Matahari memancarkan sinarnya di atas kota raja saat rombongan Ru Chen memasuki gerbang utama. Jalanan lebar yang dilapisi batu granit mengarah ke pusat kota, dengan deretan toko-toko dan rumah-rumah berarsitektur indah di kedua sisinya. Berbagai warna payung dan spanduk para pedagang berkibar diterpa angin, menambah keceriaan suasana. Ming Mei tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Dari balik tirai tandu, matanya melebar menyaksikan keagungan kota raja Negeri Qi yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. "Indah sekali," gumam Ming Mei tanpa sadar.Ru Chen yang berkuda di samping tandu tersenyum mendengarnya. "Kota raja Qi memang terkenal dengan keindahan dan keteraturannya. Raja Yu Ping sangat memperhatikan tata kota."Rombongan berbelok ke sebuah jalan yang lebih tenang dengan deretan rumah-rumah besar milik para bangsawan dan pejabat tinggi. Mereka berhenti di depan sebuah rumah megah dengan gerbang kayu berukir naga dan phoenix. Dua penjaga membungkuk hormat saat melihat kedatangan
"Baiklah," Ming Mei mengangguk, menyembunyikan kilatan di matanya. "Aku akan ikut dengan Tuan."Pemimpin pekerja tersenyum lebar. "Bagus, mari ikut kami!" katanya sambil menepuk-nepuk bahu Ming Mei.Ming Mei bergabung dengan rombongan yang langsung bergerak menuju bagian utara kotaraja—distrik para pejabat. Mereka berhenti di depan sebuah rumah megah yang dikelilingi tembok tinggi. Gerbang utamanya dihiasi kain merah dan tulisan kebahagiaan ganda. Para pekerja mulai mengeluarkan berbagai hiasan pernikahan dari keranjang mereka."Rumah siapakah ini?" tanya Ming Mei dengan nada sekadar penasaran. "Sepertinya pemiliknya orang penting."Pemimpin pekerja tersenyum bangga, "Tentu saja! Ini rumah pejabat baru, penasihat Pangeran Putra Mahkota Qi Lung. Namanya Penasihat Chung Ming. Usianya masih muda tapi kariernya melesat cepat."Ming Mei mengerutkan kening sambil berpikir *Chung Ming? Apakah dia mengenal Lin Mo?* "Chung Ming ... nama yang asing terdengar," gumam gadis yang sedang menyamar i
Kediaman Chung Ming alias Lin Mo bersinar terang malam itu, dihiasi ratusan lampion merah yang digantung di sepanjang tembok dan gerbang.Puluhan pelayan berpakaian serasi bergerak dengan cekatan menyambut tamu yang mulai berdatangan. Aroma dupa wangi dan bunga segar memenuhi udara, bercampur dengan harum masakan mewah yang disiapkan oleh juru masak terbaik kotaraja.Halaman depan rumah telah disulap menjadi ruang pesta megah dengan meja-meja bundar tertata rapi, dilapisi kain sutra merah dengan sulaman naga dan phoenix emas—simbol kebahagian pernikahan. Para pembesar istana turun dari tandu mereka satu per satu, disambut oleh deretan pelayan yang membungkuk hormat.Lin Mo berdiri di depan pintu masuk, mengenakan pakaian pengantin berwarna merah menyala dengan pita besar melintang di dadanya. Sulaman emas dan perak menghiasi jubahnya, menandakan statusnya yang tinggi. Wajahnya berseri-seri, senyum tak pernah lepas dari bibirnya saat menyambut para tamu."Menteri Ru Chen tiba!" seru s
Suasana pesta yang riuh menjadi hening ketika Ming Mei mulai memetik nada-nada mendayu dari kecapinya. Jari-jarinya menari di atas senar, menciptakan melodi yang menghipnotis semua tamu. Kemudian, suaranya yang lembut namun penuh emosi mulai mengalun, menyatu dengan dentingan kecapi."Bunga sakura bermekaran, saat pertama kita berjumpa,Pemuda tampan dari perguruan ternama, memikat hatiku dengan kata-kata ...Ribuan janji diucapkan, seribu sumpah dilantunkan,Hingga aku terlena, menyerahkan seluruh jiwa dan raga..."Para tamu terpesona. Pangeran Qi Lung mengangguk-angguk menikmati, sementara Ru Chen tampak menikmati pertunjukan dengan mata terpejam. Tidak ada yang menyadari perubahan raut wajah Lin Mo ketika Ming Mei melanjutkan nyanyiannya."Saat badai menerjang, saat dunia memburuku,Dia berjanji akan melindungi, akan menjagaku selamanya ...Tapi di balik senyumnya tersembunyi belati,Di balik kata cintanya terselip pengkhianatan ...."Nada-nada kecapi semakin intens, suara Ming Me
Kediaman Lin Mo yang tadinya penuh kebahagiaan kini diliputi kesuraman. Para tamu telah pergi, meninggalkan bisikan-bisikan yang akan segera menyebar ke seluruh kota raja. Lin Mo, dengan pundak yang telah diobati dan diperban, berjalan menuju kamar pengantinnya."Yu Na …," panggilnya lembut, mendekati sosok yang meringkuk di sudut kamar. Air mata masih mengalir di pipi Yu Na yang memerah akibat tamparan ayahnya."Kumohon dengarkan aku," Lin Mo berlutut di samping Yu Na. "Semua yang dikatakan wanita itu hanyalah kebohongan belaka. Fitnah untuk menghancurkan kebahagiaan kita."Tangannya terulur, mencoba mengusap air mata Yu Na. Namun dengan kasar, istrinya menepis sentuhan itu.Tatapan matanya mengandung luka dan kemarahan yang dalam. Tanpa sepatah kata pun, Yu Na bangkit dan berlari ke kamar sebelah lalu menutup pintunya dengan kasar.Lin Mo bergegas ingin mengejar, namun langkahnya terhenti oleh teguran keras dari belakang."Tuan Chung Ming, berikan istrimu waktu untuk menenangkan di
Dalam kegelapan kamar tamu, Ming Mei bersembunyi di balik selimut dengan nafas tertahan. Ia melihat bayangan Menteri Ru Chen di luar pintu kamar, jari keriput pria tua itu menyentuh daun pintu dan mengetuknya pelan. Ming Mei berpura-pura sudah tertidur, akhirnya langkah berat menjauh terdengar memudar di lorong.Ming Mei menghembuskan nafas lega. Cahaya bulan yang mencuri masuk melalui celah jendela menerangi wajahnya yang basah oleh keringat dingin. Dengan gerakan cepat, jari-jemarinya melepas satu per satu pengait jubah sutra ungu yang dikenakannya."Hampir saja," bisiknya pada diri sendiri.Jubah itu melorot ke lantai, menampakkan pakaian sederhana berwarna abu-abu di baliknya. Ming Mei melipat jubah ungunya dengan hati-hati, lalu menyelipkannya ke dalam buntalan kain. Matanya yang tajam mengawasi sekitar sebelum mengendap-endap keluar kamar.Lantai kayu berderit pelan saat kakinya melangkah. Ming Mei berhenti sejenak, menahan nafas, memastikan suara itu tidak membangunkan penghun
Musim berganti. Daun-daun maple merah berguguran digantikan salju lembut yang mulai melapisi atap-atap rumah. Ming Mei menjadi bayangan setia Menteri Ru Chen, tak pernah jauh dari sisinya. Jemarinya yang lentik menyiapkan teh dengan racikan khusus setiap pagi, tangannya dengan telaten menggosok punggung Ru Chen yang kerap nyeri di malam hari, bibirnya selalu tersenyum menenangkan kala Menteri tua itu lelah setelah seharian mengurus urusan negara.Para pelayan mulai berbisik di belakang tiang-tiang berukir."Mencurigakan sekali," bisik seorang pelayan wanita sambil melipat pakaian. "Gadis secantik itu mau merawat orang tua seperti tuan kita?""Kudengar di pasar, beberapa orang mulai membicarakan kedekatan mereka," sahut yang lain. "Bahkan Nyonya Chi, istri pedagang sutra, terang-terangan bertanya padaku apakah Tuan telah menjadikan nona itu selirnya."Bisikan-bisikan itu akhirnya sampai ke telinga Menteri Ru Chen. Sore itu, ketika cahaya matahari memerah di ufuk barat, ia memanggil Mi
Gerbang kota raja menjulang tinggi, ukiran naga dan phoenix pada pilar-pilar batu merah menyambut rombongan Du Fei yang baru tiba. Kereta-kereta kayu berderak melewati jalanan berbatu, pedagang berteriak menawarkan dagangan, dan aroma rempah bercampur dengan asap dupa dari kuil-kuil kecil di sepanjang jalan.Du Fei turun dari kudanya, jubah biru tuanya sedikit berdebu setelah perjalanan panjang. Di sampingnya, Yun Hao merapikan ikat kepalanya yang longgar."Kaisar sedang melakukan kunjungan ke Provinsi Timur," ujar seorang pengawal istana dengan pakaian merah terang. "Yang Mulia baru akan kembali tiga hari lagi."Du Fei mengangguk mengerti, lalu berpaling pada Yun Hao. "Aku harus mencari penginapan dan melakukan pendaftaran ujian keprajuritan," ujar Du Fei, menepuk pundak Yun Hao. "Kita akan bertemu lagi malam nanti di kedai Bunga Peony."Yun Hao mengangguk. "Berhati-hatilah, Kak. Pedang itu—""Aku tahu," potong Du Fei dengan senyum tipis. "Mata-mata Wu pasti masih mengintai. Jangan
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de