Rumah keluarga Miranda selalu tampak seperti galeri pameran, bukan sekadar tempat tinggal. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang membuat marmer lantai berkilau. Vas bunga impor, lukisan-lukisan abstrak, dan perabotan mewah dipajang di setiap sudut, seolah-olah Miranda ingin menegaskan satu hal: status sosialnya tidak boleh dipandang rendah.Di ruang tamu yang luas, Miranda duduk anggun di sofa berlapis beludru merah, mengenakan gaun satin ungu yang baru saja dikirim dari butik langganannya. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, membalas pesan dari grup sosialita. Sesekali ia tertawa kecil, tertawa yang lebih mirip pamer ketimbang benar-benar bahagia.“Mir, kamu ini kalau terus-terusan main ponsel, nanti matamu rusak,” suara Arman terdengar dari balik koran yang ia baca. Ia duduk di kursi seberang, mengenakan piyama sutra yang jelas-jelas dipilihkan Miranda. Wajahnya datar, lebih mirip seseorang yang sekadar ‘ikut alur’.Miranda melirik sekilas. “A
Malam itu apartemen terasa lebih hangat dari biasanya. Raya sudah terlelap di kamarnya, kelelahan setelah seharian mengurus laporan dan presentasi. Suara kipas angin berputar pelan di kamar tamu, tempat Mama berbaring sambil mengoles balsem ke kakinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Tok tok“Mama, boleh bicara sebentar?” suara Dian terdengar hati-hati.Mama mengerutkan kening, lalu buru-buru merapikan daster yang agak kusut. “Masuk saja, Nak.”Dian masuk dengan wajah serius, berbeda dari biasanya yang selalu tenang dan sedikit usil. Ia duduk di kursi kecil dekat ranjang Mama, menunduk sejenak sebelum membuka suara.“Ma, aku mau jujur. Tentang pernikahan aku sama Raya…”Mama langsung menegakkan badan. “Hah? Jangan bilang kamu mau cerai besok pagi. Astaga, ini drama macam apa lagi?”“Bukan, Ma. Bukan itu,” Dian buru-buru menggeleng. “Aku cuma harus bilang sejujurnya. Pernikahan ini sebenarnya bukan pernikahan sungguhan. Kami aku dan Raya sepakat untuk nikah kontrak.”Mama melongo. “K
Apartemen milik Raya malam itu terasa berbeda. Biasanya ruangan modern bergaya minimalis itu hanya diisi keheningan, suara AC, dan lampu kota yang berkelap-kelip dari balik jendela kaca besar. Namun kini, ruang tamu yang biasanya rapi bak majalah interior dipenuhi suara tawa dan komentar dari Mama Raya, yang baru saja pulang dari rumah sakit.“Wahhh, apartemen kamu keren sekali ya, Nak. Lihat tuh, pemandangan kota malamnya kayak di drama Korea. Cocok banget buat hmm.” Mama menoleh ke Dian yang sibuk membereskan tas belanja kecil. “cocok buat pasangan muda yang lagi manis-manisnya.”Raya menutup wajah dengan tangan. “Ma baru juga pulang dari rumah sakit, kok langsung heboh.”“Hei, jangan dibilang heboh. Ini namanya semangat hidup!” sahut Mama, lalu duduk santai di sofa empuk sambil menyilangkan kaki. “Lagipula, Mama senang sekali bisa tinggal sama kalian. Bosan di rumah cuma ditemani pembantu, apalagi Papa kamu sibuk sama ya kamu tahu sendiri lah.” Nada suaranya sempat menurun, tapi ce
Raya baru saja menutup rapat daring dengan investor Jepang ketika ponselnya berdering. Nama “Mama” muncul di layar. Awalnya ia pikir sekadar telepon rutin menanyakan kabar, tapi begitu diangkat, suara Mama terdengar lirih penuh drama.“Raya, Mama di rumah sakit.”Raya langsung berdiri. “Apa? Mama kenapa?!”“Kolesterol Mama naik lagi perawat bilang karena kemarin Mama makan sate kambing, rendang, sama gulai.” Suaranya dibuat sengau seolah mau pingsan.Raya menepuk dahi. “Mama! Itu kan makanan pantangan semua! Siapa suruh makan?”“Loh, masa Mama dilarang menikmati hidup? Lagian siapa tahu umur Mama nggak panjang.”“Mama!” Raya nyaris menjerit.Tepat saat itu Dian masuk ke ruang kerja dengan dua cangkir kopi. Melihat wajah Raya pucat, ia langsung menaruh cangkir di meja. “Ada apa?”“Mama masuk rumah sakit!” Raya buru-buru menjelaskan.Tanpa pikir panjang, Dian meraih kunci mobil. “Ayo, kita ke sana sekarang.”Suasana Rumah SakitBegitu sampai di ruang perawatan, Raya langsung berlari. Ma
Pagi itu, kantor Wijaya Group sedikit lebih santai dari biasanya. Meski masalah EastBridge masih menggantung di kepala Raya, ia memutuskan untuk menenangkan diri sejenak.“Kalau kupaksakan terus, kepalaku bisa meledak,” gumamnya pelan sambil duduk di pantry, menatap cangkir kopi yang baru saja ia buat.Tiba-tiba, pintu pantry terbuka. Dian masuk dengan wajah segar, kemeja biru langit, rambutnya rapi, dan membawa dua donat dalam kotak kecil.“Wah, CEO kita ternyata bisa bikin kopi sendiri juga,” godanya sambil menaruh kotak donat di meja.Raya mendengus kecil. “Aku CEO, bukan ratu. Kalau bikin kopi saja harus orang lain, aku malu sama diriku sendiri.”Dian tertawa kecil, lalu dengan seenaknya menarik kursi dan duduk di hadapannya. Ia membuka kotak donat, menawarkan. “Mau yang cokelat atau yang tabur gula?”“Cokelat,” jawab Raya singkat.Tapi saat ia mengambil donat itu, tanpa sengaja lengannya menyenggol cangkir kopi. Bruk! Kopi tumpah, sebagian mengenai meja, sebagian mengenai kemeja
Pagi itu, langit Jakarta masih sedikit berkabut ketika mobil hitam Raya berhenti di basement Wijaya Group. Ia melangkah keluar dengan setelan blazer putih dan blouse krem, langkahnya tenang meski kepalanya dipenuhi agenda rapat hari itu. Sejak menandatangani perjanjian kerjasama dengan Atmaja Corporation dua minggu lalu, jadwalnya padat. Proyek pengembangan lini produk baru terasa menjanjikan setidaknya di atas kertas.Arum sudah menunggunya di lobi dengan setumpuk map di tangan. “Selamat pagi, Bu Raya,” sapa Arum sambil mengikuti langkah cepat bosnya menuju lift. Walaupun sahabat, namun di kantor tetap berbahasa. Lebih tepatnya Arum memang menghormati Raya. “Pagi. Ada laporan baru dari tim procurement?” tanya Raya tanpa menoleh, matanya fokus pada layar ponsel yang menampilkan surel masuk.“Sudah saya siapkan di meja Ibu. Ada beberapa data yang agak janggal.”Raya mengangkat alis, akhirnya menoleh. “Janggal bagaimana?”Arum tampak ragu. “Nanti Ibu lihat sendiri. Saya takut salah men