୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴
Aku lagi duduk di sofa, memandangi cincin kawin yang Derrin tinggalkan. Harusnya aku sudah tahu dia bakal kabur. Dari tadi pagi saja sudah terlihat gerak-geriknya kalau dia sama sekali enggak tertarik sama aku. Malah lebih tampak takut sama aku dan sama apa yang sudah kita lakukan. Enggak bisa menyalahkan dia juga, sih. Aku enggak bisa berharap dia mau rela jadi istri orang yang belum dia kenal. Sementara aku? Aku bisa saja terima, mungkin karena aku dibesarkan sama Mama yang percaya banget sama mitos. Atau mungkin juga karena aku sudah enggak merasa dapat self reward lagi dari dunia tinju seperti dulu. Rasanya, aku sudah harus cari pencapaian lain dalam hidup ini. Mungkin … ya ini, pernikahan. HP aku bergetar, nama Mama muncul di layar. Aku keluarkan napas panjang. Ya sudah lah, harus diangkat. "Halo, Ma." "Itu benaran?" Nada suara Mama jelas banget, ingin aku klarifikasi terhadap gosip terbaru. Dia, kan mengikuti karierku dari awal. "Cuaca di sana gimana?" jawabku sambil tertawa kecil. "Cuaca apaan, jangan ngeles. Ayo lah!" Suara Mama yang lembut bikin bebanku sedikit tertolong, apalagi setelah balik ke kamar, tapi kosong. "Aku enggak tahu Mama lagi ngomongin apa." "Kalau gitu, kasih teleponnya ke menantu Mama, biar Mama bisa nanya langsung." Dia tertawa. Aku geleng-geleng kepala, memandang keluar jendela besar ke arah langit Bandung. Harusnya pemandangan kayak begini bikin aku merasa di puncak dunia. Dulu iya, sekarang sudah enggak lagi. Yang terpikirkan cuma Derrin semalam, menempel ke kaca saat kita pulang dari Chapel. Sekarang, kenangan itu malah kayak mimpi buruk, sadar kalau aku enggak bakal bisa merasakan itu lagi. Enggak adil banget rasanya kalau aku harus duduk di sini, mereplay apa yang kita lakukan, sementara dia sudah hilang entah ke mana. "Jadi gini, Ma, menantu Mama kayaknya enggak begitu suka jadi istri The-Rock." Dari semua orang di dalam hidup aku, Mama itu selalu yang paling mendukungku. Waktu aku mulai berantem di sekolah, dia yang jemput aku di kantor polisi, terus menyuruhku pakai tinju itu buat sesuatu yang lebih positif, buat salurkan amarahku ke Papa. Dia juga yang selalu melihat sisi baikku, sementara orang lain cuma lihat sisi buruk. "Mama enggak tahu, ya ... Hemm, tapi cewek mana sih yang enggak bahagia jadi istri The-Rock?" Aku mengernyit. "Ya, ternyata dia salah satunya." Mama keluarkan napas panjang, aku bisa dengar sendoknya berputar di cangkir teh. "Terus kamu mau ngapain sekarang?" "Ya apa yang bisa aku lakuin, Ma? Aku kan enggak bisa ngiket dia di kasur." Aku tahan diri biar enggak cerita kalau sebenarnya aku sempat meminta Derrin buat stay. Kalau aku bilang gitu, aku bakal terlihat kayak pengemis cinta banget, sementara aku suka Mama melihatku sebagai cowok yang selalu perfect. "Jadi, apa yang bikin kamu akhirnya nikah sama dia?" "Selain efek Vodka?" celetukku, enggak kasih dia waktu buat jawab. "Tapi ya, aku ngerti maksud Mama. Dan iya, aku rasain tanda-tanda juga." Dari ujung telepon, suara Mama langsung berbunga. "Mama tahu banget kamu lagi berjuang mikirin pensiun. Ini bukan soal nyari adrenaline baru karena tinju udah enggak bisa ngasih itu lagi, kan?" Itu masalahnya sama Mama, dia seperti bisa baca semua yang salah dari diri aku, dan dia enggak takut kasih kritik. Dia memahamiku lebih dari siapa pun. "Aku aja belum mutusin soal pensiun, Ma. Vallent bisa bunuh aku kalau aku tiba-tiba berhenti. Tapi soal nikah sama Stranger ini … entah kenapa aku juga pingin ngerti, kenapa aku bisa lakuin itu." "Kenapa? Huum ... Toyi, kan Mama udah ngajarin kamu, jangan pernah permasalahin sesuatu yang terjadi. Yang udah terjadi ya terjadilah!" Itu Mamaku. Dia tipe orang yang percaya sama insting, sudah dari dulu. Dia yakin setiap orang sudah punya jalan hidup yang digariskan. Jadi aku tahu dia pasti berpikir kalau Derrin muncul di hidupku, aku menikahi dia secara tiba-tiba, itu memang sudah takdir buat aku. "Aku enggak suka ngejar sesuatu yang jelas-jelas enggak mau buat dikejar, Ma!" Dia menyeruput tehnya. "Siapa bilang dia enggak mau dikejar? Emang dia ngomong gitu?" "Tindakan dia aja udah jelas." "Dengar ya, Mama sering lihat kamu berantem, udah dari kecil." Dia berhenti sebentar, "Dan bukan cuma di ring tinju." Aku mengerti maksud dia. Kadang aku juga merasa kalau semua yang aku punya selama ini harus aku rebut pakai perlawanan. "Udah deh, Ma. Jangan ngobrolin ini dulu, aku capek!" "Mama sayang sama kamu, Nak. Kamu tetap anak kecilnya Mama yang keras kepala, kayak banteng rodeo. Malah lebih keras kepala dari orang-orang tolol yang suka naik banteng itu!" "Makasih banyak, Ma." "Mama tahu gimana rasanya ditinggal Papamu." "Aku enggak mau ngomongin dia sekarang. Enggak ada hubungannya sama masalah ini." Dia menyindir. "Kamu bercanda? Jelas ada hubungannya sama masalah ini. Jadi dia kabur, kan? Mama, sih juga enggak kebayang gimana rasanya jadi dia. Bangun tidur, sadar, terus tiba-tiba saja udah nikah sama orang asing. Kalau Mama jadi dia, mama juga pasti lakuin hal yang sama, karena Mama takut. Tapi dengar, ya Toyi ... kalau dia lagi duduk di kasur bareng kamu sekarang, mungkin Mama malah curiga sama niat dia buat nikah sama kamu!" Aku enggak menyangka nasihat Mama kali ini ada benarnya. "Justru karena dia enggak ada di situ sama kamu sekarang, dan mikir kalau nikah sama kamu mungkin sebuah kesalahan, itu tandanya dia bisa jadi cewek yang tepat buat kamu," imbuhnya sambil menyeruput teh lagi. "Serius? Mama mikir dia cocok buat aku justru karena dia enggak mau sama aku?" Jangan-jangan kali ini Mama sudah mulai enggak waras. "Kalau cewek itu masih stay, besar kemungkinan ada udang di balik batu. Mama sering lihat cewek-cewek kayak gitu di tiap pertandingan kamu. Yang nempel kayak lintah, terus pakai tubuh mereka buat godain kamu. Toyi, kamu tuh butuh cewek yang berani nantangin kamu!" Mama aku ada benarnya juga. Ada sesuatu dari obrolan aku sama Derrin semalam yang bikin aku ke-trigger. Aku masih ada sedikit ingatan waktu kita mengobrol di balkon sebelum kita mabuk berat. Tapi aku ingat jelas, aku tertawa lepas, dan itu pertama kalinya buat aku. Ditambah lagi, dia enggak pernah berhenti nyinyir soal profesiku yang dia anggap barbar, dan itu malah bikin emosiku makin terpancing. Dia menunjukkan kalau dia enggak bakal gampang nurut sama aku. "Jadi Mama pingin aku ngapain?" "Ya, minimal kamu tahu nama dia, kan?" Iya, dan aku juga tahu dia tinggal di Pecang. Serius deh, siapa sih yang mau tinggal di Pecang selain ular sama buaya? "Iya, namanya Derrin Sunya." "Derrin, bagus, tuh. Jadi dari mana asal menantu Mama ini?" Aku bersandar di sofa, garuk kepala. "Dari kota kecil di Pecang." Mama tertawa. "Pecang?" "Iya." "Mama belum pernah ke Pecang." Nah, ini, nih ... mama pasti bakal merayuku biar ajak dia kalau aku benar-benar ke sana. "Mama pingin aku ngapain sekarang? Datang ke sana, terus sujud minta dia tetap jadi istri aku?" Aku membayangkannya saja sudah ngeri. Pasti berita di media bakal pasang mukaku dan kasih caption, "The Rock menangis karena wanita" Big no. "Menurut Mama sih, not bad." "Aku ini The Rock, Ma. Ngapain juga aku harus mohon-mohon ke Stranger biar mau jadi istri aku?" "Jadi menurutmu dia harus tunduk sama kamu, gitu ... terus bilang betapa beruntungnya dia dapatin kamu, hummm? Ayo sadar, Toyi. Kamu harus berantem dulu buat dapatin apa yang kamu mau!" Mama ada benarnya. Aku bisa masuk ranking MMA karena enggak pernah berhenti memotivasi diriku. Dan aku masih di puncak klasemen karena aku enggak pernah mau kalah. Jadi, kenapa sekarang, pas insting yang sama menarik aku, aku malah mau diam saja dan enggak berjuang buat dapatkan dia? Tatapan aku jatuh ke cincin yang aku putar-putar di jari. "Oh … kayaknya kamu lagi mikirin buat pesan tiket ke Pecang, ya?" Mama bernyanyi-nyanyi. "Mungkin." Aku masih punya sembilan puluh hari sebelum pertandingan berikutnya. Mungkin dalam waktu itu, aku bisa lakukan sesuatu agar Derrin Sunya tetap jadi Derrin The Rock. "Mama ikut, ya?" Sudah kuduga, dia pasti mau ikutan. Sifat protektifnya memang kayak begitu. "Kasih aku beberapa hari buat sendiri dulu lah, Ma." Satu hal yang aku pelajari dari Derrin semalam, dia enggak bakal gampang kembali ke pelukanku. Kemungkinan besar dia malah kasih aku lututnya tepat di selangkangan. "Kenapa? Kamu malu bawa Mama?" "Aku bakal telepon Mama kalau semuanya udah agak tenang," bujukku. "Mama bangga sama kamu, Nak. Kamu udah melakukan hal yang benar. Ikutin aja kata hatimu." Saat dia bilang begitu, aku langsung ingin injak rem. Karena mengikuti kata hati, biasanya ujung-ujungnya patah hati. Dan aku enggak mau itu. "Makasih, Ma." "Kabari Mama, ya!" "Iya, aku bakal telepon. Cuma aku belum tahu kapan pastinya." "Mama sayang sama kamu." "Aku juga sayang Mama." Begitu telepon ditutup, aku putar-putar cincin berlian di jari. Mama benar, aku harus kejar dia. Setidaknya buat tahu, kenapa aku sampai bisa menikahinya.୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴ Aku lagi duduk di sofa, memandangi cincin kawin yang Derrin tinggalkan. Harusnya aku sudah tahu dia bakal kabur. Dari tadi pagi saja sudah terlihat gerak-geriknya kalau dia sama sekali enggak tertarik sama aku. Malah lebih tampak takut sama aku dan sama apa yang sudah kita lakukan. Enggak bisa menyalahkan dia juga, sih. Aku enggak bisa berharap dia mau rela jadi istri orang yang belum dia kenal. Sementara aku? Aku bisa saja terima, mungkin karena aku dibesarkan sama Mama yang percaya banget sama mitos. Atau mungkin juga karena aku sudah enggak merasa dapat self reward lagi dari dunia tinju seperti dulu. Rasanya, aku sudah harus cari pencapaian lain dalam hidup ini. Mungkin … ya ini, pernikahan. HP aku bergetar, nama Mama muncul di layar. Aku keluarkan napas panjang. Ya sudah lah, harus diangkat. "Halo, Ma." "Itu benaran?" Nada suara Mama jelas banget, ingin aku klarifikasi terhadap gosip terbaru. Dia, kan mengikuti karierku dari awal. "Cuaca di sana gim
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ Aku masuk ke kamar hotel pakai kartu yang aku share sama Marlin, terus langsung tutup pintu dan menunduk buat mengatur napas. "Marlin!" Dia keluar dari kamar mandi pakai kaus sama celana pendek, rambutnya masih basah habis mandi. Aku buru-buru mengumpulkan baju-baju yang kemarin malam aku coba satu per satu, masih berantakan di lantai dan meja, jadi aku lempar lagi ke koper. "Ada apa, sih?" Dia duduk di kasur, menyilangkan kaki, sambil mengelap rambutnya pakai handuk. "Oh, aku pingin tahu soal cowok ganteng itu!" ”Cepetan kemas-kemas! Kita harus pulang hari ini. Aku jelasin nanti di jalan." "Hah? Kamu mau pulang sekarang? Serius, ada apa, sih?" keluhnya. Aku jatuhkan kepala ke belakang terus keluarkan napas panjang. Aku enggak bisa simpan ini sendirian. "Jadi gini … cowok ganteng itu sekarang resmi jadi suami aku." Marlin langsung bengong, mulutnya terbuka lebar, memandangku. "Yup, kayaknya sekarang aku udah jadi Nyonya The Rock!" Aku angkat tangan
୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴ Meninggalkan istri baruku di kamar hotel sendirian, sebenarnya enggak seharusnya, sih. Tapi Vallent kayaknya enggak terlalu paham kondisiku waktu aku bilang harus mandi dulu sebelum bertemu dia di cafe. Kepalaku lagi pusing banget setelah mabuk semalam, jadi butuh mandi dulu biar fresh. Dan enggak mungkin aku bikin dia menunggu lebih lama lagi cuma karena aku harus merayu Derrin buat ikut juga. Vallent lah yang dari dulu memanage karier aku, dan jujur, dia keren banget dalam hal itu. Dia salah satu alasan terbesar aku bisa berada di titik sekarang. Bisa menginap di suite mewah, bisa ajak cewek cantik buat party setelah pertandingan ... itu dulu, ya. Sekarang aku sudah enggak main kayak begitu lagi. Sudah enggak ada gregetnya lagi. Aku petarung MMA profesional, yang terbaik di kelas middleweight. Banyak cewek-cewek yang dulu aku bawa ke hotel, itu pun juga bukan buat mencari cinta. Tapi cuma untuk bercinta semalam saja. Kebanyakan cewek-cewek penghibur, dan
“Aku rasa kamu lagi panik, ya?” tanya si aneh itu dengan santainya. Mataku langsung menemukan bingkai foto di meja. Aku dan dia, bareng sama penghulu palsu di tengah. Sialan, Mama-Papaku pasti langsung mengamuk kalau tahu ini. Aku bahkan enggak bisa bayangkan Papa bakal bicara apa. Eh, tapi siapa juga yang peduli. Aku memang sudah benci sama dia dari dulu. Di foto itu, aku pakai gaun putih super mini, sementara dia pakai jas tuxedo biru. Kita berdua senyum lebar, jelas lagi mabuk berat. Aku ambil fotonya. “Kamu serius, ya, soal pernikahan ini?” “Ya, kita udah resmi menikah.” “Kalau gitu, bisa enggak kita batalin aja?” Aku tatap dia. Ekspresinya langsung jatuh, seperti orang yang baru saja memasang uang terakhirnya di mesin judi, terus kalah. “Lagian, ini juga cuma gara-gara iseng, kan. Kita bahkan enggak kenal!” “Ya ... aku juga enggak kebayang kamu bisa senang sama situasi ini,” katanya. Dia cuma angkat bahu. “Sebenarnya aku enggak percaya sama pernikahan,” jelasku. “
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ "Ahh, siaaaaal!!" Kandung kemihku sudah enggak tahan lagi sama sisa alkohol semalam. Aku yakin kalau tadi malam aku sudah kebanyakan minum. Ada suara air mengalir dari kamar Mandi. Aku masih enggak percaya kalau itu Marlin. Dia enggak mungkin bangun lebih pagi dari aku. Soalnya setiap hari, aku yang harus tarik-tarik dia buat keluar dari kasur. Aku singkap selimut, turun dari kasur, terus jalan pelan-pelan. Karena sedikit gelap, aku hampir saja terpeleset gara-gara menginjak baju yang berserakan di lantai, untung masih sempat menahan diri biar enggak jatuh. "Arggg ... sumpah, semalam itu kita ngapain aja, sih?" gumamku. Aku masuk kamar mandi, bersyukur Marlin enggak menyalakan lampu, karena otakku pasti meledak kalau terkena cahaya. Lagi pula, aku juga enggak ingin lihat mukaku sekarang. Marlin sudah jadi sahabatku sejak kecil, jadi bukan hal aneh juga kalau aku kencing di depan dia. Jadi aku turunkan celana dalam, duduk di toilet, sambil mengeluh gara-ga