Share

SOPIR BARU

last update Last Updated: 2024-06-12 18:09:44

Pagi hari, aku bergabung di ruang makan bersama keluargaku. Melakukan rutinitas sarapan seperti biasanya. Aku mengambil sehelai roti dan mengolesnya dengan sehelai kacang. Senyuman berbentuk bulan sabit tidak pernah lepas dari bibirku.

“Kamu kenapa, Rey? Mama perhatiin kamu senyam senyum sendiri.” Mama mengerutkan dahinya, menatapku curiga.

Aku kembali tersenyum bahagia. “Nggak apa-apa, Ma.”

Bagaimana tidak bahagia, aku sudah berhasil membuat Kevin membatalkan perjodohan kami. Meskipun alasan yang aku gunakan terbilang sangat ekstrim, tapi apa boleh buat jika waktunya sudah the master of kepepet.

Maaf saja, seumur-umur aku hanya ingin menikah dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati, bukan dengan laki-laki asing yang sudah tua seperti Kevin. Meskipun dari segi fisik, Kevin memiliki bentuk badan proporsional dan wajah tampan. Tapi kalau aku tidak mencintainya, bagaimana? Omong kosong dengan istilah ‘Cinta bisa datang kapan saja seiring berjalannya waktu’.

“Oh iya, Ma, Pa, kemarin Reyna ketemu sama Kevin.” Aku mengawali percakapan. Mampu membuat kedua orang tuaku menatap antusias.

“Benarkah? Terus kalian sempat nge-date?” Papa melipat koran dan mencondongkan wajah. Garis bibir Papa melengkung sempurna, seolah berita ini begitu membahagiakan dan tidak boleh dilewatkan.

“Jadi, Kevin bilang kalo dia akan membatalkan perjodohan ini.”

Respon Mama terbatuk dan tersedak, buru-buru beliau mengambil air mineral dan meneguknya hingga habis.

Aku mengangguk mantap. “Yap, Kevin itu udah illfeel duluan, gara-gara Reyna muntahin dia waktu itu.”

“Masa, sih?” Papa masih tidak percaya, kini beliau menggaruk dagunya sembari memutar bola mata. “Tapi kenapa Kevin justru bilang yang sebaliknya sama Papa dan Mama?”

“Tahu, deh.” Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak peduli. “Lagi pula, nggak masalah kok, kalo Reyna nggak jadi nikah sama Kevin. Toh, masih banyak laki-laki di dunia ini yang lebih segala-galanya dari dia.”

“Reyna sayang, Mama dan Papa tidak mungkin menjodohkan kamu dengan orang yang tidak baik. Menurut kami, Kevin itu udah laki-laki paling perfect untuk menjadi suami yang bisa membimbing kamu ke surga.” Mama membela Kevin, masih bersikukuh ingin menjodohkan aku dengan mas-mas tua itu.

“Oh. Maksud Mama, Reyna bakalan masuk neraka gitu? Kalo nikah sama Kevin, baru deh Reyna masuk surga. Menurut pelajaran agama yang selama ini Reyna pelajari sejak SD, masuk surga dan neraka itu tergantung amal ibadah yang kita lakukan di dunia. Bukan tergantung dengan si mas-mas tua itu.”

Papa berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Reyna …. Berhenti manggil Kevin dengan istilah itu, nggak baik.”

“Lah, dia itu emang tua, jelek, idih berbulu lagi!”

Mendengar ejekanku, Mama langsung tertawa hampir terbahak-bahak hingga tersedak. Kemudian menutup mulutnya rapat-rapat saat mengerling pada Papa.

“Eh, Nak Kevin sudah datang.”

Kini giliran aku yang tersedak. Seluruh air yang nyaris meluncur ke dalam tenggorokanku langsung keluar begitu saja dan muncrat sampai membasahi lantai. Aduh, Rey, kenapa kamu berubah jadi jorok begini, sih?

Kevin, yang telah duduk di kursi sebelahku hanya menggelengkan kepala heran. “Pagi Om, Tante,” sapanya ramah. “Pagi, Reyna, are you okay?” Ia menatap wajahku dengan pandangan mencemooh.

“Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja.” Sangat baik sebelum kamu hadir dan mengacaukan segalanya, sungutku jengkel sembari menyeka mulut dengan serbet.

“Kamu sudah sarapan, Vin? Ayo dimakan dulu.” Mama menunjukkan sikap perhatiannya.

Kevin mengangguk, lagi-lagi mengeluarkan senyuman menyebalkan yang paling aku benci. “Sudah, Tante.”

Hilang sudah selera makanku. Aku langsung menggeser piring menjauh dari hadapanku dan menyilangkan tangan di dada.

“Kamu ngapain ada di sini pagi-pagi sekali?” tanyaku sengit.

“Kamu mau pergi kuliah, kan? Jadi saya jemput kamu,” ucap Kevin santai dan tenang.

“Nggak perlu repot-repot deh, aku bisa berangkat sendiri. Lagi pula, nggak ada yang suruh kamu buat jemput aku, kan?”

“Papa yang suruh Kevin untuk jemput kamu, Rey.” Papa langsung menimpali.

Sontak, aku langsung melemparkan tatapan tercengang ke arah Papa. “Kenapa Papa suruh Kevin buat jemput Reyna, sih? Reyna kan punya mobil dan biasa berangkat sendiri. Reyna nggak perlu sopir!” Di kalimat yang terakhir, aku sengaja menyindir Kevin.

“Reyna anakku, mobil kamu itu sudah kami jual. Jadi otomatis hidup-mati kamu untuk pergi kemana-mana bergantung pada Kevin.”

“Apa?” Aku menjerit tidak percaya. “Kenapa Papa jual mobil Reyna?”

“Papa kehabisan biaya buat bayar uang kuliah kamu yang tidak selesai-selesai, jadi lebih baik Papa jual saja mobilnya untuk membiayai kuliah kamu.”

Nyaris aku menggorok leher sendiri dengan pisau pemotong roti akibat sindiran Papa. Sampai Kevin jadi tertawa.

Namun aku masih berusaha menebalkan muka. “Tapi Papa nggak berhak jual mobil kesayangan Reyna!”

“Tentu saja Papa punya hak, karena mobil Itu dibeli dengan uang hasil keringat Papa sendiri.”

Suara erangan kesal meluncur dari mulutku. Api menari-nari di mataku ketika menatap wajah menyebalkan Kevin.

“Oke, Reyna akan buktiin ke Papa dan Mama, kalo Reyna bisa beli mobil dengan hasil jerih payah Reyna sendiri!” Dengan kesal, aku bangkit dari kursi.

“Oke, silakan. Tapi daripada kamu memikirkan beli mobil, lebih baik kamu pikirkan skripsi kamu dulu.”

Tanpa sengaja kedua tanganku terkepal geram. Papa pasti sengaja mengatakan hal itu di hadapan Kevin untuk membuatku malu. Sekarang, Kevin dan keluargaku sudah resmi bersekongkol.

*****

Garasi kosong melompong. Itulah kenyataan pahit yang harus aku terima karena mobilku benar-benar sudah dijual oleh Papa. Akibatnya, mau tidak mau aku harus berada satu mobil dengan Kevin. Kalau bukan karena waktu yang sudah mendesak, demi langit dan bumi aku tidak akan sudi diantar oleh si mas-mas tua ini.

Keheningan terasa begitu kentara selama di perjalanan. Hanya ada suara John Legend yang mengalun di stereo mobil Kevin. Aku hampir takjub mendengar selera musik Kevin, aku pikir dia hanya menyukai musik era zaman dahulu seperti Ebiet G. Ade atau Nicky Astria. Ternyata benar-benar di luar ekspektasiku.

“Bukannya kamu mau ngebatalin perjodohan ini?” Aku membuka suara.

Kevin segera mengecilkan volume musiknya dan menjawab pertanyaanku dengan santai. “Siapa yang bilang?”

Nada Kevin terdengar santai, membuatku jengah. “Kamu sendiri udah tahu kan, gimana sikapku? Kamu tahu gimana pergaulanku yang bebas dan kamu juga tahu kalo aku udah nggak virgin lagi. Terus kenapa kamu masih mau menikah sama aku?”

“Karena kamu orang yang jujur,” balas Kevin singkat.

“Maksudnya?”

Kevin menatapku sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. “Jarang-jarang saya bertemu dengan wanita yang mau mengakui keburukannya, apalagi berani jujur tentang keperawanannya. Jadi saya akan menerima segala kekurangan kamu, Rey.”

Mendengar penjelasan Kevin yang tidak masuk akal, aku jadi terperanjat kaget. Bagaimana bisa Kevin menganggap semua pernyataanku sebagai angin lalu? Hampir saja aku ingin menelan seatbelt sendiri saat rasa kesal menghantamku. Ternyata alasan ekstrim yang aku keluarkan kemarin, berhasil menjadi cambuk besar untuk kehidupanku sendiri.

Menit-menit berikutnya hanya ada keheningan. Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, akhirnya mobil Kevin berhenti di pelataran kampus. Buru-buru kulepas seatbelt, menggeser posisi tubuhku agar berhadapan dengan Kevin. Aku menatap mata laki-laki itu dengan tajam.

“Meskipun Papa dan Mama sangat-sangat menyukai kamu dan memuja-muja kamu bak dewa, jangan pernah berharap kalau aku akan melakukan hal yang sama, karena sampai kapan pun aku nggak akan mau menikah dengan orang tua jelek seperti kamu!” teriakku putus asa, sampai napas ini jadi tersengal-sengal.

Kevin hanya menatapku tanpa bersuara ataupun merasa terintimidasi oleh tatapan sadisku.

“Jadi aku ingatkan sekali lagi sama kamu, untuk pergi jauh-jauh dari hidupku dan batalkan perjodohan kita! Kalo nggak—“ suaraku tercekat di tenggorokan saat mengacungkan telunjuk tepat di depan wajah Kevin.

“Kalau tidak, apa?” tantang Kevin memandang telunjukku yang hanya sebesar kelingkingnya.

“Kalo nggak … aku nggak akan segan-segan menyakiti kamu dan menghancurkan segala harapan keluarga kamu!”

Mendengar ancaman jahatku, Kevin hanya menghela napas gusar. “Wow, menarik,” balasnya singkat, kembali menatap ke depan sembari menggenggam stir kemudi dengan erat sampai buku-buku jarinya memutih. “Saya akan menjemput kamu kembali sepulang kuliah nanti,” lanjut Kevin lagi dengan nada tenang.

Aku memelototi Kevin tidak percaya. Dengan perasaan geram, aku segera keluar dari mobil Kevin dan menutup pintunya dengan kencang.

“Dasar jelek!”

Hampir saja aku ingin melepas sebelah high heels-ku dan melemparnya tepat ke sasaran. Sayang, mobil Kevin sudah jauh dari jarak pandanganku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI YANG SEMPURNA    SETIAP ORANG PUNYA MASALAH

    Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena

  • SUAMI YANG SEMPURNA    KAMU SELALU ADA UNTUKKU

    Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "

  • SUAMI YANG SEMPURNA    BAHAGIA ITU KITA YANG CIPTAKAN

    "Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i

  • SUAMI YANG SEMPURNA    KEMBALILAH KE RUMAH, ANAKKU

    Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor

  • SUAMI YANG SEMPURNA    BUNDA, TOLONG AKU!

    Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon

  • SUAMI YANG SEMPURNA    AYAH, AKU RINDU

    Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status