111 “Dan Benny akan tertawa senang jika tahu kamu menyerah secepat ini, Sayang. Dia akan semakin memandang rendah kita.” Mentari membuka mata dan mengerjap. Betul juga. “Sayang, makanya sejak awal kan, Mas juga sudah bilang kalau ini tidak akan mudah untuk kita. Mas tanya kamu dulu, dan kamu bilang siap. Tentu saja Mas siap membantu. Lalu apa kamu ingin menyerah secepat ini? Bahkan kita baru saja memulai.” “Bagaimana kalau kita gagal, Mas? Tenaga dan waktu kita terbuang percuma. Belum lagi uang Mas yang habis terpakai.” Samudra menelusupkan tangan di bawah kepala Mentari hingga mencapai pundaknya. Merangkul dan mengusapnya lembut penuh perasaan. “Apa dulu saat kamu merintis jadi seorang penulis langsung memiliki banyak pembaca seperti sekarang?” tanya Samudra lembut. “Langsung diterima sebuah aplikasi? Langsung disukai karyamu? Langsung mendapat uang?” Mentari menoleh dan menatap sang suami yang wajahnya sangat dekat, pria itu pun menoleh dan mengangkat alisnya. “Tentu saja tid
112Pembukaan kembali kantor milik ayah Mentari. Tidak ada acara besar apalagi meriah. Tidak ada potong tumpeng atau sejenisnya. Hanya acara sederhana yang dibuka dengan doa bersama yang dipimpin seorang ustadz. Setelahnya mereka langsung fokus untuk bekerja. Memulai lagi dari nol sambil membenahi sana sini. Untunglah mereka yang mau kembali, kooperatif dan memiliki loyalitas tinggi. Terlebih melihat kesungguhan Samudra dan Mentari.Mentari sendiri terus mengekori sang suami ke mana dan apa pun yang dikerjakannya. Karena sejatinya ia memang tidak tahu apa-apa. Ia nol di dunia ini, bahkan kenyataannya ia memang tidak pernah mengenal dunia kerja sama sekali. Ia tidak pernah bekerja di mana pun selama hidupnya. Karenanya hanya bisa terus memperlihatkan apa pun yang dilakukan suaminya tanpa banyak bertanya dulu. Bukan apa-apa, ia hanya takut merecoki dan membuat konsentrasi suaminya tidak fokus.Sekarang yang dilakukannya berusaha hanya mempelajari dari apa yang ia lihat dulu. Kecuali ada
113“Apa yang Tante pikirkan?” Mentari tak habis pikir dengan tingkah ibu tirinya itu. Tak habis-habisnya wanita itu mengganggunya. Bahkan di hari pertama pembukaan perusahaan ini kembali.“Kamu tanya apa yang Tante pikirkan, Tari?” Yulia maju hingga jarak antara dirinya dan Mentari terkikis. Orang-orang yang tadi mengerubunginya, perlahan membubarkan diri. Membiarkan mereka saling berhadapan.Mentari memijat pelipisnya. “Tante, pleased! Tolong hormati almarhum ayah.” Sebenarnya Mentari tidak mau ribut.“Silakan pergi dari sini. Jangan mengacau, ini hari pertama aku dan suamiku membuka lagi perusahaan ayah. Jangan membuat masalah, Tante.”“Siapa yang ingin membuat masalah, Tari? Tante justru datang karena ingin membantu.” Raut wajah Yulia dibuat serius, bahkan sedikit memelas.“Tante yakin membangun lagi perusahaan yang sudah ditutup pastilah tidak mudah, karenanya mungkin Tante bisa menyumbang sedikit tenaga.”“Memangnya apa yang mau Tante lakukan di sini? Bukankah Tante tidak pernah
114“Kita harus bagaimana, Mas?” bisik Mentari sambil melirik wanita yang masih tersedu di sofa lobi. Kini mereka tengah berdiskusi dengan jarak sekitar lima meter dari tempat duduk wanita itu.“Sayang, di rumah kita cuma ada satu kamar tidur, kita tidak mungkin membawa ibu tiri kamu ke rumah kita.”“Iya, aku tahu, Mas. Lalu, kita harus bagaimana? Kita tidak mungkin kan, meninggalkan dia di sini? Kantor harus tutup dan harus dikunci. Masa iya dia suruh tidur di sini?”Samudra membuang napas kasar. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Entahlah, ia tidak tahu kenapa wanita itu tiba-tiba saja merongrong hidup mereka. Padahal hari ini mereka berdua sudah sangat lelah, tapi masih harus ribet mengurus orang yang sebenarnya tidak penting.Ia sama sekali tidak menyalahkan Mentari, tapi juga tidak mungkin meninggalkan Yulia di sana sendiri.“Mas coba menelpon Bastian dulu,” pamit Samudra setelah berpikir beberapa saat.Mentari mengangguk sambil memperhatikan suaminya yang mengeluarkan ponsel
115“Makanlah, Tante. Tapi hati-hati jangan sampai tersedak,” ucap Mentari seraya mendekatkan mangkuk berisi ayam teriyaki ke hadapan Yulia.Di sini mereka sekarang. Duduk semeja bertiga di sebuah restoran. Tadi di dalam mobil, Yulia mengeluh perutnya lapar. Dan bukan hanya karena kasihan bila akhirnya Mentari dan Samudra mengajak wanita itu untuk makan, tetapi kenyataannya perut mereka juga minta diisi.Kesibukan di kantor dan kelelahan yang mereka bawa pulang, tak mungkin untuk Mentari harus masak sesampainya di rumah. Karenanya ia dan Samudra memutuskan untuk mampir makan. Mereka juga bukan manusia-manusia yang tidak punya hati. Meski tidak menyukai Yulia, tapi tidak mungkin membiarkan wanita itu kelaparan sementara mereka enak-enakkan makan.Terlebih mereka belum menemukan jalan keluar akan dibawa ke mana wanita itu.Yang membuat keduanya tidak habis pikir, Yulia langsung memesan banyak makanan begitu seorang waitress menghampiri dengan membawa buku menu. Tanpa rasa canggung atau
Bab 1“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.“Bas–oh ....”Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.Brak!Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.
Bab 2Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”“Sial!” Bastian mengumpat.Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan
Bab 3“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras.