Share

BAB 5

Author: Linsara
last update Last Updated: 2022-11-17 13:15:38

Hari ini kami akan pindah ke kontrakan. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk mempersiapkan kepindahan kami. Setelah memasak untuk sarapan, aku membangunkan Mas Dani.

“Mas, ayo bangun. Kita sarapan dulu!” Kutepuk pelan bahu suamiku.

“Hm … sebentar lagi. Mumpung aku libur, santai dulu,” ucap Mas Dani.

“Mas lupa, ya? Hari ini, kan kita mau pindahan. Katanya harus bangun pagi-pagi!?” ucapku.

“Itu kamu yang harus bangun pagi-pagi. Kalau aku bebas!” Ketus Mas Dani.

Astaghfirullah, kuhela napas perlahan. Lebih baik kumandikan Ari saja, sambil menunggu Mas Dani bangun. Aku pun beranjak ke belakang sambil menggendong Ari yang menggeliat menggemaskan. Untung ada kamu, Nak. Jadi ibu selalu ada hiburan.

**********

Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kulihat ternyata sebuah truk ukuran kecil sudah parkir di teras. Oh mungkin ini truk yang sudah dipesan Mas Dani untuk membantu kami pindahan. Kulirik jam di dinding, sudah jam 10. Astaghfirullah, jam segini Mas Dani malah belum bangun. Apalagi truk sudah datang. Duh … bakal disemprot lagi nih aku.

Aku buru-buru menuju kamar, bermaksud membangunkan Mas Dani. Kulihat ranjang kosong, berarti suamiku sudah bangun. Mungkin sekarang sedang mandi. Kusiapkan saja pakaian ganti untuknya.

Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Benar saja, Mas Dani baru selesai mandi.

“Mawar, kok kamu gak bangunin aku?” tanya Mas Dani.

“Tadi, kan sudah aku bangunin, Mas,” jawabku.

“Itu, kan tadi pagi. Kenapa gak bangunin lagi? Sampai aku kesiangan begini,” ucapnya kesal.

“Iya, Mas. Maaf, ya. Aku lupa,” Aku malas harus berdebat dengannya, biarlah saat ini ku mengalah.

“Mawar … Mawar, itu supir truknya sudah datang. Katanya sudah dipesan untuk bantu pindahan,” ucap Ibu dari balik pintu kamar.

“Oh iya, Bu. Sebentar aku keluar,” ujarku.

“Siapin sarapan untukku dulu!” titah Mas Dani.

“Iya, Mas,” jawabku.

Sementara Mas Dani sarapan, aku, Bapak, dibantu supir truk dan kernetnya memindah barang-barang ke dalam truk. Ari digendong sama Ibu. Tidak banyak barang yang kami bawa, karena memang aku tidak punya banyak barang.

Tepat hampir selesai barang dimuat ke dalam truk, Mas Dani selesai sarapan. Entah apa yang membuatnya lama sekali sarapannya. 

“Sudah mau selesai, War?” tanya Mas Dani.

“Iya, Mas. Itu tinggal kardus pakaian Ari, ada 2 box,” jawabku.

“Oh, ya sudah aku yang angkat,” ucapnya.

Barang-barang sudah selesai dimuat ke dalam truk. Kami pun bersiap, berpamitan kepada Bapak dan Ibu.

“Pak, Bu, kami pamit, ya. Nanti main-main ke kontrakan, ya,” Kucium kedua tangan orang tuaku dengan takzim.

“Iya, Nak. Baik-baik di sana. Ingat pesan ibu!” kata Ibu.

Bapak mengelus kepalaku lembut. “Hati-hati, ya, Nak. Jaga Ari baik-baik!” Bapak membisikkan kalimat itu, seraya memelukku erat.

“Saya pamit, Pak, Bu,” ucap Mas Dani sambil mencium tangan orang tuaku.

“Iya, Nak. Baik-baik di sana. Bapak, Ibu titip Mawar dan Ari, ya,” ucap Bapak.

“Iya, Pak. Nanti kami kabari kalau sudah sampai,” ujar Mas Dani.

“Assalamu’alaikum,” ucap kami berbarengan.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Bapak dan Ibu.

**********

Tidak lama kami tiba di kontrakan, tempat tinggal baru kami. Memang benar letaknya tidak jauh dari pabrik, tapi tetap harus menggunakan motor kalau Mas Dani mau berangkat kerja. Dibandingkan kontrakan punya Bu Sumi kemarin, kontrakan ini memang lebih jauh dari pabrik. Kalau kontrakan Bu Sumi cukup berjalan kaki saja ke pabrik.

Kontrakan kami ternyata hanya terdiri dari satu kamar dan satu kamar mandi. Untuk memasak, Mas Dani meletakkan kompor di samping pintu kamar mandi. Terasa sempit, tapi aku harus bersyukur dan berusaha betah tinggal disini. Sebenarnya ini kurang nyaman untuk tempat keluarga kecil seperti kami yang memiliki bayi. Namun apa dayaku, semua keputusan di tangan suamiku.

Karena barang-barang kami tidak banyak, maka cukup sebentar saja semua telah selesai dibereskan. Alhamdulillah Ari anteng, tidak rewel, jadi prose pindahan ini terasa ringan. Sudah jam 1 siang, kami belum makan dan sholat dzuhur.

“Mas, ayo kita sholat dzuhur dulu, lalu makan siang. Tadi aku bawa bekal dari rumah ibu,” ucapku.

“Baik, ayo!” ucap Mas Dani.

**********

Malam pun tiba, kami sudah sholat isya dan makan malam. Ini malam pertama kami tinggal di sini. Suasana masih terdengar ramai, mungkin karena di sini area kontrakan petakan yang banyak penghuninya. Rata-rata penghuninya adalah pekerja pabrik.

“Mas, berapa biaya kontrakan per bulannya?” tanyaku.

“Lima ratus ribu. Mulai sekarang kamu harus lebih hemat lagi, ya! Jangan boros-boros!” ujar Mas Dani.

“Iya, Mas,” Aku mengangguk. “Mas, soal belanja keperluan bulanan dan uang listrik, gimana? Aku inginnya kita bicarakan berdua, Mas,” tanyaku.

“Memangnya kira-kira berapa yang dibutuhkan untuk belanja bulanan?” tanya Mas Dani.

“Aku tidak tahu, Mas. Kan, selama ini aku belum pernah belanja bulanan,” jawabku. “Bagaimana kalau besok kita belanja bersama?”

“Ya sudah, kamu catat saja dulu, apa saja kebutuhan kita!” ujar Mas Dani.

“Siap, Mas,” Aku tersenyum senang.

Malam ini aku tidur pulas sekali, mungkin karena kelelahan. Pagi hari kubangun, badan terasa segar. Lho, ternyata Ari sudah bangun. Tumben tidak menangis, malah sedang tersenyum-senyum saat ku melihatnya. 

“Eh, anak Ibu sudah bangun duluan. Ayo minum susu dulu!” Kuraih Ari ke dalam dekapan. Aku berencana akan memberikan Ari asi sampai usianya dua tahun.

Setelah kami sarapan, Ari juga sudah kumandikan. Aku menyerahkan catatan kecil yang kubuat tadi selepas sholat subuh, kepada suamiku.

“Mas, ini catatan kebutuhan kita selama kira-kira sebulan,” ucapku.

Mas Dani membaca dengan teliti. Dahinya mulai berkerut.

“Ini popok segini banyak. Dikurangi saja. Atau pakai popok kain sekalian. Terus ini beras, dikurangi aja jadi 10 kg. Lalu ini kenapa bedak kamu, masuk catatan belanja?” Mas Dani memandangku judes.

“Mas, kalau pakai popok kain, repot. Nanti kasur, lantai bau ompol. Apalagi sekarang tempat kita sempit, kalau bau ompol repot sholatnya.” jawabku.

“Ah, kamunya aja malas. Ya kamu bersihkan, cuci!” Mas Dani berseru dengan nada tinggi.

“Mas, nanti kalau sering nyuci kamu salahin aku juga bila listriknya jadi mahal,” sanggahku.

“Ya cuci pakai tangan, jangan kebanyakan pakai mesin cuci!” perintah Mas Ari. “Ingat, jangan boros!”

“Ya ampun, Mas. Kalau aku sedikit-sedikit nyuci, terus Ari gimana, siapa yang jaga? Mas tidak tahu, sih kalau bayi itu sering ngompol,” ujarku.

“Alah … baru pindah udah bikin pusing,” geram Mas Dani. “Ya sudah, pakai popok. Tapi jumlahnya dikurangi! Kamu harus pintar atur-aturnya!”

“Hh … ya sudah. Iya, Mas,” jawabku.

“Ayo buruan berangkat. Nanti keburu kesiangan, panas,” ajak Mas Dani.

“Iya, Mas,” Aku buru-buru meraih Ari. Menggendongnya senyaman mungkin.

“Jangan lupa, itu catatannya yang ku coret-coret, dikurangi atau dihapus saja!” perintah Mas Dani lagi.

Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI TOXIC   BAB 38

    Taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan rumah. Aku segera turun sambil menggendong Ari. Kulihat di halaman tidak ada mobil mas Zaki. Hmm, tadi katanya lagi ada di rumah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kuucapkan salam, tapi keadaan rumah sepi. Tidak ada yang menjawab salam. Kulihat baby shop juga sepi, hanya ada dua orang pekerja. Nisa tidak terlihat keberadaannya.“Ibu! Bapak! Assalamu’alaikum!”Tidak ada yang menjawab. Ke mana perginya ibu dan bapak?Kuputuskan untuk bertanya pada pekerja di baby shop. Tapi saat aku baru saja membalikkan badan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari ibu.“Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sama bapak di mana ? Kok rumah sepi sekali? Tadi katanya mas Zaki ada di rumah, kok sekarang gak ada, sih Bu?” Aku langsung memberondong ibu dengan pertanyaan.“Wa’alaikumussalam. Justru itu, Mawar. Tadi tiba-tiba mas Zaki mengeluh sakit kepala hebat. Ibu sampai tidak tega melihatnya. Sekarang kami ada di rumah sakit, mas Zaki masuk ICU karena

  • SUAMI TOXIC   BAB 37

    Waktu ini telah lama kunantikan. Dua minggu yang lalu, hakim pengadilan agama telah mengetuk palu putusan cerai antara aku dan Mas Dani.Hari ini adalah hari pembacaan ikrar talak di muka sidang. Dengan suara bergetar dan mengeluarkan air mata, Mas Dani mengucapkan ikrar talak.Sah, aku kini resmi menyandang status seorang janda. Ada rasa lega, namun tidak kupungkiri sedih pun menghampiri. Sebuah status yang tidak pernah aku bayangkan ketika dulu memutuskan menikah.Mungkin ini memang sudah suratan takdirku. Aku harus ikhlas, harus kuat, ada Ari yang membutuhkanku.Semua proses hari ini berjalan lancar. Aku ditemani Bapak berjalan menuju tempat parkir motor.“Mawar! Mawar!” Terdengar suara Mas Dani memanggilku.Kuhentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mas Dani nampak berlari kecil menghampiriku.Begitu dia tiba di hadapanku, tiba-tiba saja bersimpuh dan memeluk kedua kakiku. Aku refleks menghentakkan kaki hingga terlepas dan mundur tiga langkah ke belakang.“Maafkan aku, Mawar. Aku

  • SUAMI TOXIC   BAB 36

    Kami semua hendak masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil namaku. Siapa yang memanggilku?Aku menoleh ke arah suara. Lho, Mbak Mira? Mau apa dia memanggilku?Mbak Mira menggendong Dio, tergesa berjalan ke arahku. Apakah dia akan memanas-manasiku lagi seperti dulu?Aku bersiap menghadapi kedatangan Mbak Mira. Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan juga Mas Dani, bukan tidak mungkin kalau dia akan melampiaskan kemarahannya padaku.Mbak Mira semakin dekat, napasnya memburu. Matanya lekat memandangku.“Mbak Mawar … maafkan aku! Huhuhuhu ….” Mbak Mira bersimpuh di hadapanku. Dia menangis tersedu, air matanya mengalir deras.Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku hanya diam, terkejut dengan apa yang dilakukan Mbak Mira.“Mbak, tolong aku!” Mbak Mira menengadahkan wajahnya.“Mbak Mawar, tolong beritahu dimana Mas Dani! Aku mohon, Mbak! Huhuhuu ….”Tangisannya semakin kencang dan menarik perhatian orang yang lalu lalang.“Mbak. tolong

  • SUAMI TOXIC   BAB 35

    Bu Puspa selesai dengan teleponnya. Kami pun bersiap untuk pergi belanja. Salon sudah mulai ramai dengan pelanggannya, yang semuanya adalah kaum perempuan, karena memang ini salon khusus muslimah.Aku membukakan pintu untuk Bu Puspa keluar. Begitu aku melangkah keluar, ternyata ….“Assalamu’alaikum,” Mas Zaki mengucap salam dan tersenyum padaku.“Oh … wa’alaikumussalam,” jawabku sedikit kaget.“Kamu tidak praktek?” Bu Puspa bertanya pada Mas Zaki.“Tadi aku minta gantikan sama temanku, Ma,” jawab Mas Zaki mengulum senyum.“Ooh. Ada apa ke sini? Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan sama mama?”“Eng … hmm … gak ada, Ma. Cuma mau titip ini untuk Ari,” Mas Zaki memberikan sebuah tas kertas padaku.“Oh … apa ini, Mas?” tanyaku.“Mainan untuk Ari,” jawab Mas Zaki.“Tidak perlu repot-repot, Mas.”“Tidak repot, kok. Semoga Ari suka, ya.”“Terima kasih,” ucapku.“Ehem!” Bu Puspa berdehem.“Eh … eng, Mama apa sih? Pakai berdehem segala,” Mas Zaki seperti anak kecil yang merajuk.“Duuh, ana

  • SUAMI TOXIC   BAB 34

    Tepat pukul delapan pagi aku sampai di depan salon milik bu Puspa. Tampak sepi, sepertinya memang belum buka. Hmm, pantas saja, ternyata jam buka mulai dari pukul 10 pagi hingga delapan malam. Begitu yang tertulis di papan berwarna putih yang tergantung di pintu masuk.[Assalamu’alaikum, Bu. Saya sudah sampai di depan salon,] Kukirim pesan pada bu Puspa.Tiba-tiba pintu salon terbuka.“Mbak Mawar, ya?” tanya seorang gadis berparas ayu.“Oh. Iya, Mbak,” jawabku.“Silahkan masuk, Mbak! Ibu sudah menunggu,” Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkanku untuk masuk.“Iya, Mbak. Terima kasih,” Aku masuk mengikuti gadis itu.Gadis itu menunjuk sebuah ruangan dari kaca, terlihat di dalamnya ada bu Puspa. Aku mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangan tersebut.Langkah ini belum sampai ke sana, namun bu Puspa sudah menyadari kehadiranku. Beliau melambaikan tangannya, memberi tanda supaya aku segera masuk. Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.“Assalamu’alaikum, Bu,” Kuu

  • SUAMI TOXIC   BAB 33

    Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali pesanan yang masuk. Aku anggap semua ini adalah hikmah di balik cobaan yang aku alami.Aku belum bicara dengan ibu dan bapak mengenai video viral mas Dani. Tapi tadi sempat bertemu ibu, sepertinya banyak yang ingin ibu tanyakan tapi tidak enak karena melihat aku sibuk bekerja.Pasti nanti saat makan malam akan banyak pertanyaan dari mereka. Aku hanya berharap hal ini tidak menambah kesedihan mereka.Kugendong Ari keluar kamar, menuju meja makan. Tampaknya ibu dan bapak sudah menunggu kami. Makanan pun sudah terhidang di meja.“Wah, makan apa nih, Bu? Mawar sudah lapar sekali,” tanyaku.“Sayur lodeh dan ikan goreng. Ayo cepat duduk dan makan!” jawab Ibu.“Hari ini bapak lihat kamu sibuk sekali, War. Banyak pesanan?” tanya Bapak.“Iya, Pak. Alhamdulillah, banyak sekali pesanan yang masuk. Itu belum dikerjakan semua. Besok akan dilanjutkan lagi,” jawabku.“Alhamdulillah! Bapak senang melihat usaha kamu lancar. Semoga berkah untuk kehidupan k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status