Share

Bab 7

Author: Linsara
last update Last Updated: 2023-01-07 20:15:56

Baru saja beberapa langkah aku keluar dari kontrakan. Tiba-tiba kudengar suara Ari menangis. Aku kembali masuk ke dalam kontrakan. Mas Dani sudah menggendong Ari, tapi tetap saja Ari menangis. Mungkin dia haus ingin minum asi.

“Cup … cup … sayang, ini ibu datang. Haus ya?” Kuraih Ari dari gendongan Mas Dani.

“Mawar … aku belum makan,” ucap Mas Dani. “Kamu gak jadi beli makanan?”

“Bagaimana aku bisa beli makanan, mas? Kan, Mas lihat, baru saja aku keluar tapi Ari menangis, haus mau nyusu. Nanti aku belikan kalau Ari sudah selesai,” jawabku.

“Iya, cepat, ya!” titah Mas Dani.

“Hm …,” gumamku.

Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya Ari sudah selesai menyusu. Wajah Mas Dani sudah ditekuk begitu rupa. Hh … salah sendiri, kalau lapar ya beli sendiri saja. Kayak gak lihat istrinya repot sama anak.

Kuletakkan Ari di kasur dengan hati-hati, takut terbangun lagi. Ku buru-buru keluar untuk membeli makanan. Sudah lewat dzuhur, matahari terasa begitu terik. Untung saja ada warung makan yang letaknya tidak jauh dari kontrakan. Aku membeli nasi bungkus dengan lauk ayam goreng untuk Mas Dani dan juga beberapa lauk lainnya untuk makan malam nanti.

Begitu aku selesai membayar, tiba-tiba ada yang mencolek bahuku.

“Mbak, tetangga kontrakan yang baru pindah kemarin ya?” tanya seorang wanita muda. Kutaksir usianya sebaya denganku.

“Oh iya, Mbak,” jawabku.

“Perkenalkan aku Via,” ucap wanita itu seraya mengulurkan tangan.

“Mawar,” Kusebutkan nama sambil menyambut uluran tangannya.

“Aku tinggal di kontrakan persis depan Mbak Mawar,” ujar Via.

“Oh … salam kenal ya Mbak Via,” ucapku.

“Jangan panggil mbak dong! Kayaknya aku lebih muda dari kamu, Mbak,” Via memainkan rambutnya sambil memperhatikan wajahku.

“Oh, maaf. Aku panggil Via saja, boleh?” tanyaku.

“Boleh,” jawab Via. “Oh iya, Mbak Mawar kalau bertengkar sama suami jangan keras-keras! Malu kedengaran tetangga, lagipula ganggu banget lho … berisik!”

Deg. Astaghfirullah … ucapan Via benar-benar tidak disaring. Malu aku, ditegur begini di depan orang banyak. Apalagi warung makan dalam keadaan ramai. Aku hanya bisa menunduk dan segera pamit pulang.

“Oh iya, Via. Kalau gitu, aku duluan ya,” ucapku.

Buru-buru aku keluar dari warung makan. Mungkin saat ini wajahku memerah karena malu diperhatikan orang banyak, apalagi terdengar ada yang bisik-bisik. Perjalanan kembali ke kontrakan terasa jauh, pikiranku melayang mengingat teguran Via tadi. Semoga tetanggaku yang lain tidak ada lagi yang menegurku seperti yang Via lakukan. 

Begitu sampai depan pintu kontrakan, seorang wanita muda menggendong bayi menyapaku ramah.

“Assalamu’alaikum, Mbak,” sapanya.

“Wa’alaikumussalam,” balasku ramah.

“Perkenalkan, Mbak. Saya Mira. Saya tinggal di sini,” Tunjuk Mira ke arah pintu kontrakan persis di sebelah kiri kontrakanku.

“Saya Mawar, Mbak,” balasku. Alhamdulillah kita tetangga dekat, ya Mbak Mira.

“Iya, Mbak. Sama-sama punya bayi, ya?” tanyanya.

“Iya, Mbak. Anak saya baru umur 3 bulan. Anak Mbak umur berapa?” tanyaku

“Anak saya sudah 5 bulan, Mbak,” jawabnya.

“Ehem …,” Terdengar suara deheman Mas Dani dari dalam kontrakan.

“Oh iya, Mbak. Maaf, ya. Saya masuk dulu, sudah ditunggu suami mau makan siang,” ucapku seraya mengangkat sedikit kantong plastik nasi bungkus.

“Iya, tidak apa-apa, Mbak,” balas Mira tersenyum.

Aku segera masuk ke kontrakan. Mas Dani sudah bersungut kesal melihat kedatanganku.

“Lama banget sih kamu. Malah ngobrol di depan pintu. Jangan dibiasakan ngegosip!” ketus Mas Dani.

“Maaf Mas. Warung makannya ramai, antri. Tadi juga aku bukan ngegosip, tetangga sebelah menyapaku, masa aku cuekin?!” ucapku.

“Ya sudah, mana makananku? Sudah lapar dari tadi,” ucap Mas Dani.

“Ini, Mas,” Kuserahkan makanan yang tadi kubeli.

Sementara Mas Dani makan, aku membereskan barang-barang yang belum selesai kurapihkan kemarin. Hh … kontrakan ini terasa begitu sempit dan pengap. Tapi aku harus bisa beradaptasi dan berusaha betah di sini. 

Alhamdulillah selesai juga, semua barang sudah tersusun rapi. Badanku rasanya pegal sekali. Masih ada waktu 1 jam sebelum sholat ashar, aku akan tidur siang sebentar.

Lho … ternyata Mas Dani sudah tidur lebih dulu. Hh … istri dari tadi sibuk, capek beres-beres barang, eh … malah dia yang tidur. 

Ting.

Bunyi hp Mas Dani, ada wa yang masuk. Kuintip siapa nama pengirimnya. Nita. Hm … mau apa dia? Kira-kira Mas Dani masih mengirimkan dia uang atau tidak, ya?

Ting.

Ada wa masuk lagi ke hp Mas Dani. Penasaran ku buka hpnya. Ternyata wa dari Nita lagi.

[Mas, kok belum kirim uang?]

[Kan, kemarin Mas gajian? Biasanya langsung kirim ke aku]

Dasar adik gak tahu sopan santun. Wa kakaknya, bukan ucapkan salam, malah langsung nodong minta uang. Aku heran, sudah dewasa dan bekerja, kok masih saja minta uang sama kakaknya. Rasanya ingin kubalas wa darinya, tapi aku malas ribut sama Mas Dani karena pasti dia akan membela adiknya.

Ting.

[Mas, kok dibaca doang? Kirim uangnya sekarang, ya!]

[Tagihan kartu kreditku jatuh tempo hari ini. Jangan sampai telat. Kalau telat, aku bisa kena denda]

Hah … tagihan kartu kredit? Gak salah nih orang? Siapa yang punya tagihan, siapa yang suruh bayar!? Duuuuh … rasanya ingin kumaki Nita. Keterlaluan sekali, uang yang seharusnya untuk anak dan istri kakaknya, malah dia todong untuk bayar tagihan kartu kredit. Kuremas hp Mas Dani keras, menahan emosi yang sudah memuncak.

“War … kenapa pegang-pegang hpku?” tanya Mas Dani yang baru saja bangun tidur.

Kutatap mata Mas Dani tajam. Kuserahkan hp miliknya sedikit kasar.

“Kamu kenapa?” tanya Mas Dani.

“Itu ada wa dari Nita,” Kujawab Mas Dani sambil mencebik.

“Kamu baca-baca wa aku? Gak sopan kamu!” ketus Mas Dani.

“Aku jadi tahu Mas, ternyata selama ini aku berhemat justru untuk membahagiakan adik kamu yang hobi foya-foya dengan kartu kredit,” ketusku emosi.

“Apa maksud kamu?” tanya Mas Dani.

“Baca itu wa dari Nita!” ucapku.

Mas Dani membaca wa dari adiknya. Raut wajahnya seketika berubah. Mas Dani salah tingkah.

“Mas Dani masih mau kirim uang untuk orang yang hidupnya bahagia diatas penderitaan istri dan anak Mas?” tanyaku emosi. “Sedangkan gaji dia lebih besar dari kamu, Mas,”

“Aku bingung, War. Tidak enak juga. Kan, aku biasa kasih Nita setiap bulan. Masa sekarang aku harus berhenti,” ucap Mas Dani.

“Kamu kemarin bilang bingung ngatur gaji. Kamu baru tahu kebutuhan hidup kita banyak. Masa kamu masih mau kirim uang? Padahal gaji kamu lebih kecil dari Nita. Keterlaluan kamu, Mas,” Emosiku sudah tak tertahan. Air mataku tumpah, sudah tak tahan dengan pemikiran Mas Dani.

Mas Dani hanya diam memandangku. Awas saja kalau dia masih kirim uang ke adiknya, lebih baik aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku tidak mau harus selalu mengalah, hidup hemat, bahkan masih kena marah terus.

Kurebahkan tubuh lelah ini disamping Ari. Kupejamkan mata, memaksa tubuh dan hati ini beristirahat. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI TOXIC   BAB 38

    Taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan rumah. Aku segera turun sambil menggendong Ari. Kulihat di halaman tidak ada mobil mas Zaki. Hmm, tadi katanya lagi ada di rumah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kuucapkan salam, tapi keadaan rumah sepi. Tidak ada yang menjawab salam. Kulihat baby shop juga sepi, hanya ada dua orang pekerja. Nisa tidak terlihat keberadaannya.“Ibu! Bapak! Assalamu’alaikum!”Tidak ada yang menjawab. Ke mana perginya ibu dan bapak?Kuputuskan untuk bertanya pada pekerja di baby shop. Tapi saat aku baru saja membalikkan badan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari ibu.“Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sama bapak di mana ? Kok rumah sepi sekali? Tadi katanya mas Zaki ada di rumah, kok sekarang gak ada, sih Bu?” Aku langsung memberondong ibu dengan pertanyaan.“Wa’alaikumussalam. Justru itu, Mawar. Tadi tiba-tiba mas Zaki mengeluh sakit kepala hebat. Ibu sampai tidak tega melihatnya. Sekarang kami ada di rumah sakit, mas Zaki masuk ICU karena

  • SUAMI TOXIC   BAB 37

    Waktu ini telah lama kunantikan. Dua minggu yang lalu, hakim pengadilan agama telah mengetuk palu putusan cerai antara aku dan Mas Dani.Hari ini adalah hari pembacaan ikrar talak di muka sidang. Dengan suara bergetar dan mengeluarkan air mata, Mas Dani mengucapkan ikrar talak.Sah, aku kini resmi menyandang status seorang janda. Ada rasa lega, namun tidak kupungkiri sedih pun menghampiri. Sebuah status yang tidak pernah aku bayangkan ketika dulu memutuskan menikah.Mungkin ini memang sudah suratan takdirku. Aku harus ikhlas, harus kuat, ada Ari yang membutuhkanku.Semua proses hari ini berjalan lancar. Aku ditemani Bapak berjalan menuju tempat parkir motor.“Mawar! Mawar!” Terdengar suara Mas Dani memanggilku.Kuhentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mas Dani nampak berlari kecil menghampiriku.Begitu dia tiba di hadapanku, tiba-tiba saja bersimpuh dan memeluk kedua kakiku. Aku refleks menghentakkan kaki hingga terlepas dan mundur tiga langkah ke belakang.“Maafkan aku, Mawar. Aku

  • SUAMI TOXIC   BAB 36

    Kami semua hendak masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil namaku. Siapa yang memanggilku?Aku menoleh ke arah suara. Lho, Mbak Mira? Mau apa dia memanggilku?Mbak Mira menggendong Dio, tergesa berjalan ke arahku. Apakah dia akan memanas-manasiku lagi seperti dulu?Aku bersiap menghadapi kedatangan Mbak Mira. Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan juga Mas Dani, bukan tidak mungkin kalau dia akan melampiaskan kemarahannya padaku.Mbak Mira semakin dekat, napasnya memburu. Matanya lekat memandangku.“Mbak Mawar … maafkan aku! Huhuhuhu ….” Mbak Mira bersimpuh di hadapanku. Dia menangis tersedu, air matanya mengalir deras.Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku hanya diam, terkejut dengan apa yang dilakukan Mbak Mira.“Mbak, tolong aku!” Mbak Mira menengadahkan wajahnya.“Mbak Mawar, tolong beritahu dimana Mas Dani! Aku mohon, Mbak! Huhuhuu ….”Tangisannya semakin kencang dan menarik perhatian orang yang lalu lalang.“Mbak. tolong

  • SUAMI TOXIC   BAB 35

    Bu Puspa selesai dengan teleponnya. Kami pun bersiap untuk pergi belanja. Salon sudah mulai ramai dengan pelanggannya, yang semuanya adalah kaum perempuan, karena memang ini salon khusus muslimah.Aku membukakan pintu untuk Bu Puspa keluar. Begitu aku melangkah keluar, ternyata ….“Assalamu’alaikum,” Mas Zaki mengucap salam dan tersenyum padaku.“Oh … wa’alaikumussalam,” jawabku sedikit kaget.“Kamu tidak praktek?” Bu Puspa bertanya pada Mas Zaki.“Tadi aku minta gantikan sama temanku, Ma,” jawab Mas Zaki mengulum senyum.“Ooh. Ada apa ke sini? Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan sama mama?”“Eng … hmm … gak ada, Ma. Cuma mau titip ini untuk Ari,” Mas Zaki memberikan sebuah tas kertas padaku.“Oh … apa ini, Mas?” tanyaku.“Mainan untuk Ari,” jawab Mas Zaki.“Tidak perlu repot-repot, Mas.”“Tidak repot, kok. Semoga Ari suka, ya.”“Terima kasih,” ucapku.“Ehem!” Bu Puspa berdehem.“Eh … eng, Mama apa sih? Pakai berdehem segala,” Mas Zaki seperti anak kecil yang merajuk.“Duuh, ana

  • SUAMI TOXIC   BAB 34

    Tepat pukul delapan pagi aku sampai di depan salon milik bu Puspa. Tampak sepi, sepertinya memang belum buka. Hmm, pantas saja, ternyata jam buka mulai dari pukul 10 pagi hingga delapan malam. Begitu yang tertulis di papan berwarna putih yang tergantung di pintu masuk.[Assalamu’alaikum, Bu. Saya sudah sampai di depan salon,] Kukirim pesan pada bu Puspa.Tiba-tiba pintu salon terbuka.“Mbak Mawar, ya?” tanya seorang gadis berparas ayu.“Oh. Iya, Mbak,” jawabku.“Silahkan masuk, Mbak! Ibu sudah menunggu,” Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkanku untuk masuk.“Iya, Mbak. Terima kasih,” Aku masuk mengikuti gadis itu.Gadis itu menunjuk sebuah ruangan dari kaca, terlihat di dalamnya ada bu Puspa. Aku mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangan tersebut.Langkah ini belum sampai ke sana, namun bu Puspa sudah menyadari kehadiranku. Beliau melambaikan tangannya, memberi tanda supaya aku segera masuk. Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.“Assalamu’alaikum, Bu,” Kuu

  • SUAMI TOXIC   BAB 33

    Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali pesanan yang masuk. Aku anggap semua ini adalah hikmah di balik cobaan yang aku alami.Aku belum bicara dengan ibu dan bapak mengenai video viral mas Dani. Tapi tadi sempat bertemu ibu, sepertinya banyak yang ingin ibu tanyakan tapi tidak enak karena melihat aku sibuk bekerja.Pasti nanti saat makan malam akan banyak pertanyaan dari mereka. Aku hanya berharap hal ini tidak menambah kesedihan mereka.Kugendong Ari keluar kamar, menuju meja makan. Tampaknya ibu dan bapak sudah menunggu kami. Makanan pun sudah terhidang di meja.“Wah, makan apa nih, Bu? Mawar sudah lapar sekali,” tanyaku.“Sayur lodeh dan ikan goreng. Ayo cepat duduk dan makan!” jawab Ibu.“Hari ini bapak lihat kamu sibuk sekali, War. Banyak pesanan?” tanya Bapak.“Iya, Pak. Alhamdulillah, banyak sekali pesanan yang masuk. Itu belum dikerjakan semua. Besok akan dilanjutkan lagi,” jawabku.“Alhamdulillah! Bapak senang melihat usaha kamu lancar. Semoga berkah untuk kehidupan k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status