Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya bakal nggak diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰
SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA Bab 6 Ahmad menatap temannya dengan ekspresi yang sulit dilukiskan. "Terima kasih, Ton. Aku nggak nyangka kamu sebaik ini." Anton mengangkat bahu. "Santai saja, Mad. Aku tahu kamu baru menikah, kasihan kalau langsung disuruh kerja terus. Karena nanti kalau sudah ada anak, bulan madu tak lagi sama. Apalagi kan sekarang kamu lagi fresh fresh-nya melakukan hal itu. Yo nggak!? Hahaha!" Anton menaikturunkan alisnya. Ahmad tertawa kecil, lalu melirik jam dinding di ruang perawat. "Kalau begitu, aku akan bicara dengan Pak Soni dulu soal cuti. Semoga beliau setuju." Anton mengangguk. "Ya, semoga saja. Sekarang ayo kita selesaikan tugas dulu." Mereka berdua mulai menyuntik pasien satu per satu sesuai dengan daftar yang sudah disiapkan. Ahmad dengan telaten menjelaskan kepada pasien sebelum menyuntikkan obat, sementara Anton memastikan semua alat tersedia. Mereka bekerja dengan cepat namun tetap cermat, memastikan setiap pasien mendapatkan perawatan terbaik. Setelah selesai, Ahmad melangkah menuju ruang kepala ruangan. Ia mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilakan. "Pak Soni, saya ingin membicarakan sesuatu." Pak Soni, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, mengangkat kepalanya dari berkas yang sedang ia baca. "Ada apa, Ahmad?" "Saya ingin mengajukan cuti untuk bulan madu, Pak. Anton sudah bersedia menggantikan shift saya." Pak Soni mengangguk paham. "Tentu, Ahmad. Kamu baru menikah, sudah seharusnya punya waktu untuk istrimu. Aku setuju, pastikan semua tanggung jawabmu beres sebelum pergi." Ahmad menghela napas lega. "Terima kasih, Pak. Saya sangat menghargainya." Saat Ahmad keluar dari ruangan Pak Soni, ponselnya bergetar. Notifikasi dari beberapa pasien masuk, meminta kunjungan rumah untuk perawatan luka diabetes, pemasangan infus, dan perawatan lainnya. Ahmad membaca satu per satu pesan itu, lalu membalas dengan penuh semangat, menyanggupi jadwal yang diminta. “Alhamdulillah, rezeki untuk bulan madu,” batinnya. Ahmad menyelesaikan dinas hari ini dengan hati yang riang, dibayangkannya bulan madu dengan Ana, bidadari yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali bertemu. Sesuai pulang kerja dan sebelum berangkat ke rumah pasien, Ahmad mengirim pesan pada Ana, memberitahunya bahwa ia akan pulang terlambat karena ada beberapa kunjungan. [Sayang, aku harus ke rumah pasien dulu langsung setelah pulang kerja. Mungkin pulangnya agak sore. Jangan tunggu aku makan siang, ya.] Tak perlu menunggu waktu lama, Ana membalas pesan W******p dari sang suami. [Ya, Mas Ahmad.] Mendadak terlintas ide dalam benak Ahmad. Dengan cepat, lelaki yang sedang kasmaran pada istrinya sendiri itu mengetikkan pesan balasan. [Sayang, kamu nggak pernah belajar matematika ya di sekolah?] Tak perlu menunggu waktu lama, Ana membalas pesan w******p nya. [Hah, belajar dong, Mas. Saat pelajaran matematika, kan ada pelajaran matematika. Memangnya kenapa sih?] Ahmad tersenyum kecil sambil menatap layar ponselnya. [Eh, kukira kamu nggak belajar kurang - kurangan. Karena di mataku, kamu nggak ada kurangnya.] Ana : [Ah, mas Ahmad! Ihhh! Awas ya nanti kalau sampai di rumah!] Ahmad : [Mau diapain kalau ketemu memangnya? Aku pasrah deh diapa - apain sama kamu. Pake gaya ubur-ubur ikan lele pun mau!] Ana yang berada dalam kamarnya, tertawa membaca balasan w******p dari Ahmad. [Kalau gitu, pulang saja, Mas. Mungkin aku pakai gaya baling-baling bambu!] Ahmad tersenyum lalu mengunci ponselnya, lalu memasukkannya ke dalam saku, dia berjalan menuju parkiran rumah sakit. Namun, saat ia hampir mencapai motornya, seseorang memanggilnya. "Mas Ahmad!" Ia menoleh dan mendapati seorang wanita berdiri di bawah pohon rindang dekat parkiran. Nisa, salah satu rekan sejawatnya yang menjadi bidan di rumah sakit dan pernah menjadi mantannya selama setahun. Dengan seragamnya yang masih rapi, wajahnya terlihat cantik dan segar meski seharian bekerja. "Eh, Nisa. Ada apa?" Nisa tersenyum. "Aku dengar kamu baru menikah. Selamat, ya." "Terima kasih," jawab Ahmad sopan. Ia melirik jam tangannya. Masih ada beberapa pasien yang harus ia kunjungi, jadi ia tidak ingin berlama-lama. "Rumahmu masih di daerah yang sama, kan?" tanya Nisa, memiringkan kepala. Ahmad mengangguk. "Iya. Kenapa?" "Wah, kebetulan banget! Aku juga mau pulang ke arah sana. Bisa nebeng, nggak? Daripada naik kendaraan umum, capek soalnya." Ahmad terdiam sesaat. Sekilas, tidak ada yang salah dengan permintaan itu. Rumah mereka memang searah, dan secara profesional mereka hanya rekan kerja. Tapi hatinya menolak. Apalagi, ini Nisa—wanita yang dulu pernah ia sukai dan menolaknya. Dulu, Ahmad pernah menyatakan perasaan pada Nisa. Namun, Nisa menolak dengan alasan tidak mau tinggal bersama mertua setelah menikah. Ia tahu, saat itu Ahmad belum memiliki rumah sendiri dan masih tinggal dengan ibunya. Kini, keadaannya berbeda. Ahmad sudah menikah dengan wanita lain, dan ia tidak ingin memberi ruang pada kemungkinan apa pun yang bisa merusak rumah tangganya. "Maaf, Nis. Aku nggak bisa," jawabnya tegas. Nisa mengernyitkan dahi. "Lho, kenapa? Kita cuma pulang bareng. Lagipula, istrimu nggak akan tahu juga, kan?" Ahmad menatap Nisa dengan sorot tajam. "Justru karena istri aku nggak tahu, aku harus jaga diri. Kamu lebih baik naik kendaraan umum atau nebeng temanmu yang perempuan." Sejenak, Nisa tampak tersinggung. Namun, ekspresi itu segera berubah menjadi senyum kecil. "Baiklah, terserah kamu. Tapi aku nggak nyangka kamu bakal setegas ini sekarang." Ahmad hanya tersenyum tipis. "Aku sudah menikah, Nis. Aku harus jaga amanah Allah." Nisa mencebik. "Mas, aku menyesal dulu menolak lamaran kamu. Kita sudah saling mengenal selama setahun. Masa aku dikalahkan oleh orang yang baru kamu kenal selama tiga bulan," ujar Nisa dengan nada sedikit memaksa. "Sekali saja. Dulu kamu tidak keberatan kan kalau aku nebeng? Kumohon, Mas!" Next?Mertuanya hanya menatap Nisa tanpa berkata apapun. Sebenarnya dia ingin meluapkan kekesalan dan memaki Nisa karena kata Desi dan Dewi, Anton tidak mau menunggunya semalam karena dihasut Nisa. Tapi lidah nya terasa kelu dan tidak bisa bersuara dengan baik. Tak lama kemudian, Anton pamit untuk sholat, meninggalkan Nisa dan ibunya berdua. Suasana terasa canggung. Sebenarnya Nisa juga merasa tatapan mertua nya tidak enak padanya, tapi Nisa berusaha untuk tetap tegar dan bersikap baik pada beliau.Tak lama kemudian, datanglah petugas dapur rumah sakit yang membawakan snack sore. Nisa tersenyum dan mendekati tempat tidur. "Bu, mau saya bantu makan buburnya?" tanyanya lembut.Ibu Anton mengangguk pelan. Nisa dengan telaten menyuapi sang ibu mertua, memastikan tidak ada bubur yang tercecer. Awalnya, mertuanya merasa tidak nyaman, tapi perlahan ia mulai terbiasa. Melihat kelembutan Nisa, hatinya mulai melunak, apalagi dia merasakan perlakuan dan ucapan Nisa yang jauh lebih lembut dan telaten
"Nggak. Ilmu darimana itu. Istri hanya wajib patuh pada suami. Nggak wajib merawat mertua! Apalagi Nisa sedang hamil besar. Hampir sembilan bulan! Aku tak ingin anak istriku kenapa - napa. Jadi malam ini dan besok pagi, kalian atur saja siapa yang menemani ibu di rumah sakit. Besok siang, biar aku yang menemani ibu setelah pulang kerja. Tapi aku tegas kan lagi, jika aku dan Nisa tidak bisa menginap di rumah sakit saat malam," ujar Anton tegas sambil menggenggam tangan sang istri. "Anton! Apa maksudmu? Kamu sudah tidak sayang lagi sama Ibu?" suara Desi meninggi.Anton menarik napas dalam. "Bukan begitu, Mbak. Aku tetap sayang sama Ibu. Tapi aku juga punya istri yang sedang hamil besar. Aku ingin jadi suami yang adil dan bijaksana."Dewi mendengus sinis. "Bijaksana? Jangan bilang Nisa yang menghasutmu sampai begini! Dia sudah mencuci otakmu!"Anton menggeleng pelan. "Tidak ada yang mencuci otakku, Mbak. Aku sadar sendiri. Aku ingin menjadi suami yang bertanggung jawab. Aku tidak mau te
Nisa melambaikan tangannya saat Anton berangkat dengan menaiki motor nya untuk bekerja. Dia mengelus perut buncitnya yang selalu dicium dan dielus oleh Anton setiap saat. Bahkan Anton selalu pamit pada anak di dalam perutnya saat berangkat kerja. Dan selalu dibalas dengan gerakan serta tendangan lembut dari kaki sang bayi yang membuat Nisa tersenyum karena merasa geli. Setelah menutup dan mengunci pintu, Nisa pun merebahkan diri sejenak di kasur yang ada di ruang tengah dengan menonton tivi. Mendadak Nisa teringat ucapan mertuanya yang tidak memperbolehkan nya bersantai sebelum dia menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan pikiran buruk. Dengan sabar, Nisa lalu bangkit dan mulai membereskan rumah, mencuci pakaian, dan memastikan semua dalam keadaan rapi sebelum akhirnya duduk di ruang tengah kembali. Baru saja ia meraih remote untuk menyalakan TV, suara ketukan terdengar dari arah pintu depan."Siapa ya?" gumamnya, bangkit dan berjalan
"Ana, maafkan Ayah!"Ana tertegun di ambang pintu. Dadanya berdegup kencang, tangannya mencengkeram selendang di bahunya. Pria paruh baya di hadapannya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Ayah?" Suaranya tercekat. "Kenapa kemari?"Surya, pria itu, ayahnya, tersenyum kaku. "Ayah minta maaf, Ana," katanya lirih. "Ayah tahu, ayah tidak punya malu karena baru minta maaf sekarang. Tapi ayah benar-benar tulus ingin meminta maaf padamu."Ana menggigit bibirnya. Kenangan lama berkelebat di kepalanya—makanan sisa yang harus ia telan, bentakan ayahnya saat ia mengadu, keputusan ayahnya yang hanya membiayai Darma, lalu paksaan menikah dengan Burhan.Matanya panas. Ingin rasanya ia mencari kehangatan di pelukan Ahmad, tapi suaminya sedang dinas pagi. Yang bisa ia lakukan hanya menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak hatinya.Ana ingin menangis dan berteriak di depan wajah ayahnya lalu menceritakan semua kesulitan yang didapatkannya saat ana diusir dari rumah pasca berpis
"Layanan kamar, Sayang!" ujar Ahmad dengan riang. Ana tersenyum berbinar dan haru melihat suaminya yang begitu perhatian padanya. "Kamu... Kok tahu kalau aku lapar, Mas?" tanya Ana dengan senyum manisnya saat Ahmad meletakkan bakinya di atas nakas. "Kamu kan ibu menyusui, pasti cepat lapar lah. Aku tahu, Yang. Kamu susuin anak kita saja. Biar aku yang menyuapimu," ujar Ahmad. Ana yang sedang bersandar di dipan ranjang sambil duduk dan menyusui anaknya langsung membuka mulut. "Wah, boleh. Aaaaa!"Ahmad tertawa dan mengambil potongan buah, lalu menyuapkannya ke mulut sang istri. "Hm, manis, dingin, seger! Terimakasih, Mas! Kamu baiiiik sekali padaku. Semoga rejeki kamu semakin melimpah dan berkah, Mas!" ujar Ana tulus. "Aamiin, Yang. Apa sih yang enggak buat istri sholihah yang selalu ikhlas merawatku dan ibuku," sahut Ahmad. "Mas, apa kamu nggak capek? Tadi sepertinya kamu paling sibuk saat acara aqiqah Ihsan," tanya Ana. "Kok sekarang malah begadang membantu ku merawat Ihsan? B
Keheningan menelan ruangan. Ana berhenti mengayun bayinya, Anton menegang di kursinya, dan Nisa menutup mulut dengan tangan gemetar. Ahmad menatap mbok Darmi, mencari kepastian di wajah tetangganya itu."Pasti ketularan Mas Burhan, ya?" Ana bertanya pelan, nyaris berbisik.Mbok Darmi mengangguk sambil terisak. "Kamu betul, Ana. Burhan lah yang menulari Wulan. Huhuhu… kalau tahu Burhan mengidap penyakit HIV, aku nggak mungkin menyetujui hubungan mereka dulu!"Ana menggigit bibirnya, prihatin pada Wulan, merasakan campur aduknya yang dirasakan Wulan sekarang. "Dan lagi," lanjut Mbok Darmi dengan suara serak, "Burhan sekarang sudah meninggal… karena dilenyapkan oleh Neni."Ahmad mengangguk. "Kalau soal itu, saya sudah tahu, Mbok. Jadi Wulan baru tahu tentang penyakit nya saat ini?"Mbok Darmi mengangguk lagi. "Neni membunuh Burhan, entah untuk membela diri saat Burhan datang ke rumah Neni dengan mengamuk karena ketularan HIV. Dan setelah pulang dari kantor polisi karena terlibat dana