Masuk୨ৎ D E R R I N જ⁀➴
Aku masuk ke kamar hotel pakai kartu yang aku share sama Marlin, terus langsung tutup pintu dan menunduk buat mengatur napas. "Marlin!" Dia keluar dari kamar mandi, pakai kaus sama celana pendek, rambutnya masih basah habis mandi. Aku buru-buru mengumpulkan baju-baju yang kemarin malam aku coba satu per satu, masih berantakan di lantai dan meja, jadi aku lempar lagi ke koper. "Ada apaan, sih?" Dia duduk di kasur, menyilangkan kaki, sambil mengelap rambutnya pakai handuk. "Oh, iya, aku pingin tahu soal cowok ganteng itu!" ”Cepetan kemas-kemas! Kita harus pulang hari ini. Aku jelasin nanti di jalan." "Hah? Kamu mau pulang sekarang? Serius, ada apa, sih?" keluhnya. Aku jatuhkan kepala ke belakang terus keluarkan napas panjang. Aku enggak bisa simpan ini sendirian. "Jadi gini … cowok ganteng itu sekarang jadi suamiku." Marlin langsung bengong, mulutnya terbuka lebar, memandangku. "Dan Yup, kayaknya sekarang aku udah jadi Nyonya The Rock!" Aku angkat tangan kiriku, walau sadar cincin pernikahannya aku tinggal di apartemen dia. "Harusnya ada cincin dong?" kata Marlin sambil menunjuk jariku. Aku jalan ke kasurku, terus langsung tengkurap sambil mengeluh. Marlin terbahak-bahak. "Lucu juga, tapi April Mop udah lewat, Bestie!" katanya, bergerak mau bangun. "Aku serius, Marlin. Kami nikah benaran semalam." kataku, ke arah sprei. "Enggak mungkin." Aku kenal sahabatku ini cukup lama, jadi aku tahu kalau sekarang dia percaya. Tapi tetap enggak bisa menerima seratus persen kalau aku benar-benar melakukan hal tolol itu. "Iya, benaran." Aku balik badan, melihat ke atap. "Ada pria pakai sepatu Suede biru yang jadi saksi pernikahanku sama dia semalam!" Aku tutupi muka pakai tangan. Sebagai penyiar, gosip seperti ini tuh biasanya aku siarkan di radio. Tapi sekarang? Kalau orang-orang tahu, bisa-bisa aku bakal jadi bahan tertawaan satu kota. Semua bakal menunjukku dan bilang, “Tuh, kan, kita bilang juga apa? Karma bakal datang!” Aku yakin, kakak tiriku, Aldani, bakal jadi orang pertama yang cekikikan melihatku terjebak seperti ini. "Oke, ceritain!" Marlin rebahan di sampingku. ”Kamu enggak bisa kasih informasi gantung gini, terus tiba-tiba ngajak pulang." "Kalau aku ingat, pasti aku ceritain. Masalahnya, aku hampir enggak ingat apa-apa!" Dia menyikutku. "Jangan ngibul, deh. Enggak usah nyembunyiin itu dari aku!" Aku angkat tangan. "Sumpah." Senyum dia langsung luntur. "Aku enggak nyangka kamu bakal kayak gini." "Iya kan? Harusnya kamu yang di posisi aku." "Eh, apa?" Dahi Marlin berkerut. "Kamu itu yang kepingin banget cepat-cepat nikah, percaya sama cinta, terus mimpi punya keluarga besar, happy ending, tapi aku? Aku enggak pernah pingin nikah!" "Ya udah, tapi sekarang udah telat buat ngomong gitu." "Sumpah, aku enggak pernah ngelakuin hal tolol kayak gini." Suaraku makin keras. Karena aku yakin, cepat atau lambat keluargaku pasti bakal tahu, dan aku bakal jadi bahan olokan seumur hidup. "Andai aja bisa benaran tukeran." Marlin mencubitku. Aku tarik lenganku cepat-cepat, "Aww, sakit!" "Iya, ya? Kita masih di dunia nyata." Dia tersenyum sambil colek aku pakai jempol kaki. "Udah lah, jangan kebanyakan mikir. So, kenapa gitu? Toh, kamu nikah sama si Stranger Ganteng." "Justru itu yang paling nyebelin. Aku enggak yakin dia mau batalin pernikahannya." Aku duduk, tapi kepalaku tenggelam di tangan. "Aku malas ngomongin ini sekarang, tapi … Babby Husby kamu ke mana?" Aku mendesah, kesal sama sebutan sayang yang dia kasih ke cowok yang kerjaannya tukang mukuli orang. "Dia bilang mau ketemu manajernya, terus sekalian bawain aku kopi." "Tapi kamu malah nongkrong di sini." Aku pelototi dia. Dia keluarkan napas panjang. "Kamu enggak bisa terus-terusan nyalahin perceraian orang tua kamu buat menggiring perasaanmu, Derrin!" Oke, aku yang pertama kali cerita ke Marlin kalau trust issue-ku muncul gara-gara Papa selingkuh dari Mama. Ya, mau bagaimana lagi. Karena katanya, cinta pertama seorang wanita itu adalah Papa, dan mungkin aku sudah salah menaruh cinta pertamaku kepada laki-laki paling berengsek sedunia. Jelas aku enggak ingin peristiwa serupa terulang lagi. Aku menengok dari sela-sela jari. "Iya, dan bayangin aja aku nikah sama public figure kayak Toyi. Fix makin parah buat aku. Cewek-cewek lain pasti bakal nempel terus. Aku mending booking psikolog dari sekarang." "Mungkin kamu harus kasih dia kesempatan dulu, deh. Lagian dia kelihatan manis, kok. Kamu, tuh terlalu pesimis sama dia. Aku sempat keluar ke balkon beberapa kali, mergokin kalian berdua. Saking sibuknya, kalian sampai enggak ngeh kalau ada aku." Aku memandangnya beberapa detik. Dan iya, dia benar juga. Kalau ingat tadi malam, cowok itu memang pintar banget berkomunikasi. Terus, baru aku teringat sesuatu. "Ugh!" Aku tutup muka lagi, ingin jambak rambut sendiri. "Apaan lagi?" tanya Marlin, nada suaranya jelas geli. "Aku bilang ke dia kalau aku pingin bikin podcast." keluhku. "Dan kayaknya aku malah ngajak dia buat jadi bintang tamu." Dia cekikikan sambil tepuk pundak sama lenganku. "Cocok, lah. Toh dia udah nikah sama kamu, muncul di podcast kamu itu udah jadi kewajiban suami." Aku enggak bisa percaya kalau aku sudah buka mulut ke orang asing tentang mimpiku, mewawancarai selebriti biar mereka bisa cerita jujur dan menunjukkan sisi lain mereka. Bahkan sebagian besar keluargaku saja belum tahu. Sekarang mukaku panas seperti habis terbakar matahari tiga hari di padang pasir. "Marlin, aku harus pulang." "Kabur enggak bakal nyelesain masalah, Derrin. Menurutku, sih, kamu harus hadapin sekarang." Aku bangkit. "No way. Dia bisa kirim surat cerainya ke Pecang. Aku tinggal tanda tangan, selesai." Dia masih duduk di kasur, memandangku seperti aku ini orang gila. "Ayo, kita ke bandara." "Tapi tiket kita masih tiga hari lagi. Aku pingin jalan-jalan dulu ke gunung sebelum pulang." Aku geleng-geleng. "Kita harus ke bandara sekarang dan cari tiket baru." "Jadi, cuma gara-gara kamu nikah sama dia, kamu tega pangkas jadwal traveling kita?" Dia berdiri, jalan ke arah kopernya. "Ya, salah kamu sendiri enggak cegah aku. Kamu ke mana, sih, semalam? Dia naikkan alis, terus menyeringai santai. "Lah, gimana sih. Nih, ya ... Awalnya tuh kalian masih di balkon situ, tuh ... eh tiba-tiba ngilang. Aku telepon kamu, dan kamu angkat sambil ketawa-ketawa. Katanya kamu lagi seru-seruan sama Toyi dan bakal balik besok pagi." Dia rapikan baju dengan santai, sedangkan aku panik banget, lempar-lempar baju ke koper tanpa peduli kusut. Pikiranku cuma satu, apa kata Mama kalau tahu ini. Apa pun yang terjadi, kabar ini harus aku kubur serapat mungkin. HP Marlin berbunyi, dia berhenti berkemas, duduk di kasur sambil mengecek. "Aku bilangin, ya. Kalau kamu batalin, ya ... bisa aja kamu nanti malah dapat suami yang lebih parah. Apalagi cowok-cowok Pecang. Haduh, ampun, deh!" ”Marlin, buruan! Nanti juga ada banyak waktu buat kamu lihat HP pas kita udah di bandara!" Aku tutup resleting koper, terus jalan ke kamar mandi. "Kamu yakin enggak mau mandi dulu? Maksudku, kamu bau … kayak abis nongkrong di rumah bordil." Aku berhenti, memandangi dia lama. Dia langsung tertawa sambil angkat tangan. "Aku enggak mau tahu gimana kamu bisa hapal bau bordil, Marlin!" Aku masuk ke kamar mandi, sikat gigi, dan cuci muka. Saat berdiri di depan kaca, aku memperhatikan diriku sendiri. Maskara hitamku meluber di sekitar mata, rambutku sudah lengket berminyak. Marlin ada benarnya, aku butuh mandi. Tapi aku yakin, kalau aku masih stay di Bandung, Toyi akan menemukanku. Nanti, begitu aku sudah sampai di Pecang dengan selamat, baru deh aku bisa kontak dia atau manajemennya, buat mengurus cerai atau anulir pernikahan itu. Saat itu pasti dia juga sudah sadar, mengerti kalau menikah sama cewek kampung seperti aku, apalagi yang benci banget sama profesinya sebagai petinju, jelas bukan ide yang bagus. Aku keluar lagi, bawa perlengkapan mandi di tangan. "Gimana, lebih mendingan, kan?" Marlin enggak tertawa, senyum juga enggak. Dia cuma menengok dari HP, terus menyodorkannya ke arahku. "Mungkin kita harus beli topi, buat kamu di jalan pas ke bandara?" Dan ... Hal pertama yang aku lihat di layar HP? Foto aku sama Toyi keluar dari Wedding Chapel. Terus ada lagi foto cincin, dan satu lagi foto kita bersama penghulu. "Astaga, aku kelihatan kacau banget." "Kacau gimana? Kamu cantik, kok. Maksud aku, mabuk berat, tapi tetap cantik." Marlin menyeringai. "Tapi kalau udah muncul di situs gosip, fix ini bakalan viral!" Perutku langsung mual. "Mama udah pasti tahu." Kecintaanku sama gosip selebriti, datangnya dari Mama. Dari kecil, tiap pagi bukannya baca koran, Mama malah update gossip online. Itu satu-satunya candu dia, walau pasti bakal mengelak setiap kali ditanya. "Udah, kita pulang aja. Kamu mandi, siapin jawaban kalau nanti Mama interogasi." Aku memandang fotoku sama Toyi. Dia memang ganteng banget, enggak bisa dibantah. Tapi, dari dulu aku sudah berjanji, kalau pun suatu hari nanti aku harus menikah, aku pastikan menikah sama cowok yang kalem, lembut dan kebalikan dari Papaku. Jelas si Toyi bukan orang itu. Sekarang, fokusku bukan Toyi. Aku harus memikirkan bagaimana caranya menghindari Mama dulu, sampai aku bisa dapat jalan keluarnya. Jadi pertama, aku harus mampir ke Bar milik kakakku, konsultasi dengan mereka sebelum ketahuan sama Mama.୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ “Aku enggak nyangka butuh boots buat kencan ini. Dan aku juga enggak nyangka bakal ngos-ngosan gini.” Hiking, jelas bukan tipe kencanku, tapi aku enggak mau merusak momen. Toyi terlihat excited banget saat dia chat aku dari gym tadi, kasih tahu apa yang harus aku pakai. “Dikit lagi kok, habis itu kamu bisa copot. Tapi aku suka pemandangannya,” katanya. Aku tengok ke belakang dan menemukan dia lagi fokus memperhatikan pantatku. “Kayaknya masih kepagian deh buat pantatku muncul terus di depan mukamu.” Bangun dari ranjang Toyi pagi ini rasanya enak banget. Mencium aroma dia di sarung bantal, teringat bagaimana badannya menempel sama aku. Tangannya semalam yang enggak berhenti menjelajahi tubuhku. Aku menyesal banget kenapa enggak dari dulu mengambil langkah ini. “Sorry nih harus aku jujur, tapi aku udah naksir pantat kamu dari pertama kali kita ketemu.” Aku goyangkan pantat dan dia langsung maju dari belakang, kedua tangannya menekan bokongku. “Kalau kamu terus
Keesokan harinya, alarm HP-ku berbunyi. Aku tepok layar buat mematikannya. Derrin bergerak sedikit di pelukanku, dan aku kecup keningnya."Tidur lagi aja," bisikku, terus aku pelan-pelan turun dari ranjang.Aku enggak berharap banyak dari sesi latihan hari ini. Badanku masih pegal gara-gara “latihan” yang Derrin kasih tadi malam. Film yang kita tonton cuma bertahan lima belas menit sebelum dia mencium dadaku dan akhirnya berubah jadi hal lain.Ujung-ujungnya kita balik lagi ke shower, terus turun ke dapur jam dua pagi buat cari camilan. Aku enggak yakin berapa kali kita nge-seks di malam pernikahan di Bandung, tapi aku cukup yakin tadi malam jumlahnya mengalahi itu.Aku bohong kalau bilang enggak kepikiran bagaimana perasaan dia saat bangun pagi ini. Aku cuma berharap dia masih ada di titik yang sama kayak tadi malam, kalau akhirnya dia sudah berhasil menyebrangi jembatan traumanya.Setelah pakai celana latihan, kaos, sama hoodie, aku gos
୨ৎ T O Y I જ⁀➴ Aku benar-benar berharap ini bukan cuma mimpi gara-gara aku jatuh di shower, terbentur di kepala, terus berhalusinasi. Aku merangkak di kasur, hati-hati biar enggak menindih Derrin sepenuhnya, rasanya seperti mimpi. Apalagi setelah aku terus dihantui memori tentang memepetnya ke kaca di suite hotel waktu itu. Dia melilitkan tangannya ke leherku, jemarinya bermain di rambut basahku, menarikku turun biar bibir kita bertemu lagi. Tubuhnya lembut banget, licin seperti sutra, membuatku susah menahan diri untuk enggak langsung masuk ke dalam rahimnya. "Bentar, aku ambil kondom dulu," gumamku, melepas ciuman, meski aku enggak mau beranjak dari atas dia. Aku meraih ke meja samping tempat tidur, tempat aku menaruh kondom, karena memang aku sudah berharap dia bakal masuk kamarku suatu saat nanti. "Kamu tahu, kotak ini aku beli khusus buat kita." Aku ambil bungkusnya dan buka. Dia senyum, terus berlutut, membantuku memasangnya di sepanjang Juniorku. Gila, dia benar-
୨ৎ D E R R I Nજ⁀➴Aku duduk di ranjang, memandang kosong ke tembok. Bayangan mata biru Toyi yang biasanya penuh dengan ketulusan, tadi jatuh jadi putus asa setelah aku bilang aku enggak bisa. Itu terukir jelas di otakku.Aku copot sepatu, kesal sendiri karena Papaku lagi-lagi menghancurkan hidupku dengan masalah trust issue yang enggak selesai-selesai.Aku ambil HP, menelepon Marlin. Dia angkat di dering pertama.📞“Eh, girl!” Suaranya terdengar masih ramai, kayaknya dia masih di bar.“Kamu sibuk?” tanyaku sambil buka legging dan dalaman, terus ganti pakai celana piyama.“Kalau buat kamu, jelas enggak.”“Jadi, apa masalahnya?” tanyanya.“Kenapa kamu langsung mikir kalau ada masalah?” Aku nyalakan speaker, copot kaus, terus ganti pakai piyama model kancing depan. Dalam hati aku berpikir, setelah tidur nyenyak mungkin besok aku bisa baikan lagi sama Toyi.“Kamu punya nada khas, Derrin.”“Nada apa?”“Nada yang bilang, ‘aku lagi kenapa-kenapa.’ Ayo, cerita. Aku udah jadi sahabat kamu da
୨ৎ T O Y I જ⁀➴Begitu aku bilang ke Derrin kalau ini malam terbaik selama aku di sini, dia langsung bengong. Aku menunjukan beberapa gerakan ke para lansia, tapi sebenarnya mereka lebih pintar pakai pisau sama semprotan merica.Ada ibu-ibu yang bilang kalau dia bawa stun gun segala. Saat kita semua lagi makan es krim bareng, aku sempat kepikiran harusnya komplek ini pasang papan peringatan agar para penjahat berpikir dua kali sebelum macam-macam.Kita duduk melingkar di meja, aku bersama satu kakek namanya Lanon sama satu lagi Shanon.Topik obrolan mereka?Cuma peduli apakah payudaranya cewek-cewek yang pegang papan skor di ring itu asli atau bohongan.“Aku benaran enggak tahu,” jawabku lagi sambil melirik ke Derrin, yang masih sibuk menjelaskan ke Pingkan kalau "Tea" itu sebenarnya bukan teh benaran.Shanon bersandar ke depan. “Kita enggak bakal bilang ke Derrin atau Connie, kok. Ngaku aja, kamu benaran enggak pernah tidurin salah satu dari mereka? Gila, enggak percaya aku.”Aku meng
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴Jam enam sore, Toyi turun dari kamarnya, dia habis mandi dan wangi banget."Eh, aku kira aku bakal siap duluan dari kamu." Dia berhenti di meja depan, masukkan dompet sama kunci ke kantong.Aku memutar badan ke arah pintu. "Kamu kelihatan rapi banget buat sekadar pergi ke panti jompo. Apalagi kamu mau ngajar bela diri."Dia membuatku merasa malu dengan outfitku, legging sama hoodie. Nenek Connie pasti bakal mengomentari bajuku di depan geng nenek-neneknya."Aku pakai baju olahraga, kok." Dia melihat ke dirinya sendiri seperti lupa apa yang dia pakai."Iya, tapi rambut kamu rapi, dan kamu wangi."Dia senyum. "Jadi, maksud kamu sebenarnya, kamu ngakuin kalau aku seksi ... dan wangi?"Aku memutar mata, pura-pura kesal karena dia berhasil menangkapku. "Ayo, lah."Aku buka pintu terus kita keluar ke halaman depan."Aku bisa nyetir kok," katanya."Aku kan udah bilang aku yang nyetir.""Yah, aku pingin nyetir aja. Aku harus hafalin lokasi-lokasi sekitar, dan aku juga belum







