Pesan itu masih terpatri di layar ponsel Raya.
"Kamu tidak tahu siapa sebenarnya Dian. Dia bukan orang yang kamu kira."
Tulisan singkat itu terasa seperti duri yang menancap di tengkuknya. Tidak ada nama pengirim hanya nomor tak dikenal. Raya sudah menutup aplikasi, membukanya lagi, berharap tulisan itu menghilang. Tapi tetap ada, seolah menunggu untuk meracuni pikirannya.
Di meja makan, Dian sedang memotong buah. Gerakannya santai, bahkan sambil bersiul kecil.
“Buah pagi bikin mood bagus,” katanya tanpa menoleh.Raya mengamati punggungnya. Ada sesuatu tentang pria ini tentang caranya masuk ke hidupnya begitu cepat, lalu mengisi ruang-ruang yang dulu kosong. Tapi pesan itu apa maksudnya?
“Mas,” panggil Raya akhirnya.
“Hm?” “Kamu pernah kenal orang dari industri hiburan?” Dian berhenti sejenak. “Kenal? Banyak. Kenapa?” “Tidak, cuma penasaran aja.” Raya menelan kata-kata selanjutnya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi suaranya seperti terhenti di tenggorokan.Dian tersenyum tipis, lalu menggeser piring berisi potongan mangga ke arahnya. “Jangan banyak mikir pagi-pagi, Ray. Nanti kerut di jidat nambah.”
Siang itu, Raya harus menghadiri pemotretan untuk artikel majalah bisnis. Tim kreatif sudah menunggu di studio. Dian, tentu saja, ikut dengan alasan kontrak.
Begitu mereka masuk, salah satu fotografer langsung menatap Dian seperti melihat hantu.
“Mas Dian?!” serunya tak percaya.Raya menoleh cepat. Dian hanya mengangkat tangan, tertawa kecil. “Lama nggak ketemu.”
Fotografer itu, yang ternyata bernama Bima, mendekat. “Gila, terakhir lihat kamu ya ampun. Semua orang kira kamu udah ya, menghilang.” “Menghilang itu seni, Bim,” jawab Dian enteng.Raya pura-pura sibuk mengecek makeup, tapi telinganya tak bisa menolak mendengar. Menghilang? Semua orang kira?
Bima melirik Raya sekilas, lalu menepuk bahu Dian. “Kalau butuh backup, kamu tahu harus hubungi siapa. Dunia kita belum lupa sama kamu.”
Dian tersenyum tipis, lalu mengalihkan topik.Sore harinya, sebuah email masuk dari sekretarisnya. Judulnya singkat: Urgent: Meeting with Daniel – Proposal Merger.
Raya menghela napas. Dia benci setiap kali harus bertemu Daniel, apalagi sejak tahu bahwa pria itu dan Rara.
Ketika ia keluar ruang kerjanya, Dian sudah menunggu di lobi lift. “Kita ke lantai 35, ya?”
“Kita?” “Ya, kontrak, Ray. Ingat?”Di ruang rapat, Daniel sudah duduk dengan senyum tipis yang membuat darah Raya berdesir tidak nyaman.
“Kita butuh bicara, Raya. Tanpa gangguan,” ucapnya sambil melirik Dian. “Kalau mau bicara bisnis, suami saya bagian dari itu,” jawab Raya tegas.Daniel mendengus, tapi tidak membantah. Selama presentasi, tatapan pria itu seperti sengaja menusuk. Dian duduk santai, kadang berbisik komentar yang membuat Raya harus menahan senyum. Tapi di sela-sela itu, Raya melihat sesuatu di mata Daniel rasa tidak suka yang nyaris berubah jadi kebencian murni.
Malamnya, di apartemen, Raya membuka pesan misterius itu lagi. Jempolnya mengetik.
Siapa kamu?
Tidak ada balasan.
Beberapa menit kemudian, notifikasi lain masuk. Bukan balasan, tapi sebuah foto. Samar, buram, diambil dari jauh. Dian dengan setelan rapi berdiri di depan sebuah gedung tua yang diberi papan nama: Agra Entertainment.
Raya menatap layar cukup lama, jantungnya berdetak lebih cepat.
Dia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi entah kenapa, sesuatu dalam dirinya mengatakan ini bukan sekadar perusahaan hiburan biasa.Dian keluar dari kamar, rambutnya basah setelah mandi. “Ray, mau teh?”
Raya buru-buru mengunci ponselnya. “Nggak. Aku mau tidur.”Tapi saat memejamkan mata, kepalanya penuh dengan satu pertanyaan. Siapa sebenarnya pria ini?
Raya tidak langsung membalas pesan misterius itu. Ia hanya mematikan layar ponsel, lalu membiarkannya tergeletak di meja samping ranjang. Namun pikirannya sama sekali tak bisa tenang. Kata-kata itu berputar di kepalanya, seolah menuntut jawaban.
Keesokan paginya, ia tetap berangkat kerja seperti biasa. Kantor terasa ramai, tapi suasananya berbeda. Mungkin karena hari itu mereka ada pertemuan besar dengan klien asing dan sayangnya, Daniel juga hadir sebagai pihak perwakilan partner bisnis.
Dian, yang ikut menemaninya sebagai "suami" sekaligus perwakilan informal, terlihat jauh lebih santai. Ia mengenakan setelan navy, dasinya longgar, dan entah kenapa tetap terlihat rapi.
Saat Daniel memasuki ruang rapat, tatapan mereka bertemu. Sekilas, Raya bisa merasakan tatapan itu tajam, seakan menilai. Dian, yang duduk di sebelahnya, mencondongkan badan sedikit dan berbisik, “Itu mantan kamu yang katanya ah, never mind.”
Raya melirik kesal. “Jangan mulai.”
Dian mengangkat tangan seolah menyerah, tapi matanya tetap mengikuti gerak Daniel dengan ketertarikan yang sulit dijelaskan. Seperti sedang membaca sesuatu di balik wajah tenang itu.
Rapat berjalan lancar di permukaan, tapi ada ketegangan samar setiap kali Daniel mengarahkan pertanyaan langsung pada Raya. Sementara itu, Dian kadang memberi komentar santai yang justru membuat beberapa peserta rapat tersenyum. Anehnya, bahkan dengan gaya santainya itu, dia berhasil membuat posisinya tampak penting.
Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil sempat hening beberapa menit. Hingga akhirnya Dian bersuara, “Daniel itu... tipe orang yang suka menang sendiri, ya?”
Raya menoleh cepat. “Kamu baru ketemu sekali.”
“Tepatnya dua kali,” koreksi Dian sambil tersenyum tipis. “Dan entah kenapa, aku rasa dia nggak pernah benar-benar ngelepas kamu.”
Kalimat itu membuat Raya terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya justru berdebar. “Kamu sok tahu.”
Dian terkekeh. “Mungkin. Tapi aku ini orang yang cukup peka. Kadang peka banget.”
Tatapan itu lagi mata yang seolah bisa menembus ke dalam pikirannya. Raya buru-buru mengalihkan pandangan keluar jendela.
Malamnya, setelah semua urusan kantor selesai, Raya duduk sendirian di balkon apartemen. Lampu-lampu kota Jakarta berkelip di kejauhan. Hawa malam membuatnya ingin membungkus diri dengan selimut tebal, tapi ia tetap duduk, memeluk lutut, mencoba mengurai pikirannya.
Pintu balkon bergeser, dan Dian muncul dengan dua cangkir teh hangat. “Kayaknya kamu butuh ini.”
Raya menerima salah satunya. “Kamu nggak tidur?”
“Belum ngantuk.” Dian duduk di kursi sebelahnya, memandang pemandangan malam. “Dulu aku sering duduk kayak gini, sendirian. Sampai lupa rasanya duduk sama orang lain.”
Raya melirik sekilas. Ada nada sepi di suaranya, membuatnya ingin bertanya lebih jauh. Tapi sebelum ia sempat, Dian menoleh padanya. “Kamu masih mikirin pesan itu, ya?”
Raya tersentak. “Kamu tahu?”
“Kelihatan dari cara kamu diem.” Dian mengangkat bahu. “Kalau mau, kamu bisa tunjukin ke aku. Tapi kalau nggak, ya aku nggak maksa.”
Raya menimbang. Sebagian dirinya ingin berbagi, tapi bagian lain masih ragu. Akhirnya ia hanya berkata, “Aku cuma nggak suka orang asing ikut campur urusan pribadi.”
Dian mengangguk pelan. “Paham. Tapi kadang orang asing itu bisa nyelamatin kita atau malah bikin masalah lebih besar.”
Ucapan itu menggantung di udara.
Beberapa detik kemudian, angin malam berhembus, membawa aroma teh hangat yang mereka pegang. Dian tiba-tiba tersenyum kecil. “Eh, kamu inget nggak, tadi di rapat Daniel nggak sekali pun manggil kamu dengan nama kecil. Kayaknya dia takut terlalu akrab di depan aku.”
Raya terkekeh lemah. “Kamu ini aneh. Fokusnya malah di situ.”
Dian mengangkat cangkirnya. “Kadang detail kecil itu yang penting.”
Ada sesuatu di tatapan itu yang membuat Raya merasa tidak sepenuhnya aman, tapi juga tidak sepenuhnya ingin menjauh. Perasaan campur aduk itu menempel hingga ia kembali ke kamar, mencoba tidur, sementara pikirannya terus memutar satu pertanyaan yang belum terjawab.
Siapa sebenarnya Dian Prasetya?
Pagi itu, langit Jakarta terlihat pucat. Gedung-gedung tinggi di luar jendela ruang rapat lantai 38 seperti siluet yang terbungkus kabut tipis. Di dalam, pendingin ruangan berhembus lembut, tapi udara di antara orang-orang yang hadir terasa berbeda.Raya melangkah masuk bersama Dian. Tubuhnya tegak, langkahnya mantap, blazer hitamnya membentuk siluet tegas. Senyumnya tipis, seperti dinding kaca yang licin tak ada yang bisa menebak apa yang ada di baliknya. Dian berjalan setengah langkah di belakang, tapi sorot matanya menyapu ruangan, seperti sedang menghitung siapa kawan dan siapa lawan.Di ujung meja rapat, Daniel Wiratama sudah duduk. Rautnya netral, tapi jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah tidak sabar. Di sampingnya, duduklah seorang wanita dengan gaun krem sederhana tapi mahal, rambut disanggul rapi, bibir berwarna merah muda pucat Rara.“Raya lama sekali kita tidak bertemu,” suara Rara terdengar lembut, hampir terlalu lembut.Ia bangkit, tersenyum lebar seperti menyambut kakak
Pesan itu masih terpatri di layar ponsel Raya."Kamu tidak tahu siapa sebenarnya Dian. Dia bukan orang yang kamu kira."Tulisan singkat itu terasa seperti duri yang menancap di tengkuknya. Tidak ada nama pengirim hanya nomor tak dikenal. Raya sudah menutup aplikasi, membukanya lagi, berharap tulisan itu menghilang. Tapi tetap ada, seolah menunggu untuk meracuni pikirannya.Di meja makan, Dian sedang memotong buah. Gerakannya santai, bahkan sambil bersiul kecil.“Buah pagi bikin mood bagus,” katanya tanpa menoleh.Raya mengamati punggungnya. Ada sesuatu tentang pria ini tentang caranya masuk ke hidupnya begitu cepat, lalu mengisi ruang-ruang yang dulu kosong. Tapi pesan itu apa maksudnya?“Mas,” panggil Raya akhirnya.“Hm?”“Kamu pernah kenal orang dari industri hiburan?”Dian berhenti sejenak. “Kenal? Banyak. Kenapa?”“Tidak, cuma penasaran aja.” Raya menelan kata-kata selanjutnya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi suaranya seperti terhenti di tenggorokan.Dian tersenyum tipis, lalu
Dian tak pernah menyangka bahwa yang paling menakutkan dari pernikahan kontrak bukanlah akting sebagai suami sayang, melainkan kunjungan mendadak dari ibu mertua.“Raya, tolong bilang itu bukan nyokap kamu yang barusan ngetok-ngetok pagar sambil teriak ‘DIAN, KAMU DI MANA ANAKKU?’,” desis Dian dari balik lemari, sambil mengenakan kaus kaki belang dan mukanya masih setengah bantal.Raya malah santai di meja makan, memotong semangka. “Itu emang Mama. Cepet mandi. Dia pikir kamu udah biasa bangun jam lima pagi buat siapin sarapan.”“Jam lima pagi?” Dian menelan ludah. “Aku biasanya baru mimpi naik helikopter jam segitu.”Dari luar terdengar suara Bu Ayu, sang mertua, memanggil-manggil dengan gaya khas emak-emak sinetron: dramatis dan penuh semangat.“Rayaaaa! Suamimu mana? Mama bawa rawon! Jangan sampe dia makan mie instan lagi ya!”Raya terkekeh, sementara Dian lari ke kamar mandi seperti hendak disiram air suci.Lima belas menit kemudian, Dian muncul dengan kemeja batik kedodoran, ramb
Sabtu sore.Raya berdiri di depan cermin dengan napas tersengal.Dia baru sadar dari semua jenis siksaan dalam kontrak pernikahan palsu arisan keluarga adalah yang paling brutal.“Kenapa aku harus dandan segini niatnya?” gumamnya sambil menata jilbab.Dian, yang duduk di ranjang sambil mainan dasi kupu-kupu milik sepupunya, menjawab santai,“Karena kamu harus kelihatan bahagia meskipun kamu terjebak sama suami kontrak.”“Jangan bilang gitu ah entar aku baper.”Dian terkekeh. “Berarti kamu mulai nyaman jadi istri pura-pura?”Raya diam, pura-pura sibuk merapikan alis.Saat tiba di rumah keluarga besar Tante Retha, suasana seperti pesta 17-an. Ibu-ibu pakai daster modis dengan motif bunga segede kelapa, bapak-bapak duduk melingkar sambil ngeteh dan bahas harga solar.Semua mata langsung menoleh ke arah Raya dan Dian.“Lihat tuh! Pasangan baru!”“Eh, cocok ya mereka. Laki-lakinya kalem, istrinya kelihatan galak pas banget!”“Kapan punya momongan, Dek?”Raya nyaris tersedak bala-bala.Dian
Pagi itu, suara alarm ponsel Raya nyaring seperti sirine kebakaran.Dian menggeliat di kasur, rambutnya acak-acakan, selimut sudah nyaris jatuh ke lantai.Sementara Raya masih berdiri kaku di depan kaca, menatap dirinya sendiri.Bukan karena galau. Tapi karena semalam mereka tidur sekasur.Dan Dian sempat walau setengah tidur meluk dia erat seperti guling."Raya." Dian bergumam lirih sambil membalik badan.Raya langsung meloncat menjauh."Hah? Aku nggak ngapa-ngapain! Demi Tuhan! Tanganmu yang duluan!"Dian masih merem. "Hah? Aku cuma ngomong nama kamu, bukan nuduh kamu nyolong sendal masjid."Raya menepuk dahinya. "Kenapa kamu bisa sesantai itu sih tidur bareng cewek?"Dian membuka satu mata, mengerjap. "Karena kamu udah resmi jadi istri kontrak, bukan?""Justru karena itu! Kita nggak boleh kelewatan!"Dian menguap. "Lho, tadi malam aku cuma tidur, bukan ngajak nonton film 18+."Setelah mandi, Raya turun ke dapur. Dia menemukan Dian lagi ngaduk kopi sambil berdendang lagu lawas:"Cin
Satu minggu setelah wawancara paling aneh dalam hidup Raya, keputusan besar diambil.Hari ini, kontrak pernikahan mereka akan ditandatangani.Ya, secara hukum, mereka akan menikah. Raya punya pengacara pribadi yang bisa merapikan dokumen seakan semuanya terjadi karena cinta. Padahal, ya jelas-jelas ini cinta settingan. Fake love, real akting, high gaji.Dian datang ke apartemen Raya pagi-pagi, membawa ransel besar dan wajah lebih gugup dari peserta ujian SIM.“Permisi ini saya Dian. Calon suami, ya, hehe,” sapanya sambil mengangkat dua kantong kresek: satu berisi mie instan, satu lagi penuh bantal kecil.Raya membuka pintu, mengenakan piyama satin biru, dan memelototi bantal berbentuk karakter kartun ayam.“Itu apa?”“Bantal kesayangan. Nggak bisa tidur tanpa ini, Mbak Raya. Namanya Kukuk.”Raya nyaris mengurungkan niat menikah hanya karena alasan Kukuk si bantal. Tapi dia tarik napas. Fokus. Ini semua demi Ibunya, demi warisan, demi reputasi. Bukan demi bantal ayam.Mereka duduk di r