Share

Bab 6

Penulis: Linsara
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-07 11:24:12

Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.

Kira-kira sekitar jam sepuluh pagi, kami sudah sampai di salah satu minimarket. Letaknya di seberang pabrik, lokasinya sangat strategis, jadi ramai pengunjung. Aku mulai memasukkan satu per satu barang yang sesuai ada di dalam catatanku. Namun Mas Dani tetap mengawasi, sesekali ia mengembalikan barang yang aku ambil ke rak, atau mengurangi jumlahnya. Aku cuma bisa beristighfar dalam hati. Tapi tanpa sepengetahuan Mas Dani, ada barang yang aku ambil lagi dari rak. Seperti popok, aku tidak mau jumlah popok dikurangi terlalu banyak karena akan sangat repot sekali kalau harus bolak-balik nyuci ompol.

Setelah semua barang yang dibutuhkan masuk keranjang, kami pun menuju kasir. Mas Dani ternganga mendengar total harga belanjaan yang harus dibayar. Ia pun melirik ke arahku penuh makna. Aku pura-pura tidak tahu. Masa bodoh, biar suamiku ini tahu berapa harga-harga barang kebutuhan saat ini. Jangan cuma tahu kasih uang belanja, tanpa mau tahu pusingnya mengatur uang belanja yang hanya sedikit. Itu pun belanja bulanan belum termasuk bumbu-bumbu dapur. Hm … nanti uang belanja untuk masak, kira-kira aku akan dikasih berapa, ya?

**********

Begitu sampai rumah, kulihat wajah Mas Dani masih saja cemberut. Wah, pasti sebentar lagi akan ada ceramah yang panjang nih. Aku harus menyiapkan mental, supaya tidak terlalu sakit hati.

“Mawar,” panggil Mas Dani. Benar saja nih, ceramah akan segera dimulai.

“Iya, Mas,” jawabku.

“Masa belanja bulanan sampai tujuh ratus ribu!? Itu udah sesuai sama catatan yang udah aku coret-coret, gak?” tanya Mas Dani.

“Iya sudah, Mas! Kan, tadi Mas juga mengawasi. Bahkan Mas juga mengurangi belanjaan yang menurut Mas gak penting. Aku saja tidak jadi beli bedak,” jawabku.

“Tapi kenapa banyak banget, ya? Duh … pusing aku kalau begini. Uang kontrakan sudah lima ratus ribu, belanja bulanan tujuh ratus ribu. Itu saja sudah satu juta dua ratus. Belum untuk listrik, uang masak, uang untuk ibuku dan juga untuk adikku,” ujar Mas Dani.

Oh, ternyata selama ini suamiku suka memberi untuk ibunya, bahkan adiknya juga. Aku tidak keberatan kalau untuk mertuaku. Tapi kalau untuk adiknya yang sudah bekerja, masa sih suamiku tetap memberinya uang.

“Mas, adikmu Nita, kan sudah bekerja. Kenapa masih diberi uang, Mas?” tanyaku.

“Nita itu adikku satu-satunya. Wajar dong, kalau aku kasih uang,” jawab Mas Dani ketus.

“Tapi, kan dia sudah dewasa dan bekerja, Mas. Apalagi dia bekerja sebagai akuntan dan sudah karyawan tetap, pasti gajinya lebih besar daripada kamu. Iya, kan?!” ucapku.

“Ah … sok tahu kamu! Kata siapa gaji akuntan lebih besar dari gajiku?” tanya Mas Dani.

“Coba saja kamu browsing kisaran gaji seorang akuntan berapa, Mas!” tantangku. “Jangan kaget, kalau gaji Nita lebih besar daripada gaji, Mas!” ujarku mencebik.

Mas Dani mengutak-atik hpnya. Sepertinya ia mencari informasi soal gaji seorang akuntan. Tak lama dahinya berkerut, matanya membelalak. Hah … rasakan kamu, Mas. Tiap bulan kamu memberi uang pada orang yang tidak tepat. Sedangkan istrimu sendiri disuruh hemat, hemat dan hemat terus.

“Ketemu, Mas?” tanyaku. 

“I─ iya. Besar juga, ya,” gumam Mas Dani.

“Lebih besar dari gaji kamu, Mas?” tanyaku menyelidik.

“Iya,” jawab Mas Dani spontan.

“Memangnya gaji Mas berapa?” tanyaku memancing kejujurannya.

“Empat juta lima ratus,” jawab Mas Dani.

Akhirnya suamiku jujur juga. Ya ampun, dengan gaji yang bisa dibilang kecil itu, Mas Dani banyak bergaya, sok levelnya tinggi. Sekarang baru pusing dia, bingung ngatur gajinya.

“Memangnya Mas biasa kasih ibu dan Nita berapa?” tanyaku.

“Kenapa kamu tanya begitu? Kamu keberatan?” Mas Dani malah balik bertanya dengan ketus.

“Bukan begitu, Mas. Kalau untuk ibu, aku tidak keberatan. Kan, ibu orang tuaku juga. Tapi kalau untuk Nita, aku jelas keberatan, Mas,” jelasku. “Mas, kan sudah tahu sendiri kalau gaji dia lebih besar. Masa masih harus dikasih uang terus. Lalu kapan kita bisa nabung untuk beli rumah? Gak mungkin, kan selamanya kita tinggal di kontrakan?!” ucapku.

Mas Dani mengusap wajahnya kasar. Mungkin dia berpikir semua ucapanku benar. Semoga saja pikirannya bisa terbuka.

“Sekarang gimana, Mas? Aku dikasih jatah berapa seminggu, untuk belanja masakan?” tanyaku.

“Karena sekarang kita harus bayar kontrakan dan belanja bulanan sendiri. Jatah kamu, aku kurangi jadi seratus ribu seminggu, ya!” ujar Mas Dani.

“Aku tidak mau, Mas!” jawabku. “Enak saja, Nita yang sudah bekerja dan punya penghasilan lebih besar saja masih kamu beri uang. Masa aku, istri kamu, harus hidup berhemat. Harus mengurangi ini itu,” ucapku lantang.

“Aku tidak enak, kan biasa memberi. Masa sekarang harus berhenti memberi,” ujar Mas Dani.

“Kamu harus berhenti memberinya uang! Atau beri aku jumlah yang sama dengan yang kamu berikan ke ibu dan Nita!” ancamku.

“Apa? Masa aku harus memberi kamu dua juta?!” tegas Mas Dani.

“Oh, ternyata kamu memberi ibu satu juta dan Nita satu juta. Begitu, Mas?” selidikku.

“I─ iya,” jawab Mas Dani gugup.

“Astaghfirullah, Mas. Kamu memberi hampir setengah gajimu?!” tanyaku lantang. “Kamu bilang kita hidup harus hemat. Tapi kamu begitu mudahnya memberi uang segitu besar ke adikmu yang sudah bekerja. Ingat Mas, gaji Nita lebih besar dari kamu! Kamu jangan beri istri dan anak kamu kehidupan yang susah, ya! Sementara kamu berlagak sok kaya di mata orang lain,” ucapku sinis.

“Ah … kamu ini sekarang banyak membantah, ya! Biar bagaimanapun Nita adikku. Mengerti, kamu?!” teriak Mas Dani.

Ya Allah, hari kedua di tempat tinggal baru, kami malah bertengkar. Malu aku sama tetangga, apa kata mereka? Semoga saja mereka tidak mendengar pertengkaran kami. Tapi kurasa mereka mendengar, karena kontrakan disini petakan yang berdempet-dempet, ramai penghuninya.

Ah, sudahlah. Lebih baik aku mengalah, tidak akan membalas omongan Mas Dani. Biar dia berpikir dulu, apakah semua tindakannya sudah benar atau belum. Ya Allah, bukalah hati dan pikiran suamiku. Aamiin.

Aku tidak menjawab lagi omongan Mas Dani. Aku beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu, karena ini sudah masuk waktu dzuhur. Selesai sholat, aku langsung masak mie instan yang tadi tidak boleh dibeli di minimarket. Diam-diam aku memasukkan ke keranjang, karena kupikir pulang belanja pasti tidak sempat masak, aku pun belum belanja masakan. Aku menyantap mie instan tanpa menawarkan pada Mas Dani.

“Lho, kok kamu makan mie sendiri saja? Buat aku mana?” tanya Mas Dani.

“Kan, tadi Mas bilang gak boleh beli mie instan. Ini aku beli buatku sendiri. Nih, aku ganti uangnya tiga ribu,” jawabku sambil memberi uang kepada Mas Dani.

“Aku juga lapar, Mawar. Terus aku makan apa?” keluh Mas Dani.

“Ya, Mas tunggu aku masak. Itu pun setelah aku diberi uang belanja, baru aku masak,” ucapku santai.

“Hh … ini uang belanja kamu,” Mas Dani menyodorkan uang dua ratus ribu.

Aku hanya melihat sebentar dan melanjutkan makan kembali. Rupanya Mas Dani sudah berpikir dan tidak jadi mengurangi jatah uang belanjaku. Tapi tetap tidak rela kalau Mas Dani masih memberi uang ke adiknya.

Selesai makan, kuambil uang dari Mas Dani yang tergeletak di atas karpet.

“Sekarang aku belikan kamu makanan matang dulu, ya. Karena gak mungkin kamu nungguin aku masak dulu, nanti kamu keburu kelaparan. Untuk makan malam juga, aku akan beli lauk matang. Sekarang sudah siang, sepertinya tukang sayur juga tidak ada yang lewat lagi,” ucapku.

“Iya,” kata Mas Dani.

“Satu lagi. Aku mau mulai menabung untuk membeli rumah. Berapa pun jumlahnya, yang penting kita menabung. Ini berarti, Mas harus berhenti memberi Nita uang! Kumohon kamu mau membuka pikiran dan hatimu. Pikirkan Ari yang membutuhkan rumah layak untuk dia tinggal!” ujarku. Lalu berdiri dan menuju pintu untuk keluar mencari lauk matang.

“Tapi, War …,” Kudengar Mas Dani bicara, namun tidak kuhiraukan. Kutinggalkan ia untuk berpikir.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMI TOXIC   BAB 38

    Taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan rumah. Aku segera turun sambil menggendong Ari. Kulihat di halaman tidak ada mobil mas Zaki. Hmm, tadi katanya lagi ada di rumah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kuucapkan salam, tapi keadaan rumah sepi. Tidak ada yang menjawab salam. Kulihat baby shop juga sepi, hanya ada dua orang pekerja. Nisa tidak terlihat keberadaannya.“Ibu! Bapak! Assalamu’alaikum!”Tidak ada yang menjawab. Ke mana perginya ibu dan bapak?Kuputuskan untuk bertanya pada pekerja di baby shop. Tapi saat aku baru saja membalikkan badan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari ibu.“Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sama bapak di mana ? Kok rumah sepi sekali? Tadi katanya mas Zaki ada di rumah, kok sekarang gak ada, sih Bu?” Aku langsung memberondong ibu dengan pertanyaan.“Wa’alaikumussalam. Justru itu, Mawar. Tadi tiba-tiba mas Zaki mengeluh sakit kepala hebat. Ibu sampai tidak tega melihatnya. Sekarang kami ada di rumah sakit, mas Zaki masuk ICU karena

  • SUAMI TOXIC   BAB 37

    Waktu ini telah lama kunantikan. Dua minggu yang lalu, hakim pengadilan agama telah mengetuk palu putusan cerai antara aku dan Mas Dani.Hari ini adalah hari pembacaan ikrar talak di muka sidang. Dengan suara bergetar dan mengeluarkan air mata, Mas Dani mengucapkan ikrar talak.Sah, aku kini resmi menyandang status seorang janda. Ada rasa lega, namun tidak kupungkiri sedih pun menghampiri. Sebuah status yang tidak pernah aku bayangkan ketika dulu memutuskan menikah.Mungkin ini memang sudah suratan takdirku. Aku harus ikhlas, harus kuat, ada Ari yang membutuhkanku.Semua proses hari ini berjalan lancar. Aku ditemani Bapak berjalan menuju tempat parkir motor.“Mawar! Mawar!” Terdengar suara Mas Dani memanggilku.Kuhentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mas Dani nampak berlari kecil menghampiriku.Begitu dia tiba di hadapanku, tiba-tiba saja bersimpuh dan memeluk kedua kakiku. Aku refleks menghentakkan kaki hingga terlepas dan mundur tiga langkah ke belakang.“Maafkan aku, Mawar. Aku

  • SUAMI TOXIC   BAB 36

    Kami semua hendak masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil namaku. Siapa yang memanggilku?Aku menoleh ke arah suara. Lho, Mbak Mira? Mau apa dia memanggilku?Mbak Mira menggendong Dio, tergesa berjalan ke arahku. Apakah dia akan memanas-manasiku lagi seperti dulu?Aku bersiap menghadapi kedatangan Mbak Mira. Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan juga Mas Dani, bukan tidak mungkin kalau dia akan melampiaskan kemarahannya padaku.Mbak Mira semakin dekat, napasnya memburu. Matanya lekat memandangku.“Mbak Mawar … maafkan aku! Huhuhuhu ….” Mbak Mira bersimpuh di hadapanku. Dia menangis tersedu, air matanya mengalir deras.Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku hanya diam, terkejut dengan apa yang dilakukan Mbak Mira.“Mbak, tolong aku!” Mbak Mira menengadahkan wajahnya.“Mbak Mawar, tolong beritahu dimana Mas Dani! Aku mohon, Mbak! Huhuhuu ….”Tangisannya semakin kencang dan menarik perhatian orang yang lalu lalang.“Mbak. tolong

  • SUAMI TOXIC   BAB 35

    Bu Puspa selesai dengan teleponnya. Kami pun bersiap untuk pergi belanja. Salon sudah mulai ramai dengan pelanggannya, yang semuanya adalah kaum perempuan, karena memang ini salon khusus muslimah.Aku membukakan pintu untuk Bu Puspa keluar. Begitu aku melangkah keluar, ternyata ….“Assalamu’alaikum,” Mas Zaki mengucap salam dan tersenyum padaku.“Oh … wa’alaikumussalam,” jawabku sedikit kaget.“Kamu tidak praktek?” Bu Puspa bertanya pada Mas Zaki.“Tadi aku minta gantikan sama temanku, Ma,” jawab Mas Zaki mengulum senyum.“Ooh. Ada apa ke sini? Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan sama mama?”“Eng … hmm … gak ada, Ma. Cuma mau titip ini untuk Ari,” Mas Zaki memberikan sebuah tas kertas padaku.“Oh … apa ini, Mas?” tanyaku.“Mainan untuk Ari,” jawab Mas Zaki.“Tidak perlu repot-repot, Mas.”“Tidak repot, kok. Semoga Ari suka, ya.”“Terima kasih,” ucapku.“Ehem!” Bu Puspa berdehem.“Eh … eng, Mama apa sih? Pakai berdehem segala,” Mas Zaki seperti anak kecil yang merajuk.“Duuh, ana

  • SUAMI TOXIC   BAB 34

    Tepat pukul delapan pagi aku sampai di depan salon milik bu Puspa. Tampak sepi, sepertinya memang belum buka. Hmm, pantas saja, ternyata jam buka mulai dari pukul 10 pagi hingga delapan malam. Begitu yang tertulis di papan berwarna putih yang tergantung di pintu masuk.[Assalamu’alaikum, Bu. Saya sudah sampai di depan salon,] Kukirim pesan pada bu Puspa.Tiba-tiba pintu salon terbuka.“Mbak Mawar, ya?” tanya seorang gadis berparas ayu.“Oh. Iya, Mbak,” jawabku.“Silahkan masuk, Mbak! Ibu sudah menunggu,” Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkanku untuk masuk.“Iya, Mbak. Terima kasih,” Aku masuk mengikuti gadis itu.Gadis itu menunjuk sebuah ruangan dari kaca, terlihat di dalamnya ada bu Puspa. Aku mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangan tersebut.Langkah ini belum sampai ke sana, namun bu Puspa sudah menyadari kehadiranku. Beliau melambaikan tangannya, memberi tanda supaya aku segera masuk. Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.“Assalamu’alaikum, Bu,” Kuu

  • SUAMI TOXIC   BAB 33

    Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali pesanan yang masuk. Aku anggap semua ini adalah hikmah di balik cobaan yang aku alami.Aku belum bicara dengan ibu dan bapak mengenai video viral mas Dani. Tapi tadi sempat bertemu ibu, sepertinya banyak yang ingin ibu tanyakan tapi tidak enak karena melihat aku sibuk bekerja.Pasti nanti saat makan malam akan banyak pertanyaan dari mereka. Aku hanya berharap hal ini tidak menambah kesedihan mereka.Kugendong Ari keluar kamar, menuju meja makan. Tampaknya ibu dan bapak sudah menunggu kami. Makanan pun sudah terhidang di meja.“Wah, makan apa nih, Bu? Mawar sudah lapar sekali,” tanyaku.“Sayur lodeh dan ikan goreng. Ayo cepat duduk dan makan!” jawab Ibu.“Hari ini bapak lihat kamu sibuk sekali, War. Banyak pesanan?” tanya Bapak.“Iya, Pak. Alhamdulillah, banyak sekali pesanan yang masuk. Itu belum dikerjakan semua. Besok akan dilanjutkan lagi,” jawabku.“Alhamdulillah! Bapak senang melihat usaha kamu lancar. Semoga berkah untuk kehidupan k

  • SUAMI TOXIC   BAB 32

    POV Dani (3)“Mohon maaf, Pak. Kami tetap akan meminta hak kami, karena kami takut Dani tidak akan menepati janjinya. Lagipula kami hanya tahu tempat tinggal Dani sekarang di kontrakan dekat dengan Ahsan. Sedangkan menurut informasi yang Ahsan terima, kalau kontrakan Dani baru saja …” ucap Ridwan.“Kontrakan gue kenapa, Wan?” Aku memotong ucapan Ridwan.“Biar Ahsan aja yang jelasin!” Ridwan melihat ke arah Ahsan.Ahsan menghela napasnya pelan, lalu melihat ke arahku dan Pak Agus.“Begini, Pak. Tadi tetangga kontrakan saya memberitahu kalau barang-barang di kontrakan Dani dikeluarkan semua oleh pemilik kontrakan. Begitu juga dengan barang-barang di kontrakan selingkuhannya Dani, semua dikeluarkan. Bahkan sempat terjadi keributan antara perempuan itu dengan pemilik kontrakan. Ini ada videonya, Pak, kalau Bapak mau lihat,” Ahsan merogoh sakunya, mengambil ponsel.“Tidak perlu. Saya tidak mau melihat hal memalukan seperti itu,” tegas Pak Agus.Ahsan pun langsung memasukkan ponselnya kemba

  • SUAMI TOXIC   BAB 31

    POV Dani (2)Aku buru-buru bangun dan keluar dari ruangan Pak Agus. Begitu aku keluar, beberapa orang justru tengah berdiri, seperti sengaja menungguku.Tanpa aba-aba mereka semua senyum-senyum menahan tawa saat melihat keningku yang benjol.“Huh … minggir, minggir!” Aku berusaha melewati mereka yang berdiri berjejer.“Eits … gak semudah itu, Dan!” Ridwan berbicara, mencegah langkahku.Aku menatap Ridwan dengan ekspresi bingung.“Yaelah, gak usah sok bingung gitu deh!” Ridwan mencebik.“Kenapa, sih lo, Wan?” sinisku.“Lo bayar dulu semua hutang-hutang lo ke kita! Baru lo bisa pergi!” ketus Ridwan.“Apa-apaan lo, Wan? Perjanjiannya, kan nanti gue bayar pas gajian!” “Itu, kan kalau lo masih kerja! Sekarang, kan lo dipecat! Kalau gak sekarang bayarnya, mau kapan lagi? Nanti jangan-jangan lo kabur,” Ridwan mencebik.“Walau sekarang gue dipecat, tapi gue masih gajian lah! Gajian tinggal tiga hari lagi, masa lo gak bisa sabar, sih!” ketusku.“Justru itu, gue jadi gak percaya! Nanti pas gaj

  • SUAMI TOXIC   BAB 30

    POV DaniSiang ini perutku lapar sekali. Jam istirahat sekitar lima menit lagi. Aku merapikan area kerjaku, bersiap untuk makan siang. Perutku sudah berbunyi minta diisi.Begitu bel tanda istirahat berbunyi, aku bergegas menuju kantin pabrik. Sepanjang perjalanan menuju kantin, aku merasa banyak yang memperhatikanku. Apa ada yang salah di wajahku? Kuusap wajah kasar, takut ada kotoran yang menempel. Tidak ada apa-apa. Semakin dekat dengan kantin, aku mempercepat langkahku. Tapi begitu banyak pasang mata yang menatap ke arahku. Sebenarnya mereka melihat apa sih? Aku jadi salah tingkah. Kurapikan seragam kerjaku, tidak ada yang salah juga dengan seragamku. Ah, sudahlah! Aku tidak peduli. Aku segera mencari tempat duduk yang kosong untuk makan. Makan siang hari ini soto, harumnya sudah menusuk hidungku. Tapi sulit sekali mencari tempat duduk, kantin ini begitu ramai.“Jatuh bareng selingkuhan, rasanya enak atau enaaak?”“Hahahaha!”Tiba-tiba menggelegar suara tawa memenuhi ruangan kant

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status