Beranda / Rumah Tangga / SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK! / BAB 5 ANTARA CANGGUNG DAN DEG-DEGAN

Share

BAB 5 ANTARA CANGGUNG DAN DEG-DEGAN

Penulis: Febra Raas
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-27 18:20:41

Studio foto mewah itu penuh dengan kilatan lampu, aroma parfum mahal, dan kru yang sibuk mondar-mandir.

Raya berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih elegan dengan potongan sederhana namun mahal. Make-up artist sedang memoles pipinya, sementara hair stylist merapikan rambutnya agar jatuh lembut di bahu.

Di sisi lain ruangan, Dian mengenakan setelan jas hitam yang pas di badan. Begitu ia keluar dari ruang ganti, beberapa staf perempuan spontan berbisik, bahkan ada yang tersenyum sambil menutupi mulut.

“Dia tampan banget,” terdengar lirih salah satu.

Raya memutar bola mata. Ya ampun, jangan sampai dia dengar. 

“Kamu kelihatan nggak bisa berkedip, Ra,” suara Dian terdengar dari belakang.

Raya langsung menegakkan badan. “Aku cuma memastikan kamu nggak salah pakai jas.”

“Kalau aku salah, kamu mau betulin sendiri?” tanya Dian dengan senyum licik.

Sebelum Raya sempat membalas, fotografer memanggil. “Baik, kita mulai! Posisi awal: berdiri saling berhadapan, pegang tangan, tatap mata.”

Raya melangkah ke tengah set, mencoba memasang wajah netral. Tapi begitu jemari Dian menyentuh tangannya, jantungnya mulai tak beraturan.

“Bagus, sekarang Dian dekati Raya. Sedikit lagi ya, seperti itu. Tatapan sayang.”

Raya menahan napas. Tatapan sayang? Kenapa tiba-tiba terasa terlalu nyata?

“Sekarang peluk pinggangnya,” lanjut fotografer.

Dian melakukannya tanpa ragu, menarik Raya sedikit lebih dekat. “Santai saja, ini cuma kerjaan,” bisiknya. Tapi napasnya yang hangat di telinga membuat bulu kuduk Raya meremang.

“Perfect!” Seruan fotografer memecah konsentrasi mereka. “Sekarang coba cium keningnya.”

Raya membeku. “Apa?!”

“Tenang, ini untuk foto utama,” jelas fotografer. “Hanya cium kening, kok.”

Dian menatap Raya, seolah bertanya tanpa kata-kata. “Boleh?”

Raya menghela napas panjang. “Cepat, dan jangan aneh-aneh.”

Dian tersenyum tipis, lalu menunduk perlahan. Saat bibirnya menyentuh kening Raya, kilatan kamera bertubi-tubi memenuhi ruangan. Tapi yang membuat Raya benar-benar terdiam bukan kilatan lampu itu melainkan sensasi hangat yang tertinggal di kulitnya, lebih lama dari yang seharusnya.

“Cut! Sempurna!” Fotografer tersenyum puas. “Chemistry kalian luar biasa. Semua orang bisa melihat kalau ini cinta sejati.”

Raya menunduk, mencoba menutupi wajahnya yang memerah. Tapi di sudut matanya, ia melihat Dian tersenyum kecil senyum yang seolah tahu persis efek yang ia tinggalkan.

Pemotretan akhirnya selesai menjelang sore. Kru studio mulai membereskan peralatan, sementara fotografer sibuk menyalin hasil foto ke laptop.

Raya duduk di sofa panjang di sudut ruangan, melepas high heels sambil memijat pergelangan kakinya. “Aduh rasanya seperti habis lari maraton.”

Dian datang dengan dua botol air mineral. Ia duduk di sebelah Raya, lalu tanpa banyak bicara, meraih kakinya dan meletakkannya di pangkuan.

“Eh! Apa-apaan.”

“Diam,” kata Dian singkat. Tangannya mulai memijat pelan pergelangan kaki Raya. “Kamu terlalu sering pakai sepatu hak tinggi. Nanti bisa cedera.”

Raya terpaku. Sejak kapan dia peduli kayak gini? Tapi sensasi pijatan itu enak sekali.

Beberapa kru yang masih di sekitar mereka melirik sambil tersenyum-senyum. Salah satu asisten berbisik ke temannya, “Gila, mereka tuh nggak pura-pura. Ini asli sayang-sayangan.”

Raya langsung menarik kakinya cepat-cepat, pipinya memanas. “Kamu bikin orang salah paham!”

“Biarin,” jawab Dian santai. “Bukannya memang itu tujuan kontrak kita?”

Raya ingin membalas, tapi fotografer datang sambil menunjukkan layar laptop. “Lihat nih, hasilnya! Foto cium kening tadi uh, ini mah majalah internasional mau bayar mahal.”

Di layar, Raya melihat potret dirinya dengan mata terpejam, wajahnya tenang, dan Dian menunduk dengan ekspresi lembut yang bahkan ia sendiri belum pernah lihat sebelumnya.

Hatinya berdebar aneh. Kenapa rasanya nyata?

Malamnya, di apartemen, Raya masih memandangi foto itu di ponselnya. Ia tidak sadar Dian sudah keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan kaus longgar dan celana santai.

“Kamu suka fotonya?” tanya Dian sambil mengeringkan rambut.

Raya cepat-cepat mengunci layar ponselnya. “Biasa aja.”

“Oh, gitu?” Dian mendekat, menatapnya dengan tatapan iseng. “Padahal tadi siang kayaknya kamu menikmati.”

“Menikmati apanya?! Aku cuma profesional!” Raya berusaha tegas, tapi nada suaranya justru terdengar panik.

Dian terkekeh pelan, lalu berjalan ke dapur. “Kalau itu profesional aku nggak sabar lihat kamu kalau benar-benar jatuh cinta.”

Kalimat itu membuat Raya terdiam. Ia menatap punggung Dian yang menjauh, mencoba meyakinkan diri kalau ini cuma permainan kontrak. Tapi kenapa dadanya terasa hangat… dan sedikit kacau?

Raya menatap layar ponselnya yang baru saja gelap. Pesan singkat dari Dian tadi sore masih ada di benaknya tentang dia yang harus pulang lebih cepat karena adiknya demam.

Ada sesuatu di nada suaranya yang membuat Raya entah kenapa, ingin tahu lebih banyak.

“Kayaknya dia beneran orang baik, Rum,” ujar Raya sambil menuang teh ke cangkir.

Arum yang duduk di sofa apartemen itu hanya mengangkat alis. “Orang baik sih iya, tapi aku penasaran. Kok bisa ya ada orang sepolos itu mau jadi suami kontrak? Dan kamu juga aneh, Ray. Biasanya kan kamu pilih yang ya, high class.”

Raya mendengus. “Karena nggak ada orang high class yang mau disuruh tanda tangan perjanjian aneh kayak aku, Rum.”

Arum tersenyum miring, lalu tiba-tiba meraih ponselnya. “Kalau gitu kita kepoin aja orangnya. Namanya Dian Prasetya, kan?”

Raya yang sedang menyesap teh langsung terbatuk. “Jangan stalking, Rum.”

“Kenapa? Kan cuma lihat. Siapa tahu dia preman pasar yang nyamar jadi orang polos,” cibir Arum sambil mulai mengetik.

Tak sampai satu menit, Arum bersuara, “Eh, Ray.”

Nada suaranya berubah. Raya yang tadinya malas, akhirnya melirik layar ponsel Arum. Foto-foto yang muncul membuatnya terdiam.

Di sana ada potret Dian beberapa tahun lalu rambutnya sedikit lebih panjang, pakai jas hitam rapi, berdiri di sebuah acara formal. Bahkan ada satu foto yang jelas-jelas diambil di belakang panggung, dengan background logo stasiun TV swasta.

“Ini  acara apa?” bisik Raya.

Arum menggeser layar. “Nih, ada lagi. Kayak adegan FTV gitu. Lihat, Dian lagi megang sepeda di taman, tatapannya ya ampun, ini tatapan aktor sinetron jam sembilan pagi.”

Raya berkedip, antara mau tertawa dan kaget. “Maksud kamu, dia dulu artis?”

“Nggak tahu. Bisa jadi cuma figuran. Tapi kalau figuran, kok bisa ada foto dia di gala dinner?” Arum memiringkan kepalanya. “Apa dia anak orang kaya yang jatuh miskin?”

Pertanyaan itu membuat Raya teringat tatapan Dian waktu pertama kali mereka bertemu. Tatapan yang, di balik kikuk dan kelucuannya, menyimpan sesuatu yang berat.

Raya menghela napas. “Bisa jadi dia punya masa lalu yang nggak mau dia ceritain.”

Arum menatap Raya lekat-lekat. “Kalau gitu, kamu mau tahu?”

Raya diam sebentar, lalu menggeleng. “Belum. Kalau dia mau cerita, dia pasti akan cerita sendiri.”

Namun rasa penasaran itu tidak pergi begitu saja.

Malamnya, Raya duduk di tepi ranjang, lampu apartemen sudah diredupkan. Di luar jendela, lampu-lampu kota Jakarta berkelip, tapi pikirannya tidak tenang. Ia membuka ponsel, mengetik “Dian Prasetya” di kolom pencarian, lalu menghapusnya lagi.

“Aku ini kenapa sih,” gumamnya pada diri sendiri.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Kamu tahu siapa sebenarnya suamimu?"

Raya tertegun.

Sebelum sempat membalas, pesan kedua masuk.

"Jangan percaya semua yang dia bilang."

Dada Raya mendadak terasa sesak. Matanya menatap layar ponsel itu lama, mencoba mencari tanda-tanda kalau ini hanya ulah orang iseng. Tapi entah kenapa, firasatnya berkata lain.

Ia menatap bayangannya di kaca jendela. “Dian Prasetya kamu sebenarnya siapa?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    Kebenaran Terungkap

    Mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan lobi apartemen mewah tempat Raya tinggal. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun lampu-lampu kota masih terang benderang. Ibu Ayu duduk di kursi penumpang dengan wajah masih menyimpan keterkejutan, sementara Dian yang menyetir tampak tenang meskipun dalam dadanya tersimpan badai rencana.Sejak mereka meninggalkan gedung pusat Wiratama Group, suasana di dalam mobil itu dipenuhi diam yang panjang. Ibu Ayu masih berusaha mencerna semua yang baru saja ia dengar dan lihat.Perusahaan sebesar itu, nama yang begitu harum di dunia bisnis, yang ia kira dipimpin oleh seorang taipan tua nan misterius, ternyata milik menantunya sendiri.Tangannya meremas tas di pangkuan, bibirnya bergetar. “Dian… jadi… kamu… pemilik Wiratama Group itu?” suaranya akhirnya pecah, lirih, tapi penuh tekanan.Dian melirik sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Mama. Maaf karena aku baru mengatakannya sekarang.”Ibu Ayu menatap Dian tidak percaya. Matanya membesar, lalu b

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    Kekalahan Raya

    Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui tirai apartemen mewah di lantai 25. Raya menggeliat perlahan, kepalanya masih terasa berat setelah semalam hampir tidak bisa tidur nyenyak. Tangannya meraih sisi tempat tidur, biasanya di sana tubuh hangat Dian selalu ada. Namun kali ini, kosong.“Dian?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Ia bangun setengah duduk, mengucek matanya, lalu menoleh ke seluruh ruangan. Sepi. Tidak ada suara ketikan laptop, tidak ada aroma kopi yang biasanya dibuat Dian setiap pagi. Bahkan sandal rumah yang biasa dipakai pria itu tidak ada di depan kamar. Raya mengernyit.Dengan cepat ia turun dari ranjang, membuka pintu kamar tamu. Mama-nya, Bu Ayu, juga tidak ada. Tempat tidur sudah rapi, seolah-olah memang tidak ditiduri semalaman.“Kenapa pergi tidak bilang-bilang?” gumam Raya, cemas sekaligus heran.Baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelpon, layar ponsel menyala. Sebuah notifikasi rapat mendadak masuk. Dari sekretaris dewan direksi:“Rapa

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 23 AMBISI RARA DAN MAMINYA

    Rumah keluarga Miranda selalu tampak seperti galeri pameran, bukan sekadar tempat tinggal. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang membuat marmer lantai berkilau. Vas bunga impor, lukisan-lukisan abstrak, dan perabotan mewah dipajang di setiap sudut, seolah-olah Miranda ingin menegaskan satu hal: status sosialnya tidak boleh dipandang rendah.Di ruang tamu yang luas, Miranda duduk anggun di sofa berlapis beludru merah, mengenakan gaun satin ungu yang baru saja dikirim dari butik langganannya. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, membalas pesan dari grup sosialita. Sesekali ia tertawa kecil, tertawa yang lebih mirip pamer ketimbang benar-benar bahagia.“Mir, kamu ini kalau terus-terusan main ponsel, nanti matamu rusak,” suara Arman terdengar dari balik koran yang ia baca. Ia duduk di kursi seberang, mengenakan piyama sutra yang jelas-jelas dipilihkan Miranda. Wajahnya datar, lebih mirip seseorang yang sekadar ‘ikut alur’.Miranda melirik sekilas. “A

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 22 OPERASI MENYATUKAN RAYA DAN DIAN

    Malam itu apartemen terasa lebih hangat dari biasanya. Raya sudah terlelap di kamarnya, kelelahan setelah seharian mengurus laporan dan presentasi. Suara kipas angin berputar pelan di kamar tamu, tempat Mama berbaring sambil mengoles balsem ke kakinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Tok tok“Mama, boleh bicara sebentar?” suara Dian terdengar hati-hati.Mama mengerutkan kening, lalu buru-buru merapikan daster yang agak kusut. “Masuk saja, Nak.”Dian masuk dengan wajah serius, berbeda dari biasanya yang selalu tenang dan sedikit usil. Ia duduk di kursi kecil dekat ranjang Mama, menunduk sejenak sebelum membuka suara.“Ma, aku mau jujur. Tentang pernikahan aku sama Raya…”Mama langsung menegakkan badan. “Hah? Jangan bilang kamu mau cerai besok pagi. Astaga, ini drama macam apa lagi?”“Bukan, Ma. Bukan itu,” Dian buru-buru menggeleng. “Aku cuma harus bilang sejujurnya. Pernikahan ini sebenarnya bukan pernikahan sungguhan. Kami aku dan Raya sepakat untuk nikah kontrak.”Mama melongo. “K

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 21 SEKAMAR LAGI, MAMA NGINAP

    Apartemen milik Raya malam itu terasa berbeda. Biasanya ruangan modern bergaya minimalis itu hanya diisi keheningan, suara AC, dan lampu kota yang berkelap-kelip dari balik jendela kaca besar. Namun kini, ruang tamu yang biasanya rapi bak majalah interior dipenuhi suara tawa dan komentar dari Mama Raya, yang baru saja pulang dari rumah sakit.“Wahhh, apartemen kamu keren sekali ya, Nak. Lihat tuh, pemandangan kota malamnya kayak di drama Korea. Cocok banget buat hmm.” Mama menoleh ke Dian yang sibuk membereskan tas belanja kecil. “cocok buat pasangan muda yang lagi manis-manisnya.”Raya menutup wajah dengan tangan. “Ma baru juga pulang dari rumah sakit, kok langsung heboh.”“Hei, jangan dibilang heboh. Ini namanya semangat hidup!” sahut Mama, lalu duduk santai di sofa empuk sambil menyilangkan kaki. “Lagipula, Mama senang sekali bisa tinggal sama kalian. Bosan di rumah cuma ditemani pembantu, apalagi Papa kamu sibuk sama ya kamu tahu sendiri lah.” Nada suaranya sempat menurun, tapi ce

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 20 MAMA MINTA CUCU

    Raya baru saja menutup rapat daring dengan investor Jepang ketika ponselnya berdering. Nama “Mama” muncul di layar. Awalnya ia pikir sekadar telepon rutin menanyakan kabar, tapi begitu diangkat, suara Mama terdengar lirih penuh drama.“Raya, Mama di rumah sakit.”Raya langsung berdiri. “Apa? Mama kenapa?!”“Kolesterol Mama naik lagi perawat bilang karena kemarin Mama makan sate kambing, rendang, sama gulai.” Suaranya dibuat sengau seolah mau pingsan.Raya menepuk dahi. “Mama! Itu kan makanan pantangan semua! Siapa suruh makan?”“Loh, masa Mama dilarang menikmati hidup? Lagian siapa tahu umur Mama nggak panjang.”“Mama!” Raya nyaris menjerit.Tepat saat itu Dian masuk ke ruang kerja dengan dua cangkir kopi. Melihat wajah Raya pucat, ia langsung menaruh cangkir di meja. “Ada apa?”“Mama masuk rumah sakit!” Raya buru-buru menjelaskan.Tanpa pikir panjang, Dian meraih kunci mobil. “Ayo, kita ke sana sekarang.”Suasana Rumah SakitBegitu sampai di ruang perawatan, Raya langsung berlari. Ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status