Share

Bab 5

Melihat reaksi Dio, Bu Minah paham sekali bahwa Dio sedang gelagapan membutuhkan uang, jangankan untuk membayar biaya rumah sakit, untuk makan sehari-hari pun pasti mereka berjuang setengah mati. Mumpung Dio sedang kesusahan Bu Minah pun muncul untuk menjadi pahlawan.

"Kamu pasti bingung kan Dio?" seru Bu Minah tiba-tiba menghampiri menantunya.

Bu Minah duduk di sebelah Dio, betapa Dio terperanjat saat melihat Mertuanya yang sangat membencinya bisa duduk bersanding.

"Iya, Bu. Aku sedang bingung dengan biaya pengobatan Marisa."

"Makannya kamu jangan miskin!" ledeknya.

"Bu, siapa sih yang ingin miskin, semua orang pun ingin berkecukupan," lirih Dio menumpahkan isi hatinya.

"Sudahlah! Kok kamu jadi curhat sih! emangnya saya mamah dedeh apa."

Bu Minah mengambil amplop berwarna coklat dari dalam tasnya, amplop itu begitu tebal sepertinya memang isinya uang yang banyak, "Kamu tahu ini apa?"

"Uangkan bu," jawab Dio.

"Iya, betul sekali. Kamu bisa pake uang ini asalkan …"

"Beneran, Bu."

"Asalkan kamu ceraikan anak saya sekarang juga!" tegas Bu Minah.

Betapa Dio tertegun mendengarnya, Dio menatap wajah mertua yang di sebelahnya dengan sorot mata yang amat kecewa. Ibu macam apa Bu Minah, untuk membayar pengobatan anaknya saja mesti ada syarat. Mungkin hati Bu Minah terbuat dari batu sehingga ia tak peduli sama sekali dengan anaknya sekalipun.

"Bu, Marisa anak Ibu!" ungkapnya Dio.

"Saya tak peduli! Kalau kamu setuju, saya serahkan uang ini padamu!"

"Maaf, Bu. Uang masih bisa dicari!" tampik Dio seraya pergi meninggalkan Bu Minah.

Entah apa yang ada di pikiran Mertuanya itu hingga tega akan memisahkan keluarga yang utuh. Pria muda itu sangat kecewa, ibu mertuanya benar-benar sudah kelewatan batas. Walaupun diterjang badai hebat sekalipun Dio tak akan menceraikan istrinya yang selalu menemaninya disaat suka maupun duka.

"Sialan! Si Dio pake acara nolak. Lihat saja nanti, kamu pasti balik lagi mohon-mohon," pekik Bu Minah kesal karena penolakan Dio.

***

Dio berjalan dengan tergesa diiringi dengan ponsel yang terus menerus berbunyi di genggaman tangannya, sesekali ia celingukan melirik sekeliling rumah sakit.

Keke, yang sedang duduk mencari sinyal merasa curiga dengan tingkah Dio yang terlihat panik.

"Mau kemana dia, jelas sekali ada kegelisahan di raut wajahnya, apa karena belum dapat uang biaya pengobatan Kak Marisa? Ah, bodo amat," gumam Keke seraya sibuk dengan ponsel di tangannya.

'Tapi, kenapa dia tidak mengangkat ponsel yang terus berbunyi?' batin Keke merasa penasaran, ia yakin sekali bahwa suami Kakaknya sedang menyembunyikan sesuatu.

Keke pun segera mengikuti langkah Dio yang mencurigakan, Keke yakin sekali bahwa arah tujuannya ke toilet.

"Ngapain juga Dia kesini. Ah, bisa jadi dia sedang kebelet," ujar Keke.

Keke menghela nafas kasarnya betapa kecurigaannya saat ini, amatlah salah. Keke yakin mana mungkin seorang tukang cendol punya rahasia.

Ketika Keke akan berbalik arah terdengan suara samar-samar dari dalam toilet, "Tapi, kenapa sepertinya Kak Dio sedang berbicara dengan seseorang di dalam toilet, dengan siapa? Kenapa harus di dalam toilet?"

Kali ini Keke benar-benar penasaran, gadis itu mempertajam pendengarannya dengan menempelkan daun telinga pada daun pintu yang telah tertutup sempurna, Keke mencari lobang kecil untuk mengintip kedalam. Namun tak kunjung ketemu.

("Paman terima kasih bantuannya, ini sangat membantu. Lain waktu saya akan bayar semuanya yang telah paman kasih pada saya,") ucap Dio yang sedang berbicara dengan ponselnya, dan entah siapa yang menghubunginya itu.

("Nanti sore kita ketemu, Paman sudah kangen dengan keponakan Paman yang satu ini.")

("Baiklah Paman, dan satu lagi, Paman. Jangan sampai Ayah tahu kalau aku disini,") ujar Dio.

'Hah, Paman. Siapa ya?' batin Keke bertanya seraya masih mendengarkan.

'Dan kenapa Kak Dio bilang Ayah gak boleh tau, memangnya kenapa? Berarti dia masih mempunyai ayah, padahal kata Kak Marisa orang tuanya sudah tidak ada. Ini ada yang tidak beres! Tapi kenapa harus dirahasiakan aneh banget.' Lanjut batin Keke.

Penasaran sekali rasanya. Tapi, Dio sudah mematikan ponselnya. Keke pun yang sedang fokus mendengarkan tersentak, dan secepat mungkin bersembunyi di tempat yang aman agar Dio tidak mengetahui bahwa adik iparnya sedang mengintai.

Dio keluar dari toilet terlihat wajahnya yang sangat sumringah, bibirnya tak henti melengkung membentuk senyuman.

Dio melanjutkan melangkah, Keke pun tidak mau kehilangan jejaknya akan terus mengikuti langkahnya kemanapun ia pergi.

Tapi ternyata Dio pergi ke BRilink, mungkin untuk mengambil uang pinjaman, "Tapi pinjam dari siapa? Bisa jadi dari yang barusan di panggilnya dengan sebutan Paman, berarti tukang cendol itu masih ada keluarganya tapi kenapa Kak Marisa juga gak tahu siapa keluarganya dan dari mana asal-usulnya, kenapa juga harus di sembunyikan." Membuat Keke semakin penasaran.

***

"Bu, kapan kita pulang? Kenapa Mas Dio lama sekali di ruangan administrasinya ya?" tanya Marisa kepada sang Ibu.

"Mungkin suamimu sudah gelagapan lantaran tak bisa membayar pengobatanmu Mar," ujar Sang Ibu.

Andai saja Marisa tidak sakit atau menahan sakit ini supaya tidak di bawa kerumah sakit, mungkin Marisa tidak akan merepotkan suaminya. Kasian sekali Dio harus mencari uang yang nominalnya lumayan banyak dalam waktu terbilang lebih singkat.

"Ya sudah, pake uang Ibu dulu. Tunggu di sini Ibu akan membayar semuanya."

"I-ibu dari mana punya uang?"

"Kamu tidak perlu tahu, nanti Ibu jelaskan di rumah," tegasnya.

Marisa menunggu dalam ruangan, sudah tidak betah sekali rasanya kalau harus berlama-lama di tempat ini.

***

Sudah yakin sekali Dio tidak akan sanggup membayar semua biaya berobat istrinya Bu Minah Pun sudah tahu bahwa dirinya yang akan menang.

"Hah!" Bu Minah terperanjat saat melihat seorang Dio menantu yang selalu di sepelekannya sudah didepan mata, sedang menandatangani pembayaran.

"Sudah ya, Pak. Silahkan Mbak Marisa sudah bisa pulang," perintah Suster.

Betapa bahagianya Dio, akhinya bisa membawa istrinya pulang ke rumah. Raut wajah yang bimbang seketika menjadi riang.

"Sayang kita pulang," ucap Dio merasa bahagia.

"Beneran Mas, kita pulang?" tanya Marisa antusias.

Dio dan Marisa bersorak bahagia, Dio mencium dan segera menggendong Tasya yang sejak tadi bersama ibunya.

"Bahagia sekali kalian," cetus Bu Minah yang baru datang.

"Iya, Bu. Akhirnya kita bisa pulang kerumah, terimakasih ya Bu," ucap Marisa.

"Jangan terimakasih sama Ibu."

"Kenapa? Memang ibu yang sudah bayar biaya pengobatan kukan, Bu?" tanya Marisa.

"Bukan ibu, tapi suamimu," tunjuk Bu Minah ketus pada Dio.

"Bukankah barusan …"

"Sudahlah Mar, kita pulang. Tidak penting siapa yang membayar, yang terpenting sekarang kamu sehat," ujar Dio.

Geram sekali rasanya Bu Minah harus menerima kekalahan. Lantaran Dio sudah berhasil membayar biaya Marisa tanpa bantuannya.

'Bangsat! Dari mana tukang cendol mendapatkan uang sebanyak itu' batin Bu Minah bergemuruh hebat.

Bu Minah pun berjalan cepat seraya kesal di benaknya. Bu Minah benar-benar heran dari mana Dio dapat uang sebanyak itu.

"Ibu, tunggu," teriak Keke dari kejauhan berlari menghampiri sang bunda dan Kakak.

"Dari mana saja kamu? Ibu cari-cari tidak ketemu," pekik Bu Minah.

"Aku mencari sinyal Bu, disini susah sekali sinyal." Alasan yang begitu kuat.

Dio dan Marisa serta Tasya berjalan pelan perlahan sedangkan Bu Minah dan Keke berjalan lebih cepat, lantaran ingin segera beristirahat.

"Bu, kayaknya ada yang mencurigakan dengan tukang cendol itu," beber Keke.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Oma Zian
keke mulut pedes banget kaya cabe seperti ibunya
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status