Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.
Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa.. Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya. "Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!" Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur. "Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi wajahnya yang berkerut. Matanya berkilat berbahaya, "Sekarang menyingkirlah sebelum kami mematahkan kaki-kakimu!" Nyali Bian Fu menciut. Ia mungkin bisa menghadapi Qing Ning yang sudah melemah, tapi melawan dua pendekar senior sekaligus? Itu adalah misi bunuh diri. Tanpa berpikir panjang, Bian Fu mengerahkan sinkang yang ia miliki, melesat kabur dan menghilang di kegelapan malam. Pejabat Yuan melotot gusar melihat Bian Fu melarikan diri meninggalkan dirinya. "Dasar Pengecut!" maki pria setengah baya itu geram, "Kembali kau! Aku membayarmu mahal bukan untuk menyaksikanmu melarikan diri seperti pencuri!" Setelah menyadari makiannya sia-sia saja karena Bian Fu tak mungkin mendengar, ia pun berhenti dan membalikkan badan. Namun pejabat arogan itu terkejut bukan main ketika Ru Chen tiba-tiba sudah berdiri sangat dekat dengannya. Dengan tangan yang gemetar, ia menuding ke arah Ru Chen, berusaha terlihat garang meski ketakutannya jelas terlihat. "Apakah kalian tidak tahu siapa aku?" "Memangnya siapa Anda?" tanya Ru Chen dengan tatapan mengejek. "Aku adalah Pejabat Kota Xiuxiang," Pejabat Yuan menegakkan punggung dan mengangkat dagunya dengan sombong, "kalian telah menghalangi aparat negara, aku akan melaporkan kalian pada Raja biar kalian dihukum mati!" Ru Chen terkekeh, "Kebetulan Raja Yu Ping adalah saudara angkat kami. Kita lihat nanti, dia akan mendengarkan siapa dan memancung kepala kau atau aku!" Mendengar kata 'saudara angkat' tentu saja berhasil membuat sang pejabat korup itu ketakutan. Pria itu beringsut mundur beberapa langkah ke belakang diikuti empat anak buahnya. "Kalian beruntung aku berbaik hati tidak memperpanjang masalah!" pelotot Pejabat Yuan masih berlagak mengancam. Sedetik kemudian ia sudah mengikuti jejak Bian Fu, meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Anak buahnya yang kebingungan pun segera menyusul sang Pejabat. Qing Ning, yang masih terbaring lemah, merasakan secercah harapan. "Paman Xun ... tolong ... Du Fei …," suara Qing Ning nyaris tak terdengar. Xun Huan menatap nanar ke arah pondok yang kini tak lebih dari puing-puing yang dilalap api. Ia menelan ludah, tak tahu bagaimana harus menyampaikan kenyataan pahit pada wanita malang di hadapannya bahwa tak mungkin lagi menyelamatkan putranya dalam kondisi seperti ini. "Maaf," ucap Xun Huan dengan suara parau dan penuh penyesalan. Ia menundukkan kepala, tak sanggup menatap langsung mata Qing Ning. "Sepertinya kami datang terlambat." Terlambat? Kata itu menghantam kesadaran Qing Ning dengan telak. Matanya yang sembab menatap api yang menyala-nyala di depannya, hatinya seakan ditusuk ribuan jarum. "Du Fei!" Qing Ning menjerit histeris. Ia memukul-mukul tanah dengan tinjunya yang lemah. "Maafkan Ibu, Nak. Semua ini karena aku tak bisa melindungimu. Lebih baik kita mati bersama-sama!" Dengan sisa-sisa tenaganya, Qing Ning berusaha bangkit. Matanya yang merah dan bengkak menatap nyalang ke arah api. Tanpa pikir panjang, ia hendak menerjang ke arah kobaran api yang ganas. Beruntung Ru Chen dan Xun Huan segera menangkap lengan Qing Ning dari dua sisi. Cengkeraman mereka kuat, menahan wanita itu agar tidak melakukan tindakan nekad. "Bersabarlah, Qing Ning!" Xun Huan berusaha menghibur dengan suara lembut tapi tetap tegas. "Semua sudah ditakdirkan. Kita harus tabah menghadapinya." "Dia anakku satu-satunya, aku tak sanggup hidup tanpa Du Fei!" ratap Qing Ning dengan suara bergetar. Wanita malang itu jatuh berlutut di atas tanah, tubuhnya berguncang hebat oleh isak tangis yang tak terbendung. Xun Huan dan Ru Chen melepaskan pegangan mereka dari lengan Qing Ning dengan hati-hati, setelah yakin bahwa ia tidak akan melakukan tindakan nekad. Mereka mundur perlahan, memberi ruang bagi seorang ibu yang tengah dirundung duka mendalam. Entah berapa lama Qing Ning menangisi putranya, hingga napasnya terasa sesak. Kegelapan malam perlahan-lahan mulai terkikis, seiring dengan munculnya semburat jingga keemasan di ufuk timur, pertanda fajar mulai menyingsing. Ketika cucu almarhum Ketua Hoa San itu mengangkat kepala yang terasa berat, mata sembabnya menangkap seekor kupu-kupu biru langit terbang berputar-putar di atasnya. Keindahan serangga itu begitu memikat, jenis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. "Du ... Du Fei?" bisik Qing Ning, suaranya serak dan penuh harap. Tangan gemetar berusaha menggapai kupu-kupu biru itu, namun dengan lincah serangga tersebut menghindar dan terbang menjauh. Didorong oleh rasa penasaran, Qing Ning bangkit dengan tertatih-tatih. Ia mengikuti kupu-kupu yang seolah menuntunnya ke suatu tempat. Dalam hati, ia berharap bahwa kupu-kupu biru ini adalah manifestasi roh putranya yang tercinta. Serangga cantik itu terbang beberapa meter di depannya, kemudian berhenti di bawah sebatang pohon plum yang rindang. Di sana, ia berputar-putar, seakan-akan memberikan isyarat. Ketika Qing Ning semakin dekat, matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir. Di bawah pohon plum itu, terbaring sesosok tubuh kecil tak bergerak. Ia mempercepat langkah, jantungnya berdebar penuh harap sekaligus cemas. Qing Ning terkesiap, napasnya tertahan saat menyadari kondisi sosok di hadapannya. Tubuh kecil itu dipenuhi luka bakar, terutama di bagian wajah dan dada, membuatnya nyaris tak bisa dikenali. Namun, saat pandangannya jatuh pada sebuah liontin giok setengah bagian yang tergantung di leher tubuh malang itu, dunianya seketika runtuh. "Du Fei!" jerit Qing Ning pilu. Ia menghambur ke arah putranya, air mata kembali berderai. Dengan putus asa, ia merengkuh tubuh Du Fei ke dalam pelukannya. Xun Huan dan Ru Chen, yang mendengar jeritan memilukan Qing Ning, bergegas menghampiri. Mereka terkesiap melihat kondisi mengenaskan bocah yang terbaring di pelukan ibunya. Tiba-tiba terdengar suara rintihan lemah yang membuat mereka bertiga tersentak kaget. "Sa-kit ... I-bu!" Suara itu begitu pelan, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk menghidupkan kembali secercah harapan yang hampir padam. "Du Fei?" Qing Ning memanggil nama putranya dengan suara lirih, matanya yang sembab melebar penuh harap. Jemarinya yang gemetar membelai rambut Du Fei yang awut-awutan. Bocah itu hanya bisa menjawab dengan rintihan pelan, menahan rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya. Qing Ning mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, menatap Xun Huan dan Ru Chen dengan pandangan memohon. "Paman, Du Fei masih hidup!” Xun Huan dan Ru Chen bergegas mendekat dan berlutut di samping Qing Ning, mengamati dengan seksama bocah yang terbaring lemah di pangkuan ibunya. Sungguh mengherankan dan nyaris tak masuk akal bahwa Du Fei masih bertahan hidup dalam kondisi yang begitu memprihatinkan. Ru Chen segera memeriksa nadi Du Fei lalu tanpa membuang waktu, ia merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah botol porselen kecil. Ru Chen membuka tutup botol dan mengeluarkan sebutir pil berwarna keemasan. "Ini pil 'Penyambung Nyawa ', semoga bisa menyelamatkan nyawa anak ini.” Qing Ning mengangguk, ia segera membantu Ru Chen membuka mulut Du Fei.. Ru Chen memasukkan pil itu ke dalam mulut Du Fei dengan hati-hati. "Telan, Nak. Ini akan membuatmu lebih baik," bisiknya, berusaha memberikan kekuatan pada bocah malang itu. Setelah memastikan Du Fei menelan pil tersebut, Xun Huan mengeluarkan jarum akupunktur dan memasang jarum-jarum tersebut di titik-titik tertentu di tubuh si bocah malang agar anak itu tertidur lelap dan tak merasakan sakit. “Kita harus segera membawanya ke Tabib Sakti, Shen Yi!” usul Xun Huan, “Bila terlambat, anak ini akan cacat selamanya.”Sementara itu, di satu sudut kota yang kumuh, jalanan berbatu menjadi arena bermain bagi sekelompok anak-anak. Tawa riang mereka memenuhi udara sore yang mulai mendingin. Mereka berlarian, memainkan permainan tangkap-tangkapan dan petak umpet di antara bangunan-bangunan tua.Kegembiraan mereka terhenti ketika mata mereka menangkap sosok seorang wanita berbaju lusuh yang duduk meringkuk di pojok jalan. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor oleh debu jalanan. Tatapannya kosong menatap jauh ke depan, sesekali bibirnya bergerak-gerak seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.Seorang anak laki-laki berbisik pada temannya, cukup keras untuk didengar. "Itu si orang gila. Ibuku bilang dia selalu mengaku-ngaku sebagai ratu.""Orang gila! Orang gila!" teriak anak-anak itu, mendekati wanita tersebut dengan rasa ingin tahu yang kejam khas anak-anak. "Hei, Nyonya Ratu, kenapa istanamu sekarang di pinggir jalan?"Mendengar ejekan itu, wanita tersebut—yang tak lain adalah Mei Ling
Di sana, bersandar pada tiang kayu kuil dengan gaya santai, berdiri seorang pria tampan dengan pakaian pejabat tinggi berwarna biru gelap. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum jahil, matanya berbinar jenaka."Du Fei!" seru Da Ye tak percaya.Du Fei tertawa lagi, melangkah mendekat. "Masih rakus seperti biasa, Guru Da Ye. Dan Guru Chang Su, masih galak dan cerewet seperti dulu.""KAU!" Da Ye menunjuk Du Fei dengan jari berlumuran minyak ayam. "Jadi kau yang menaruh bulu ayam di hidungku! Dan kau juga yang menyiapkan semua ini?"Du Fei membungkuk hormat, meski matanya masih berbinar jahil. "Murid yang durhaka ini mohon ampun atas kelancangan mengerjai guru tercinta. Ya, akulah yang menyiapkan semua ini untuk kedua guruku yang telah berjasa membesarkanku."Tanpa peringatan, Da Ye melompat ke arah Du Fei dan memeluknya erat-erat. Tubuh kurusnya bergetar hebat, dan tanpa malu-malu, air mata mengalir di pipinya yang berdebu."Anak bodoh! Kupikir kau sudah lupa pada guru-guru tuamu ini!" isak
Di sebuah kuil tua yang terbengkalai, jauh dari keramaian kota, waktu seolah berjalan lebih lambat. Atap kuil yang sebagian telah runtuh membiarkan sinar matahari senja menerobos masuk, menciptakan berkas-berkas cahaya keemasan yang menyinari ruangan utama..Di atas meja altar yang sudah usang, seorang lelaki setengah baya dengan pakaian compang-camping tertidur pulas. Tubuhnya yang kurus namun berotot terbaring dengan posisi unik—kaki kanan menopang di atas paha kiri, sementara kedua tangannya dilipat di belakang kepala sebagai bantal. Jenggot tipisnya yang panjang dan tak terurus bergerak naik turun mengikuti ritme napasnya.Ia adalah Da Ye, ketua sekte pengemis Kaipang yang legendaris, pendekar yang namanya pernah ditakuti di seluruh dunia persilatan."Mmm... ayam goreng... kulitnya renyah... dagingnya empuk…." gumamnya dalam tidur, air liur menetes dari sudut bibirnya. "Tambah lagi... tambah..."Dengkurannya menggelegar memenuhi ruangan, kadang terdengar seperti gemuruh guruh di k
Setelah upacara penobatan selesai, Zhen Yi dengan jubah kebesarannya yang masih melekat di tubuh, berjalan menyusuri koridor istana menuju paviliun timur. Di depan sebuah pintu, dua dayang membungkuk dalam dan membuka pintu untuknya. Zhen Yi masuk ke dalam ruangan yang hanya diterangi beberapa lilin. Di atas ranjang besar dengan tirai sutra, seorang wanita terbaring lemah—Putri Qi Yue, wanita yang selama ini ia anggap sebagai ibunya.Zhen Yi melangkah mendekati ranjang. Qi Yue tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Kulitnya pucat, dan tatapan matanya kosong menatap langit-langit.Zhen Yi berlutut di samping ranjang dan dengan lembut menggenggam tangan Qi Yue."Ibu," bisiknya pelan.Qi Yue perlahan menoleh, matanya yang redup menatap Zhen Yi. Sebuah senyum lemah terbentuk di bibirnya yang pucat."Zhen... Yi…," suaranya tak keluar hanya bibir yang bergerak-gerak."Ibu, aku sudah mengetahui semuanya," ujar Zhen Yi dengan suara lembut. "Tentang kelahiranku, tentang ibu
Genderang perang ditabuh bertalu-talu. Raja Yu Ping mengangkat seruling saktinya tinggi-tinggi, memberikan sinyal. Seketika itu, pasukan Qi bergerak maju seperti gelombang tsunami. Di barisan terdepan, Du Fei melesat bagaikan kilat, Pedang Naga di tangannya memancarkan cahaya merah yang menerangi medan perang."SERANG!" teriak Yu Ping, suaranya menggelegar di atas teriakan ribuan prajurit.Di atas benteng, Ratu Mei Ling mulai merasakan getaran ketakutan. Pasukan Qi bergerak dengan formasi yang belum pernah ia lihat sebelumnya—sangat kuat dan mematikan."TAHAN MEREKA!" perintahnya pada Jenderal Wu Kang.Hujan panah kembali dilepaskan, namun kali ini Du Fei telah siap. Dengan satu ayunan Pedang Naga, ia menciptakan perisai energi raksasa yang melindungi sebagian besar pasukan Qi. Anak-anak panah berjatuhan tak berdaya sebelum mencapai target.Perang berkecamuk dengan dahsyat. Dinding benteng yang kokoh mulai retak di bawah gempuran pasukan Qi. Para pemanah Wu jatuh satu per satu, terken
Di istana negeri Wu, Ratu Mei Ling duduk dengan angkuh di singgasananya. Jubah kerajaan berwarna merah dan emas membalut tubuhnya, mahkota dengan ornamen burung phoenix bertengger di kepalanya. Aura kekuasaan menguar dari setiap gestur tubuhnya.Tiba-tiba, pintu aula utama terbuka lebar. Seorang prajurit dengan baju zirah rusak dan berlumuran darah tertatih-tatih masuk. Wajahnya pucat, matanya menampakkan ketakutan yang luar biasa."Yang Mulia!" serunya sambil menjatuhkan lututnya di depan Ratu. "Hamba membawa kabar dari medan perang."Ratu Mei Ling menegakkan tubuhnya. "Bicaralah cepat!""Kita... kita kalah telak, Yang Mulia," ucap prajurit itu dengan suara bergetar. "Panglima Lin, Jenderal Ya Ci, dan Komandan Cheng Zhuo telah gugur. Seluruh pasukan yang masih hidup ditawan. Hanya... hanya hamba yang berhasil meloloskan diri untuk membawa kabar ini."Wajah Ratu Mei Ling berubah merah padam. Tangannya mencengkeram lengan singgasana kuat-kuat."APA?!" Suaranya menggema di seluruh ruang