Share

BAB 5

Hari ini kami akan pindah ke kontrakan. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk mempersiapkan kepindahan kami. Setelah memasak untuk sarapan, aku membangunkan Mas Dani.

“Mas, ayo bangun. Kita sarapan dulu!” Kutepuk pelan bahu suamiku.

“Hm … sebentar lagi. Mumpung aku libur, santai dulu,” ucap Mas Dani.

“Mas lupa, ya? Hari ini, kan kita mau pindahan. Katanya harus bangun pagi-pagi!?” ucapku.

“Itu kamu yang harus bangun pagi-pagi. Kalau aku bebas!” Ketus Mas Dani.

Astaghfirullah, kuhela napas perlahan. Lebih baik kumandikan Ari saja, sambil menunggu Mas Dani bangun. Aku pun beranjak ke belakang sambil menggendong Ari yang menggeliat menggemaskan. Untung ada kamu, Nak. Jadi ibu selalu ada hiburan.

**********

Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kulihat ternyata sebuah truk ukuran kecil sudah parkir di teras. Oh mungkin ini truk yang sudah dipesan Mas Dani untuk membantu kami pindahan. Kulirik jam di dinding, sudah jam 10. Astaghfirullah, jam segini Mas Dani malah belum bangun. Apalagi truk sudah datang. Duh … bakal disemprot lagi nih aku.

Aku buru-buru menuju kamar, bermaksud membangunkan Mas Dani. Kulihat ranjang kosong, berarti suamiku sudah bangun. Mungkin sekarang sedang mandi. Kusiapkan saja pakaian ganti untuknya.

Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Benar saja, Mas Dani baru selesai mandi.

“Mawar, kok kamu gak bangunin aku?” tanya Mas Dani.

“Tadi, kan sudah aku bangunin, Mas,” jawabku.

“Itu, kan tadi pagi. Kenapa gak bangunin lagi? Sampai aku kesiangan begini,” ucapnya kesal.

“Iya, Mas. Maaf, ya. Aku lupa,” Aku malas harus berdebat dengannya, biarlah saat ini ku mengalah.

“Mawar … Mawar, itu supir truknya sudah datang. Katanya sudah dipesan untuk bantu pindahan,” ucap Ibu dari balik pintu kamar.

“Oh iya, Bu. Sebentar aku keluar,” ujarku.

“Siapin sarapan untukku dulu!” titah Mas Dani.

“Iya, Mas,” jawabku.

Sementara Mas Dani sarapan, aku, Bapak, dibantu supir truk dan kernetnya memindah barang-barang ke dalam truk. Ari digendong sama Ibu. Tidak banyak barang yang kami bawa, karena memang aku tidak punya banyak barang.

Tepat hampir selesai barang dimuat ke dalam truk, Mas Dani selesai sarapan. Entah apa yang membuatnya lama sekali sarapannya. 

“Sudah mau selesai, War?” tanya Mas Dani.

“Iya, Mas. Itu tinggal kardus pakaian Ari, ada 2 box,” jawabku.

“Oh, ya sudah aku yang angkat,” ucapnya.

Barang-barang sudah selesai dimuat ke dalam truk. Kami pun bersiap, berpamitan kepada Bapak dan Ibu.

“Pak, Bu, kami pamit, ya. Nanti main-main ke kontrakan, ya,” Kucium kedua tangan orang tuaku dengan takzim.

“Iya, Nak. Baik-baik di sana. Ingat pesan ibu!” kata Ibu.

Bapak mengelus kepalaku lembut. “Hati-hati, ya, Nak. Jaga Ari baik-baik!” Bapak membisikkan kalimat itu, seraya memelukku erat.

“Saya pamit, Pak, Bu,” ucap Mas Dani sambil mencium tangan orang tuaku.

“Iya, Nak. Baik-baik di sana. Bapak, Ibu titip Mawar dan Ari, ya,” ucap Bapak.

“Iya, Pak. Nanti kami kabari kalau sudah sampai,” ujar Mas Dani.

“Assalamu’alaikum,” ucap kami berbarengan.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Bapak dan Ibu.

**********

Tidak lama kami tiba di kontrakan, tempat tinggal baru kami. Memang benar letaknya tidak jauh dari pabrik, tapi tetap harus menggunakan motor kalau Mas Dani mau berangkat kerja. Dibandingkan kontrakan punya Bu Sumi kemarin, kontrakan ini memang lebih jauh dari pabrik. Kalau kontrakan Bu Sumi cukup berjalan kaki saja ke pabrik.

Kontrakan kami ternyata hanya terdiri dari satu kamar dan satu kamar mandi. Untuk memasak, Mas Dani meletakkan kompor di samping pintu kamar mandi. Terasa sempit, tapi aku harus bersyukur dan berusaha betah tinggal disini. Sebenarnya ini kurang nyaman untuk tempat keluarga kecil seperti kami yang memiliki bayi. Namun apa dayaku, semua keputusan di tangan suamiku.

Karena barang-barang kami tidak banyak, maka cukup sebentar saja semua telah selesai dibereskan. Alhamdulillah Ari anteng, tidak rewel, jadi prose pindahan ini terasa ringan. Sudah jam 1 siang, kami belum makan dan sholat dzuhur.

“Mas, ayo kita sholat dzuhur dulu, lalu makan siang. Tadi aku bawa bekal dari rumah ibu,” ucapku.

“Baik, ayo!” ucap Mas Dani.

**********

Malam pun tiba, kami sudah sholat isya dan makan malam. Ini malam pertama kami tinggal di sini. Suasana masih terdengar ramai, mungkin karena di sini area kontrakan petakan yang banyak penghuninya. Rata-rata penghuninya adalah pekerja pabrik.

“Mas, berapa biaya kontrakan per bulannya?” tanyaku.

“Lima ratus ribu. Mulai sekarang kamu harus lebih hemat lagi, ya! Jangan boros-boros!” ujar Mas Dani.

“Iya, Mas,” Aku mengangguk. “Mas, soal belanja keperluan bulanan dan uang listrik, gimana? Aku inginnya kita bicarakan berdua, Mas,” tanyaku.

“Memangnya kira-kira berapa yang dibutuhkan untuk belanja bulanan?” tanya Mas Dani.

“Aku tidak tahu, Mas. Kan, selama ini aku belum pernah belanja bulanan,” jawabku. “Bagaimana kalau besok kita belanja bersama?”

“Ya sudah, kamu catat saja dulu, apa saja kebutuhan kita!” ujar Mas Dani.

“Siap, Mas,” Aku tersenyum senang.

Malam ini aku tidur pulas sekali, mungkin karena kelelahan. Pagi hari kubangun, badan terasa segar. Lho, ternyata Ari sudah bangun. Tumben tidak menangis, malah sedang tersenyum-senyum saat ku melihatnya. 

“Eh, anak Ibu sudah bangun duluan. Ayo minum susu dulu!” Kuraih Ari ke dalam dekapan. Aku berencana akan memberikan Ari asi sampai usianya dua tahun.

Setelah kami sarapan, Ari juga sudah kumandikan. Aku menyerahkan catatan kecil yang kubuat tadi selepas sholat subuh, kepada suamiku.

“Mas, ini catatan kebutuhan kita selama kira-kira sebulan,” ucapku.

Mas Dani membaca dengan teliti. Dahinya mulai berkerut.

“Ini popok segini banyak. Dikurangi saja. Atau pakai popok kain sekalian. Terus ini beras, dikurangi aja jadi 10 kg. Lalu ini kenapa bedak kamu, masuk catatan belanja?” Mas Dani memandangku judes.

“Mas, kalau pakai popok kain, repot. Nanti kasur, lantai bau ompol. Apalagi sekarang tempat kita sempit, kalau bau ompol repot sholatnya.” jawabku.

“Ah, kamunya aja malas. Ya kamu bersihkan, cuci!” Mas Dani berseru dengan nada tinggi.

“Mas, nanti kalau sering nyuci kamu salahin aku juga bila listriknya jadi mahal,” sanggahku.

“Ya cuci pakai tangan, jangan kebanyakan pakai mesin cuci!” perintah Mas Ari. “Ingat, jangan boros!”

“Ya ampun, Mas. Kalau aku sedikit-sedikit nyuci, terus Ari gimana, siapa yang jaga? Mas tidak tahu, sih kalau bayi itu sering ngompol,” ujarku.

“Alah … baru pindah udah bikin pusing,” geram Mas Dani. “Ya sudah, pakai popok. Tapi jumlahnya dikurangi! Kamu harus pintar atur-aturnya!”

“Hh … ya sudah. Iya, Mas,” jawabku.

“Ayo buruan berangkat. Nanti keburu kesiangan, panas,” ajak Mas Dani.

“Iya, Mas,” Aku buru-buru meraih Ari. Menggendongnya senyaman mungkin.

“Jangan lupa, itu catatannya yang ku coret-coret, dikurangi atau dihapus saja!” perintah Mas Dani lagi.

Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status