Mag-log in“Bawa ini, letakkan di tempat yang kamu rasa paling aman. Ini sudah terhubung ke HP saya,” kata Pak Mangun sambil memberikan kamera mini.Aku menerimanya dan memasukkannya ke saku celana, aku lalu melepas kedua sandal yang aku pakai karena jika aku tetap memakainya saat aku lari, pasti akan terdengar. Dari setelah Subuh kami bertiga sudah mulai bersiap, Bu Mangun sudah pergi lebih dulu sedangkan aku dan Pak Mangun tetap bertahan di balik pagar. Lima belas menit sudah berlalu dari pukul enam pagi dan Bude Kanti belum juga terlihat keluar dari rumahnya. Barulah di menit ke tiga puluh saat Bu Mangun terlihat berbincang dengan tukang sayur di ujung jalan, tidak lama Bude Kanti membuka pagarnya.“Tunggu sampai Bu Kanti berada tepat di depan tukang sayur itu. Ingat Tari, waktumu tidak banyak, Bu Kanti pasti tidak akan lama di sana karena ada Bu Mangun. Jalan ini tidak terlalu lebar, kamu bisa sampai ke seberang dengan cepat. Fokus melihat ke depan, jangan hiraukan mereka yang ada di ujung
“Suamiku bilang Trisno masih sibuk di toko, sebaiknya kita pergi sekarang saja Tari. Kita pakai motor saja biar lebih cepat dan tidak terlalu mencurigakan. Kamu tunggu di sini dulu, aku ambil motor dulu sebentar,” kata Mbak Asri.“Mbak,” kataku sambil menarik tangannya.“Titip anak-anak, aku pasti akan jemput begitu semuanya sudah jelas. Maaf ya Mbak untuk kesekian kalinya aku merepotkan lagi.”“Sudahlah Tari, jangan khawatir tentang anak-anak, kamu bereskan dulu urusan kamu. Semua kerepotan ini yang menyebabkan juga adikku, jadi kamu jangan merasa tidak enak. Aku hanya bisa berdoa agar semua yang buruk-buruk tidak terjadi. Ya sudah, tunggu di sini sebentar!”Aku mengangguk kemudian kembali memeriksa isi tas ransel Aran yang aku pinjam, aku keluarkan jaket hitam dari dalam tas lalu cepat-cepat memakainya. Tidak lama motor Mbak Asri terlihat mendekat dan kami langsung pergi, sebelumnya aku sudah bicara dengan anak-anak kalau untuk sementara mereka tinggal di rumah Budenya karena ad
“Jadi sekarang ceritanya kalau aku ada perlu di luar dan pulangnya sampai sore kamu ikut-ikutan pergi juga ya?” tanya Mas Tris begitu masuk ke ruang tengah, dia lalu duduk di depanku.“Sika sakit, Mas tanya sama Deko aja langsung kalau nggak percaya” jawabku.“Sika sakit kan ada suaminya terus kenapa jadinya kamu yang harus nunggu seharian?”“Ini harus aku certain dari awal mula kejadiannya Mas? Oke nggak apa-apa tapi habis itu kita tukeran cerita ya kayak dulu waktu kita awal nikah. Nanti Mas gantian cerita ya tadi sama Bude Kanti gimana, masalah rumahnya beres apa belum Mas?”“Apa yang harus diceritain?”“Ya banyaklah, Mas kan juga seharian pergi dari rumah. Gimana? Siapa yang mulai duluan?”“Nggak penting banget, bukan urusan kita juga,” katanya lalu berdiri.“Mas jangan pergi dulu, duduk dululah!” kataku menahannya pergi dan Mas Tris kembali duduk.“Besok sore aku sama anak-anak mau dijemput sama Mbak Asri, dia minta dibantuin soalnya pesenan kuenya banyak banget dan dia n
“Bagaimana keadaan teman kamu?”“Sudah membaik Bu dan sudah boleh pulang juga. Maaf saya tiba-tiba telepon dan mengganggu Ibu.”“Nggak apa-apa, kebetulan saya ada di kota ini, dekat juga dari rumah sakit.” tanya Bu Ning.Kondisi Sika yang sudah membaik membuatku lega dan atas nasehat mereka aku tetap tinggal untuk melanjutkan apa yang belum selesai dikerjakan. Awalnya aku menghubungi Bu Ning untuk bertanya apakah dia mempunyai teman atau saudara yang tinggal di perumahan mewah itu atau tidak. Ternyata Bu Ning juga sedang berada di kota ini untuk menghadiri undangan dari salah satu rekan bisnisnya dan beruntungnya aku karena Bu Ning mempunyai seorang teman dekat yang baru saja pindah ke perumahan mewah itu. Bu Ning langsung menjemputku di rumah sakit setelah aku ceritakan semua yang terjadi dan kami langsung berangkat menuju perumahan mewah itu.“Apa teman Ibu ada di rumahnya Bu?”“Hari ini kebetulan mereka ada di rumah walaupun mereka juga belum tinggal di situ tapi hari libur gi
“Kenapa mereka jadinya malah ke luar kota, setahuku rumah yang sedang direnovasi itu rumah warisan keluarganya Bude dan itu masih di dalam kota,” kataku bingung setelah tahu arah tujuan mobil yang dibawa Mas Tris.“Semua omongan Bude itu nggak ada lagi yang bisa dipercaya Tari, mungkin dari awal perkenalan dia sudah memulai drama yang disutradarain sendiri. Ini buktinya kita sebentar lagi keluar tol dan masuk kota, kita lihat mereka mau ngapain di kota ini,” kata Sika.“Iya Ka, pantes aja tadi Mas Tris bilang pulangnya bisa sore atau malem karena perjalananya aja hampir dua jam,” kataku pada Sika.“Kamu tahu nggak Tar aku ngebayanginnya itu mereka mau ada pertemuan rahasia antar mafia gitu terus yang datang itu mafia-mafia berkedok warga biasa. Jadi ngerasa bagian dari syuting sebuah film nggak sih ini, kita jadi detektif yang diem-diem ngikutin gembong narkoba, hiiii,” Sika lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya.“Makanya kalau malem itu buat tidur bukan buat nonton film,”
“Semalam kamu ditungguin juga lama banget nggak beres-beres, ada aja yang dikerjain. Bude terus pulang karena udah capek banget, mana urusannya juga belum selesai,” kata Mas Tris yang pagi-pagi sudah bersiap mau pergi lagi mengantar Bude Kanti.“Ini kan hari libur, Seno pasti juga ada di rumah, kenapa bukan dia aja yang nganterin Ibunya? Pras juga ada, tinggal telepon aja kan bisa.”“Seno mana tahu urusan renovasi-renovasi begini, kalau Pras memang lagi sibuk sama istri dan anaknya.”“Kalau Mas sendiri nggak sibuk sama istri dan anak ya?”“Kamu ini kenapa sih sekarang? Kamu sendiri kan yang bilang sama aku kalau Bude minta tolong apa pun, kapan pun, ke mana pun, aku harus mau dan harus bisa meluangkan waktu untuk membantu, karena dia sudah baik banget sama kita. Sekarang kok kesannya kamu nggak suka kalau aku bantu Bude.”“Aku memang pernah bilang begitu tapi aku nggak tahu kalau ternyata Mas lebih sering menghabiskan waktu Mas untuk mengantar Bude daripada nemenin anak-anak,” ka







