“Kamu benar-benar udah buat Papa malu, Reyna! Bagaimana bisa kamu muntah di depan Kevin?”
Papa berjalan mondar-mandir, mengusap wajahnya frustrasi sebelum menatapku dengan murka maksimal. Sejak kepulangan Kevin dan keluarganya, Papa langsung menyerangku dengan serentetan amarahnya. “Habis mau gimana lagi? Jelas-jelas muntahnya keluar sendiri, kok. Tadi itu kepala dan perut Reyna memang lagi sakit, Pa,” balasku membela diri. Sesekali bersendawa akibat terlalu meresapi gerakan tangan Mama yang begitu andal memijat leherku dengan minyak angin. “Tapi setidaknya jaga sikap kamu di depan tamu kita, Reyna! Dan satu lagi, kenapa kamu memakai pakaian seperti itu? Papa kan udah bilang kalau pakai baju yang sopan!” Papa mengacungkan jarinya, menyapu bersih pakaianku dari atas sampai bawah dengan pandangan tidak suka. Aku memasang wajah memelas. “Pa … Kevin itu kan tamu Papa, bukan Reyna. Lagian Reyna nggak kenal sama tuh orang. Terus, kenapa kalo Reyna pakai baju kayak gini? Yang penting kan, Reyna nyaman sama bajunya. Nggak mungkin dong, Reyna pakai kebaya segala mau ketemu keluarganya mas-mas tua itu!” Papa berkacak pinggang, memandangku seolah-olah aku ini seorang musuh, bukan anaknya. “Sejak kapan kamu menjadi anak yang pembangkang seperti ini, Reyna?” “Sejak keluarganya Kevin datang ke rumah kita,” jawabku mantap. “Pa, Reyna nggak mau nikah sama si tua itu!” “Jaga ucapan kamu, Reyna!” Hampir saja Papa ingin melayangkan satu tamparan keras di pipiku—sampai aku memejamkan mata karena ketakutan. Badanku menggigil, bibirku bergetar hebat, dan air mata keluar begitu saja meski hanya setetes. “Papa tega menampar Reyna demi Kevin?” Aku menatap Papa nanar. “Sekarang, jelaskan sama Reyna, kenapa Rey harus menikah dengan Kevin? Apa kehebatan Kevin sampai Papa begitu menginginkan dia untuk menjadi suami Reyna?” Papa menghela napas gusar, berusaha untuk menenangkan diri sejenak sebelum kembali bersuara. “Karena Kevin adalah sosok suami idaman yang bisa mendampingi dan mengayomi kamu. Kamu harus percaya dengan pilihan Papa dan Mama, karena kami sangat kenal keluarga Kevin dengan baik.“ Sungguh, aku tertegun mendengar penjelasan Papa yang kurang logis. Bagaimana mungkin Papa bisa menyimpulkan kalau Kevin adalah suami idaman kaum Hawa. Kalau pun memang benar adanya, sudah pasti aku sangat tergila-gila dengan mas-mas tua itu. Bagiku, Kevin hanya mas-mas tua yang secara kebetulan disukai oleh orang tuaku karena dia anak dari teman baik Papa dan Mama. Sudah, itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang. “Reyna, tetap nggak mau menikah sama Kevin. Please, jangan paksa Reyna, Pa.” Aku memohon dari lubuk hati yang paling dalam. Sekilas suara isakan tangis muncul dari bibirku. Kenapa sih hidup jadi seberat ini? Bahkan lebih berat daripada masalah wisuda. Kali ini hembusan napas Papa terlihat lelah. “Baiklah, kalau begitu giliran kamu yang kasih Papa alasan. Mengapa Papa harus membatalkan perjodohan kamu dan Kevin?” Mataku langsung berbinar, seolah mendapatkan lampu hijau untuk keluar dari jebakan perjodohan ini. “Karena Reyna sama sekali nggak kenal dan nggak cinta sama Kevin.” “Makanya itu kamu harus memberikan Kevin kesempatan untuk dapat mengenal kamu lebih jauh lagi, Rey. Bagaimana cinta itu bisa tumbuh, kalau dari awal aja kamu sudah memberikan penolakan seperti ini.” Aku kembali mencari alasan yang lebih baik. “Pa, Reyna kan masih harus fokus sama skripsi. Kalau misalnya kami menikah nanti, kuliah Reyna makin nggak kelar-kelar, dong!” “Alasan klasik, Rey. Papa yakin kamu bisa membagi waktu antara kuliah dan berumah tangga. Lagi pula Kevin itu orangnya pintar, lho. Kamu bisa minta bantuannya untuk menyelesaikan skripsi kamu nanti.” Lha, katanya disuruh cari alasan. Tapi, semua alasan yang kusebutkan langsung dibantah oleh Papa dengan telak. Piye iki? Aku mulai mengatur napas. Lama-lama otakku bisa error memikirkan alasan yang lain lagi. “Reyna nggak mau buncit saat masih menyandang status mahasiswa.” Mama langsung terkekeh geli. “Kamu kan bisa berunding dengan Kevin, buat anaknya ditunda dulu. Jangan buru-buru main langsung tembus aja, dong.” Aku menepuk jidat, merasa bodoh sendiri. Bukan itu maksud Reyna, Ma! Ingin sekali rasanya membenturkan kepala ke dinding. “Oke!” Aku benar-benar sudah kehabisan akal, ini adalah ide terakhir yang aku punya. “Sebenarnya, Reyna udah punya pacar! Jadi pacar Reyna itu adalah calon suami Reyna.” Papa dan Mama saling bertatapan kaget. Suasana berubah hening dan canggung seketika. “Kalau begitu, perkenalkan pacar kamu kepada kami. Papa beri kamu waktu dua hari. Jika calon pilihan kamu tidak muncul dalam waktu yang sudah ditentukan, mau tidak mau kamu harus menikah dengan Kevin. Itu sudah pilihan terakhir buat masa depan kamu, Reyna.” Itu kalimat terakhir dari Papa sebelum beliau berbalik dan pergi meninggalkanku yang masih diam membeku seperti patung. Siapa laki-laki yang harus aku perkenalkan kepada orang tuaku? Arman? Ya, hanya dia satu-satunya yang melintas di dalam benakku. Karena dia memang pacarku. ***** Siang harinya, aku duduk di salah satu kursi kafe sambil menikmati macchiato. Jemariku mengetuk permukaan meja dengan bosan sambil melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya orang yang sejak tadi aku tunggu datang juga. “Maaf, aku telat, Baby.” Arman tersenyum hangat sebelum menarik kursi dan duduk di hadapanku. Kepalaku menggeleng memakluminya seraya membalas senyumannya. “It’s okay, Beb.” “Oh iya, katanya kamu mau ngomong sesuatu yang penting. Apa itu?” Arman menyandarkan punggungnya santai ke kursi sambil membolak-balik buku menu. Di kursiku, aku mulai gelisah. Sekilas kupejamkan mata ini sebelum memulai pembicaraan. “Papa sudah menjodohkan aku dengan laki-laki pilihannya, Beb.” Kening Arman mengernyit, ia menatapku antara bingung atau kaget. “Kamu udah dijodohin?” tanya Arman, seakan memastikan. Aku mengangguk ragu dan tersenyum hambar. “Ayolah, Rey. Ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi!” Arman mengusap rambutnya ke belakang. “Tapi kamu tenang aja, Beb. Aku juga nggak setuju sama perjodohan ini, karena itu aku udah punya solusi untuk kita berdua.” “Solusi apa maksud kamu?” Dahi Arman berkerut. Ia mulai mencondongkan badannya ke depan. Berharap keputusan ini adalah titik final hubungan kami berdua. Pelan-pelan aku menghela napas, jantungku tidak berhenti berdetak kencang. Aku mengulurkan tangan untuk meraih tangan Arman dan menggenggamnya erat. “Kamu harus nikahin aku.” “Apa?” Nyaris saja Arman terjengkang ke belakang karena terkejut. Tiba-tiba dia menarik tangannya menjauh. “Kamu udah gila, ya?” lanjutnya kemudian. Wajahnya pucat maksimal. “Hanya ini satu-satunya cara agar aku terbebas dari perjodohan dan kita bisa hidup bersama selamanya.” Arman menggelengkan kepalanya, gusar. “Tapi aku nggak bisa menikahi kamu semudah itu. Pernikahan itu ikatan yang sakral!” “Ya, I know. Tapi kita saling mencintai, kan? Kamu bilang cuma aku satu-satunya wanita yang ada di hati kamu dan bisa bikin hidup kamu penuh warna.” “Yaa ….” Arman mengedikkan bahunya, ia terdengar ragu-ragu. “Tapi kita ini baru pacaran beberapa bulan, Rey. Dan aku belum yakin sepenuhnya sama kamu,” ujarnya menyangkal. Kedua alisku saling bertautan, bingung. “Kamu nggak yakin sama aku? Berarti kamu juga nggak yakin sama hubungan kita? Intinya, kamu sama sekali tidak mencintai aku!” “Bukan begitu maksud aku, Rey. Tapi—“ “Tapi apa? Kalo kamu cinta sama aku, udah pasti kamu akan mempertahankan aku!” Aku mulai naik pitam, namun berusaha keras untuk menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata. “Sebenarnya ….” Arman menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kemudian ponselnya berdering nyaring. Ia pun segera menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel itu di telinga. “Iya, sayang ….” Dahiku mengernyit. Sayang? Arman tidak pernah mengeluarkan panggilan yang tidak lazim seperti itu terkecuali padaku. Berselang beberapa menit, Arman sudah selesai berbicara dengan seseorang di ponselnya dan kembali menatapku. Pelan-pelan, dia mulai menarik napas. “Itu yang menghubungi aku tadi adalah istriku.” “Apa?” Aku menjerit, kaget. Saraf-saraf pendengaranku seperti ditarik putus. Aku tidak salah dengar, kan? “Ya, sebenarnya aku sudah menikah.” “Apa?” Lagi-lagi aku menjerit, berhasiL menjadi tontonan para pengunjung kafe. “Jauh sebelum aku pacaran sama kamu,” lanjut Arman lagi dengan hati-hati. Suara derit kursi terdengar nyaring saat tubuhku mundur ke belakang. Gurat wajahku sudah cemas, namun pura-pura menyeringai geli. “Kamu bercanda kan, Beb? Kamu bohong, kan? Jangan main-main, deh, sama aku.” Tidak ada wajah keraguan di mimik Arman, semua itu murni keseriusan dan kejujuran. “Aku nggak bercanda, Rey. Maaf selama ini, aku cuma—“ Marah, kesal, benci. Hati ini sudah terasa panas. Tanpa banyak basa-basi lagi, aku langsung mengangkat tinggi-tinggi gelas macchiato-ku dan mengguyurnya ke wajah Arman. “Jadi, selama ini kamu cuma mempermainkan aku? Selama ini kamu cuma menjadikan aku sebagai pelampiasan? Kamu cuma menjadikan aku selingkuhan?” bentakku yang sudah naik pitam. Arman mengusap wajahnya dengan saputangan dan menjawab dengan enteng. “Maaf, Rey.” “Maaf?” Raut wajahku sudah berubah frustrasi. “Kamu udah menjadikan aku sebagai perusak rumah tanggamu sendiri dan udah jebak aku hingga minum minuman beralkohol. Terus, dengan mudahnya kamu cuma bilang maaf? Enak banget hidup lo, ya!” seruku sarkastis. Tapi, wajah laki-laki di hadapanku ini sama sekali tidak menunjukkan rasa sesal. “ Kamu yang salah, kenapa kamu mudah terpedaya. Aku hanya memulai permainan kecil, tapi kamu sendiri yang mengikuti alurnya, kan?” “Dasar cowok brengsek kamu, Arman! Kamu pikir kamu itu siapa ha? Adam Levine, Sahrukh Khan, Lee Min Ho, Rio Dewanto? Jangan sok kecakepan, deh. Kamu itu cuma laki-laki play boy yang nggak tahu malu! Pergi kamu dari sini sebelum aku tendang sel***kanganmu!” Arman bangkit berdiri sambil tersenyum sinis. “Reyna, Reyna.” Ia geleng-geleng kepala. “Pantesan aja kamu nggak wisuda-wisuda, mulut kamu belum lulus dikuliahin, sih.” Dalam hati aku mulai menghitung sampai lima, kalau saja Arman tidak buru-buru enyah dari hadapanku, mungkin aku sudah melempar laki-laki itu dengan kursi. Tapi ternyata, Arman berlalu sebelum hitunganku berakhir. Dasar pengecut! Sakit dan sesak. Dadaku seperti tertimpa batu besar. Aku kembali duduk dan menundukkan kepala di atas meja. Aku menangis. Baru kali ini aku merasakan sakit hati yang begitu parah. Kenapa aku terlalu bodoh, mau mempercaya laki-laki seperti Arman? 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya