Share

Bab 7

Baru saja beberapa langkah aku keluar dari kontrakan. Tiba-tiba kudengar suara Ari menangis. Aku kembali masuk ke dalam kontrakan. Mas Dani sudah menggendong Ari, tapi tetap saja Ari menangis. Mungkin dia haus ingin minum asi.

“Cup … cup … sayang, ini ibu datang. Haus ya?” Kuraih Ari dari gendongan Mas Dani.

“Mawar … aku belum makan,” ucap Mas Dani. “Kamu gak jadi beli makanan?”

“Bagaimana aku bisa beli makanan, mas? Kan, Mas lihat, baru saja aku keluar tapi Ari menangis, haus mau nyusu. Nanti aku belikan kalau Ari sudah selesai,” jawabku.

“Iya, cepat, ya!” titah Mas Dani.

“Hm …,” gumamku.

Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya Ari sudah selesai menyusu. Wajah Mas Dani sudah ditekuk begitu rupa. Hh … salah sendiri, kalau lapar ya beli sendiri saja. Kayak gak lihat istrinya repot sama anak.

Kuletakkan Ari di kasur dengan hati-hati, takut terbangun lagi. Ku buru-buru keluar untuk membeli makanan. Sudah lewat dzuhur, matahari terasa begitu terik. Untung saja ada warung makan yang letaknya tidak jauh dari kontrakan. Aku membeli nasi bungkus dengan lauk ayam goreng untuk Mas Dani dan juga beberapa lauk lainnya untuk makan malam nanti.

Begitu aku selesai membayar, tiba-tiba ada yang mencolek bahuku.

“Mbak, tetangga kontrakan yang baru pindah kemarin ya?” tanya seorang wanita muda. Kutaksir usianya sebaya denganku.

“Oh iya, Mbak,” jawabku.

“Perkenalkan aku Via,” ucap wanita itu seraya mengulurkan tangan.

“Mawar,” Kusebutkan nama sambil menyambut uluran tangannya.

“Aku tinggal di kontrakan persis depan Mbak Mawar,” ujar Via.

“Oh … salam kenal ya Mbak Via,” ucapku.

“Jangan panggil mbak dong! Kayaknya aku lebih muda dari kamu, Mbak,” Via memainkan rambutnya sambil memperhatikan wajahku.

“Oh, maaf. Aku panggil Via saja, boleh?” tanyaku.

“Boleh,” jawab Via. “Oh iya, Mbak Mawar kalau bertengkar sama suami jangan keras-keras! Malu kedengaran tetangga, lagipula ganggu banget lho … berisik!”

Deg. Astaghfirullah … ucapan Via benar-benar tidak disaring. Malu aku, ditegur begini di depan orang banyak. Apalagi warung makan dalam keadaan ramai. Aku hanya bisa menunduk dan segera pamit pulang.

“Oh iya, Via. Kalau gitu, aku duluan ya,” ucapku.

Buru-buru aku keluar dari warung makan. Mungkin saat ini wajahku memerah karena malu diperhatikan orang banyak, apalagi terdengar ada yang bisik-bisik. Perjalanan kembali ke kontrakan terasa jauh, pikiranku melayang mengingat teguran Via tadi. Semoga tetanggaku yang lain tidak ada lagi yang menegurku seperti yang Via lakukan. 

Begitu sampai depan pintu kontrakan, seorang wanita muda menggendong bayi menyapaku ramah.

“Assalamu’alaikum, Mbak,” sapanya.

“Wa’alaikumussalam,” balasku ramah.

“Perkenalkan, Mbak. Saya Mira. Saya tinggal di sini,” Tunjuk Mira ke arah pintu kontrakan persis di sebelah kiri kontrakanku.

“Saya Mawar, Mbak,” balasku. Alhamdulillah kita tetangga dekat, ya Mbak Mira.

“Iya, Mbak. Sama-sama punya bayi, ya?” tanyanya.

“Iya, Mbak. Anak saya baru umur 3 bulan. Anak Mbak umur berapa?” tanyaku

“Anak saya sudah 5 bulan, Mbak,” jawabnya.

“Ehem …,” Terdengar suara deheman Mas Dani dari dalam kontrakan.

“Oh iya, Mbak. Maaf, ya. Saya masuk dulu, sudah ditunggu suami mau makan siang,” ucapku seraya mengangkat sedikit kantong plastik nasi bungkus.

“Iya, tidak apa-apa, Mbak,” balas Mira tersenyum.

Aku segera masuk ke kontrakan. Mas Dani sudah bersungut kesal melihat kedatanganku.

“Lama banget sih kamu. Malah ngobrol di depan pintu. Jangan dibiasakan ngegosip!” ketus Mas Dani.

“Maaf Mas. Warung makannya ramai, antri. Tadi juga aku bukan ngegosip, tetangga sebelah menyapaku, masa aku cuekin?!” ucapku.

“Ya sudah, mana makananku? Sudah lapar dari tadi,” ucap Mas Dani.

“Ini, Mas,” Kuserahkan makanan yang tadi kubeli.

Sementara Mas Dani makan, aku membereskan barang-barang yang belum selesai kurapihkan kemarin. Hh … kontrakan ini terasa begitu sempit dan pengap. Tapi aku harus bisa beradaptasi dan berusaha betah di sini. 

Alhamdulillah selesai juga, semua barang sudah tersusun rapi. Badanku rasanya pegal sekali. Masih ada waktu 1 jam sebelum sholat ashar, aku akan tidur siang sebentar.

Lho … ternyata Mas Dani sudah tidur lebih dulu. Hh … istri dari tadi sibuk, capek beres-beres barang, eh … malah dia yang tidur. 

Ting.

Bunyi hp Mas Dani, ada wa yang masuk. Kuintip siapa nama pengirimnya. Nita. Hm … mau apa dia? Kira-kira Mas Dani masih mengirimkan dia uang atau tidak, ya?

Ting.

Ada wa masuk lagi ke hp Mas Dani. Penasaran ku buka hpnya. Ternyata wa dari Nita lagi.

[Mas, kok belum kirim uang?]

[Kan, kemarin Mas gajian? Biasanya langsung kirim ke aku]

Dasar adik gak tahu sopan santun. Wa kakaknya, bukan ucapkan salam, malah langsung nodong minta uang. Aku heran, sudah dewasa dan bekerja, kok masih saja minta uang sama kakaknya. Rasanya ingin kubalas wa darinya, tapi aku malas ribut sama Mas Dani karena pasti dia akan membela adiknya.

Ting.

[Mas, kok dibaca doang? Kirim uangnya sekarang, ya!]

[Tagihan kartu kreditku jatuh tempo hari ini. Jangan sampai telat. Kalau telat, aku bisa kena denda]

Hah … tagihan kartu kredit? Gak salah nih orang? Siapa yang punya tagihan, siapa yang suruh bayar!? Duuuuh … rasanya ingin kumaki Nita. Keterlaluan sekali, uang yang seharusnya untuk anak dan istri kakaknya, malah dia todong untuk bayar tagihan kartu kredit. Kuremas hp Mas Dani keras, menahan emosi yang sudah memuncak.

“War … kenapa pegang-pegang hpku?” tanya Mas Dani yang baru saja bangun tidur.

Kutatap mata Mas Dani tajam. Kuserahkan hp miliknya sedikit kasar.

“Kamu kenapa?” tanya Mas Dani.

“Itu ada wa dari Nita,” Kujawab Mas Dani sambil mencebik.

“Kamu baca-baca wa aku? Gak sopan kamu!” ketus Mas Dani.

“Aku jadi tahu Mas, ternyata selama ini aku berhemat justru untuk membahagiakan adik kamu yang hobi foya-foya dengan kartu kredit,” ketusku emosi.

“Apa maksud kamu?” tanya Mas Dani.

“Baca itu wa dari Nita!” ucapku.

Mas Dani membaca wa dari adiknya. Raut wajahnya seketika berubah. Mas Dani salah tingkah.

“Mas Dani masih mau kirim uang untuk orang yang hidupnya bahagia diatas penderitaan istri dan anak Mas?” tanyaku emosi. “Sedangkan gaji dia lebih besar dari kamu, Mas,”

“Aku bingung, War. Tidak enak juga. Kan, aku biasa kasih Nita setiap bulan. Masa sekarang aku harus berhenti,” ucap Mas Dani.

“Kamu kemarin bilang bingung ngatur gaji. Kamu baru tahu kebutuhan hidup kita banyak. Masa kamu masih mau kirim uang? Padahal gaji kamu lebih kecil dari Nita. Keterlaluan kamu, Mas,” Emosiku sudah tak tertahan. Air mataku tumpah, sudah tak tahan dengan pemikiran Mas Dani.

Mas Dani hanya diam memandangku. Awas saja kalau dia masih kirim uang ke adiknya, lebih baik aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku tidak mau harus selalu mengalah, hidup hemat, bahkan masih kena marah terus.

Kurebahkan tubuh lelah ini disamping Ari. Kupejamkan mata, memaksa tubuh dan hati ini beristirahat. 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status