୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴
Meninggalkan istri baruku di kamar hotel sendirian, sebenarnya enggak seharusnya, sih. Tapi Vallent kayaknya enggak terlalu paham kondisiku waktu aku bilang harus mandi dulu sebelum bertemu dia di cafe. Kepalaku lagi pusing banget setelah mabuk semalam, jadi butuh mandi dulu biar fresh. Dan enggak mungkin aku bikin dia menunggu lebih lama lagi cuma karena aku harus merayu Derrin buat ikut juga. Vallent lah yang dari dulu memanage karier aku, dan jujur, dia keren banget dalam hal itu. Dia salah satu alasan terbesar aku bisa berada di titik sekarang. Bisa menginap di suite mewah, bisa ajak cewek cantik buat party setelah pertandingan ... itu dulu, ya. Sekarang aku sudah enggak main kayak begitu lagi. Sudah enggak ada gregetnya lagi. Aku petarung MMA profesional, yang terbaik di kelas middleweight. Banyak cewek-cewek yang dulu aku bawa ke hotel, itu pun juga bukan buat mencari cinta. Tapi cuma untuk bercinta semalam saja. Kebanyakan cewek-cewek penghibur, dan mereka cuma ingin pamer kalau mereka pernah tidur bersamaku, atau lebih parahnya lagi, mereka cuma ingin foto bareng sama aku. Aku yakin mereka enggak peduli soal perasaan. Tapi, Derrin berbeda. Mungkin itu juga alasan kenapa aku merasa pernikahan ini ada maknanya. Vallent sudah nongkrong di kafe, kakinya goyang-goyang. Jemarinya mengetuk meja, menungguku. Aku yakin, itu espresso keempatnya hari ini. "Hai!!" panggilnya dari kejauhan. "Di sini!!" Banyak orang yang sudah mencoba menjauhkan aku dari Vallent. Kata mereka, Vallent enggak pernah memikirkan kepentinganku. Tapi dia yang sudah bikin aku kaya sampai sekarang aku berada di puncak karier, aku enggak bakal buang dia begitu saja. Aku duduk depan dia, melihat HP sama iPad sudah siap di mejanya, jelas mau menunjukkan kepadaku gosip-gosip tentang pernikahan dadakan ini. Pasti ada fotografer yang diam-diam mengambil gambar kita semalam. Pelayan datang, aku langsung pesan kopi buat aku sendiri, sekalian buat Derrin, kopi hitam sama gula. Alis Vallent langsung naik. "Kamu, kan enggak pernah pakai gula." "Iya, Aku tahu." Dia keluarkan napas panjang, jelas kesal karena aku enggak langsung bilang itu buat siapa. Tapi akhirnya dia mengerti sendiri, tangannya masuk ke rambut, terus dia bilang, "Jangan bilang kamu benaran serius sama ini?" "Serius sama apa?" "Jangan pura-pura bego, Toyi." Aku menahan senyum saat melihat dia kesal. "Maksud kamu, pernikahanku?" "Iya, nikah sama cewek yang kamu enggak kenal. Cewek penghibur yang kamu bawa buat temanin kamu semalam dan kamunya malah tidur di balkon. Aku ngerti dia mungkin kelihatan beda sama cewek-cewek lain dan aku ngerti kamu tertarik, tapi ini bukan dongeng, Toyi. Dia itu sama kayak cewek-cewek penghibur lainnya. Mungkin kali ini dia agak lebih pintar sejak dia bikin kamu nikah sama dia." "Sumpah, deh, dia enggak terkesan sama nama aku." Padahal aku yakin, semua cewek-cewek di Bandung pasti kenal dan ngefans sama aku. Sebenarnya aku mau bilang ke Vallent kalau justru dia lah yang ingin batalkan pernikahan ini, tapi itu memalukan banget rasanya. "Kalau kamu enggak peduli, oke, lanjutin aja ... tapi aku udah bilangin, ya kalau ini salah. Aku jamin dia tahu seberapa terkenalnya kamu, dan dia pasti tahu lebih banyak tentang kamu. Dia bohong, dia itu cuma pura-pura!" Aku angkat bahu. "Meskipun gitu, aku udah mutusin bakal tetap nikah." Vallent mengepal erat gelas expresso-nya. "Kamu bercanda, kan. Kamu enggak bisa nikah sama cewek ini. Dia cuma mau ambil alih semua aset yang kamu punya." "Ya, kalau begitu, itu bakal jadi urusan aku, bukan urusan kamu." Vallent boleh mengurusi karier aku, tapi aku sudah dewasa dan enggak butuh dia buat mengatur urusan pribadiku juga. "Toyi, dia jelas ngelakuin sesuatu biar bisa nikah sama kamu. Dia cewe matre, sama kayak yang lain! Enggak ada ceritanya cewek penghibur itu tulus, Toyi!" Dia kibaskan expresso-nya terus angkat tangan panggil pelayan. "Aku paham." "Kamu sadar enggak, sebagian besar fans kamu itu cewek? Dan mereka ngerasa beruntung bisa dapat kesempatan buat dekatin kamu. Dan haduh, pakai otak kamu, Toyi!" Pelayan datang bawa expresso baru sama dua kopiku. Aku angkat tangan buat tahan dia sebelum dia mulai mengomel lagi. "Aku rasa ada alasan kenapa aku lakuin ini dan aku mau lihat apa yang bakal terjadi nanti." Dia memandangku dari balik cangkirnya. "Kamu serius?" "Iya." Dia geleng kepala. "Aku rasa liburan bareng Mamamu bikin kamu percaya sama semua omong kosongnya." "Kamu ngomong apa, sih?" Dia mengibas. "Kamu ngerti maksud aku." "Gak," jawabku santai, bersandar dan menyilangkan tangan. "Kamu harus akhiri pernikahan ini secepatnya. Kalau kamu biarin, kamu bakal nyesel pas cerai nanti dan dia bakal bawa separuh dari harta kamu," kata Vallent. "Aku tahu apa yang kamu pikirin dan aku enggak bakal setuju!" Aku ambil kopi dan berdiri. Mengobrol sama Vallent enggak bakal mengubah apa-apa, mending aku balik ke kamar dan urus ini sendiri sama Derrin. "Nanti aku telepon, kalau udah beres!" ”Kamu lihat fotonya?” Vallent menunjukkan HPnya ke aku. Aku taruh kopi lagi di meja dan condong buat melihatnya. Foto itu hampir sama seperti yang kita ambil di Wedding Chapel. "Iya, aku kelihatan mabuk banget." Dia geser ke foto yang menunjukkan cincin yang aku beli buat dia. "Kamu minta tolong ke satpam dan dia manggil toko perhiasan buat di kirim langsung ke hotel. Dari yang aku dengar, kamu suruh dia buat milih cincin termahal di sana." "Aku enggak ingat bagian itu, tapi aku bisa bayar semuanya, kamu tenang aja ..." kataku. Kalau pun aku sadar, aku pasti bakal paksa calon istriku buat memilih cincin yang paling mahal. "... Istri aku pantas dapat itu ..." Aku pegang dua kopi. "... Aku mau lihat apa yang bakal terjadi di antara kita." "Oke, telepon aku kalau semuanya nanti jadi kacau. Soalnya aku yakin itu bakal terjadi dan kamu bakal kelihatan idiot ... Aduuh, dia itu cuma mainin kamu! Tolol!" Kalau saja aku enggak bawa kopi itu, aku pasti tarik kerah baju dia dan banting dia ke dinding. "Hei, anjing. Ini hidup aku dan aku mau jalani sesukaku!" Daripada mendengarkan dia mengulang kata-kata yang sama, jadi aku minggir ke deretan lift. Derrin sekarang istri aku. Aku cuma harus meyakinkan dia buat kasih aku kesempatan membuktikan kalau aku bisa jadi suami yang baik. Tapi bagaimana kalau Vallent benar? Aku sudah habiskan banyak duit buat cincin itu dan kalau akhirnya nanti dia menghancurkan hatiku, jelas media bakal framing aku petarung yang lemah. Seperti yang Mama aku bilang, segala sesuatu yang terjadi pasti ada alasannya. Aku enggak bisa mengelak, instingku bilang kalau aku menikah sama dia bukan karena mabuk, tapi ada sesuatu. Dan aku masih belum tahu, itu apa. Aku gesek kartu kamar di pintu penthouse dan langsung merasa sunyi. Aku cek seisi suite dan ... sial. Kosong. Istri baruku sudah meninggalkanku.୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴ Aku lagi duduk di sofa, memandangi cincin kawin yang Derrin tinggalkan. Harusnya aku sudah tahu dia bakal kabur. Dari tadi pagi saja sudah terlihat gerak-geriknya kalau dia sama sekali enggak tertarik sama aku. Malah lebih tampak takut sama aku dan sama apa yang sudah kita lakukan. Enggak bisa menyalahkan dia juga, sih. Aku enggak bisa berharap dia mau rela jadi istri orang yang belum dia kenal. Sementara aku? Aku bisa saja terima, mungkin karena aku dibesarkan sama Mama yang percaya banget sama mitos. Atau mungkin juga karena aku sudah enggak merasa dapat self reward lagi dari dunia tinju seperti dulu. Rasanya, aku sudah harus cari pencapaian lain dalam hidup ini. Mungkin … ya ini, pernikahan. HP aku bergetar, nama Mama muncul di layar. Aku keluarkan napas panjang. Ya sudah lah, harus diangkat. "Halo, Ma." "Itu benaran?" Nada suara Mama jelas banget, ingin aku klarifikasi terhadap gosip terbaru. Dia, kan mengikuti karierku dari awal. "Cuaca di sana gim
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ Aku masuk ke kamar hotel pakai kartu yang aku share sama Marlin, terus langsung tutup pintu dan menunduk buat mengatur napas. "Marlin!" Dia keluar dari kamar mandi pakai kaus sama celana pendek, rambutnya masih basah habis mandi. Aku buru-buru mengumpulkan baju-baju yang kemarin malam aku coba satu per satu, masih berantakan di lantai dan meja, jadi aku lempar lagi ke koper. "Ada apa, sih?" Dia duduk di kasur, menyilangkan kaki, sambil mengelap rambutnya pakai handuk. "Oh, aku pingin tahu soal cowok ganteng itu!" ”Cepetan kemas-kemas! Kita harus pulang hari ini. Aku jelasin nanti di jalan." "Hah? Kamu mau pulang sekarang? Serius, ada apa, sih?" keluhnya. Aku jatuhkan kepala ke belakang terus keluarkan napas panjang. Aku enggak bisa simpan ini sendirian. "Jadi gini … cowok ganteng itu sekarang resmi jadi suami aku." Marlin langsung bengong, mulutnya terbuka lebar, memandangku. "Yup, kayaknya sekarang aku udah jadi Nyonya The Rock!" Aku angkat tangan
୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴ Meninggalkan istri baruku di kamar hotel sendirian, sebenarnya enggak seharusnya, sih. Tapi Vallent kayaknya enggak terlalu paham kondisiku waktu aku bilang harus mandi dulu sebelum bertemu dia di cafe. Kepalaku lagi pusing banget setelah mabuk semalam, jadi butuh mandi dulu biar fresh. Dan enggak mungkin aku bikin dia menunggu lebih lama lagi cuma karena aku harus merayu Derrin buat ikut juga. Vallent lah yang dari dulu memanage karier aku, dan jujur, dia keren banget dalam hal itu. Dia salah satu alasan terbesar aku bisa berada di titik sekarang. Bisa menginap di suite mewah, bisa ajak cewek cantik buat party setelah pertandingan ... itu dulu, ya. Sekarang aku sudah enggak main kayak begitu lagi. Sudah enggak ada gregetnya lagi. Aku petarung MMA profesional, yang terbaik di kelas middleweight. Banyak cewek-cewek yang dulu aku bawa ke hotel, itu pun juga bukan buat mencari cinta. Tapi cuma untuk bercinta semalam saja. Kebanyakan cewek-cewek penghibur, dan
“Aku rasa kamu lagi panik, ya?” tanya si aneh itu dengan santainya. Mataku langsung menemukan bingkai foto di meja. Aku dan dia, bareng sama penghulu palsu di tengah. Sialan, Mama-Papaku pasti langsung mengamuk kalau tahu ini. Aku bahkan enggak bisa bayangkan Papa bakal bicara apa. Eh, tapi siapa juga yang peduli. Aku memang sudah benci sama dia dari dulu. Di foto itu, aku pakai gaun putih super mini, sementara dia pakai jas tuxedo biru. Kita berdua senyum lebar, jelas lagi mabuk berat. Aku ambil fotonya. “Kamu serius, ya, soal pernikahan ini?” “Ya, kita udah resmi menikah.” “Kalau gitu, bisa enggak kita batalin aja?” Aku tatap dia. Ekspresinya langsung jatuh, seperti orang yang baru saja memasang uang terakhirnya di mesin judi, terus kalah. “Lagian, ini juga cuma gara-gara iseng, kan. Kita bahkan enggak kenal!” “Ya ... aku juga enggak kebayang kamu bisa senang sama situasi ini,” katanya. Dia cuma angkat bahu. “Sebenarnya aku enggak percaya sama pernikahan,” jelasku. “
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ "Ahh, siaaaaal!!" Kandung kemihku sudah enggak tahan lagi sama sisa alkohol semalam. Aku yakin kalau tadi malam aku sudah kebanyakan minum. Ada suara air mengalir dari kamar Mandi. Aku masih enggak percaya kalau itu Marlin. Dia enggak mungkin bangun lebih pagi dari aku. Soalnya setiap hari, aku yang harus tarik-tarik dia buat keluar dari kasur. Aku singkap selimut, turun dari kasur, terus jalan pelan-pelan. Karena sedikit gelap, aku hampir saja terpeleset gara-gara menginjak baju yang berserakan di lantai, untung masih sempat menahan diri biar enggak jatuh. "Arggg ... sumpah, semalam itu kita ngapain aja, sih?" gumamku. Aku masuk kamar mandi, bersyukur Marlin enggak menyalakan lampu, karena otakku pasti meledak kalau terkena cahaya. Lagi pula, aku juga enggak ingin lihat mukaku sekarang. Marlin sudah jadi sahabatku sejak kecil, jadi bukan hal aneh juga kalau aku kencing di depan dia. Jadi aku turunkan celana dalam, duduk di toilet, sambil mengeluh gara-ga