Anton duduk di ruang tamu, memandangi undangan yang tergeletak di atas meja. Undangan aqiqah yang diberikan Ahmad padanya beberapa hari lalu itu kini seolah menjadi simbol dari segala yang diinginkannya. "Alangkah bahagianya Ahmad sudah mempunyai anak," bisik Anton dalam hati, memandang undangan dengan perasaan campur aduk. "Istri dan ibunya juga akur." Ia menghela napas panjang, matanya kosong menatap undangan itu. "Bisakah aku juga mempunyai keluarga seperti Ahmad?" gumam Anton lirih, mempertanyakan masa depannya sendiri."Siapa yang datang, Ton?" suara ibu Anton memecah lamunannya, membawa Anton kembali ke kenyataan. Ia menoleh, melihat ibunya yang sudah tua duduk di sofa depan televisi. "Ahmad, Bu. Teman kerja aku. Dia... besok mengadakan acara aqiqah untuk anak pertama nya," ujar Anton, mencoba menyembunyikan kerisauan yang ada di hatinya."Oh," jawab ibunya singkat, tidak terlihat terkesan. Hanya itu yang diucapkannya, lalu kembali menyalakan TV, seakan tidak peduli dengan ce
Lima hari kemudian"Pagi, sayang. Anak kamu sudah bangun, Ana?" tanya Sari dengan lembut, matanya menatap Ana yang sedang menggendong anaknya di ruang tengah.Ana mengangguk pelan. "Sudah, Mama.""Kalau begitu, biar Mama mandikan. Kamu sarapan dulu saja. Ibu menyusui pasti lapar. Tadi Ahmad juga sudah merebus air untuk mandi anak kalian, mungkin sebentar lagi panas," ujar Sari, sambil tersenyum penuh kasih sayang.Ana mengangguk, tersenyum lembut. "Iya, Ma. Ana memang lapar."Sari berjalan mendekat, menatap cucunya dengan penuh kasih. "Kalau begitu, mana anak kamu? Oh ya, tadi Mama cuma nggoreng telur dadar. Ada sayur sop mentah, dan ayam ungkep, tapi belum Mama masak. Bisa kamu bantu nanti?"Ana menyerahkan bayinya pada Sari dengan lembut. "Biar Ana yang masak sayur sop dan nggoreng ayamnya, Ma," jawab Ana.Sari mengangguk, lalu membawa cucunya menuju kamar mandi. Ana pun kembali ke dapur, memotong sayuran mentah untuk sayur sop. Tak lama setelah itu, terdengar suara air mendidih di
Surya duduk gelisah di kursi kecil di ruang interogasi, tangan terikat di belakang punggungnya. Cahaya lampu neon yang menyilaukan terasa seperti menjalar ke kulitnya, mengingatkannya pada kenyataan yang tidak bisa ia hindari: ia ditangkap karena dugaan penggelapan barang inventaris perusahaan tempatnya bekerja. Semua berawal dari laporan yang masuk tanpa diduga, menyatakan bahwa Surya telah mencuri barang dan uang senilai ratusan juta. Ia hanya bisa menatap kosong, tidak tahu harus berbuat apa lagi.Dalam kepanikan yang memuncak, Surya segera meminta pada penyidik untuk menghubungi keluarga nya terkait dengan kasusnya. Jarinya gemetar saat menekan nomor Darma, anak tirinya yang selama ini dianggapnya dekat. Karena memang dia melakukan penggelapan dan korupsi pengiriman barang perusahaan untuk memenuhi permintaan calon istri anak tirinya itu. Harapan muncul dalam pikirannya—mungkin Darma bisa membantu, mungkin saja Darma bisa bicara dengan pengacara atau pihak perusahaan, maupun meng
“Mama sendiri yang pesen?” tanya Ahmad.Sari mengangguk, matanya berbinar. “Dulu bapakmu suka bikin boks bayi buat anak-anak kecil di kampung. Aku minta tukang yang sama. Biar cucuku nyaman.”Ana menidurkan bayinya perlahan di boks itu. Ia mengusap pipi mungil si kecil, matanya berkaca-kaca. “Alhamdulillah…,” bisiknya.Ahmad berdiri di sampingnya, menggenggam tangan Ana. Rumah itu mendadak hangat, penuh harapan baru.Di tempat lain, Wulan dan mbok Darmi baru saja turun dari grab. Tubuhnya masih lemas, bekas infus di tangannya masih membekas. Namun begitu dia melihat ke teras rumahnya, jantung nya serasa diremas. Wulan merasa takut dan berharap. Darma duduk di kursi dari anyaman bambu yang tersedia di teras, kedua kakinya bersilang, tatapan dingin menatap ke arahnya. Ia tidak tersenyum, tidak menyapa.“Mas D-Darma?” suara Wulan gemetar. “Kamu… ke sini?”Darma berdiri pelan, merapikan kausnya. “Aku ke sini mau ambil sesuatu.”Wulan menelan ludah. “Apa?”“Mahar itu,” jawab Darma datar.
Petugas polisi yang duduk di dekat mereka mengangguk pelan. "Burhan ditemukan membusuk dan terkubur di halaman belakang rumah yang disewa saudari Neni sebelum dia kabur dan menyewa rumah lainnya."Ahmad mengatup rahang. Ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan, menahan gejolak di dadanya. Semua perlahan tersingkap. Tapi tak urung juga Ahmad merasa lega karena orang orang yang mengganggu hidup nya telah mendapatkan ganjarannya. ***Suara sepatu Ahmad bergema di lorong-lorong rumah sakit, langkahnya cepat namun berat. Hatinya masih berdebar kencang, bukan karena lelah, melainkan karena apa yang baru saja ia saksikan di kantor polisi. Napasnya memburu, namun ia paksa tetap tenang. Pintu ruang perawatan Ana semakin dekat, dan di balik sana, ada dua orang yang kini menjadi dunianya.Ahmad mengetuk pelan, lalu mendorong pintu. Ana tersenyum sambil menggendong bayi mungil mereka yang tengah terlelap. Di sampingnya, seorang perawat tengah melipat selimut.“Mas,” sapa Ana lembut. Ada ro
Hujan rintik-rintik membasahi jendela kamar rawat inap Ana, menciptakan suara pelan seperti bisikan alam yang mengiringi malam. Lampu di sudut ruangan temaram, menyoroti wajah lelah Ana yang duduk di sisi tempat tidur. Sesekali, ia melirik ke arah jam dinding yang berdetak lambat, seolah waktu enggan bergerak.Sudah dua jam.Dua jam sejak Ahmad pamit untuk menjemput ibunya di depan rumah sakit.Dan sejak itu… tak ada kabar.Ana meraih ponselnya di atas meja. Jemarinya gemetar saat menekan nama Ahmad di daftar panggilan.Satu dering.Dua dering.Hingga akhirnya, suara monoton itu terdengar lagi. Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi."Mas… kamu di mana sih?" gumam Ana, suaranya parau. Ia mencoba menenangkan diri, menatap bayi mungil yang terlelap damai dalam boks bayi. Bayi itu tampak tenang, tangannya yang kecil terkepal, napasnya teratur.Ana membungkuk pelan, membelai pipi halus si kecil. "Kemana ya ayah sama nenek kamu, Nak?" ucapnya pelan, seakan berharap jawaban kelua