Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya nggak bakal diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰
SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA (5) Saya tahu mas masih bujang, dan tidak keberatan menikahi Ana yang janda tanpa anak. Tapi apa mas Ahmad tahu kalau Ana itu saat saya nikahi, dia sudah tidak peraw4n? Tidak ada noda darah sedikit pun di seprei pernikahan kami. Mas Ahmad rugi sekali menikahi mantan istri saya!" ujar Burhan dengan terkekeh. Ahmad menatap Burhan dengan ekspresi datar, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ia mengangkat bahu dengan santai, seolah perkataan mantan suami Ana barusan tidak lebih dari sekadar angin lalu. "Mas Burhan, mas ini aneh," ujar Ahmad dengan nada ringan. "Kalau sudah cerai dengan mantan istri, seharusnya mas nggak usah kepo dengan kehidupan Ana. Saya saja tidak tahu dengan mas Burhan, apalagi mas juga tidak diundang di pernikahan saya dan Ana, kan? Lalu, darimana mas tahu tentang nama saya dan pernikahan saya? Jangan-jangan mas ngepoin akun sosmed saya dan Ana atau mencari informasi tentang kami?" Ahmad menyeringai sarkastis. Burhan yang semula tampak percaya diri, kini mulai tampak canggung. Wajahnya memerah, rahangnya mengatup erat. "Maksud saya baik," katanya dengan nada yang lebih tinggi, seolah ingin menegaskan posisinya. "Saya tidak ingin mas Ahmad salah memilih istri. Ana itu perempuan nggak bener. Dia sudah tidak pe ra wan saat menikah dengan saya!" Ahmad menatap Burhan dengan pandangan geli. Ia lalu menghela napas pelan sebelum menjawab, "Mas Burhan, mas ini pemikirannya kolot sekali. Tidak keluar da ra h saat malam pertama tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan seorang istri per aw an atau tidak, apalagi jika senjata suami di bawah SNI panjangnya. Wah, ya nggak bisa mengoyak, mas." Burhan mendelik. Wajahnya kini semakin merah, entah karena malu atau marah. "Jadi mas Ahmad ngatain senjata saya pendek, bujel gitu!?" geram Burhan. "Enak saja! Istri saya yang kedua bisa berd a rah saat malam pertama dan hamil setelah enam bulan setelah kami menikah!" Ahmad hanya tersenyum tipis. Ia tidak mungkin berkata pada Burhan bahwa saat malam pertamanya dengan Ana, Ana berd ar ah. Tidak perlu membuktikan apa pun kepada orang yang jelas-jelas hanya ingin mencari masalah. Dalam hati, Ahmad mengingat cerita Ana tentang pernikahan pertamanya. Ana sempat bercerita bahwa malam pertamanya dengan Burhan tidak berjalan seperti yang Burhan harapkan. Saat itu, Ana tidak berd a rah. Keesokan harinya, Burhan langsung mengadu pada keluarganya. Ana habis dimaki-maki, dituduh sebagai perempuan nakal yang telah ternoda sebelum menikah. Keluarga Burhan bahkan sempat berniat meminta mahar dan seserahan kembali pada keluarga Ana, tapi keluarga tiri Ana menolak mentah-mentah. Sejak saat itu, kehidupan Ana berubah menjadi neraka. Ia diperlakukan layaknya pembantu di rumah mertua. Semua pekerjaan rumah ditimpakan padanya, sementara Burhan semakin menjauh. Nafkah batin pun tak lagi diberikannya. Hingga akhirnya, Burhan berselingkuh dan menikahi selingkuhannya, yang kemudian ha mil tak lama setelah pernikahan mereka. Ahmad menghela napas, berusaha menahan diri untuk tidak berkata lebih jauh. "Mas Burhan," kata Ahmad akhirnya, "saya menikahi Ana karena saya mencintainya, bukan karena statusnya atau hal-hal yang mas perdebatkan ini. Kalau mas merasa bahagia dengan istri baru mas, ya bagus. Tapi kenapa mas masih sibuk memikirkan Ana?" Burhan terdiam. Rahangnya mengatup keras, seolah tengah berpikir keras untuk membalas ucapan Ahmad. Tapi sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, sebuah suara lain menyela. "Mas, ada masalah?" Ahmad menoleh. Seorang rekan perawatnya berdiri tidak jauh darinya, menatap Burhan dengan curiga. Burhan tampak gelisah. Ia melirik sekeliling, menyadari bahwa beberapa orang mulai memperhatikannya. Dengan wajah kesal, ia mengembuskan napas kasar. "Sudahlah," gumamnya. "Semoga mas Ahmad sadar sebelum terlambat." Tanpa menunggu jawaban, Burhan berbalik dan berjalan pergi dengan langkah lebar. Ahmad menggelengkan kepala, lalu kembali ke tugasnya. "Siapa lelaki tadi?" tanya Anton, teman sejawat Ahmad yang tadi memanggilnya. Ahmad mengedikkan bahu lalu menyilangkan telunjuk ke dahinya. "Seperti nya orgil," sahut Ahmad lirih sambil tertawa. "Heh, nggak boleh gitu pada keluarga pasien, Mad!" tegur Anton. Ahmad hanya tersenyum kecut. "Dia mantan suami istriku. Dia mengatakan hal - hal buruk tentang istriku. Jadi hhh, aku benar - benar merasa ingin meninjunya. Karena bagiku, istri adalah kehormatan suami. Kalau ada yang menghina istriku, berarti dia menghina kehormatan ku, Ton! Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri. Masa seorang perawat memukuli keluarga pasien," sahut Ahmad menghela napas panjang, berusaha menetralkan emosi. Anton menepuk bahu Ahmad. "Wah, Ahmad! Aku nggak menyangka lho kamu bisa mode bucin seperti ini. Sepertinya dulu kamu adalah orang yang dingin, kaku, dan susah jatuh cinta," ujar Anton tersenyum. Ahmad tertawa. "Aku sudah menemukan bidadari syurgaku, Ton! Akan kuusahakan dia selalu bahagia denganku!" sambung Ahmad dengan mata berbinar. Anton mencebik. "Ya, kamu bisa ngomong gitu karena baru saja menikah. Tapi kalau kamu sudah bertahun-tahun menikah, isterimu sudah mengandung, melahirkan, menyusui anak - anak, badannya menggelambir, gemuk, dan kamu bertemu dengan banyak perempuan di tempat kerja yang masih cantik, aku berani taruhan kalau ucapan kamu akan berbeda, Mad!" seru Anton yakin. Ahmad mengibaskan tangannya sambil meraih obat injeksi dalam ampul dan vial sesuai dengan nama pasien. Lalu mengenakan handscoon*. "Insyallah aku tidak akan begitu, Ton! Sudah lah, ayo nyuntik pasien! Ngobrol mulu, entar dimarahin kep ala ruangan lho," tukas Arman sambil mulai menyedot isi obat dari ampul dengan spuit*. Anton sesaat menatap teman satu shiftnya dengan kagum. Bagaimana mungkin laki-laki cukup dengan satu perempuan? Padahal profesi nya perawat yang banyak bertemu dan bersentuhan langsung dengan berbagai pasien. "Oh, ya Mad. Sebenarnya aku ingin bilang nih. Aku punya utang dinas kamu dua hari. Biar kudinesin besok dan lusa, kamu juga bisa ambil libur untuk bulan madu. Masa pengantin baru langsung kerja," ujar Anton tulus. Ahmad menatap temannya dengan ekspresi yang sulit dilukiskan. Next? Catatan kaki : Karu : Kepala ruangan : tenaga perawat yang bertugas mengelola kegiatan pelayanan perawatan di satu ruang rawat. Ampul : wadah kecil yang tertutup rapat untuk menyimpan dan mengawetkan cairan atau padatan. Vial / flacon : Vial merupakan suatu benda penampung cairan, bubuk, atau tablet farmasi. Handscoon : sarung tangan. Spuit : alat untuk menyuntikkan atau menghisap cairan atau gas. Injeksi : suntik : tindakan medis memasukkan cairan ke dalam tubuh menggunakan jarum.Neni duduk di sudut tempat tidur dengan ponselnya. Matanya berkaca-kaca, jemarinya bergetar saat mengetik. Hatinya dipenuhi rasa marah dan kecewa yang tak terbendung.[Gaji suami 7,5 juta. Diambil mertua 4 juta. Padahal masih ada asisten rumah tangga yang harus dibayar, kebutuhan makan sehari-hari, dan kebutuhan anakku yang berumur 3 bulan. Sakit sekali rasanya mempunyai suami yang selalu disetir oleh ibunya!]Tanpa ragu, ia menekan tombol post di akun media sosialnya. Tidak butuh waktu lama, unggahan itu meledak. Ratusan komentar masuk. Banyak perempuan yang bersimpati padanya, menyoroti betapa tidak adilnya perlakuan suami dan mertuanya.“Astaga, ini suami atau anak mama?”“Gaji segitu diambil ibu mertua, istrinya disuruh ngirit? Parah banget!”“Duh, Neni, semangat ya! Kamu harus tegas!”Komentar terus mengalir, unggahan itu dibagikan ulang ratusan kali. Nama Burhan dan ibunya menjadi perbincangan di berbagai grup dan forum online.Sementara itu, di kantor, Burhan baru saja duduk se
Flash back onBurhan, kita harus lebih pelan... Aku sedang hamil," bisik Neni lirih saat Burhan mulai mencumbunya dengan penuh gairah.Burhan menghentikan gerakannya sejenak, menatap wajah Neni yang masih terlihat cantik meski kelelahan setelah resepsi mereka. Ia menghela napas, lalu berbisik di telinga istrinya, "Aku bahagia, Neni... Kamu masih perawan saat kita bercinta dulu. Tidak seperti Ana, mantan istriku yang tidak berdarah saat malam pengantin kami."Neni tersenyum penuh misteri. Dia memang sudah mengincar Burhan, wakil manajer di perusahaan makanan kaleng, tempat dia bekerja sebagai bagian staf promosi. Karena saat itu Burhan terlihat tampan dan mapan. Dan walaupun sudah menikah dengan Ana, Neni tetap ingin merebutnya dari Ana.'Akhirnya sekarang aku sudah menjadi seorang nyonya besar. Aku tidak perlu kerja lagi di perusahaan itu. Rumah mas Burhan besar, dua lantai, dan ada asisten rumah tangga. Wah, aku hanya perlu melayani mas Burhan saja,' sorak hati Neni dengan riang.Mal
"Kita memang bukan karyawan kayak tetangga depan rumah, tapi aku yakin rejeki kita bakal lebih dari mereka! Lagipula aku ini independen dan wonder woman! Aku nggak akan nyusahin suami seperti istri-istri lain yang jadi ibu rumah tangga biasa. Ihhh," sindirnya sambil melirik Ahmad dan Ana dengan tatapan penuh ejekan.Sari menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya yang mulai naik ke permukaan. Ana di sampingnya juga tampak tegang, sementara Ahmad menggenggam tangannya erat. Mbok Darmi dan Wulan sama sekali tidak menunjukkan niat untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik."Dengar ya, Wulan," Sari akhirnya berkata dengan nada tegas. "Kami ke sini bukan untuk cari ribut. Kami hanya meminta ayam-ayam kalian jangan sampai masuk ke halaman rumah kami lagi. Itu saja."Wulan tertawa sinis. "Halah, segitu aja pakai datang ramai-ramai. Pengecut ya, harus datang beramai-ramai untuk hadapi satu orang tua dan anaknya?"Ana mengepalkan tangan, tapi Ahmad menahannya. Ia maju selangkah, menatap
Ana mengangguk setuju. "Aku ikut, Bu. Biar mereka paham kalau ini bukan kejadian pertama."Dengan langkah mantap, Sari dan Ana berjalan menuju rumah Mbok Darmi. "Mbok, mbok Darmi, Assalamu'alaikum!"Mereka mendekat ke arah lapak milik janda satu anak itu. Bau harum nasi uduk yang masih mengepul bercampur dengan aroma sambal kacang menyebar ke udara. Di depan rumah panggung kayu itu, beberapa pembeli sedang antre, sibuk memilih lauk sambil berbincang satu sama lain. Beberapa anak kecil berlarian, sementara Mbok Darmi dengan cekatan melayani pelanggan, tangannya bergerak lincah menyendok nasi dan lauk ke dalam piring.Sari melirik Ana dan Ahmad sebelum melangkah lebih dekat. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. Namun, sebelum sempat mengucapkan sesuatu lagi, Mbok Darmi lebih dulu menoleh, matanya menyipit penuh selidik."Eh, Sari! Ada perlu apa? Mau beli nasi uduk?" tanyanya dengan suara lantang, cukup menarik perhatian beberapa pelanggan di sekitar.
Langkah kaki Ana terhenti di ujung anak tangga. Matanya membulat, napasnya tercekat. Pintu kamar hotel di ujung lorong itu terbuka, dan sosok Wulan melangkah keluar. Mata Ana langsung mengenali perempuan itu—teman lamanya yang dikenal suka mengomentari hidup orang lain.“Mas, itu Mbak Wulan, kan?” bisik Ana pelan, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Dia belum menikah, kenapa dia tidur di hotel?”Ahmad yang berada di sampingnya hanya menghela napas panjang. Ia menatap Ana dengan ekspresi penuh arti sebelum akhirnya berkata, “Lebih baik kita tidak ikut campur urusan orang lain, Ana. Terutama urusan perempuan seperti Wulan.”Ana menggigit bibirnya, berusaha menekan rasa ingin tahunya. Ada banyak pertanyaan berputar di kepalanya, tapi ia menuruti saran Ahmad. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menunduk dan berjalan pelan di belakang Wulan, membiarkan perempuan itu turun tergesa-gesa ke arah parkiran hotel. Sepertinya Wulan tidak menyadari keberadaan mereka.Ketika Wulan menghilang
Ana terdiam sejenak, hatinya terasa hangat mendengar perkataan mertuanya. Sungguh berbeda dengan perlakuan mantan mertuanya dulu yang selalu menuntut gaji Burhan, mantan suaminya, tanpa pernah bertanya apakah kebutuhan rumah tangga mereka sudah terpenuhi atau belum. Ia menghela napas, mengenang betapa beratnya dulu hidup dalam tekanan finansial yang tidak adil."Be-benarkah, Ma?" tanya Ana ulang. Hatinya ragu. Sari tersenyum dan mengangguk. "Iya, Nduk. Seorang suami itu yang utama adalah memberi nafkah untuk istrinya. Baru kalau sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari, barulah dia bisa berbagi dengan orang tua atau mertuanya. Jangan sampai seorang istri justru kekurangan karena suaminya lebih mementingkan ibunya."Mata Ana berkaca-kaca. Rasa haru memenuhi hatinya. Betapa beruntungnya ia memiliki mertua yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Ia tersenyum dan meraih beberapa lembar uang dari amplop tersebut, lalu menyerahkannya kembali kepada mertuanya."Saya ikhlas berbagi
Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya bakal nggak diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA 7"Mas, aku menyesal dulu menolak lamaran kamu. Kita sudah saling mengenal selama setahun. Masa aku dikalahkan oleh orang yang baru kamu kenal selama tiga bulan," ujar Nisa dengan nada sedikit memaksa. "Sekali saja. Dulu kamu tidak keberatan kan kalau aku nebeng? Kumohon, Mas!"Ahmad melihat beberapa rekan sejawatnya yang juga bersiap untuk pulang sedang menghidupkan mesin sepeda motor masing- masing. "Silakan nebeng dengan teman yang lain, Nis," ujar Ahmad singkat. Tanpa menunggu tanggapan Nisa, Ahmad segera mengenakan helmnya dan menyalakan motor. Ia meninggalkan parkiran rumah sakit dengan perasaan lega—lega karena bisa menolak dengan tegas tanpa ragu.Setelah pulang dari rumah sakit, Ahmad segera berangkat ke beberapa rumah pasien yang memerlukan perawatan lanjutan. Para keluarga pasien yang puas dengan pelayanan perawatan ya
Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya bakal nggak diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA Bab 6Ahmad menatap temannya dengan ekspresi yang sulit dilukiskan. "Terima kasih, Ton. Aku nggak nyangka kamu sebaik ini."Anton mengangkat bahu. "Santai saja, Mad. Aku tahu kamu baru menikah, kasihan kalau langsung disuruh kerja terus. Karena nanti kalau sudah ada anak, bulan madu tak lagi sama. Apalagi kan sekarang kamu lagi fresh fresh-nya melakukan hal itu. Yo nggak!? Hahaha!" Anton menaikturunkan alisnya.Ahmad tertawa kecil, lalu melirik jam dinding di ruang perawat. "Kalau begitu, aku akan bicara dengan Pak Soni dulu soal cuti. Semoga beliau setuju."Anton mengangguk. "Ya, semoga saja. Sekarang ayo kita selesaikan tugas dulu."Mereka berdua mulai menyuntik pasien satu per satu sesuai dengan daftar yang sudah disiapkan. Ahmad dengan telaten menjelaskan kepada pasien sebelum menyuntikkan obat, sementara Anton memastikan semu
Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya nggak bakal diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA (5) Saya tahu mas masih bujang, dan tidak keberatan menikahi Ana yang janda tanpa anak. Tapi apa mas Ahmad tahu kalau Ana itu saat saya nikahi, dia sudah tidak peraw4n? Tidak ada noda darah sedikit pun di seprei pernikahan kami. Mas Ahmad rugi sekali menikahi mantan istri saya!" ujar Burhan dengan terkekeh. Ahmad menatap Burhan dengan ekspresi datar, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ia mengangkat bahu dengan santai, seolah perkataan mantan suami Ana barusan tidak lebih dari sekadar angin lalu."Mas Burhan, mas ini aneh," ujar Ahmad dengan nada ringan. "Kalau sudah cerai dengan mantan istri, seharusnya mas nggak usah kepo dengan kehidupan Ana. Saya saja tidak tahu dengan mas Burhan, apalagi mas juga tidak diundang di pernikahan saya dan Ana, kan? Lalu, darimana mas tahu tentang nama saya dan pernikahan saya? J