35 Dengan napas masih memburu, aku menghentikan gerakan pinggulku. Padahal hasrat ini begitu menggebu, tetapi melihat air mata yang mengalir tiada henti dari mata wanita di bawah tubuhku sejak pertama kali aku menyatukan tubuh kami, tak ayal aku merasa heran. Memang benar wanita yang masih perawan akan menangis saat pertama kali melakukannya. Setidaknya itu yang kutahu, tetapi kenapa setelah hampir satu jam ia masih saja menangis? Bahkan sejak awal tak sekali pun matanya melihatku. Ia terus memejam atau memalingkan muka. Bahkan berkali-kali menutup wajahnya dengan bantal. Saat aku membuka bantal itu, ia tengah sesenggukan di sana. Apa sakitnya sampai selama ini? Aku menghentikan aksiku dan terpaksa menekan gejolak yang yang masih membuncah sekuat yang aku bisa saat ia semakin sesenggukan. Orang bilang malam pertama itu indah. Apanya yang indah? Mentari menangis sepanjang waktu, dan aku bagai pemerkosa tidak punya hati. Aku terus melakukan sesuka hati tanpa menghiraukan perasaanny
36Aku menelan ludah dengan susah payah. Wanita itu berdiri di sana dengan tatapan curiga. Sebelum akhirnya melangkah masuk tanpa aku sempat persilakan.“Di mana menantuku?” tanyanya saat aku hanya terpaku di tepi mulut pintu.Lagi aku menelan ludah. Kenapa juga ibu datang di saat seperti ini.“Sam.” Panggilan itu sebenarnya tidak keras, tetapi cukup menciutkan hatiku.“A-da di kamar, Bu.” Aku menunjuk arah pintu kamar Mentari. Lalu tak bisa berbuat banyak selain mengekori beliau. Suara ketukan sepatu ibu yang beradu lantai bagai suara iringan genderang yang menyambut vonis hakim untukku.Dan benar saja, omelan tanpa henti langsung berhamburan dari mulutnya saat mendapati menantu kesayangannya berbaring lemah dengan suhu tubuh panas.Sudah kusampaikan kalau aku baru akan menelepon dokter saat ibu datang. Namun, itu tak serta-merta membuat omelannya berhenti.“Ratri, telepon dokter Rena. Dan kirim peta lokasi agar dia segera ke sini,” perintaha kepada ajudannya terdengar di sela omelan
37Wajahku masih terasa panas, bahkan menjalar hingga ke telinga. Meskipun dokter Rena sudah meninggalkan tempat ini, rasa panas itu masih juga bertahta.Apa selain dokter, ia juga cenayang? Bagaimana ia tahu kalau kami baru saja melakukan ritual pengantin baru?Ya, meski hanya aku yang menikmati seorang diri, dan itu pun tidak sampai tuntas, tapi kami baru saja melakukannya. Apa hanya dengan melihat fisik Mentari saja, ia sudah bisa menyimpulkan bahwa kami sudah melakukannya?Hah! Aku lupa meninggalkan beberapa jejak di leher Mentari saking terbuai dengan pesonanya. Aku tidak bisa mengendalikan diri. Ia sangat memabukkan. Bayangkan saja, aku harus menahan hasrat itu sejak malam pertama kami. Bermula dari menolongnya di kolam renang dengan keadaan tubuhnya yang basah kuyup. Memberinya napas buatan, lalu memandikan dan menggantikan bajunya.Semua kulakukan sendiri karena tak akan kubiarkan orang lain melihat apalagi menyentuh tubuh polosnya. Dia istriku dan ia milikku.Selama mengurusi
38PoV Author“Memangnya, kenapa dengan apartemen ini, Tante?” Mentari menoleh dan menatap wajah wanita yang baginya seumur hidup tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu. Karenanya ia tetap memanggil tante.“Aku betah kok, di sini,” lanjut sang gadis dengan tatapan percaya diri dan berani.“Jujur, aku bahkan lebih betah di sini daripada di rumah ayah.” Suara Mentari kali ini bercampur getar meski samar.“Di sini, aku bisa jadi diri sendiri. Aku bebas berekspresi dan melakukan apa pun. Kebutuhanku terpenuhi. Dan yang paling penting … aku tidak merasa tertekan dan asing di sini.” Nada bicara itu pada akhirnya berapi-api.“Tari ….” Pria paruh baya yang duduk disampingnya bergumam lirih, juga dengan suara bergetar. Tatapan nanar menyapu wajah anak perempuan satu-satunya yang diakuinya terlalu lama ia abaikan. Bahkan pria itu sangat tahu apa maksud ucapan sang anak. Tapi, sungguh ia tidak berdaya. Istrinya terlalu menguasainya.“Memang orang seperti kamu pantasnya tinggal di rumah seder
39“Tari, maaf soal semalam ….”Pria itu tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tangan sang wanita terangkat.“Jangan membahas soal semalam, Om. Kita anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.” Sang wanita berucap tegas. Padahal hatinya menahan perih.“Aku sungguh minta maaf, Tari. Aku tidak tahu jika ini akan menyakitimu. Aku terbawa suasana….”“Sudah kukatakan jangan membahasnya lagi, Om. Anggap tidak pernah terjadi apa pun di antara kita.” Tari mengingat bibirnya. Sungguh ia perih berkata demikian. Bagaimana bisa ia melupakan kejadian itu. Kejadian bersejarah di mana sesuatu yang ia jaga selama ini sudah terenggut. Namun, ia harus berusaha melupakan kejadian itu, dan menganggap itu bukan hal besar. Agar ia kuat menatap hari. Melanjutkan hidup dengan normal karena masih banyak yang belum ia raih.Samudra menggelengkan kepala. Rasa bersalah itu kian membesar melihat betapa Mentari bersikap seolah tegar. Padahal ia tahu hatinya sangat rapuh.“Katakan apa yang harus kulakukan aku la
40Samudra membuka pintu kamar Mentari yang tidak pernah lagi terkunci. Sejak malam itu ia mengambil dan menyimpan kuncinya untuk dirinya sendiri. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu seandainya masih memegang kunci. Takut Mentari mengunci pintu dari dalam dan nekat melakukan sesuatu.Dan selama ini ia selalu tidur di sana, itu bentuk tanggung jawabnya terhadap apa yang sudah dilakukannya malam itu. Ia tidak mau Mentari berpikir dirinya laki-laki yang tidak bertanggung jawab dengan meninggalkannya setelah apa yang ia lakukan terhadap wanita itu.Samudra menarik napas dan mengerjap cepat beberapa saat. Kemudian duduk di tepi ranjang. Tangannya terangkat ragu, tetapi kemudian menyentuh punggung yang berbaring melenungkup itu. Mengusapnya lembut.Sebagai pria dewasa ia mengerti jika istrinya yang usianya masih muda itu belum matang secara emosianal. Tidak memikirkan masak-masak apa yang akan dilakukannya. Napsu untuk mewujudkan cita-citanya begitu menggebu. Terlebih itu cita-cita y
41“Aku tidak bekerja, kan? Seperti yang selalu dikatakan keluargaku.”Mentari mendengkus. Bukan itu yang ingin ia dengar. Sebulan menjadi istri pria itu, sesuatu menggelitik hatinya. Pasalnya Samudra tidak terlihat seperti orang yang kekurangan uang. Buktinya, kebutuhannya selalu terpenuhi. Bahkan semenjak kejadian malam itu, sering sekali menghadiahinya barang bermerek yang sebenarnya tidak pernah ia minta. Jangan lupakan kartu hitam yang diberikannya beberapa saat setelah mereka sampai di apertemen setelah hari pernikahan.Mentari memang tidak pernah memakainya karena takut itu hasil bisnis haram, lagi pula semua kebutuhannya sudah tercukupi, ia merasa tidak perlu berbelanja apa pun. Namun, rasa penasaran harus mendapatan penjelasan, bukan?“Kalau Om tidak kerja, kenapa selalu punya uang? Terus teman yang punya percetakan ini, dari mana Om kenal? Masa iya orang yang tidak bekerja punya cyrcle pemilik usaha?”Samudra terdiam. Ditatapnya lembut wanita yang sebenarnya sangat kritis in
41Samudra pamit ke toilet saat Mentari masih menghabiskan makanannya. Gara-gara kebanyakan kepo, ia membutuhkan waktu lebih lama untuk menghabiskan makanannya. Sementara Samudra sudah selesai sejak tadi.Sayangnya, Samudra tidak mau banyak bercerita. Terlebih setelah adegan penyuapan itu. Mentari merasa malu untuk mengangkat wajahnya karena semua orang justru berpikiran jika mereka tengah bermesraan.Mentari baru saja meneguk sisa air dari gelasnya. Lalu mengusap pinggiran bibir dengan tisu saat dua gadis muda berseragam putih abu-abu mendatanginya.“Hai, Kak. Boleh kenalan?” tanya salah satunya seraya mengulurkan tangan. Wajah ranum yang sudah tersentuh make up sejak dini sangat cantik dan menarik saat tersenyum.Walaupun tidak mengenal mereka, tak ayal Mentari menerima uluran tangan keduanya juga sambil memamerkan senyum. Lalu mempersilakan keduanya duduk. Tak ada salahnya sambil menunggu Samudra kembali, ia bicara dengan mereka.“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Mentari ramah, dita