'Apa Andio! Kenapa namanya sama dengan Mas Dio. Atau mungkin hanya kebetulan saja sama, tidak mungkin juga Mas Dio mengenali wanita paruh baya itu. Kelihatannya ia orang berada," batin Marisa menebak.Marisa menuntun lagi tangan mungil anaknya, dengan secepat mungkin segera pulang kerumah.Wanita Paruh baya itu menoleh kebelakang untuk melihat wajah Tasya barusan. Memastikan bahwa itu bukan Tasya cucunya yang telah hilang."Angga entah kenapa aku seperti bertemu dengan cucuku Tasya. Wajah anak kecil tadi memang mirip dengan Tasya cucuku. Apa jangan-jangan memang benar," kata wanita paruh baya memastikan."Tidak mungkin Kak Sonia. Dia bukan anak Dio. Nama Tasya di dunia bukan hanya yang tadi, kalau oun Tasya disini pasti bersama Dio bukan dengan wanita yang tadi," pungkas Angga adik kandung dari Omah Sonya."Tapi angga, ada sedikit perbedaan saat aku bertemu dengan anak kecil tadi. Rasanya seperti bertemu dengan cucuku sendiri," ungkap Omah Sonya."Mungkin Kakak hanya sedang merindukan
"Senang bertemu denganmu Marisa," kata Kania menatap dengan sorot tatapan yang susah diartikan. Terlihat kecut dan kecewa."Aku juga Kania senang bisa bertemu denganmu," jawab Marisa."Dio, Mar kalau gitu aku duluan ya, ada urusan mendadak soalnya," pamit Kania."Loh Kania. Baru juga kita ketemu kamu sudah mau pergi begitu saja. Semoga di lain waktu kita bisa kembali ya," ucap Marisa ramah."Iya."Kania lagi-lagi harus menerima kekecewaan di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Dulu dia harus dikalahkan dengan temannya Salsabila -istri pertama Dio, yang sudah bercerai 5 tahun yang lalu. Dan kali ini Kania harus dipertemukan dengan wanita lain lagi yang hadir mendampingi lelaki bertubuh ideal itu.Langkah kaki Kania begitu loyo, dengan perasaan yang amat kacau."Sial benar-benar sial! Lagi-lagi aku harus dikejutkan dengan istri barunya si Dio. Akan lebih sulit lagi untuk ku singkirkan. Semuanya bangsat!." Kania murka.Kania menoleh secara diam-diam memperhatikan dari kejauhan kediaman
Tujuan Kania mengunjungi rumah Marisa dan Dio, karena Kania ada maksud tertentu. Sehingga terpaksa harus terlihat baik dan ramah.Seketika membuat Keke terperangah saat kedatangan Marisa membawa seorang wanita yang tidak di kenalnya.'Kalau dilihat dari penampilannya sih itu pasti orang kaya, tapi siapa dia? Mana mungkin orang kaya mau berteman dengan Kak Marisa yang miskin ini,' batin Keke di balik kamar memperhatikan Kania. Keke segera menghampiri wanita yang sedang duduk di ruang tamu dengan Tasya. Keke melihat ada tas bagus yang di bawa oleh wanita itu. Seketika bibir Keke tersenyum sinis."Hai, aku Keke. Adik dari Kak Marisa. Kakak pasti orang kaya 'kan," tebak Keke pada Kania yang sedang menghempaskan pantatnya di kursi bambu yang sudan reod.Kania bertumpang kaki sambil sibuk dengan ponsel di tanganya. Sejenak Kania menyimpan ponselnnya lalu menoleh Keke."Owh. Aku Kania, memang aku orang kaya. Tapi aku bukan temen Kakakmu itu, Kakakmu tidak cocok harus berteman dengan aku, wan
"Dio! Mana ibu pinjam uang untuk belanja hari ini!," pinta sang mertua kepada Dio yang tak sengaja bertemu di tepi jalan.Bu Minah menengadahkan sebelah tangannya memaksa meminta uang kepada menantunya yang sedang berjualan cendol."Bu, Dio belum juga ada pembeli. Baru juga berangkat," tampik Dio."Heh Dio! Masa iya dari tadi kamu jualan kagak laku-laku sih! Dasar tidak berguna kamu jadi menantu! Bisanya cupa ngebebanin aja. Kalau saya gak belanja tiap hari mau makan apa kamu dan keluarga yang harmonis alias melarat ini! Bikin jengkel saja, kenapa gak ceraikan saja anak saya!" gerutu Bu Minah pada sang menantu.Dio hanya menundukan kepala sambil mencoba tak menggubris gerutu sang mertuanya itu."Iya maaf Bu. Abis mau gimana lagi kalau sekarang Dio memang belum ada pembeli," ungkap Dio sambil mengelap gerobaknya yang terlihat kotor."Kamu itu emang gak bisa diandalkan jadi menantu. Heran aku sama si Marisa, mau maunya menikah sama tukang cendol. Padahal anakku cantik gak sepadan sama s
"Apa kamu sudah lupa Mas. Kemarin kamu bilang aku dan Tasya jangan kesini karena panas matahari yang begitu terik! Tapi nyatanya apa?! Hari ini aku tidak kesini tapi kamu malah berduaan sama Kania, Mas," rintih Marisa kecewa."Mar, ini salah paham. Tadi aku dan Kania hanya bercanda saja tidak lebih." Dio menjelaskan."Iya Dio benar Mar. Mana mungkin juga aku bisa cinta dengan sahabat ku. Apalagi Dio sudah punya istri yaitu kamu." Kania mencoba meyakinkan."Bacot! Kalian semua memang pendusta yang hebat! Tepuk tangan yang meriah sudah melukai hati Kakaku ini," sahut Keke kembali memanaskan hati sang Kakak.Marisa melenggang kecewa. Ia pergi menjauh dari kediaman Dio dan Kania serta Keke masih nyerocos tak jelas."Mar!" panggil Dio.Tapi Marisa tak menghiraukan istrinya yang terus berlalu secepat mungkin. Ada rasa cemburu bercampur rasa kecewa dengan sang suami yang telah membohonginya.Andai saja Dio tak melarang Marisa mungkin tak akan sesakit itu.Marisa benar-benar dilanda frustasi.
Setelah setengah jam menunggu Paman Angga kembali dengan wajah panik setengah cemas."Paman gimana? Apakah darah Paman dan Dio cocok?" tanya Kania antusias menunggu jawaban."Tidak cocok kania. Ini tidak sesuai harapan Paman.""Apa! Gak cocok! Lantas harus bagaimana dong Paman?""Paman juga tidak tahu Kan, mungkin kita harus cari orang yang golongan darahnya sama dengan Dio. Kalau mengandalkan darah Kak Hadiman rasanya tidak mungkin," jelas Paman Angga sambil menggelengkan kepalanya."Kania, coba kau cek darah kau siapa tahu cocok dengan Dio?" ujar Paman Angga."Mana mungkin Paman. Aku sangat takut dengan jarum suntikan, bahkan dari dulu aku belum pernah memegang atau menyentuh jarum," tampik Kania sambil bergidik."Ayolah Kania, ini untuk kesehatan Dio. Bukankah kau bahagia melihat Dio mu sehat lagi seperti semula. Ayolah siapa tahu cocok dengan golongan darah kau," paksa Paman Angga."Tapi, Paman. Aku takut."Paman Angga terus membujuk Kania yang ketakutan. Setelah beberapa menit akh
Bu Minah nampak celingak celinguk memperhatikan di sekeliling ruangan rumah sakit ini. Entah apa yang ia lakukan, namun sikapnya sedikit mengherankan.Bu Minah memutar knop pintu untuk bisa masuk ke dalam ruangan Dio, saat ini terlihat pria tangguh itu terbaring lemah dan belum sadarkan diri. Kedua mata masih terpejam dan jarum infusan menancap di tangan.Bu Minah melangkah pelan sambil bibirnya mengukir senyuman dengan rasa puas melihat menantu yang sangat dibencinya kini tidak berdaya."Malang sekali nasibmu Dio, belum juga tanganku bertindak, kau sudah tak berdaya seperti ini. Semoga saja kau secepatnya mati," ucap Bu Minah sambil menatap sinis wajah Dio yang masih belum sadarkan diri.Lantaran semua orang sedang tidak ada dan Marisa pun pergi untuk melaksanakan shalat ashar. Bu Minah mempunyai niatan buruk kepada sang menantunya itu.Dengan perlahan tangan Bu Minah mengulur ke arah kabel infusan. Bu Minah memutar penghalang infusan supaya air yang terus mengalir terhalang begitu sa
"Hari ini Pak Dio sudah bisa pulang ya Bu," kata perawat sambil memberikan obat kepada Marisa.Marisa hanya berdiam diri dengan pikiran bingung mencerna ucapan perawat itu, "Bisa pulang, memangnya siapa yang sudah membayar biaya berobat suami saya, Sus?""Tadi seorang Bapak paruh baya yang membayar semuanya.""Pak Angga 'kah?""Mungkin Bu, beliau tidak memberitahukan namanya. Dia hanya membayar semuanya biaya pengobatannya Pak Dio. Gitu aja Bu setahu saya.""Ya sudah terimakasih ya, Sus." Marisa melenggang untuk melihat sang suami di kamarnya. Ada perasaan bahagia karena hari ini Dio sudah bisa pulang dan sudah pulih kembali.***"Dio, Paman senang kamu sudah sembuh dan bisa pulang sekarang. Paman harap kamu jaga diri baik-baik, jangan sampai kenapa-kenapa lagi. Takut membuat khawatir kedua istrimu," goda Paman Angga kenapa Dio."Paman ini, kedua istriku siapa. Istriku cuma satu. Aku tidak ingin mengikuti jejak Paman, dan tidak ada di kamus kehidupanku aku berpoligami," tampik Dio."Su