tegur Bonita pelan dengan tangan berusaha membereskan barang-barang di meja hanya agar tubuhnya tetap bergerak."Aku tidak akan ikut campur urusan pribadimu. Aku hanya akan memberi saran sebaiknya kamu pulang dan tidur."Tangan Bonita terhenti. Tatapannya terpaku ke luar jendela. Sudah dua hari dia tidak mampu benar-benar tidur. Memang ada beberapa kesempatan saat dia tertidur sejenak, tapi masih mampu mendengar semua suara di sekitarnya seolah sedang melihat dengan kedua kelopak mata terbuka."Kamu harus bicara pada ayahmu untuk mengambil cuti. Kamu akan menikah minggu depan. Be