Share

Bab 6

Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.

Kira-kira sekitar jam sepuluh pagi, kami sudah sampai di salah satu minimarket. Letaknya di seberang pabrik, lokasinya sangat strategis, jadi ramai pengunjung. Aku mulai memasukkan satu per satu barang yang sesuai ada di dalam catatanku. Namun Mas Dani tetap mengawasi, sesekali ia mengembalikan barang yang aku ambil ke rak, atau mengurangi jumlahnya. Aku cuma bisa beristighfar dalam hati. Tapi tanpa sepengetahuan Mas Dani, ada barang yang aku ambil lagi dari rak. Seperti popok, aku tidak mau jumlah popok dikurangi terlalu banyak karena akan sangat repot sekali kalau harus bolak-balik nyuci ompol.

Setelah semua barang yang dibutuhkan masuk keranjang, kami pun menuju kasir. Mas Dani ternganga mendengar total harga belanjaan yang harus dibayar. Ia pun melirik ke arahku penuh makna. Aku pura-pura tidak tahu. Masa bodoh, biar suamiku ini tahu berapa harga-harga barang kebutuhan saat ini. Jangan cuma tahu kasih uang belanja, tanpa mau tahu pusingnya mengatur uang belanja yang hanya sedikit. Itu pun belanja bulanan belum termasuk bumbu-bumbu dapur. Hm … nanti uang belanja untuk masak, kira-kira aku akan dikasih berapa, ya?

**********

Begitu sampai rumah, kulihat wajah Mas Dani masih saja cemberut. Wah, pasti sebentar lagi akan ada ceramah yang panjang nih. Aku harus menyiapkan mental, supaya tidak terlalu sakit hati.

“Mawar,” panggil Mas Dani. Benar saja nih, ceramah akan segera dimulai.

“Iya, Mas,” jawabku.

“Masa belanja bulanan sampai tujuh ratus ribu!? Itu udah sesuai sama catatan yang udah aku coret-coret, gak?” tanya Mas Dani.

“Iya sudah, Mas! Kan, tadi Mas juga mengawasi. Bahkan Mas juga mengurangi belanjaan yang menurut Mas gak penting. Aku saja tidak jadi beli bedak,” jawabku.

“Tapi kenapa banyak banget, ya? Duh … pusing aku kalau begini. Uang kontrakan sudah lima ratus ribu, belanja bulanan tujuh ratus ribu. Itu saja sudah satu juta dua ratus. Belum untuk listrik, uang masak, uang untuk ibuku dan juga untuk adikku,” ujar Mas Dani.

Oh, ternyata selama ini suamiku suka memberi untuk ibunya, bahkan adiknya juga. Aku tidak keberatan kalau untuk mertuaku. Tapi kalau untuk adiknya yang sudah bekerja, masa sih suamiku tetap memberinya uang.

“Mas, adikmu Nita, kan sudah bekerja. Kenapa masih diberi uang, Mas?” tanyaku.

“Nita itu adikku satu-satunya. Wajar dong, kalau aku kasih uang,” jawab Mas Dani ketus.

“Tapi, kan dia sudah dewasa dan bekerja, Mas. Apalagi dia bekerja sebagai akuntan dan sudah karyawan tetap, pasti gajinya lebih besar daripada kamu. Iya, kan?!” ucapku.

“Ah … sok tahu kamu! Kata siapa gaji akuntan lebih besar dari gajiku?” tanya Mas Dani.

“Coba saja kamu browsing kisaran gaji seorang akuntan berapa, Mas!” tantangku. “Jangan kaget, kalau gaji Nita lebih besar daripada gaji, Mas!” ujarku mencebik.

Mas Dani mengutak-atik hpnya. Sepertinya ia mencari informasi soal gaji seorang akuntan. Tak lama dahinya berkerut, matanya membelalak. Hah … rasakan kamu, Mas. Tiap bulan kamu memberi uang pada orang yang tidak tepat. Sedangkan istrimu sendiri disuruh hemat, hemat dan hemat terus.

“Ketemu, Mas?” tanyaku. 

“I─ iya. Besar juga, ya,” gumam Mas Dani.

“Lebih besar dari gaji kamu, Mas?” tanyaku menyelidik.

“Iya,” jawab Mas Dani spontan.

“Memangnya gaji Mas berapa?” tanyaku memancing kejujurannya.

“Empat juta lima ratus,” jawab Mas Dani.

Akhirnya suamiku jujur juga. Ya ampun, dengan gaji yang bisa dibilang kecil itu, Mas Dani banyak bergaya, sok levelnya tinggi. Sekarang baru pusing dia, bingung ngatur gajinya.

“Memangnya Mas biasa kasih ibu dan Nita berapa?” tanyaku.

“Kenapa kamu tanya begitu? Kamu keberatan?” Mas Dani malah balik bertanya dengan ketus.

“Bukan begitu, Mas. Kalau untuk ibu, aku tidak keberatan. Kan, ibu orang tuaku juga. Tapi kalau untuk Nita, aku jelas keberatan, Mas,” jelasku. “Mas, kan sudah tahu sendiri kalau gaji dia lebih besar. Masa masih harus dikasih uang terus. Lalu kapan kita bisa nabung untuk beli rumah? Gak mungkin, kan selamanya kita tinggal di kontrakan?!” ucapku.

Mas Dani mengusap wajahnya kasar. Mungkin dia berpikir semua ucapanku benar. Semoga saja pikirannya bisa terbuka.

“Sekarang gimana, Mas? Aku dikasih jatah berapa seminggu, untuk belanja masakan?” tanyaku.

“Karena sekarang kita harus bayar kontrakan dan belanja bulanan sendiri. Jatah kamu, aku kurangi jadi seratus ribu seminggu, ya!” ujar Mas Dani.

“Aku tidak mau, Mas!” jawabku. “Enak saja, Nita yang sudah bekerja dan punya penghasilan lebih besar saja masih kamu beri uang. Masa aku, istri kamu, harus hidup berhemat. Harus mengurangi ini itu,” ucapku lantang.

“Aku tidak enak, kan biasa memberi. Masa sekarang harus berhenti memberi,” ujar Mas Dani.

“Kamu harus berhenti memberinya uang! Atau beri aku jumlah yang sama dengan yang kamu berikan ke ibu dan Nita!” ancamku.

“Apa? Masa aku harus memberi kamu dua juta?!” tegas Mas Dani.

“Oh, ternyata kamu memberi ibu satu juta dan Nita satu juta. Begitu, Mas?” selidikku.

“I─ iya,” jawab Mas Dani gugup.

“Astaghfirullah, Mas. Kamu memberi hampir setengah gajimu?!” tanyaku lantang. “Kamu bilang kita hidup harus hemat. Tapi kamu begitu mudahnya memberi uang segitu besar ke adikmu yang sudah bekerja. Ingat Mas, gaji Nita lebih besar dari kamu! Kamu jangan beri istri dan anak kamu kehidupan yang susah, ya! Sementara kamu berlagak sok kaya di mata orang lain,” ucapku sinis.

“Ah … kamu ini sekarang banyak membantah, ya! Biar bagaimanapun Nita adikku. Mengerti, kamu?!” teriak Mas Dani.

Ya Allah, hari kedua di tempat tinggal baru, kami malah bertengkar. Malu aku sama tetangga, apa kata mereka? Semoga saja mereka tidak mendengar pertengkaran kami. Tapi kurasa mereka mendengar, karena kontrakan disini petakan yang berdempet-dempet, ramai penghuninya.

Ah, sudahlah. Lebih baik aku mengalah, tidak akan membalas omongan Mas Dani. Biar dia berpikir dulu, apakah semua tindakannya sudah benar atau belum. Ya Allah, bukalah hati dan pikiran suamiku. Aamiin.

Aku tidak menjawab lagi omongan Mas Dani. Aku beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu, karena ini sudah masuk waktu dzuhur. Selesai sholat, aku langsung masak mie instan yang tadi tidak boleh dibeli di minimarket. Diam-diam aku memasukkan ke keranjang, karena kupikir pulang belanja pasti tidak sempat masak, aku pun belum belanja masakan. Aku menyantap mie instan tanpa menawarkan pada Mas Dani.

“Lho, kok kamu makan mie sendiri saja? Buat aku mana?” tanya Mas Dani.

“Kan, tadi Mas bilang gak boleh beli mie instan. Ini aku beli buatku sendiri. Nih, aku ganti uangnya tiga ribu,” jawabku sambil memberi uang kepada Mas Dani.

“Aku juga lapar, Mawar. Terus aku makan apa?” keluh Mas Dani.

“Ya, Mas tunggu aku masak. Itu pun setelah aku diberi uang belanja, baru aku masak,” ucapku santai.

“Hh … ini uang belanja kamu,” Mas Dani menyodorkan uang dua ratus ribu.

Aku hanya melihat sebentar dan melanjutkan makan kembali. Rupanya Mas Dani sudah berpikir dan tidak jadi mengurangi jatah uang belanjaku. Tapi tetap tidak rela kalau Mas Dani masih memberi uang ke adiknya.

Selesai makan, kuambil uang dari Mas Dani yang tergeletak di atas karpet.

“Sekarang aku belikan kamu makanan matang dulu, ya. Karena gak mungkin kamu nungguin aku masak dulu, nanti kamu keburu kelaparan. Untuk makan malam juga, aku akan beli lauk matang. Sekarang sudah siang, sepertinya tukang sayur juga tidak ada yang lewat lagi,” ucapku.

“Iya,” kata Mas Dani.

“Satu lagi. Aku mau mulai menabung untuk membeli rumah. Berapa pun jumlahnya, yang penting kita menabung. Ini berarti, Mas harus berhenti memberi Nita uang! Kumohon kamu mau membuka pikiran dan hatimu. Pikirkan Ari yang membutuhkan rumah layak untuk dia tinggal!” ujarku. Lalu berdiri dan menuju pintu untuk keluar mencari lauk matang.

“Tapi, War …,” Kudengar Mas Dani bicara, namun tidak kuhiraukan. Kutinggalkan ia untuk berpikir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status