Dian tak pernah menyangka bahwa yang paling menakutkan dari pernikahan kontrak bukanlah akting sebagai suami sayang, melainkan kunjungan mendadak dari ibu mertua.
“Raya, tolong bilang itu bukan nyokap kamu yang barusan ngetok-ngetok pagar sambil teriak ‘DIAN, KAMU DI MANA ANAKKU?’,” desis Dian dari balik lemari, sambil mengenakan kaus kaki belang dan mukanya masih setengah bantal.
Raya malah santai di meja makan, memotong semangka. “Itu emang Mama. Cepet mandi. Dia pikir kamu udah biasa bangun jam lima pagi buat siapin sarapan.”
“Jam lima pagi?” Dian menelan ludah. “Aku biasanya baru mimpi naik helikopter jam segitu.”
Dari luar terdengar suara Bu Ayu, sang mertua, memanggil-manggil dengan gaya khas emak-emak sinetron: dramatis dan penuh semangat.
“Rayaaaa! Suamimu mana? Mama bawa rawon! Jangan sampe dia makan mie instan lagi ya!”Raya terkekeh, sementara Dian lari ke kamar mandi seperti hendak disiram air suci.
Lima belas menit kemudian, Dian muncul dengan kemeja batik kedodoran, rambut masih setengah kering, dan wajah seperti mahasiswa yang dipaksa ikut rapat BEM pagi-pagi.
“Selamat pagi, Bu Ayu,” sapanya ragu sambil senyum kaku.
Bu Ayu menatap Dian dari atas ke bawah. “Kamu kurusan ya, Nak. Jangan sampai Raya nggak ngasih kamu makan. Mama bawain rawon, sate telur, dan sambel cobek. Kalau nggak habis, Mama baper.”
Dian buru-buru mengangguk. “Siap, Bu. Saya habiskan sampai sendoknya kalau perlu.”
Raya nyaris tersedak mendengar itu.
Sambil makan, suasana meja makan pun berubah seperti wawancara formal.
Bu Ayu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Dian hampir tersedak nasi.“Dian, kamu golongan darah apa?”
“Eh. O, Bu. Seperti orang-orang biasa.” “Kamu suka cucian yang dijemur dari dalam atau luar rumah?” “Dalam aja, Bu. Biar aurat baju terlindungi." “Kamu pernah mimpi mantan nggak?” “Mant eh, maksudnya, mimpi mantul, mantap betul? Sering, Bu.”Raya harus menutup wajah dengan serbet agar tawanya tidak meledak.
Setelah sarapan yang penuh ketegangan itu, Bu Ayu berpamitan. Tapi sebelum pulang, ia membisikkan sesuatu ke telinga Raya.
“Mama tahu kalian belum bener-bener tahu kan? Tapi Mama sabar. Asal jangan lebih dari sebulan.”
Raya tercekat. “Ma, ini bukan toko kredit. Kenapa pakai jatuh tempo segala?”
Namun Bu Ayu sudah pergi sambil melambai, penuh makna dan doa restu.
Begitu pintu tertutup, Dian langsung bersimpuh di lantai. “Ya Tuhan, aku kayak ikut audisi KDI versi Mertua tadi. Itu bukan sarapan, itu ujian nasional!”
Raya menatapnya geli. “Belum apa-apa kamu udah ngos-ngosan. Gimana kalau kita beneran punya mertua dua?”
Dian mendongak, wajahnya serius. “Kalau punya dua, aku kontrak sama kamu dua kali lipat. Tapi minta kenaikan gaji ya.”
Raya terdiam sesaat.
Kemudian mereka sama-sama tertawa.
Lucunya, tawa itu terdengar nyaman. Terlalu nyaman untuk sesuatu yang hanya kontrak.Sore itu, hujan turun tanpa permisi. Rumah kontrakan mereka yang bocor di bagian dapur membuat Dian langsung berubah jadi montir genteng dadakan.
“Raya! Ember di mana? Atapnya kayak lubang ATM ngucur terus tapi nggak keluar duit!”
Raya muncul dari kamar sambil membawa dua ember kecil. “Ini aja ya. Yang besar dipakai buat nyuci baju minggu lalu. Belum kering sampai sekarang.”
Dian menerima ember itu dengan napas tersengal. Hujan di luar deras, tapi suara tetesan dari atap dapur rasanya lebih keras dari petir.
“Dian,” panggil Raya, ragu. “Kita harus ngobrol bentar.”
Dian menoleh, masih jongkok sambil mengatur posisi ember. “Tentang bocor ini? Atau tentang rawon nyokap kamu yang bikin aku mimpi berantem sama sapi semalam?”
Raya tersenyum, tipis. Tapi matanya serius.
“Bukan. Tentang kita.”
Dian langsung diam. Bahkan suara hujan pun terasa perlahan mengecil.
Mereka duduk di lantai, beralaskan tikar plastik yang mulai sobek di sudut-sudutnya. Aroma sabun colek dari dapur masih menyengat, tapi tak mampu menutupi ketegangan di antara mereka.
“Aku mulai mikir,” ucap Raya pelan. “Apakah kita kebablasan? Nginep bareng, pura-pura mesra, tapi kok lama-lama, bukan cuma pura-pura?”
Dian tak langsung menjawab. Matanya menatap ember yang mulai penuh air hujan. “Kamu takut jatuh cinta?”
Raya mengangguk. “Lebih tepatnya takut kalau jatuhnya cuma aku.”
Dian menggigit bibir bawahnya. Ia tak menyangka, di balik sikap cuek Raya, ternyata ada rasa yang perlahan menuntut tempat.
“Raya, aku.”
Kalimat itu menggantung.
Seperti genteng bocor yang tak kunjung ditambal.
Tiba-tiba listrik padam. Gelap. Suara hujan kini satu-satunya musik latar.
Raya terkekeh pelan. “Dramatis banget, ya. Ngomong soal cinta terus lampu mati.”
Dian ikut tertawa, tapi suara tawanya kaku. Ia belum siap menjawab. Belum siap merusak batas kontrak yang sejak awal mereka sepakati.
“Kita lanjutin obrolannya besok ya,” ujarnya akhirnya. “Hari ini cukup perbaiki genteng, perbaiki ember, dan perbaiki napas.”
Raya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu.
Ada yang mulai rusak. Bukan genteng. Tapi dinding pertahanan rasa.
Bersambung
Pagi itu, langit Jakarta terlihat pucat. Gedung-gedung tinggi di luar jendela ruang rapat lantai 38 seperti siluet yang terbungkus kabut tipis. Di dalam, pendingin ruangan berhembus lembut, tapi udara di antara orang-orang yang hadir terasa berbeda.Raya melangkah masuk bersama Dian. Tubuhnya tegak, langkahnya mantap, blazer hitamnya membentuk siluet tegas. Senyumnya tipis, seperti dinding kaca yang licin tak ada yang bisa menebak apa yang ada di baliknya. Dian berjalan setengah langkah di belakang, tapi sorot matanya menyapu ruangan, seperti sedang menghitung siapa kawan dan siapa lawan.Di ujung meja rapat, Daniel Wiratama sudah duduk. Rautnya netral, tapi jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah tidak sabar. Di sampingnya, duduklah seorang wanita dengan gaun krem sederhana tapi mahal, rambut disanggul rapi, bibir berwarna merah muda pucat Rara.“Raya lama sekali kita tidak bertemu,” suara Rara terdengar lembut, hampir terlalu lembut.Ia bangkit, tersenyum lebar seperti menyambut kakak
Pesan itu masih terpatri di layar ponsel Raya."Kamu tidak tahu siapa sebenarnya Dian. Dia bukan orang yang kamu kira."Tulisan singkat itu terasa seperti duri yang menancap di tengkuknya. Tidak ada nama pengirim hanya nomor tak dikenal. Raya sudah menutup aplikasi, membukanya lagi, berharap tulisan itu menghilang. Tapi tetap ada, seolah menunggu untuk meracuni pikirannya.Di meja makan, Dian sedang memotong buah. Gerakannya santai, bahkan sambil bersiul kecil.“Buah pagi bikin mood bagus,” katanya tanpa menoleh.Raya mengamati punggungnya. Ada sesuatu tentang pria ini tentang caranya masuk ke hidupnya begitu cepat, lalu mengisi ruang-ruang yang dulu kosong. Tapi pesan itu apa maksudnya?“Mas,” panggil Raya akhirnya.“Hm?”“Kamu pernah kenal orang dari industri hiburan?”Dian berhenti sejenak. “Kenal? Banyak. Kenapa?”“Tidak, cuma penasaran aja.” Raya menelan kata-kata selanjutnya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi suaranya seperti terhenti di tenggorokan.Dian tersenyum tipis, lalu
Dian tak pernah menyangka bahwa yang paling menakutkan dari pernikahan kontrak bukanlah akting sebagai suami sayang, melainkan kunjungan mendadak dari ibu mertua.“Raya, tolong bilang itu bukan nyokap kamu yang barusan ngetok-ngetok pagar sambil teriak ‘DIAN, KAMU DI MANA ANAKKU?’,” desis Dian dari balik lemari, sambil mengenakan kaus kaki belang dan mukanya masih setengah bantal.Raya malah santai di meja makan, memotong semangka. “Itu emang Mama. Cepet mandi. Dia pikir kamu udah biasa bangun jam lima pagi buat siapin sarapan.”“Jam lima pagi?” Dian menelan ludah. “Aku biasanya baru mimpi naik helikopter jam segitu.”Dari luar terdengar suara Bu Ayu, sang mertua, memanggil-manggil dengan gaya khas emak-emak sinetron: dramatis dan penuh semangat.“Rayaaaa! Suamimu mana? Mama bawa rawon! Jangan sampe dia makan mie instan lagi ya!”Raya terkekeh, sementara Dian lari ke kamar mandi seperti hendak disiram air suci.Lima belas menit kemudian, Dian muncul dengan kemeja batik kedodoran, ramb
Sabtu sore.Raya berdiri di depan cermin dengan napas tersengal.Dia baru sadar dari semua jenis siksaan dalam kontrak pernikahan palsu arisan keluarga adalah yang paling brutal.“Kenapa aku harus dandan segini niatnya?” gumamnya sambil menata jilbab.Dian, yang duduk di ranjang sambil mainan dasi kupu-kupu milik sepupunya, menjawab santai,“Karena kamu harus kelihatan bahagia meskipun kamu terjebak sama suami kontrak.”“Jangan bilang gitu ah entar aku baper.”Dian terkekeh. “Berarti kamu mulai nyaman jadi istri pura-pura?”Raya diam, pura-pura sibuk merapikan alis.Saat tiba di rumah keluarga besar Tante Retha, suasana seperti pesta 17-an. Ibu-ibu pakai daster modis dengan motif bunga segede kelapa, bapak-bapak duduk melingkar sambil ngeteh dan bahas harga solar.Semua mata langsung menoleh ke arah Raya dan Dian.“Lihat tuh! Pasangan baru!”“Eh, cocok ya mereka. Laki-lakinya kalem, istrinya kelihatan galak pas banget!”“Kapan punya momongan, Dek?”Raya nyaris tersedak bala-bala.Dian
Pagi itu, suara alarm ponsel Raya nyaring seperti sirine kebakaran.Dian menggeliat di kasur, rambutnya acak-acakan, selimut sudah nyaris jatuh ke lantai.Sementara Raya masih berdiri kaku di depan kaca, menatap dirinya sendiri.Bukan karena galau. Tapi karena semalam mereka tidur sekasur.Dan Dian sempat walau setengah tidur meluk dia erat seperti guling."Raya." Dian bergumam lirih sambil membalik badan.Raya langsung meloncat menjauh."Hah? Aku nggak ngapa-ngapain! Demi Tuhan! Tanganmu yang duluan!"Dian masih merem. "Hah? Aku cuma ngomong nama kamu, bukan nuduh kamu nyolong sendal masjid."Raya menepuk dahinya. "Kenapa kamu bisa sesantai itu sih tidur bareng cewek?"Dian membuka satu mata, mengerjap. "Karena kamu udah resmi jadi istri kontrak, bukan?""Justru karena itu! Kita nggak boleh kelewatan!"Dian menguap. "Lho, tadi malam aku cuma tidur, bukan ngajak nonton film 18+."Setelah mandi, Raya turun ke dapur. Dia menemukan Dian lagi ngaduk kopi sambil berdendang lagu lawas:"Cin
Satu minggu setelah wawancara paling aneh dalam hidup Raya, keputusan besar diambil.Hari ini, kontrak pernikahan mereka akan ditandatangani.Ya, secara hukum, mereka akan menikah. Raya punya pengacara pribadi yang bisa merapikan dokumen seakan semuanya terjadi karena cinta. Padahal, ya jelas-jelas ini cinta settingan. Fake love, real akting, high gaji.Dian datang ke apartemen Raya pagi-pagi, membawa ransel besar dan wajah lebih gugup dari peserta ujian SIM.“Permisi ini saya Dian. Calon suami, ya, hehe,” sapanya sambil mengangkat dua kantong kresek: satu berisi mie instan, satu lagi penuh bantal kecil.Raya membuka pintu, mengenakan piyama satin biru, dan memelototi bantal berbentuk karakter kartun ayam.“Itu apa?”“Bantal kesayangan. Nggak bisa tidur tanpa ini, Mbak Raya. Namanya Kukuk.”Raya nyaris mengurungkan niat menikah hanya karena alasan Kukuk si bantal. Tapi dia tarik napas. Fokus. Ini semua demi Ibunya, demi warisan, demi reputasi. Bukan demi bantal ayam.Mereka duduk di r