Share

Part 7–Disidang

"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.

Aku mengangguk.

"Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali.

"Benar, Pah." Aku kembali mengangguk.

"Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir.

"Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini.

"Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."

Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal.

"Itu dia," ujar Mama.

Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu.

"Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama.

"Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka.

"Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single di samping kanan dengan dagunya.

Mas Aldi duduk seraya menautkan kedua tangannya, melirik padaku lagi, tapi aku tak acuh.

"Sekarang, kita langsung saja pada intinya. Awalnya, Papa dan Mama enggak tahu kalau kami dipanggil ke sini karena ada masalah. Tapi Nurma sudah bilang kalau ternyata ada masalah serius di antara kalian."

"Bukan masalah serius sebenarnya, Pah. Hanya masalah sepele. Nurma saja yang terlalu membesar-besarkan," kilah Mas Aldi.

Aku melongo tak percaya. Membuka mulut untuk membantah perkataannya, tapi urung karena Bapak sudah lebih dulu membalas ucapan Mas Aldi.

"Bukan masalah serius gundulmu! Kamu sudah buat anak bapak nangis dan tertekan begini masih dibilang sepele?" hardik Bapak seraya menegakkan posisi duduknya. Menatap tajam pada Mas Aldi yang langsung menunduk.

"Bapak." Ibu menepuk paha Bapak. "Sabar. Kendalikan diri dulu," tegur Ibu.

Aku melirik Papa dan Mama mertua. Mereka terlihat kaget dengan sikap Bapak barusan. Selama ini, Bapak memang selalu bersikap ramah dan hangat. Belum pernah sekali pun menunjukkan kemarahan di depan mereka.

"Lah, itu, Bu. Seenaknya saja dia bilang ini masalah sepele. Segala nyalahin balik Nurma lagi! Suami macam apa itu? Sudah salah, masih saja berkilah!"

"Sudah, Pak. Tenang dulu," ujar Ibu lagi pelan.

"Jadi, Bapak dan Ibu sudah tahu masalah mereka?" tanya Mama dan menatap bingung pada kami bergantian.

"Iya, Bu. Kami sudah tahu masalahnya. Tadi Nurma sudah menceritakan semua pada kami," jawab Ibu tenang.

Mama menatapku dengan lembut. Membuatku merasa tak tega harus menceritakan kesalahan anaknya, tapi tidak ada cara lain. Mas Aldi harus diberi pelajaran.

"Ada apa, Nur?" tanya Mama.

"Iya, Nur. Ceritakan pada kami. Kalian ada masalah apa?" Papa menatapku penuh tanya.

Aku menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk mengatakan masalah kami sejujur-jujurnya. Aku menoleh pada Ibu yang sedari tadi mengusap lembut punggung ini. Ibu tersenyum dan mengangguk. Mengisyaratkan agar aku jangan ragu dan takut.

"Ma, Pah ... maaf kalau keputusanku ini akan mengecewakan kalian." Aku menjeda ucapan. Melirik Mas Aldi sekilas, lalu kembali menatap kedua mertuaku. "Aku ingin bercerai dari Mas Aldi."

Sontak keduanya membulatkan mata. Saling mlempar pandang, lalu kembali menatapku masih dengan raut wajah kagetnya.

"Bercerai? Kamu lagi bergurau 'kan, Nur?" Mama bertanya lembut dengan keningnya yang sedikit berkerut.

Aku menggeleng. "Aku serius, Ma. Nurma ingin berpisah dari ...."

"Jangan dengarkan dia, Ma!" Mas Aldi menyela perkataanku. "Nurma itu cuma lagi emosi. Kami enggak akan pernah bercerai!"

"Diam, Aldi!" tukas Papa dengan tatapan tajam. "Kamu baru boleh bicara kalau kami bertanya. Biarkan Nurma menyelesaikan kata-katanya dulu!"

Mas Aldi berdecak kesal seraya mengacak-acak rambutnya.

"Kenapa? Apa yang sudah dilakukan Aldi sampai kamu mau bercerai darinya, Nur?" Mama bertanya dengan lembut.

"Aldi sudah buat anak saya tertekan! Dia enggak pernah menghargai Nurma sebagai istrinya! Saya dari kecil merawat Nurma sebaik mungkin dengan penuh kasih sayang. Tapi sekarang? Seenaknya saja dia buat anak saya nangis dan sakit hati! Saya enggak terima!"

"Bapak," tegur Ibu lagi. "Tahan diri. Jangan ikut bicara dulu! Biarkan Nurma saja yang menjelaskan semuanya."

"Bapak kesal, Bu. Anak kita lagi hamil besar begini bukannya dibuat nyaman dan tenang, malah dibebani terus. Kalau kamu enggak cinta sama anak bapak, ngapain dulu kamu melamar dia? Kalau tahu begini, bapak enggak akan rela melepas Nurma buat kamu!" ujar Bapak berapi-api seraya menunjuk Mas Aldi yang semakin menunduk dalam.

"Bapak! Sabar dulu, ah. Istighfar," kata Ibu tegas.

Bapak menghela napas berat, menatap besannya, lalu duduk bersandar lagi.

"Nurma." Mama memanggil lembut. Menatapku penuh tanya, begitu juga Papa. Terlihat jelas ada kekhawatiran di wajah keduanya. Apalagi setelah melihat Bapak emosi seperti tadi.

"Mas Aldi enggak pernah cinta sama aku, Ma, Pah. Aku hanya dijadikan pelarian saja. Mas Aldi masih belum bisa melupakan mantannya. Bahkan, Mas Aldi masih berharap bisa kembali pada Lidya." Aku berusaha menahan getar di suara. Mengerjapkan mata beberapa kali dengan cepat agar air mata ini tidak tumpah.

Papa dan Mama terlihat terkejut, lalu serempak menoleh pada Mas Aldi yang duduk dengan gelisah.

"Benar itu, Di?" tanya Papa. Pelan, tapi ada penekanan di setiap katanya.

"Enggak benar, Pah. Itu cuma salah paham. Nurma itu jadi terlalu baper dan sensitif karena hormon kehamilannya." Mas Aldi masih berusaha membela diri.

"Jadi, Mas nuduh aku yang bohong gitu?" Aku menatap tajam padanya. "Mas berani sumpah di atas Al-Quran enggak?" Suaraku tanpa sadar meninggi. Berdiri dengan dada bergemuruh hebat dan tetesan air mata yang gagal ditahan. "Selama ini, aku sudah coba bersabar dengan sikap Mas yang enggak pernah menghargaiku sebagai istri! Tapi apa balasan Mas, huh? Apa?! Mas Aldi masih saja mengulangi kesalahan yang sama!" hardikku setengah menjerit.

"Nur, tenang, Nur. Duduk dulu, Istighfar." Ibu berkata lembut dan memintaku duduk kembali, tapi aku menolak.

"Sudah cukup selama ini aku bersabar dan memendam rasa sakit sendirian! Aku capek! Aku juga enggak mau membeberkan keburukan Mas di hadapan orangtua kita! Tapi dengan aku diam saja, Mas seolah menyepelekanku! Dengan mengejar-negejar Lidya, Mas sudah menjatuhkan harga diriku sebagai seorang istri!"

"Nur ... Duduk, Nak. Tenang." Kali ini Ibu berhasil membawaku duduk kembali. "Sabar. Kendalikan emosimu. Istighfar ...." Ibu mengusap-usap lembut punggungku.

"Benar yang dikatakan Nurma barusan, Aldi?" geram Papa dengan rahangnya yang mengatup keras. "Benar kamu masih mengejar-ngejar Lidya?"

"Enggak, Pah. Itu cuma status biasa saja. Aku enggak ada niatan ke sana, kok! Itu cuma biar rame like dan komen saja, Pah."

Brak!

Kami semua serempak menoleh kaget ketika Bapak menggebrak meja dengan kencang.

"Sudah cukup kamu berkilah terus dari tadi! Kamu pikir anak saya bodoh?" hardik Bapak dengan telunjuk mengarah pada Mas Aldi yang terlihat mematung di tempat. "Laki-laki sejati itu harus berani mengakui kesalahan dan minta maaf! Bukannya terus membela diri seperti itu!"

"Maafkan anak kami, Pak. Tenang dulu. Kita bisa selesaikan ini secara baik-baik." Papa berusaha menenangkan Bapak yang sangat emosi.

"Pah, Ma ... silakan lihat ini." Aku meletakkan ponselku di meja. "Semua bukti pesan-pesan romantis dan puitis Mas Aldi untuk Lidya sudah kufoto, termasuk status terakhirnya yang sangat menyakitiku. Secara enggak langsung, Mas Aldi itu berharap kami bercerai dan dia bisa kembali ke mantannya." Aku mendelik tajam pada Mas Aldi yang menunduk seraya menopang kepalanya dengan kedua tangan.

"Asal Mama Papa tahu. Ini bukan pertama kalinya Mas Aldi bertingkah. Sudah beberapa kali kami terlibat cekcok karena masalah ini. Berulang kali juga aku sudah memaafkan dan percaya dengan janji-janjinya. Tapi ternyata ... Mas Aldi enggak pernah mau berubah. Mas Aldi bahkan dengan sengaja membuat akun kloningan itu untuk mendekati Lidya. Kali ini batas kesabaranku sudah habis, Ma, Pah. Untuk apa aku bertahan kalau suami sendiri enggak menginginkan?"

Aku menunduk. Menitikkan air mata hingga dada terasa sesak dan tenggorokan sakit karena isakan yang tertahan.

"Keluarin aja, Nak. Jangan ditahan nangisnya," anjur Ibu dengan suara sedikit bergetar.

"Benar-benar bikin malu kamu, Aldi! Buat apa kamu masih mengejar-ngejar wanita kaya itu, huh? Dia juga sudah menikah dengan pria kaya pilihan orangtuanya! Apa kamu lupa bagaimana dulu orangtuanya mencaci maki kita? Kamu lupa bagaimana Mama papamu ini dipermalukan, huh?!" hardik Papa dengan wajah memerah.

Mas Aldi masih terdiam menunduk seraya saling meremas jemarinya sendiri.

"Jawab papa, Aldi!" Suara Papa mertua begitu lantang menghardiknya.

"Iya, Pah. Aku mengaku salah. Aku memang keterlaluan," jawab Mas Aldi pelan tanpa berani menatap kedua orangtuanya.

"Kamu sudah membuat mama kecewa, Aldi. Kamu buat mama dan Papa malu di hadapan orangtuanya Nurma." Mama menitikkan air mata. Terlihat jelas ada kekecewaan di sorot matanya.

"Ma ...." Mas Aldi menatap sendu mamanya. "Maaf. Aku mengaku salah. Aku memang jahat, tapi aku sudah minta maaf pada Nurma. Aku juga janji enggak akan mengulangi itu lagi, Ma." Mas Aldi menatap memelas padaku, tapi aku langsung membuang muka.

"Omongan Mas itu enggak pernah bisa dipegang. Bukan hal mustahil kalau Lidya bercerai dari suaminya, Mas akan mencampakkanku dan kembali padanya. Sebelum itu terjadi, lebih baik aku yang mundur dan pergi." Aku kembali menatapnya dengan berani walau air mata masih berjatuhan.

"Dek ...."

"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya.

🌺🌺🌺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status