Share

Chapter 6 : Aroma

“Dari mana datangnya orang-orang itu?” Aster mengerutkan dahi, berbisik sambil menatap keluar jendela.

Di luar sana, ada beberapa orang yang bersembunyi di dalam mobil dan memperhatikan ke arah rumah yang sedang menjadi target tim Beta.

[Apa maksudmu? Ganti.]

Suara wanita muncul dari alat komunikasi mungil yang menempel pada daun telinga Aster.

“Lihat ke luar. Satu menit lalu tidak ada mobil di sana, sekarang rumah ini dikunjungi orang lain selain kita,” ujar Aster seraya menutup kembali tirai putih nan tipis di sana.

Pakaian kemeja putih dengan rompi dan celana hitam panjang. Aster sedang menyamar sebagai seorang pelayan di rumah itu.

Perintah dari atasan, meminta tim Beta untuk melanjutkan misi. Lebih tepatnya, mencari kebenaran dari pengakuan palsu tahanan yang berhasil mereka tangkap beberapa hari lalu. Dua orang kriminal yang menjajakan barang terlarang di kapal pesiar.

[Kau benar. Ganti.] Suara Natalie terdengar.

[Aku sudah melacak plat mobil dan identitas mereka. Semua adalah kelompok mafia Eagle yang menguasai sektor timur. Ganti.] Jelas Ziggy bersuara, memberikan penjelasan.

Eagle lagi? Batin Aster. “Hei, apa mereka juga menargetkan direktur PepCos?”

Entahlah. Queen, apa kita harus menunggu dan memperhatikan gerak-gerik mereka atau mempercepat misi? Ziggy bertanya pada ketua tim.

Sepi. Tidak ada jawaban dari ketua tim mereka. Ketiga anak buah yang berada dalam tempat yang berbeda menunggu sambil melakukan tugas penyamaran mereka.

“Queen?” panggil Aster sambil mendorong troli makanan. Sebagian wajahnya ditutupi masker hitam.

Kurang lebih, Aster tahu mengapa Edbert sulit mengambil keputusan. Lagi, mafia yang begitu ingin mereka hancurkan harus dilepaskan begitu saja.

[Beta. Kepada semua tim Beta. Aku, memerintahkan kalian untuk fokus pada misi. Winter dan Walker, segera cari dan ambil bukti yang mencurigakan, apapun itu. Zi, tetap amati seisi rumah dan salin semua data mereka. Perintah siaga dua, laksanakan. Ganti.]

“Baik.” Aster menjawab serempak dengan yang lain.

Kini, Aster berada di lorong yang penuh dengan lukisan dinding. Ia pun menengadah ke atas, lalu menatap lampu kamera pengintai yang berada tidak jauh darinya. Tidak lama, setitik cahaya berwarna merah meredup di sana, Ziggy telah berhasil meretas sistem keamanan rumah ini. Aster pun mendorong daun pintu.

Sebelum masuk ke dalam ruangan, wanita dengan surai yang tercepol rapi itu pun melirik ke sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada yang mengawasi dirinya.

Aman, ia pun segera masuk dengan harapan di hati. Semoga kamar kesembilan ini menyimpan bukti yang ia butuhkan.

Di sisi lain, Natalie yang juga memakai pakaian sama dengan Aster sedang berbincang pelan dengan Ziggy.

“Penyambungan selesai. Ganti,” ujar pelan Natalie. Mata tajamnya fokus pada layar laptop yang berada di ruang kerja.

[Berjagalah, beri aku waktu lima menit untuk menyalin semua data. Ganti.] Suara Ziggy terdengar dari alat komunikasi Natalie.

[Beta. Beta. Sebuah mobil buggati masuk. Zi, selidiki itu. Ganti.]

Dari kejauhan delapan ratus meter, Edbert memberikan perintah. Posisi Edbert berada jauh di luar kediaman target. Pria dengan jabatan seorang sniper memantau rumah besar dan luas yang sedang dimasuki anak buahnya.

Sambil memeluk senjata api bolt action khusus. Dari atas gedung tertinggi, Edbert mengintai dengan teliti dari senapan laras panjang berhiaskan teleskop. Berjaga-jaga jika ada perintah ataupun serangan tidak terduga di sana.

Mobil dengan plat nomor resmi, alfa garis miring beta, tujuh, lima, enam dan empat. Terdaftar di kota Queens dengan nama pemilik Jay Calvin. Suara Ziggy menjelaskan.

Pria itu berada di dalam sebuah mobil van hitam yang tidak jauh dari kediaman target. Mobil yang berisi dengan beberapa komputer dan perangkat lainnya.

Pekikan bunyi halus terdengar dari layar laptop yang lain. Ziggy pun segera beralih fokus ke sana. “Walker, penyalinan selesai, ganti.”

[Diterima. Aku telah menaruh kamera kecil pada ranting tanaman hias. Zi, apa kau bisa melihat dan mendengar jelas? Ganti.]

“Jelas. Kerja bagus. Keluarlah dari sana, sekarang. Seseorang sedang menuju ke sana.” Ziggy melihat dari kamera pengintai yang berhasil ia retas.

Dalam sekejap, keributan terdengar memenuhi seisi rumah. Bukan suara tembakan, melainkan derap kaki dari beberapa orang, mereka berkumpul dan mengepung Alex yang baru turun dari mobil.

Beberapa senjata api pun dengan cepat terarah pada Alex yang tersenyum miring. Tidak ada Lucas di sana. Hanya Alex, sebab Lucas sudah masuk melewati pintu belakang yang berhasil diamankan oleh anak-anak buah yang Alex kirim lebih dulu.

Ruang bawah tanah adalah tempat yang menjadi tujuan Lucas sekarang. Pria itu berjalan, memasuki rumah musuh dengan santai. Beberapa menit lalu, Lucas mendapat kabar dari G. Bahwa G telah berhasil mengecoh dan membawa Harry keluar dari kediaman. Memberikan jejak palsu pada Harry tentu cukup mudah dilakukan oleh G.

Jika induk tidak menempati sarang, itulah kesempatan emas untuk predator mengacaukan sarang.

Dengan tangan yang terbungkus sarung tangan hitam, Lucas menggenggam senjata api. Seaman apapun di sana, tempat itu tetaplah sarang musuh yang harus diwaspadai.

“Ah!”

Lucas terhenti saat berpapasan dengan seorang pelayan wanita yang terkejut melihatnya.

“Jauhkan tanganmu dari benda itu,” titah Lucas, mendekat sambil mengarahkan senjata.

Aster menurut. Ia melepaskan jemari dari troli dan mundur satu langkah. Membiarkan Lucas mengecek semua barang yang ada di troli makanan.

Aman. Tidak ada yang mencurigakan di sana. Lucas pun kembali menutup hidangan dengan tutup saji perak. Menelusuri tubuh Aster dari bawah hingga atas. Masker hitam yang merekat di wajah, cukup mengganggu Lucas.

“Pelayan wajib memperlihatkan wajahnya,” ujar tegas Lucas. Menatap tajam mata biru di hadapannya.

Aster menunduk dengan akting ketakutan. “Sa-saya sedang sakit. Kepala pelayan juga sudah mengizikan saya memakai ini.”

Mata dalam Lucas menyipit. Lalu mengintip jam yang melingkar di lengan kanannya. Tidak ada waktu untuk ini. Meski hatinya merasa tidak nyaman dengan tatapan pelayan wanita di hadapannya. Padahal, wanita itu hanya memandangnya beberapa detik saja.

“Jika kau ingin tetap hidup, lanjutkan langkahmu tanpa menoleh ke belakang dan bersembunyilah sampai keadaan tenang,” saran Lucas.

“Ba-baik,” cicit Aster. Hatinya melega bisa lolos dari pria itu tanpa ada baku hantam. Bisa bahaya jika wajahnya terlihat, apalagi aura Lucas cukup membuat Aster terganggu. Aura pemimpin yang tegas dan tidak kenal ampun.

Lucas diam saat Aster melewati dirinya. Namun, langsung berbalik dan menangkap lengan Aster ketika ia mencium wangi dedaunan dan woody yang begitu menempel dalam ingatannya. Aroma menenangkan yang juga membawa kesan sensual malam itu.

“Kau?” Lucas menghentikan kalimatnya. Apa ia harus bertaruh sekarang? Tidak banyak orang yang memakai parfum ini. Wangi mint yang jarang disukai wanita.

Tangan yang menggenggam senjata terulur, Lucas ingin membuka penutup yang menghalangi Aster.

Melihat pergerakan yang membahayakan diri. Aster sontak membelalakkan mata. Ingin memundurkan tubuhnya pun tidak bisa. Genggaman tangan Lucas pada lengannya begitu erat.

Impulsif. Ketika menghadapi bahaya, otak akan memberikan alarm untuk bertahan hidup. Sebuah insting yang menghentikan semua fungsi nalar. Tidak mungkin Aster memikirkan berbagai macam tindakan logis dalam situasi ini. Yang terpenting saat ini adalah, wajahnya terselamatkan!

Dengan cepat, Aster mendekatkan diri tepat saat masker itu dilepas oleh Lucas. Terpaksa, Aster menempelkan bibirnya pada bibir Lucas. Jarak mereka begitu dekat sampai Lucas tidak bisa melihat jelas wajah si pencuri masa depan dan ciumannya ini.

Lucas sedikit menampakkan senyuman dan kembali melawan Aster dengan cumbuan mesra.

Klik.

Sebuah suara menyadarkan Lucas yang sempat terlena dengan cumbuan panas mereka. Sial! Naluri pria, bagaimanapun keadaannya ... jika digoda maka akan tergoda.

“Kau mau langsung menembakku setelah kita berbagi air liur?” ujar Lucas. Entah sejak kapan matanya ditutup dengan telapak tangan dan entah sejak kapan senjatanya direbut.

“Semua tergantung dirimu. Jika kau menutup mata dan tidak berbalik sampai aku pergi.” Aster mendekat ke telinga Lucas. “Kepalamu akan aman.”

Senyum miring tercipta pada bibir tebal Lucas. Sudah bisa ia pastikan, wanita ini sama dengan wanita malam itu. Terlebih, wanita itu sepertinya cukup terlatih. Pantas saja Alex kesulitan mencari informasi tentangnya.

“Oke, aku mengaku kalah. Pergilah,” ucap Lucas seraya mengangkat tangannya ke atas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status