Share

BAB 6 JEJAK YANG DISEMBUNYIKAN

Author: Febra Raas
last update Huling Na-update: 2025-08-11 18:36:48

Pesan itu masih terpatri di layar ponsel Raya.

"Kamu tidak tahu siapa sebenarnya Dian. Dia bukan orang yang kamu kira."

Tulisan singkat itu terasa seperti duri yang menancap di tengkuknya. Tidak ada nama pengirim hanya nomor tak dikenal. Raya sudah menutup aplikasi, membukanya lagi, berharap tulisan itu menghilang. Tapi tetap ada, seolah menunggu untuk meracuni pikirannya.

Di meja makan, Dian sedang memotong buah. Gerakannya santai, bahkan sambil bersiul kecil.

“Buah pagi bikin mood bagus,” katanya tanpa menoleh.

Raya mengamati punggungnya. Ada sesuatu tentang pria ini tentang caranya masuk ke hidupnya begitu cepat, lalu mengisi ruang-ruang yang dulu kosong. Tapi pesan itu apa maksudnya?

“Mas,” panggil Raya akhirnya.

“Hm?”

“Kamu pernah kenal orang dari industri hiburan?”

Dian berhenti sejenak. “Kenal? Banyak. Kenapa?”

“Tidak, cuma penasaran aja.” Raya menelan kata-kata selanjutnya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi suaranya seperti terhenti di tenggorokan.

Dian tersenyum tipis, lalu menggeser piring berisi potongan mangga ke arahnya. “Jangan banyak mikir pagi-pagi, Ray. Nanti kerut di jidat nambah.”

Siang itu, Raya harus menghadiri pemotretan untuk artikel majalah bisnis. Tim kreatif sudah menunggu di studio. Dian, tentu saja, ikut dengan alasan kontrak.

Begitu mereka masuk, salah satu fotografer langsung menatap Dian seperti melihat hantu.

“Mas Dian?!” serunya tak percaya.

Raya menoleh cepat. Dian hanya mengangkat tangan, tertawa kecil. “Lama nggak ketemu.”

Fotografer itu, yang ternyata bernama Bima, mendekat. “Gila, terakhir lihat kamu ya ampun. Semua orang kira kamu udah ya, menghilang.”

“Menghilang itu seni, Bim,” jawab Dian enteng.

Raya pura-pura sibuk mengecek makeup, tapi telinganya tak bisa menolak mendengar. Menghilang? Semua orang kira?

Bima melirik Raya sekilas, lalu menepuk bahu Dian. “Kalau butuh backup, kamu tahu harus hubungi siapa. Dunia kita belum lupa sama kamu.”

Dian tersenyum tipis, lalu mengalihkan topik.

Sore harinya, sebuah email masuk dari sekretarisnya. Judulnya singkat: Urgent: Meeting with Daniel – Proposal Merger.

Raya menghela napas. Dia benci setiap kali harus bertemu Daniel, apalagi sejak tahu bahwa pria itu dan Rara. 

Ketika ia keluar ruang kerjanya, Dian sudah menunggu di lobi lift. “Kita ke lantai 35, ya?”

“Kita?”

“Ya, kontrak, Ray. Ingat?”

Di ruang rapat, Daniel sudah duduk dengan senyum tipis yang membuat darah Raya berdesir tidak nyaman.

“Kita butuh bicara, Raya. Tanpa gangguan,” ucapnya sambil melirik Dian.

“Kalau mau bicara bisnis, suami saya bagian dari itu,” jawab Raya tegas.

Daniel mendengus, tapi tidak membantah. Selama presentasi, tatapan pria itu seperti sengaja menusuk. Dian duduk santai, kadang berbisik komentar yang membuat Raya harus menahan senyum. Tapi di sela-sela itu, Raya melihat sesuatu di mata Daniel rasa tidak suka yang nyaris berubah jadi kebencian murni.

Malamnya, di apartemen, Raya membuka pesan misterius itu lagi. Jempolnya mengetik. 

Siapa kamu?

Tidak ada balasan.

Beberapa menit kemudian, notifikasi lain masuk. Bukan balasan, tapi sebuah foto. Samar, buram, diambil dari jauh. Dian dengan setelan rapi berdiri di depan sebuah gedung tua yang diberi papan nama: Agra Entertainment.

Raya menatap layar cukup lama, jantungnya berdetak lebih cepat.

Dia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi entah kenapa, sesuatu dalam dirinya mengatakan ini bukan sekadar perusahaan hiburan biasa.

Dian keluar dari kamar, rambutnya basah setelah mandi. “Ray, mau teh?”

Raya buru-buru mengunci ponselnya. “Nggak. Aku mau tidur.”

Tapi saat memejamkan mata, kepalanya penuh dengan satu pertanyaan. Siapa sebenarnya pria ini?

Raya tidak langsung membalas pesan misterius itu. Ia hanya mematikan layar ponsel, lalu membiarkannya tergeletak di meja samping ranjang. Namun pikirannya sama sekali tak bisa tenang. Kata-kata itu berputar di kepalanya, seolah menuntut jawaban.

Keesokan paginya, ia tetap berangkat kerja seperti biasa. Kantor terasa ramai, tapi suasananya berbeda. Mungkin karena hari itu mereka ada pertemuan besar dengan klien asing dan sayangnya, Daniel juga hadir sebagai pihak perwakilan partner bisnis.

Dian, yang ikut menemaninya sebagai "suami" sekaligus perwakilan informal, terlihat jauh lebih santai. Ia mengenakan setelan navy, dasinya longgar, dan entah kenapa tetap terlihat rapi.

Saat Daniel memasuki ruang rapat, tatapan mereka bertemu. Sekilas, Raya bisa merasakan tatapan itu tajam, seakan menilai. Dian, yang duduk di sebelahnya, mencondongkan badan sedikit dan berbisik, “Itu mantan kamu yang katanya ah, never mind.”

Raya melirik kesal. “Jangan mulai.”

Dian mengangkat tangan seolah menyerah, tapi matanya tetap mengikuti gerak Daniel dengan ketertarikan yang sulit dijelaskan. Seperti sedang membaca sesuatu di balik wajah tenang itu.

Rapat berjalan lancar di permukaan, tapi ada ketegangan samar setiap kali Daniel mengarahkan pertanyaan langsung pada Raya. Sementara itu, Dian kadang memberi komentar santai yang justru membuat beberapa peserta rapat tersenyum. Anehnya, bahkan dengan gaya santainya itu, dia berhasil membuat posisinya tampak penting.

Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil sempat hening beberapa menit. Hingga akhirnya Dian bersuara, “Daniel itu... tipe orang yang suka menang sendiri, ya?”

Raya menoleh cepat. “Kamu baru ketemu sekali.”

“Tepatnya dua kali,” koreksi Dian sambil tersenyum tipis. “Dan entah kenapa, aku rasa dia nggak pernah benar-benar ngelepas kamu.”

Kalimat itu membuat Raya terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya justru berdebar. “Kamu sok tahu.”

Dian terkekeh. “Mungkin. Tapi aku ini orang yang cukup peka. Kadang peka banget.”

Tatapan itu lagi mata yang seolah bisa menembus ke dalam pikirannya. Raya buru-buru mengalihkan pandangan keluar jendela.

Malamnya, setelah semua urusan kantor selesai, Raya duduk sendirian di balkon apartemen. Lampu-lampu kota Jakarta berkelip di kejauhan. Hawa malam membuatnya ingin membungkus diri dengan selimut tebal, tapi ia tetap duduk, memeluk lutut, mencoba mengurai pikirannya.

Pintu balkon bergeser, dan Dian muncul dengan dua cangkir teh hangat. “Kayaknya kamu butuh ini.”

Raya menerima salah satunya. “Kamu nggak tidur?”

“Belum ngantuk.” Dian duduk di kursi sebelahnya, memandang pemandangan malam. “Dulu aku sering duduk kayak gini, sendirian. Sampai lupa rasanya duduk sama orang lain.”

Raya melirik sekilas. Ada nada sepi di suaranya, membuatnya ingin bertanya lebih jauh. Tapi sebelum ia sempat, Dian menoleh padanya. “Kamu masih mikirin pesan itu, ya?”

Raya tersentak. “Kamu tahu?”

“Kelihatan dari cara kamu diem.” Dian mengangkat bahu. “Kalau mau, kamu bisa tunjukin ke aku. Tapi kalau nggak, ya aku nggak maksa.”

Raya menimbang. Sebagian dirinya ingin berbagi, tapi bagian lain masih ragu. Akhirnya ia hanya berkata, “Aku cuma nggak suka orang asing ikut campur urusan pribadi.”

Dian mengangguk pelan. “Paham. Tapi kadang orang asing itu bisa nyelamatin kita atau malah bikin masalah lebih besar.”

Ucapan itu menggantung di udara.

Beberapa detik kemudian, angin malam berhembus, membawa aroma teh hangat yang mereka pegang. Dian tiba-tiba tersenyum kecil. “Eh, kamu inget nggak, tadi di rapat Daniel nggak sekali pun manggil kamu dengan nama kecil. Kayaknya dia takut terlalu akrab di depan aku.”

Raya terkekeh lemah. “Kamu ini aneh. Fokusnya malah di situ.”

Dian mengangkat cangkirnya. “Kadang detail kecil itu yang penting.”

Ada sesuatu di tatapan itu yang membuat Raya merasa tidak sepenuhnya aman, tapi juga tidak sepenuhnya ingin menjauh. Perasaan campur aduk itu menempel hingga ia kembali ke kamar, mencoba tidur, sementara pikirannya terus memutar satu pertanyaan yang belum terjawab. 

Siapa sebenarnya Dian Prasetya?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    Kebenaran Terungkap

    Mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan lobi apartemen mewah tempat Raya tinggal. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun lampu-lampu kota masih terang benderang. Ibu Ayu duduk di kursi penumpang dengan wajah masih menyimpan keterkejutan, sementara Dian yang menyetir tampak tenang meskipun dalam dadanya tersimpan badai rencana.Sejak mereka meninggalkan gedung pusat Wiratama Group, suasana di dalam mobil itu dipenuhi diam yang panjang. Ibu Ayu masih berusaha mencerna semua yang baru saja ia dengar dan lihat.Perusahaan sebesar itu, nama yang begitu harum di dunia bisnis, yang ia kira dipimpin oleh seorang taipan tua nan misterius, ternyata milik menantunya sendiri.Tangannya meremas tas di pangkuan, bibirnya bergetar. “Dian… jadi… kamu… pemilik Wiratama Group itu?” suaranya akhirnya pecah, lirih, tapi penuh tekanan.Dian melirik sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Mama. Maaf karena aku baru mengatakannya sekarang.”Ibu Ayu menatap Dian tidak percaya. Matanya membesar, lalu b

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    Kekalahan Raya

    Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui tirai apartemen mewah di lantai 25. Raya menggeliat perlahan, kepalanya masih terasa berat setelah semalam hampir tidak bisa tidur nyenyak. Tangannya meraih sisi tempat tidur, biasanya di sana tubuh hangat Dian selalu ada. Namun kali ini, kosong.“Dian?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Ia bangun setengah duduk, mengucek matanya, lalu menoleh ke seluruh ruangan. Sepi. Tidak ada suara ketikan laptop, tidak ada aroma kopi yang biasanya dibuat Dian setiap pagi. Bahkan sandal rumah yang biasa dipakai pria itu tidak ada di depan kamar. Raya mengernyit.Dengan cepat ia turun dari ranjang, membuka pintu kamar tamu. Mama-nya, Bu Ayu, juga tidak ada. Tempat tidur sudah rapi, seolah-olah memang tidak ditiduri semalaman.“Kenapa pergi tidak bilang-bilang?” gumam Raya, cemas sekaligus heran.Baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelpon, layar ponsel menyala. Sebuah notifikasi rapat mendadak masuk. Dari sekretaris dewan direksi:“Rapa

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 23 AMBISI RARA DAN MAMINYA

    Rumah keluarga Miranda selalu tampak seperti galeri pameran, bukan sekadar tempat tinggal. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang membuat marmer lantai berkilau. Vas bunga impor, lukisan-lukisan abstrak, dan perabotan mewah dipajang di setiap sudut, seolah-olah Miranda ingin menegaskan satu hal: status sosialnya tidak boleh dipandang rendah.Di ruang tamu yang luas, Miranda duduk anggun di sofa berlapis beludru merah, mengenakan gaun satin ungu yang baru saja dikirim dari butik langganannya. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, membalas pesan dari grup sosialita. Sesekali ia tertawa kecil, tertawa yang lebih mirip pamer ketimbang benar-benar bahagia.“Mir, kamu ini kalau terus-terusan main ponsel, nanti matamu rusak,” suara Arman terdengar dari balik koran yang ia baca. Ia duduk di kursi seberang, mengenakan piyama sutra yang jelas-jelas dipilihkan Miranda. Wajahnya datar, lebih mirip seseorang yang sekadar ‘ikut alur’.Miranda melirik sekilas. “A

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 22 OPERASI MENYATUKAN RAYA DAN DIAN

    Malam itu apartemen terasa lebih hangat dari biasanya. Raya sudah terlelap di kamarnya, kelelahan setelah seharian mengurus laporan dan presentasi. Suara kipas angin berputar pelan di kamar tamu, tempat Mama berbaring sambil mengoles balsem ke kakinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Tok tok“Mama, boleh bicara sebentar?” suara Dian terdengar hati-hati.Mama mengerutkan kening, lalu buru-buru merapikan daster yang agak kusut. “Masuk saja, Nak.”Dian masuk dengan wajah serius, berbeda dari biasanya yang selalu tenang dan sedikit usil. Ia duduk di kursi kecil dekat ranjang Mama, menunduk sejenak sebelum membuka suara.“Ma, aku mau jujur. Tentang pernikahan aku sama Raya…”Mama langsung menegakkan badan. “Hah? Jangan bilang kamu mau cerai besok pagi. Astaga, ini drama macam apa lagi?”“Bukan, Ma. Bukan itu,” Dian buru-buru menggeleng. “Aku cuma harus bilang sejujurnya. Pernikahan ini sebenarnya bukan pernikahan sungguhan. Kami aku dan Raya sepakat untuk nikah kontrak.”Mama melongo. “K

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 21 SEKAMAR LAGI, MAMA NGINAP

    Apartemen milik Raya malam itu terasa berbeda. Biasanya ruangan modern bergaya minimalis itu hanya diisi keheningan, suara AC, dan lampu kota yang berkelap-kelip dari balik jendela kaca besar. Namun kini, ruang tamu yang biasanya rapi bak majalah interior dipenuhi suara tawa dan komentar dari Mama Raya, yang baru saja pulang dari rumah sakit.“Wahhh, apartemen kamu keren sekali ya, Nak. Lihat tuh, pemandangan kota malamnya kayak di drama Korea. Cocok banget buat hmm.” Mama menoleh ke Dian yang sibuk membereskan tas belanja kecil. “cocok buat pasangan muda yang lagi manis-manisnya.”Raya menutup wajah dengan tangan. “Ma baru juga pulang dari rumah sakit, kok langsung heboh.”“Hei, jangan dibilang heboh. Ini namanya semangat hidup!” sahut Mama, lalu duduk santai di sofa empuk sambil menyilangkan kaki. “Lagipula, Mama senang sekali bisa tinggal sama kalian. Bosan di rumah cuma ditemani pembantu, apalagi Papa kamu sibuk sama ya kamu tahu sendiri lah.” Nada suaranya sempat menurun, tapi ce

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 20 MAMA MINTA CUCU

    Raya baru saja menutup rapat daring dengan investor Jepang ketika ponselnya berdering. Nama “Mama” muncul di layar. Awalnya ia pikir sekadar telepon rutin menanyakan kabar, tapi begitu diangkat, suara Mama terdengar lirih penuh drama.“Raya, Mama di rumah sakit.”Raya langsung berdiri. “Apa? Mama kenapa?!”“Kolesterol Mama naik lagi perawat bilang karena kemarin Mama makan sate kambing, rendang, sama gulai.” Suaranya dibuat sengau seolah mau pingsan.Raya menepuk dahi. “Mama! Itu kan makanan pantangan semua! Siapa suruh makan?”“Loh, masa Mama dilarang menikmati hidup? Lagian siapa tahu umur Mama nggak panjang.”“Mama!” Raya nyaris menjerit.Tepat saat itu Dian masuk ke ruang kerja dengan dua cangkir kopi. Melihat wajah Raya pucat, ia langsung menaruh cangkir di meja. “Ada apa?”“Mama masuk rumah sakit!” Raya buru-buru menjelaskan.Tanpa pikir panjang, Dian meraih kunci mobil. “Ayo, kita ke sana sekarang.”Suasana Rumah SakitBegitu sampai di ruang perawatan, Raya langsung berlari. Ma

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status