Pagi itu, langit Jakarta terlihat pucat. Gedung-gedung tinggi di luar jendela ruang rapat lantai 38 seperti siluet yang terbungkus kabut tipis. Di dalam, pendingin ruangan berhembus lembut, tapi udara di antara orang-orang yang hadir terasa berbeda.
Raya melangkah masuk bersama Dian. Tubuhnya tegak, langkahnya mantap, blazer hitamnya membentuk siluet tegas. Senyumnya tipis, seperti dinding kaca yang licin tak ada yang bisa menebak apa yang ada di baliknya. Dian berjalan setengah langkah di belakang, tapi sorot matanya menyapu ruangan, seperti sedang menghitung siapa kawan dan siapa lawan.
Di ujung meja rapat, Daniel Atmaja sudah duduk. Rautnya netral, tapi jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah tidak sabar. Di sampingnya, duduklah seorang wanita dengan gaun krem sederhana tapi mahal, rambut disanggul rapi, bibir berwarna merah muda pucat Rara.
“Raya lama sekali kita tidak bertemu,” suara Rara terdengar lembut, hampir terlalu lembut.
Ia bangkit, tersenyum lebar seperti menyambut kakak kandung yang pulang dari luar negeri. Tatapannya hangat, tapi bagi Raya, itu adalah tatapan seekor kucing yang baru saja menelan burung kenari dan kini berpura-pura polos.“Rara,” balas Raya datar, suaranya nyaris tanpa intonasi. “Tidak menyangka kita akan bertemu di sini.”
“Oh, tentu saja. Sekarang aku ikut mendampingi suami di beberapa urusan bisnisnya. Beliau ingin aku belajar banyak dari semua pihak.” Rara menoleh sekilas ke Daniel, lalu kembali menatap Raya. “Termasuk dari kamu, Kak.”
Dian berdiri di samping Raya, menyilangkan tangan di depan dada. “Wah, keluarga kecil ini lengkap sekali,” ucapnya santai. Kalimatnya ringan, tapi nadanya mengandung garis halus yang hanya mereka bertiga pahami.
Daniel tersenyum tipis. “Kami hanya ingin memastikan semua kerja sama berjalan lancar. Tidak ada ruang untuk kesalahpahaman.”
Pertemuan dimulai. Para direktur membahas angka, strategi, dan rencana ekspansi. Tapi di antara jeda presentasi, ada “percakapan” diam yang hanya berlangsung di mata.
Rara sesekali mencondongkan tubuh, berbisik pada Daniel, lalu tertawa pelan. Tawanya tidak keras, tapi cukup untuk mengusik fokus Raya. Tangannya memainkan pulpen emas, seolah setiap gerakan adalah tarian yang disengaja untuk menarik perhatian.
Raya tetap memandang layar proyektor, mencatat poin-poin penting, tapi dari sudut matanya ia menangkap semua detail itu.
Di tengah rapat, Rara tiba-tiba angkat bicara. “Kalau boleh, aku ingin memberi masukan kecil. Tentu ini hanya pendapat dari orang awam.” Ia tersenyum sopan ke arah para direktur, lalu menoleh ke Raya. “Mungkin pendekatan Raya yang… tegas, akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan sentuhan yang lebih lembut. Kadang, orang hanya perlu diyakinkan dengan hati, bukan angka.”
Ucapan itu membuat beberapa kepala menoleh. Nada Rara terdengar seperti saran, tapi semua yang hadir bisa merasakannya itu adalah kritik terselubung.
Raya mengangkat wajah, menatap Rara lurus-lurus. “Kalau bisnis diukur dari hati, mungkin kita semua sudah bangkrut bertahun-tahun lalu,” jawabnya, nada tetap datar, tapi dingin.
Sejenak, ruangan terasa membeku. Dian tersenyum kecil, menyandarkan tubuh ke kursi sambil melirik Rara.
“Menurut saya, pendekatan yang dipilih istri saya sudah sangat efektif,” ucap Dian tiba-tiba, dengan sengaja menekankan kata istri. “Lagipula, kalau hasilnya jelas, siapa yang berani protes?”
Beberapa direktur pura-pura sibuk dengan catatan mereka. Rara hanya tersenyum lagi, kali ini lebih tipis, dan kembali menatap layar seolah tak ada yang terjadi.
Rapat selesai. Orang-orang mulai berkemas, tapi Daniel tetap duduk, memutar cincin di jarinya. Rara berdiri di sampingnya, merapikan map dokumennya dengan gerakan lambat.
“Raya,” katanya manis, “mungkin kita harus makan siang bersama. Sekalian mengobrol soal keluarga.”
Nada itu terdengar ramah, tapi bagi Raya, itu adalah undangan perang. Dian yang berdiri di sebelah Raya menatap Rara lama, lalu berkata, “Maaf, jadwal istri saya penuh. Dia sudah janji makan siang sama saya.”
Rara hanya tersenyum, tapi mata mereka saling bertaut panas, diam, dan penuh tantangan.
Daniel akhirnya berdiri, menatap Raya singkat. “Sampai ketemu lagi dalam suasana yang lebih baik, semoga.”
Raya hanya mengangguk tipis. Mereka meninggalkan ruangan, tapi hawa tegang tetap menempel di udara, seperti asap tipis yang sulit hilang.
Begitu pintu lift menutup, Dian berkata pelan, “Perang Dingin resmi dimulai.”
Raya menatap lurus ke depan. “Ya. Dan kali ini… aku tidak akan kalah.”Aroma parfum mawar samar menyebar di udara, mendahului kemunculan Rara. Gaun krem selutut yang membalut tubuhnya membuatnya terlihat manis, sementara rambut panjangnya diikat setengah, menyisakan beberapa helaian yang jatuh alami di pipinya. Sepasang mata itu langsung mengunci pada Raya, dan di balik senyum lembutnya, ada tatapan yang membuat perut Raya terasa seperti diremas.
“Oh, Mbak,” suara Rara terdengar hangat, terlalu hangat. “Nggak nyangka kita bisa ketemu di acara ini. Dunia memang kecil, ya?”
Raya membalas senyuman tipis, menyesap sampanye tanpa menjawab. Dian di sebelahnya, dengan satu alis terangkat, menatap bergantian antara kedua perempuan itu menunggu kapan salah satu dari mereka akan melontarkan peluru pertama.
Rara menoleh pada Dian, matanya berbinar. “Oh, ini pasti suami Mbak Raya, ya?” Nadanya penuh rasa ingin tahu, tapi intonasinya terlalu ringan untuk sekadar basa-basi. “Senang sekali akhirnya bisa ketemu. Mbak jarang sekali cerita tentang kehidupan rumah tangganya.”
Dian mengulurkan tangan, senyum ramahnya nyaris membuat orang lupa bahwa ia sedang menilai lawan bicara. “Dian. Senang juga bertemu adik,” ucapnya, menekankan kata terakhir.
Rara tersenyum semakin lebar, seperti baru saja memenangkan babak awal. “Wah, Mbak sampai cerita aku adik, ya? Kita kan nggak serumah dari kecil, tapi tetap keluarga.” Ia melirik Raya, seolah mengingatkan siapa di antara mereka yang ‘keluarga asli’ dan siapa yang cuma datang belakangan.
Raya meletakkan gelasnya pelan. “Ada banyak hal yang nggak perlu dibicarakan di depan orang, Rara.”
“Oh, tentu,” jawab Rara cepat, menunduk sedikit. “Tapi kadang orang lain suka penasaran. Apalagi soal keluarga dan mantan.”
Dian merasakan ketegangan yang merayap seperti listrik statis. “Mantan?” Ia sengaja bertanya, pura-pura tidak tahu.
Rara menatapnya polos, tapi matanya tak lepas dari wajah Raya. “Oh, jadi Mbak belum cerita? Dulu, sebelum Dian, Mbak Raya pernah menikah dengan.”
Suara Rara terhenti ketika Daniel Wiratama mendekat. Jas hitamnya rapi, dasi birunya serasi dengan warna gaun Rara.
“Raya.” Suara itu berat, sedikit terlalu akrab. “Kita bertemu lagi.”
Raya mengangguk singkat. “Daniel.”
Daniel menoleh pada Dian, menyodorkan tangan. “Daniel Wiratama.”
“Dian Prasetya.” Keduanya berjabat tangan sebentar, tekanan yang cukup untuk memberi pesan bahwa mereka saling mengukur.
Rara tersenyum bangga, seperti memamerkan trofi. “Mas Daniel tadi cerita, beliau sekarang sering kerja sama dengan beberapa perusahaan besar termasuk perusahaannya Mbak.”
“Oh?” Dian menoleh ke Raya, pura-pura terkejut. “Lucu juga. Dunia memang kecil.”
Daniel mengangkat gelasnya sedikit. “Bisnis kadang mempertemukan kita lagi, entah mau atau tidak.”
“Betul,” jawab Dian, matanya tak lepas dari Daniel. “Tapi yang menentukan hasilnya bukan masa lalu, melainkan siapa yang duduk di meja sekarang.”
Rara terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. “Wah, aku jadi merasa seperti penonton di film. Tapi ya hubungan masa lalu memang kadang membekas.”
Raya menatap adik tirinya itu dengan senyum dingin. “Membekas itu pilihan, Ra. Ada yang memilih untuk move on, ada yang memilih untuk menempel di sesuatu yang bukan miliknya.”
Dian hampir tertawa melihat rona tipis di pipi Rara yang berusaha ditutupi dengan senyum manis. Daniel hanya memandang, seperti sedang menghitung langkah siapa yang akan lebih dulu terpeleset.
Pelayan lewat membawa nampan canape, dan Rara segera mengambil satu, menaruhnya di piring kecil. “Mbak harus coba ini. Rasanya mahal sekali.”
Nada itu terdengar seperti pujian, tapi telinga Raya menangkap sindiran di dalamnya.
“Makasih,” jawab Raya datar, tak menyentuh piring yang diberikan.
Acara itu terus berjalan dengan alunan musik jazz yang lembut, tapi bagi keempat orang ini, setiap detik adalah langkah di medan perang. Perang tanpa teriakan, hanya senyum, tatapan, dan kata-kata manis yang menusuk tepat sasaran.
Saat tamu mulai berkurang, Daniel meraih tangan Rara dan berkata, “Kita pulang?”
Rara mengangguk, lalu sebelum pergi, ia menoleh pada Raya. “Sampai ketemu lagi, Mbak. Dunia memang kecil.”
Raya hanya mengangguk, matanya dingin. Dian meraih pinggangnya, membimbingnya keluar ruangan. Begitu mereka berada di koridor yang sepi, Dian berbisik, “Kalau senyum bisa membunuh, kamu barusan jadi tersangkanya.”
Raya menghela napas. “Dia nggak berubah. Tetap licin.”
“Dan kamu tetap berbahaya.” Dian tersenyum tipis, menatapnya penuh arti.
Lift menuju parkiran terasa terlalu sempit ketika hanya ada Raya dan Dian di dalamnya. Lampu redup memantulkan bayangan wajah mereka di dinding logam. Raya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras.
“Dia sengaja,” ucap Raya pelan, seperti sedang bicara pada dirinya sendiri.
“Ya. Dia ingin lihat kamu goyah,” jawab Dian tanpa basa-basi. “Tapi kamu nggak kasih dia kesempatan. Bagus.”
Raya menoleh, matanya dingin. “Kalau bukan karena perjanjian kita, aku udah ...”
“menampar dia di depan semua orang?” potong Dian, bibirnya terangkat tipis. “Tenang. Perang yang bagus itu dimenangkan dengan kepala dingin.”
Lift terbuka. Udara malam masuk, membawa aroma bensin dan aspal basah. Mereka berjalan menuju mobil. Tapi sebelum sampai, suara hak sepatu Rara terdengar memecah keheningan.
“Mbak!” Rara berlari kecil menghampiri, gaunnya bergoyang. Senyum itu masih sama manis, tapi menusuk. “Aku cuma mau bilang senang banget bisa ketemu lagi. Apalagi lihat Mbak bahagia.”
Nada terakhirnya seperti tantangan.
Raya tersenyum tipis. “Bahagia itu pilihan, Rara. Sama seperti pilihan untuk nggak mengkhianati darah sendiri.”
Senyum Rara membeku sepersekian detik, tapi ia cepat memulihkannya. “Ah, Mbak. Kita kan keluarga. Aku cuma mengikuti kata hati.”
Dian melangkah maju setengah, berdiri di antara mereka. “Kata hati yang salah bisa jadi bencana, apalagi kalau dibungkus senyum manis.”
Rara menatap Dian, lalu kembali menatap Raya. “Sampai ketemu lagi, Mbak. Dunia memang sempit sekali.”
Ia berbalik, meninggalkan suara langkah yang bergema di parkiran. Dian membuka pintu mobil untuk Raya, lalu berbisik, “Perang dingin ini baru mulai. Dan aku di pihakmu.”
Raya duduk, menatap ke luar jendela ketika mobil melaju. Di kejauhan, lampu kota berkilauan cantik tapi dingin. Sama seperti senyum Rara.
Mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan lobi apartemen mewah tempat Raya tinggal. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun lampu-lampu kota masih terang benderang. Ibu Ayu duduk di kursi penumpang dengan wajah masih menyimpan keterkejutan, sementara Dian yang menyetir tampak tenang meskipun dalam dadanya tersimpan badai rencana.Sejak mereka meninggalkan gedung pusat Wiratama Group, suasana di dalam mobil itu dipenuhi diam yang panjang. Ibu Ayu masih berusaha mencerna semua yang baru saja ia dengar dan lihat.Perusahaan sebesar itu, nama yang begitu harum di dunia bisnis, yang ia kira dipimpin oleh seorang taipan tua nan misterius, ternyata milik menantunya sendiri.Tangannya meremas tas di pangkuan, bibirnya bergetar. “Dian… jadi… kamu… pemilik Wiratama Group itu?” suaranya akhirnya pecah, lirih, tapi penuh tekanan.Dian melirik sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Mama. Maaf karena aku baru mengatakannya sekarang.”Ibu Ayu menatap Dian tidak percaya. Matanya membesar, lalu b
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui tirai apartemen mewah di lantai 25. Raya menggeliat perlahan, kepalanya masih terasa berat setelah semalam hampir tidak bisa tidur nyenyak. Tangannya meraih sisi tempat tidur, biasanya di sana tubuh hangat Dian selalu ada. Namun kali ini, kosong.“Dian?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Ia bangun setengah duduk, mengucek matanya, lalu menoleh ke seluruh ruangan. Sepi. Tidak ada suara ketikan laptop, tidak ada aroma kopi yang biasanya dibuat Dian setiap pagi. Bahkan sandal rumah yang biasa dipakai pria itu tidak ada di depan kamar. Raya mengernyit.Dengan cepat ia turun dari ranjang, membuka pintu kamar tamu. Mama-nya, Bu Ayu, juga tidak ada. Tempat tidur sudah rapi, seolah-olah memang tidak ditiduri semalaman.“Kenapa pergi tidak bilang-bilang?” gumam Raya, cemas sekaligus heran.Baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelpon, layar ponsel menyala. Sebuah notifikasi rapat mendadak masuk. Dari sekretaris dewan direksi:“Rapa
Rumah keluarga Miranda selalu tampak seperti galeri pameran, bukan sekadar tempat tinggal. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang membuat marmer lantai berkilau. Vas bunga impor, lukisan-lukisan abstrak, dan perabotan mewah dipajang di setiap sudut, seolah-olah Miranda ingin menegaskan satu hal: status sosialnya tidak boleh dipandang rendah.Di ruang tamu yang luas, Miranda duduk anggun di sofa berlapis beludru merah, mengenakan gaun satin ungu yang baru saja dikirim dari butik langganannya. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, membalas pesan dari grup sosialita. Sesekali ia tertawa kecil, tertawa yang lebih mirip pamer ketimbang benar-benar bahagia.“Mir, kamu ini kalau terus-terusan main ponsel, nanti matamu rusak,” suara Arman terdengar dari balik koran yang ia baca. Ia duduk di kursi seberang, mengenakan piyama sutra yang jelas-jelas dipilihkan Miranda. Wajahnya datar, lebih mirip seseorang yang sekadar ‘ikut alur’.Miranda melirik sekilas. “A
Malam itu apartemen terasa lebih hangat dari biasanya. Raya sudah terlelap di kamarnya, kelelahan setelah seharian mengurus laporan dan presentasi. Suara kipas angin berputar pelan di kamar tamu, tempat Mama berbaring sambil mengoles balsem ke kakinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Tok tok“Mama, boleh bicara sebentar?” suara Dian terdengar hati-hati.Mama mengerutkan kening, lalu buru-buru merapikan daster yang agak kusut. “Masuk saja, Nak.”Dian masuk dengan wajah serius, berbeda dari biasanya yang selalu tenang dan sedikit usil. Ia duduk di kursi kecil dekat ranjang Mama, menunduk sejenak sebelum membuka suara.“Ma, aku mau jujur. Tentang pernikahan aku sama Raya…”Mama langsung menegakkan badan. “Hah? Jangan bilang kamu mau cerai besok pagi. Astaga, ini drama macam apa lagi?”“Bukan, Ma. Bukan itu,” Dian buru-buru menggeleng. “Aku cuma harus bilang sejujurnya. Pernikahan ini sebenarnya bukan pernikahan sungguhan. Kami aku dan Raya sepakat untuk nikah kontrak.”Mama melongo. “K
Apartemen milik Raya malam itu terasa berbeda. Biasanya ruangan modern bergaya minimalis itu hanya diisi keheningan, suara AC, dan lampu kota yang berkelap-kelip dari balik jendela kaca besar. Namun kini, ruang tamu yang biasanya rapi bak majalah interior dipenuhi suara tawa dan komentar dari Mama Raya, yang baru saja pulang dari rumah sakit.“Wahhh, apartemen kamu keren sekali ya, Nak. Lihat tuh, pemandangan kota malamnya kayak di drama Korea. Cocok banget buat hmm.” Mama menoleh ke Dian yang sibuk membereskan tas belanja kecil. “cocok buat pasangan muda yang lagi manis-manisnya.”Raya menutup wajah dengan tangan. “Ma baru juga pulang dari rumah sakit, kok langsung heboh.”“Hei, jangan dibilang heboh. Ini namanya semangat hidup!” sahut Mama, lalu duduk santai di sofa empuk sambil menyilangkan kaki. “Lagipula, Mama senang sekali bisa tinggal sama kalian. Bosan di rumah cuma ditemani pembantu, apalagi Papa kamu sibuk sama ya kamu tahu sendiri lah.” Nada suaranya sempat menurun, tapi ce
Raya baru saja menutup rapat daring dengan investor Jepang ketika ponselnya berdering. Nama “Mama” muncul di layar. Awalnya ia pikir sekadar telepon rutin menanyakan kabar, tapi begitu diangkat, suara Mama terdengar lirih penuh drama.“Raya, Mama di rumah sakit.”Raya langsung berdiri. “Apa? Mama kenapa?!”“Kolesterol Mama naik lagi perawat bilang karena kemarin Mama makan sate kambing, rendang, sama gulai.” Suaranya dibuat sengau seolah mau pingsan.Raya menepuk dahi. “Mama! Itu kan makanan pantangan semua! Siapa suruh makan?”“Loh, masa Mama dilarang menikmati hidup? Lagian siapa tahu umur Mama nggak panjang.”“Mama!” Raya nyaris menjerit.Tepat saat itu Dian masuk ke ruang kerja dengan dua cangkir kopi. Melihat wajah Raya pucat, ia langsung menaruh cangkir di meja. “Ada apa?”“Mama masuk rumah sakit!” Raya buru-buru menjelaskan.Tanpa pikir panjang, Dian meraih kunci mobil. “Ayo, kita ke sana sekarang.”Suasana Rumah SakitBegitu sampai di ruang perawatan, Raya langsung berlari. Ma