Share

Suite Room

Author: DityaR
last update Last Updated: 2025-09-15 03:29:20

୨ৎ D E R R I N જ⁀➴

Aku masuk ke kamar hotel pakai kartu yang aku share sama Marlin, terus langsung tutup pintu dan menunduk buat mengatur napas.

"Marlin!"

Dia keluar dari kamar mandi pakai kaus sama celana pendek, rambutnya masih basah habis mandi. Aku buru-buru mengumpulkan baju-baju yang kemarin malam aku coba satu per satu, masih berantakan di lantai dan meja, jadi aku lempar lagi ke koper.

"Ada apa, sih?" Dia duduk di kasur, menyilangkan kaki, sambil mengelap rambutnya pakai handuk. "Oh, aku pingin tahu soal cowok ganteng itu!"

”Cepetan kemas-kemas! Kita harus pulang hari ini. Aku jelasin nanti di jalan."

"Hah? Kamu mau pulang sekarang? Serius, ada apa, sih?" keluhnya.

Aku jatuhkan kepala ke belakang terus keluarkan napas panjang. Aku enggak bisa simpan ini sendirian.

"Jadi gini … cowok ganteng itu sekarang resmi jadi suami aku." Marlin langsung bengong, mulutnya terbuka lebar, memandangku. "Yup, kayaknya sekarang aku udah jadi Nyonya The Rock!"

Aku angkat tangan kiriku, walau cincin nikahnya aku tinggal di apartemen dia.

"Harusnya ada cincin dong?" kata Marlin sambil menunjuk jariku.

Aku jalan ke kasurku, terus langsung tengkurap sambil mengeluh.

Marlin terbahak-bahak. "Lucu juga, tapi April Mop udah lewat, Bestie!" katanya, bergerak mau bangun.

"Aku serius, Marlin. Aku nikah benar-benar semalam." kataku, ke arah sprei.

"Enggak mungkin." Aku kenal sahabatku ini cukup lama, buat tahu kalau sekarang dia percaya. Tapi tetap enggak bisa menerima seratus persen kalau aku benar-benar melakukan hal tolol begitu.

"Iya, benaran." Aku balik badan, melihat ke atap. "Ada cowok pakai sepatu Suede biru yang jadi saksi pernikahanku sama Stranger!" Aku tutupi muka pakai tangan.

Hal kayak begini itu, biasanya aku cuma dengar dari berita gosip yang aku siarkan di radio. Tapi sekarang?

Kalau orang-orang tahu, aku bakal jadi bahan tertawaan satu kota. Semua bakal menunjukku dan bilang, “Tuh, kan, kita bilang juga apa? Karma bakal datang!”

Aku yakin, kakak tiriku, Aldani, bakal jadi orang pertama yang terbahak-bahak melihatku terjebak seperti ini.

"Oke, ceritain!" Marlin rebahan di sampingku. ”Kamu enggak bisa kasih informasi gantung gini, terus tiba-tiba ngajak pulang."

"Kalau aku ingat, pasti aku ceritain. Masalahnya, aku hampir enggak ingat apa-apa!"

Dia menyikutku. "Jangan ngibul, deh. Enggak usah nyembunyiin itu dari aku!"

Aku angkat tangan. "Sumpah."

Senyum dia langsung luntur.

"Aku enggak nyangka kamu bakal kayak gini."

"Iya kan? Harusnya kamu yang di posisi aku."

"Eh, apa?" Dahi Marlin berkerut.

"Kamu itu yang kepingin banget nikah, percaya sama cinta, terus happy ending ... Aku? Aku enggak pernah pingin nikah!"

"Ya udah, tapi sekarang udah telat buat ngomong gitu."

"Sumpah, aku enggak pernah ngelakuin hal tolol kayak gini." Suaraku makin keras. Karena aku tahu, cepat atau lambat keluargaku pasti bakal tahu, dan aku bakal jadi bahan olokan seumur hidup.

"Andai aja bisa benar-benar tukeran." Marlin mencubitku.

Aku tarik lenganku cepat-cepat, "Aww, sakit!"

"Iya, ya? Kita masih di dunia nyata." Dia tersenyum sambil colek aku pakai jempol kaki. "Udah lah, jangan kebanyakan mikir. So, kenapa gitu? Toh, kamu nikah sama stranger ganteng."

"Justru itu yang paling nyebelin. Aku enggak yakin dia mau batalin nikahnya." Aku duduk, tapi kepalaku tenggelam di tangan.

"Aku malas ngomongin ini sekarang, tapi … Babby Husby kamu ke mana?"

Aku mendesah, kesal sama sebutan sayang yang dia kasih ke cowok yang kerjaannya mukuli orang buat cari duit. "Dia bilang mau ketemu manajernya, terus sekalian bawain aku kopi."

"Tapi kamu malah nongkrong di sini."

Aku pelototi dia.

Dia keluarkan napas panjang. "Kamu enggak bisa terus-terusan nyalahin perceraian orang tua kamu buat menggiring perasaanmu, Derrin!"

Oke, aku yang pertama kali mengaku ke Marlin kalau trust issue-ku muncul gara-gara Papa selingkuh dari Mama. Ya, mau bagaimana lagi, karena katanya, cinta pertama seorang wanita itu adalah ayah, dan mungkin aku sudah salah menaruh cinta pertamaku ke laki-laki paling berengsek sedunia. Jelas aku enggak ingin peristiwa serupa terulang lagi.

Aku menengok dari sela jari. "Iya, dan bayangin aja aku nikah sama public figure kayak Toyi. Fix makin parah buat aku. Cewek-cewek nempel terus, godaan di tiap hari. Aku mending booking psikolog dari sekarang."

"Mungkin kamu harus kasih dia kesempatan dulu, deh. Lagian dia kelihatan manis, kok. Kamu, tuh terlalu keras sama dia. Aku sempat keluar ke balkon beberapa kali, mergokin kalian berdua. Saking sibuknya, kalian sampai enggak ngeh kalau ada aku."

Aku memandangnya beberapa detik. Dan iya, dia benar juga. Kalau ingat tadi malam, cowok itu memang pintar banget berkomunikasi.

Terus, baru aku teringat sesuatu.

"Ugh!" Aku tutup muka lagi, ingin jambak rambut sendiri.

"Apaan lagi?" tanya Marlin, nada suaranya jelas geli.

"Aku bilang ke dia kalau aku pingin bikin podcast." keluhku. "Dan kayaknya aku malah ngajak dia buat jadi bintang tamu."

Dia terbahak-bahak sambil tepuk pundak sama lenganku. "Cocok, lah. Dia aja udah nikah sama kamu, muncul di podcast kamu itu udah jadi kewajiban suami."

Aku enggak bisa percaya kalau aku sudah buka mulut ke orang asing tentang mimpi aku, wawancara selebriti biar mereka bisa cerita jujur dan menunjukkan sisi lain mereka. Bahkan sebagian besar keluargaku saja belum tahu. Sekarang mukaku panas kayak habis terbakar matahari tiga hari di padang pasir.

"Marlin, aku harus pulang."

"Kabur enggak bakal nyelesain masalah, Derrin. Menurutku, sih, kamu harus hadapin sekarang."

Aku bangkit. "No way. Dia bisa kirim surat cerainya ke Pecang. Aku tinggal tanda tangan, selesai."

Dia masih duduk di kasur, memandangku kayak aku ini orang gila.

"Ayo, kita ke bandara."

"Tapi tiket kita masih tiga hari lagi. Aku pingin jalan-jalan dulu ke gunung sebelum pulang."

Aku geleng-geleng. "Kita harus ke bandara sekarang dan cari tiket baru."

"Jadi, cuma gara-gara kamu nikah sama stranger, kamu tega pangkas jadwal traveling kita?"

Dia berdiri, jalan ke arah kopernya. "Ya, salah kamu sendiri enggak cegah aku. Kamu ke mana, sih, semalam?

Dia naikkan alis, terus menyeringai santai. "Lah, gimana sih. Nih, ya ... Awalnya tuh kalian masih di balkon situ, tuh ... eh tiba-tiba ngilang. Aku telepon kamu, dan kamu angkat sambil ketawa-ketawa. Katanya kamu lagi seru-seruan sama Toyi dan bakal balik besok pagi."

Dia rapikan baju dengan santai, sedangkan aku panik banget, lempar-lempar baju ke koper tanpa peduli kusut. Pikiranku cuma satu, apa kata Mama kalau tahu ini. Apa pun yang terjadi, kabar ini harus aku kubur serapat mungkin.

HP Marlin berbunyi, dia berhenti berkemas, duduk di kasur sambil mengecek. "Kalau kamu batalin, ya ... bisa aja kamu nanti malah dapat suami yang lebih parah. Apalagi cowok-cowok Pecang. Haduh, ampun, deh!"

”Marlin, buruan! Nanti juga ada banyak waktu buat kamu lihat HP pas kita udah di bandara!" Aku tutup resleting koper, terus jalan ke kamar mandi.

"Kamu yakin enggak mau mandi dulu? Maksudku, kamu bau … kayak abis nongkrong di rumah bordil."

Aku berhenti, memandangi dia lama. Dia langsung tertawa sambil angkat tangan. "Aku enggak mau tahu gimana kamu bisa hapal bau bordil, Marlin!" Aku masuk ke kamar mandi, sikat gigi, minimal cuci muka biar fresh sedikit.

Saat berdiri di depan kaca, aku memperhatikan diriku sendiri. Maskara hitem aku meluber di sekitar mata, rambutku sudah lengket berminyak. Marlin ada benarnya, aku butuh mandi. Tapi aku yakin, kalau aku masih stay di Bandung, Toyi bakal menemukanku.

Begitu aku sudah sampai ke Pecang dengan selamat, baru deh aku bisa kontak dia atau manajemennya, buat mengurus cerai atau anulir pernikahan itu.

Saat itu pasti dia juga sudah sadar, mengerti kalau menikah sama cewek kampung seperti aku, apalagi yang benci banget sama profesinya sebagai petinju, jelas bukan ide yang bagus.

Aku keluar lagi, bawa perlengkapan mandi di tangan. "Gimana, lebih mendingan?"

Marlin enggak tertawa, senyum juga enggak. Dia cuma menengok dari HP, terus menyodorkannya ke arahku. "Mungkin kita harus beli topi, buat kamu di jalan ke bandara?"

Dan ... Hal pertama yang aku lihat di layar HP?

Foto aku sama Toyi keluar dari Wedding Chapel. Terus ada lagi foto cincin, dan satu lagi foto kita bareng penghulu. "Astaga, aku kelihatan kacau banget."

"Kacau gimana? Kamu cantik, kok. Maksud aku, mabuk banget, tapi tetap cantik." Marlin menyeringai. "Tapi kalau udah muncul di situs gosip, fix ini bakal viral!"

Perutku langsung mual. "Mama udah pasti tahu."

Kecintaan aku sama gosip selebriti datangnya dari Mama. Dari kecil, tiap pagi bukannya baca koran, Mama malah update gossip online. Itu satu-satunya candu dia, walau pasti bakal mengelak kalau ditanya.

"Udah, kita pulang aja. Kamu mandi, siapin jawaban kalau nanti Mama interogasi."

Aku memandang foto aku sama Toyi. Dia memang ganteng banget, enggak bisa dibantah. Tapi, dari dulu aku sudah berjanji, kalau suatu hari nanti aku harus menikah, aku pastikan menikah sama cowok yang kalem, lembut dan kebalikan dari Papaku. Jelas si Toyi bukan orang itu.

Sekarang, fokus aku bukan Toyi. Aku harus memikirkan bagaimana cara menghindari Mama dulu, sampai aku bisa dapat jalan keluarnya. Jadi pertama, aku harus mampir ke Bar milik kakakku dulu, konsultasi dengan mereka sebelum ketahuan Mama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • STRANGER WITH BENEFIT   Cincin Pernikahan

    ୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴ Aku lagi duduk di sofa, memandangi cincin kawin yang Derrin tinggalkan. Harusnya aku sudah tahu dia bakal kabur. Dari tadi pagi saja sudah terlihat gerak-geriknya kalau dia sama sekali enggak tertarik sama aku. Malah lebih tampak takut sama aku dan sama apa yang sudah kita lakukan. Enggak bisa menyalahkan dia juga, sih. Aku enggak bisa berharap dia mau rela jadi istri orang yang belum dia kenal. Sementara aku? Aku bisa saja terima, mungkin karena aku dibesarkan sama Mama yang percaya banget sama mitos. Atau mungkin juga karena aku sudah enggak merasa dapat self reward lagi dari dunia tinju seperti dulu. Rasanya, aku sudah harus cari pencapaian lain dalam hidup ini. Mungkin … ya ini, pernikahan. HP aku bergetar, nama Mama muncul di layar. Aku keluarkan napas panjang. Ya sudah lah, harus diangkat. "Halo, Ma." "Itu benaran?" Nada suara Mama jelas banget, ingin aku klarifikasi terhadap gosip terbaru. Dia, kan mengikuti karierku dari awal. "Cuaca di sana gim

  • STRANGER WITH BENEFIT   Suite Room

    ୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ Aku masuk ke kamar hotel pakai kartu yang aku share sama Marlin, terus langsung tutup pintu dan menunduk buat mengatur napas. "Marlin!" Dia keluar dari kamar mandi pakai kaus sama celana pendek, rambutnya masih basah habis mandi. Aku buru-buru mengumpulkan baju-baju yang kemarin malam aku coba satu per satu, masih berantakan di lantai dan meja, jadi aku lempar lagi ke koper. "Ada apa, sih?" Dia duduk di kasur, menyilangkan kaki, sambil mengelap rambutnya pakai handuk. "Oh, aku pingin tahu soal cowok ganteng itu!" ”Cepetan kemas-kemas! Kita harus pulang hari ini. Aku jelasin nanti di jalan." "Hah? Kamu mau pulang sekarang? Serius, ada apa, sih?" keluhnya. Aku jatuhkan kepala ke belakang terus keluarkan napas panjang. Aku enggak bisa simpan ini sendirian. "Jadi gini … cowok ganteng itu sekarang resmi jadi suami aku." Marlin langsung bengong, mulutnya terbuka lebar, memandangku. "Yup, kayaknya sekarang aku udah jadi Nyonya The Rock!" Aku angkat tangan

  • STRANGER WITH BENEFIT   Wedding Chapel

    ୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴ Meninggalkan istri baruku di kamar hotel sendirian, sebenarnya enggak seharusnya, sih. Tapi Vallent kayaknya enggak terlalu paham kondisiku waktu aku bilang harus mandi dulu sebelum bertemu dia di cafe. Kepalaku lagi pusing banget setelah mabuk semalam, jadi butuh mandi dulu biar fresh. Dan enggak mungkin aku bikin dia menunggu lebih lama lagi cuma karena aku harus merayu Derrin buat ikut juga. Vallent lah yang dari dulu memanage karier aku, dan jujur, dia keren banget dalam hal itu. Dia salah satu alasan terbesar aku bisa berada di titik sekarang. Bisa menginap di suite mewah, bisa ajak cewek cantik buat party setelah pertandingan ... itu dulu, ya. Sekarang aku sudah enggak main kayak begitu lagi. Sudah enggak ada gregetnya lagi. Aku petarung MMA profesional, yang terbaik di kelas middleweight. Banyak cewek-cewek yang dulu aku bawa ke hotel, itu pun juga bukan buat mencari cinta. Tapi cuma untuk bercinta semalam saja. Kebanyakan cewek-cewek penghibur, dan

  • STRANGER WITH BENEFIT   Mendadak Nikah

    “Aku rasa kamu lagi panik, ya?” tanya si aneh itu dengan santainya. Mataku langsung menemukan bingkai foto di meja. Aku dan dia, bareng sama penghulu palsu di tengah. Sialan, Mama-Papaku pasti langsung mengamuk kalau tahu ini. Aku bahkan enggak bisa bayangkan Papa bakal bicara apa. Eh, tapi siapa juga yang peduli. Aku memang sudah benci sama dia dari dulu. Di foto itu, aku pakai gaun putih super mini, sementara dia pakai jas tuxedo biru. Kita berdua senyum lebar, jelas lagi mabuk berat. Aku ambil fotonya. “Kamu serius, ya, soal pernikahan ini?” “Ya, kita udah resmi menikah.” “Kalau gitu, bisa enggak kita batalin aja?” Aku tatap dia. Ekspresinya langsung jatuh, seperti orang yang baru saja memasang uang terakhirnya di mesin judi, terus kalah. “Lagian, ini juga cuma gara-gara iseng, kan. Kita bahkan enggak kenal!” “Ya ... aku juga enggak kebayang kamu bisa senang sama situasi ini,” katanya. Dia cuma angkat bahu. “Sebenarnya aku enggak percaya sama pernikahan,” jelasku. “

  • STRANGER WITH BENEFIT   The Stranger

    ୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ "Ahh, siaaaaal!!" Kandung kemihku sudah enggak tahan lagi sama sisa alkohol semalam. Aku yakin kalau tadi malam aku sudah kebanyakan minum. Ada suara air mengalir dari kamar Mandi. Aku masih enggak percaya kalau itu Marlin. Dia enggak mungkin bangun lebih pagi dari aku. Soalnya setiap hari, aku yang harus tarik-tarik dia buat keluar dari kasur. Aku singkap selimut, turun dari kasur, terus jalan pelan-pelan. Karena sedikit gelap, aku hampir saja terpeleset gara-gara menginjak baju yang berserakan di lantai, untung masih sempat menahan diri biar enggak jatuh. "Arggg ... sumpah, semalam itu kita ngapain aja, sih?" gumamku. Aku masuk kamar mandi, bersyukur Marlin enggak menyalakan lampu, karena otakku pasti meledak kalau terkena cahaya. Lagi pula, aku juga enggak ingin lihat mukaku sekarang. Marlin sudah jadi sahabatku sejak kecil, jadi bukan hal aneh juga kalau aku kencing di depan dia. Jadi aku turunkan celana dalam, duduk di toilet, sambil mengeluh gara-ga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status