Share

Bab 4

"Sudah bisa, Bu. Kebetulan pasien sudah siuman dan memangil-manggil nama Dio," tutur Dokter.

"Baik, Pak. Terimakasih."

Dio tergesa ingin segera melihat keadaan sang istri. Namun, Bu Minah dengan cepat menerobos masuk kedalam ruangan dan secepat mungkin menutup pintu agar Dio tidak bisa masuk. Dio pun beringsut mundur.

"Birkan saya dulu yang masuk! Kamu tunggu di sini!," perintahnya.

Dio mengangguk lemah dengan emosi yang hampir saja akan meledak. Ia tahan sekuat tenaga, karena bagaimana pun Bu Minah adalah mertuanya sekaligus ibunya.

"Pa, kenapa kita gak masuk? Aku mau lihat ibu," rengek Tasya yang tak sabar ingin segera bertemu ibu sambungnya.

Walaupun Tasya hanya anak sambung Marisa. Tapi Tasya begitu menyayangi ibu sambungnya itu. Bahkan sebaliknya, Marisa pun menjaga Tasya dan mengurusnya di bumbui rasa kasih sayang yang begitu dalam, sudah seperti anak kandung Marisa sendiri. Itulah yang membuat Dio kagum pada istrinya.

"Kita tunggu disini dulu ya, biar Nenek duluan," kata Dio menenangkan Tasya.

Dio mengajak Tasya kembali duduk di kusi tunggu, seraya menunggu mertuanya keluar.

***

Marisa membuka mata pelan, ia tertegun ketika melihat ruangan yang berbau obat dan jarum infus menancap di tangannya, tak tahu keberadaan dirinya sekarang di mana, seingat Marisa tadi dia di rumah.

Bu Minah segera menghampiri anaknya yang masih terbaring lemah di atas hospital bed, "Marisa, bagaimana keadaanmu, Nak."

Betapa Marisa kaget saat melihat wanita yang berada di hadapannya adalah Ibu kandungnya diiringi dengan Keke, "i-ibu."

Bu Minah menangis sesenggukan saat melihat anak cikalnya berada di depan mata, betapa ia sangat merindukannya.

Marisa berusaha bangkit dari tidurnya dan bersandar di kepala ranjang, betapa kepalanya masih terasa pusing ditambah akibat benturan ujung meja. Marisa menatap wajah sang bunda dengan bahagia, betapa Marisa pun merasakan hal yang sama.

"Aku lebih mendingan, Bu."

Bu Minah memeluk Marisa dengan erat, "Kenapa kau bisa sakit? Dan kenapa juga asam lambung mu bisa kambuh? Apa kamu telat makan, Nak. Jangan-jangan kamu jarang …"

Dengan cepat Marisa menyergah ucapan Bu Minah, "Tidak, Bu!."

Mereka saling menangis dan berpelukan sudah lama sekali Bu Minah dan anak cikalnnya tidak bertemu.

"Kak, emang kakak bahagia menikah sama tukang cendol? yang pendapatannya receh, emang Kakak gak kelaparan gitu?" tanya Keke pada sang Kakak sekaligus menyepelekan suami Kakaknya sendiri.

Marisa menyudahi pelukan erat sang bunda, "Aku bahagia Ke, setidaknya Mas Dio bertanggung jawab dan memperlakukanku dengan lemah lembut, layaknya seorang ratu. Bagiku dia suami idaman, dia sempurna."

Keke tertegun mendengar penuturan Kakaknya yang sangat mengejutkan, "What! Ratu." Keke menggedikkan bahu sambil tertawa terbahak-bahak, "Kakak bilang ratu. Kak, ratu itu adanya di istana mewah dan megah, bukan tinggal di gubuk derita seperti rumah Kakak." Tak hentinya Keke meledek rumah bahkan suami Kakaknya.

Memang mulut Keke sama persis seperti sang bunda dia hanya memikirkan harta dan harta yang selalu mengelilingi isi kepalanya.

"Andai saja Kakak menikah dengan Bang Ringgo, mungkin saat ini berada di istana Kak, hidup mewah, uang yang banyak. Tapi sayang, Kakak lebih memilih kabur dari rumah dan nikah siri dengan tukang cendol dekil itu," ulang sang adik tak hentinya menghina Dio.

"Tutup mulutmu!" sentak Marisa.

Marisa benar-benar meradang dengan Keke yang selalu mencemooh Dio, padahal istrinya pun tidak merasa keberatan mempunyai suami seorang tukang cendol.

"Sudah! Kalian malah ribut gak jelas. Ucapan Keke memang ada benarnya, emang kamu kabur kok." Bu Minah membela anak bungsunya dan tidak terima kalau Keke disalahkan.

Inilah salah satunya kenapa Marisa dulu minggat dari rumah, lantaran sang bunda yang selalu pilih kasih terhadap kedua anak perempuannya. Keke si bungsu anak kesayangan yang selalu dimanjakan. sedangkan Marisa si sulung selalu disalahkan sejak dulu. Bahkan Ibu tak pernah memperdulikan perasaan Marisa, ia sibuk dengan dirinya dan Keke, hingga kala itu Bu Minah akan menikahkan paksa Marisa dengan Bang Ringgo juragan kambing di kampungnya.

Untung saja Marisa sudah mengenal pria yang kini menjadi suaminya, hingga akhirnya wanita muda itu pun nekat untuk kabur dari rumah, selain tak kuat dengan perlakuan ibunya ia juga tidak mau kalau masa mudanya direnggut oleh Bang Ringgo untuk dijadikan istri kedua.

Sungguh malang nasib Marisa pada saat itu, pada akhirnya Marisa memilih nikah siri dengan Dio dan bertahan sampai sekarang. Setidaknya kehidupan sekarang walaupun kekurangan harta. Namun, masih dipenuhi dengan bumbu cinta dan kasih sayang.

"Memangnya kamu sudah ketemu dengan mertuamu Mar?" tanya Bu Minah.

Marisa hanya menggelengkan kepala, "Belum."

"Memangnya kamu gak takut kalau suamimu seorang nafi atau pembunuh bayaran," ujar Bu Minah menakuti Marisa.

"Maksud Ibu apa?"

"Bisa saja Mar, kamu aja gak tau bobot-bebet suami kamu bagaimana, apalagi kamu gak tau asal-usul Dio dari mana."

Memang, ada benarnya ucapan sang bunda, Marisa sampai saat ini belum mengetahui seluk beluk suami yang dicintainya itu. Jangankan asal-usul Dio, kartu identitasnya saja Marisa belum pernah melihat.

"Tapi, kata Mas Dio orang tuanya sudah lama meninggal karena kecilakaan angkot yang di tumpanginya, Bu."

"Sudahlah, Bu. Jangan bahas suamiku," tampik Marisa segera mengalihkan pembicaraan, tak enak hati jika suaminya mendengar perkataan keluarganya.

Akan tetapi, sudah dari tadi Dio mengintip dari celah pintu yang tak tertutup sempurna daun telinganya mendengar jelas perbincangan mertua dan istrinya.

Betapa hatinya tersayat mendengar ucapan demi ucapan mertuanya dan adik ifarnya yang memang sangat menyakitkan. Perih sekali rasanya. Dio teringat masa lalunya yang begitu kelam kepada sang mantan istri yang gila harta.

Kriet!

Tak sengaja Tasya menyenggol daun pintu sehingga terbuka lebar.

Marisa terperanjat kaget, "Mas."

"Bolehkah kami masuk, Bu?" tanya Tasya.

Marisa menyambut antusias putri kesayangannya walaupun bukan terlahir dari rahimnya. Tapi ia sangat menyayanginya lebih dari apapun.

Dio dan Tasya melangkah menghampiri Marisa serta mertuanya, tak lupa Dio menjinjing rantang yang sudah di jinjingnya sedari tadi.

Seorang perawat datang menghampiri, "Maaf ya, Pak, Bu, mengganggu. Bu Marisa sudah bisa pulang nanti sore tapi kami harap Bapak selaku suaminya membayar administrasi nya terlebih dahulu."

"Baik, Sus," ucap Dio dengan begitu lemah.

Marisa mengerti betul dengan kondisi ekonominya saat ini sedang kesusahan.

"Tunggu sebentar, Mas ke ruang administrasi dulu." Langkahnya begitu lemas.

"Berapa Biaya pengobatan istri saja, Sus?" tanya Dio ketika baru saja sampai di ruangan administrasi.

"Dua juta, Pak."

"Apa! Dua juta!" Dio terperanjat, " Baiklah Sus, nanti siang saya bayar semuanya."

Dio duduk sejenak di kursi tunggu sambil menangkupkan kedua tangan di wajahnya, ia terlihat gelisah. Kemanakah harus meminta bantuan sedangkan mencari pinjaman sangatlah susah kalau tak ada jaminan di zaman ini. Kalau harus menghubungi keluarga Dio untuk meminta bantuan, sepertinya tidak mungkin dan tidak akan pernah terjadi. Tawaran bantuan ayahnya sekalipun Dio tolak mentah-mentah. Dio benar-benar dirundung pilu hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status