Aku merasa sakit di kepalaku. Kelopak mataku terasa berat dan enggan terbuka lebar, perutku seperti diaduk-aduk. Badanku juga terasa sangat sakit seperti dipukul dengan palu berkali-kali.
Terdengar sayup-sayup suara familiar di sekitarku. “Reyna! Bangun kamu!” Suara Papa begitu keras, “… dan anak kamu juga. Reyna ini anak kita!” Perlahan tapi pasti. Meskipun masih terasa berat, akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka kelopak mata. Melihat satu per satu keluargaku yang berada di dalam kamarku. Wajah mereka semua terlihat tegang, cemas dan marah. “Kenapa sih, Pa?” tanyaku dengan suara serak. “Apa yang kamu lakukan semalam, Reyna? Kenapa kamu pulang dalam keadaan mabuk? Dan ke mana kamu pergi? Dengan siapa kamu pergi?” Serentetan pertanyaan dari Papa. Wajah beliau merah padam, sorot matanya begitu tajam. Aku terdiam, sembari mengingat potongan demi potongan tentang kejadian kemarin. Kelab, Arman, minuman beralkohol, dan mabuk. Arman berhasil membawaku ke tempat hiburan malam dan membuatku menenggak minuman keras. Arman menjebakku? Tidak, dia adalah pacar terbaik. Mungkin kemarin hanya kesalahan fatal. Setelah berhasil menyadari kesalahanku, aku mendongak dan menatap Papa dengan wajah mengiba. “Pa—“ Tapi Papa segera memotong kalimatku cepat. “Jawab saja pertanyaan Papa, Reyna! Apa yang kamu lakukan semalam? Dan siapa orang yang berani membuatmu sampai mabuk begitu?” teriak Papa murka, membuatku bergidik ngeri. Aku hanya menggeleng dan menangis. Seumur-umur, aku tidak pernah dibentak separah ini oleh Papa. Sebagai kepala keluarga, beliau memang selalu menerapkan hukum agama yang begitu kuat terhadap anak-anaknya. Seperti melarang yang haram dan mengindahkan yang halal. “Astaghfirullah, Reyna! Kenapa hidup kamu semakin lama semakin bebas? Apa selama ini Papa pernah mengajari kamu melakukan hal seperti itu?!” Papa terlihat marah. Beliau tidak pernah salah mendidik anak, tapi menghadapi watakku? Papa hampir angkat tangan. “Pa, sudahlah. Jangan berbicara seperti itu dengan Reyna. Lagi pula, kemarin itu Reyna dalam keadaan mabuk. Dia pasti tidak mengingat apa-apa.” Mas Emil mulai mengambil alih pembicaraan. “Jangan belain dia, Emil. Papa benar-benar sudah lelah menghadapi sikap nakal adikmu ini!” Papa membentak Mas Emil, hingga Mas Emil mengatup mulutnya rapat-rapat sambil menatapku iba. Papa kembali menoleh padaku dan bertanya, “Reyna, ada satu hal lagi yang harus kamu jawab dengan jujur. Apa kamu tidur dengan laki-laki yang bukan muhrim-mu?” Nyaris, aku terperanjat, lantas memandang Papa dengan mata terbelalak. Bahkan Mas Emil dan Mama sama terkejutnya. “Apa yang Papa bicarakan? Nggak mungkin anak kita melakukan hal sehina itu,” timpal Mama. “Kita tidak tahu apa yang anak ini lakukan di luar pengawasan kita, Ma. Pergaulan Reyna ini bebas.” Papa dan Mama saling bertatapan sengit. “Pa, hanya karena Reyna suka keluyuran malam, bukan berarti pergaulan Reyna sebebas itu sampai berbuat sesuatu di luar kendali! Reyna masih waras, Pa. Reyna masih bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk!” potong ku cepat. Hatiku sudah menggebu-gebu dan terasa panas. “Kalau kamu masih waras, kenapa kamu bisa sampai mabuk, Reyna!” bentak Papa seraya berkacak pinggang. Dada Papa turun naik karena menahan emosi. Wajahku tertekuk murung sambil mengaitkan ke sepuluh jari. Otakku berputar, namun terasa buntu. Aku tidak mempunyai jalan pintas atau cara terbaik untuk keluar dari perkara ini. Dasar Reyna dungu! Pantesan aja elo nggak wisuda sampai hampir enam tahun kuliah. Otak elo sudah pindah ke dengkul, sih!, suara batinku memaki. “Ma-maafin Reyna, Pa.” Akhirnya hanya kalimat penuh penyesalan itu yang mampu aku keluarkan. Papa mendesah panjang sambil menengadahkan kepalanya, sedetik kemudian kembali memandangku. “Susah payah Papa mendidik kamu dari kecil, tapi beginikah balasanmu terhadap orang tuamu sendiri? Dengan cara mabuk-mabukan seperti orang yang tidak memiliki agama? Kamu udah buat kami kecewa, Reyna.” Suara Papa tidak semarah dan sekeras tadi, kali ini terdengar lebih pasrah. “Sekarang, lebih baik kamu mandi dan ganti pakaian. Karena sebentar lagi keluarganya Kevin akan datang,” lanjut Papa sebelum keluar dari kamarku. Aku mengerutkan kening. Kevin lagi? “Reyna sayang, Mama percaya kalo kamu nggak mungkin berbuat yang macam-macam.” Mama menghampiriku. Duduk di ranjang tepat di sebelahku dan membelai rambutku lembut. “Sekarang kamu dengerin apa kata Papa kamu, ya? Mandi yang bersih serta dandan yang cantik. Anak Mama harus terlihat sempurna di hadapan keluarganya Kevin, oke?” Kemudian Mama bangkit dan ikut keluar dari kamarku. Lagi-lagi dahiku berkerut. Siapa sih Kevin itu sebenarnya? Memangnya, dia seterkenal apa? Kini giliran Mas Emil yang mendekatiku. Dia mendesah sembari menggeleng samar. Mas Emil juga bingung melihat kelakuan adiknya yang sangat jauh berbeda dari dirinya. “Mas juga marah ya, sama Reyna?” tanyaku hati-hati. Tapi Mas Emil hanya membalasku dengan senyuman. “Adik Mas udah gede, udah mau wisuda, udah bisa jaga diri. Jadi Mas percaya sama kamu.” Suara Mas Emil terdengar sangat lembut. “Maaf ya, Mas, gara-gara ulahku Mas Emil jadi capek-capek datang ke sini, ninggalin istri dan anak-anak di rumah.• Mas Emil tertawa, menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku merasa hangat dan nyaman. “Mas udah izin sama Mbak Dyas kok, sepulang dari bertugas langsung mengunjungi kamu.” “Beruntung deh, Mas dapat istri yang baik kayak Mbak Dyas. Nanti kalo aku nikah, aku juga pengen cari calon suami yang sebaik Mas Emil.” “Kamu akan mendapatkan suami seperti yang kamu inginkan itu, Reyna. Bahkan lebih segala-galanya dari Mas Emil.” “Dari mana Mas tahu? Emangnya Mas ini Tuhan, yang bisa nentuin jodoh buat Reyna?” Aku mengernyit sebal. Tapi, lagi-lagi Mas Emil hanya membalasnya dengan tertawa. “Ya, Mas yakin aja kalau kamu akan menikah dengan laki-laki yang lebih baik dari Mas. Udah deh, mendingan kamu mandi dan bersihin badan kamu yang bau alkohol. Sumpah, ini nyengat banget, Rey. Jangan sampai keluarganya Kevin jadi mikir yang macam-macam tentang kamu.” Tuh kan, Kevin lagi! “Sebenarnya Kevin itu siapa sih, Mas? Temannya Mas atau Papa?” Mas Emil hanya tersenyum. “Nanti kamu juga akan tahu.” Bola mataku berputar jengkel. Lama-lama aku jadi curiga, jangan-jangan keluargaku ingin menjualku kepada mas-mas yang bernama Kevin itu. Amit-amit! **** Dengan memakai kaos oblong bergambar logo Starbucks dan celana jins pendek, aku berjalan menuju ruang tamu. Mataku menyapu le seluruh penjuru ruangan, melihat beberapa orang yang tidak aku kenal tengah asyik berbincang hangat. Aku mengernyit, saat melihat laki-laki yang wajahnya familiar itu juga ikut duduk di ruang tamu. “Nah, itu Reyna,” ucap Mas Emil, yang membuat semua pasang mata tertuju padaku. Tanpa terkecuali Papa yang memandangku tajam dari atas kepala sampai ujung kaki. Papa sangat tidak suka melihat pakaianku yang menurut beliau kurang sopan. “Oh, jadi ini yang namanya Reyna? Cantik ya, Vin.” Nenek Kevin—yang duduk di sebelah cucunya, memujiku secara terang-terangan. Dan Kevin pun hanya mampu mengangguk seolah mengiyakan. “Reyna sayang, ayo sini gabung sama kita,” pinta Mama. Dengan berat hati, aku bergegas mendekat dan ingin duduk di sofa yang kosong. Tapi seorang wanita yang terlihat lebih muda dariku mulai bangkit dan bersuara. “Mba Rey, duduk di sini aja. Di sebelah Mas Kevin. Biar Wanda yang pindah.” Kemudian wanita cantik bernama Wanda itu pindah ke sofa tunggal. Sedangkan sisi sebelah kanan Kevin jadi kosong. Aku mendesah jengkel saat tatapan Papa dan Mama yang mengisyaratkan agar aku segera duduk di sebelah Kevin. Si mas-mas tua! Saat akhirnya aku duduk, entah kenapa sofa yang ditempati oleh tiga orang ini mendadak terasa sangat sempit. Apa karena tubuh nenek Kevin terlalu besar atau mas-mas tua ini sengaja berhimpitan denganku? Aku berusaha menjaga jarak agar terhindar dari sentuhan Kevin. “Rey, kamu nggak salaman dengan keluarganya Kevin? Ayo, lekas salim dulu sama neneknya Kevin,” tutur Papa. Aku pun langsung mencium punggung tangan nenek Kevin dengan sopan. “Nah, kalau perempuan cantik itu namanya Wanda. Adiknya Kevin, umurnya hanya satu tahun di bawah kamu,” ujar Papa lagi sembari menunjuk ke perempuan cantik—yang bertukar tempat denganku tadi. Aku menoleh dan tersenyum kepada Wanda, senyuman terpaksa. “Dan yang terakhir….” “Stop, Pa!” Aku langsung menyela seraya mengangkat kelima jari kananku tinggi-tinggi. “Aku kenal dengan mas-mas tua ini. Dia temannya Papa, kan?” Semua orang langsung tertawa mendengarku. “Rey, Kevin ini bukan teman Papa,” sambung Mas Emil. “Tapi, kemarin dia sendiri yang bilang kalo dia itu temannya Papa.” Aku menatap wajah Mas Emil dengan memelas. “Reyna, panggil Kevin dengan sopan. Jangan dia-dia, namanya Kevin Narendra. Lihat wajahnya, cakep pisan ya. Papa Kevin ini keturunan Timur Tengah lho, Rey.” Mama memuji Kevin blak-blakan yang justru membuatku jengah. “Pa, Ma, aku bingung deh, sebenarnya ini ada apaan sih? Dan siapa mas-mas tua yang duduk di sampingku ini?” tanyaku spontan. “Reyna, namanya Kevin. Jangan panggil begitu!” tegur Mama sekali lagi. “Mas-mas tua!” Tiba-tiba Wanda terkikik geli. “Wajah Mas emang keliatan tua, sih,” ejeknya seraya menatap Kevin sambil tertawa terpingkal-pingkal. Kevin memelototi adiknya, memberi peringatan tegas. “Hush, sembarang aja kalo ngomong.” “Reyna ini memang lucu, ya. Nenek jadi makin suka deh sama Reyna.” Kini nenek menatapku dengan gemas seraya membelai punggungku dari belakang. Sumpah, ini acara apaan sih! Semua ini berhasil membuatku bingung dan kesal dalam waktu bersamaan. Buru-buru aku menjauh dari sentuhan Nenek dan bangkit berdiri. “Kayaknya Reyna mau masuk ke kamar aja deh. Soalnya Rey lagi nggak enak badan, nih,” kataku berusaha menampik pembicaraan barusan. “Reyna sakit ya? Ya udah, Vin, coba kamu antar Reyna istirahat di kamarnya,” sambar nenek Kevin dengan asal hingga aku jadi terpekik kaget. “What?” Semua mata tertuju padaku. “Nggak perlu, Nek, aku sehat-sehat aja kok. Mendadak udah baikan.” Aku kembali mendaratkan bokongku ke atas sofa. Sedangkan Kevin justru tersenyum tidak karuan. “Jadi, Rey, Kevin ini anaknya Om Faizal. Kamu ingatkan sama teman Papa yang waktu itu pernah belikan kamu sepeda roda tiga saat umur kamu masih lima tahun?” gumam Mama di sela-sela Mbak Sri datang mengantar minuman dan meletakkannya di atas meja. Lima tahun? Aku sudah tidak ingat lagi pernah dibelikan sepeda roda tiga oleh Om Yusuf. Lagi pula aku juga tidak mengenal beliau. Namanya terasa sungguh asing di telingaku. “Udah pastilah Reyna lupa. Ya kan, Rey?” Nenek kembali menatapku, yang kubalas dengan anggukan saja. “Om Yusuf itu sahabat karib Papa dari SMA. Tapi sayangnya kamu dan Kevin baru bertemu sekali saja. Itupun waktu umur kamu masih lima belas tahun,” lanjut Papa kemudian. “Kamu tidak ingat dengan saya?” Kevin tiba-tiba menatapku sembari menunjuk dirinya sendiri. Aku langsung mengerutkan dahi, menatap wajah laki-laki di sebelahku ini dengan seksama. “Nggak,” jawabku ketus. “Coba kamu ingat-ingat dulu, Rey. Dulu kamu pernah meluk saya.” Mataku terbelalak kaget. “Meluk kamu?” Aku menyeringai geli. “Jangan mimpi deh, nggak mungkin aku mau meluk laki-laki yang udah bangkotan kayak kamu.” “Hush, Reyna, kamu nggak boleh bicara seperti itu.” Papa memberi teguran tegas. Matanya melotot tajam. Gurat wajahnya terlihat sungkan saat menatap Kevin. “Sudahlah, anakku, percuma juga kamu mencoba untuk mengembalikan memori lamanya Reyna. Dia pasti sudah lupa, dulu kan Reyna masih kecil. Sekarang lebih baik, bagaimana kalau kita langsung saja membicarakan tentang masa depan anak kamu dan cucu saya.” Perkataan Nenek membuatku bingung. Aku menyentuh kepalaku, tiba-tiba saja menjadi sakit. Perutku kembali bergejolak menahan mual. Mungkin ini masih efek alkohol dari mabuk kemarin. “Ya sudah, kalau gitu langsung aja kita tentukan tanggal pernikahan untuk Kevin dan Reyna,” kata Papa. Satu kalimat dari Papa membuatku berteriak histeris. Nyaris saja kedua bola mataku ke luar. “Apa? Pernikahan? Aku sama si mas-mas tua ini?” Kutatap Kevin dengan pandangan ngeri. Oh, Tuhan … bagaimana bisa?? Papa mengangguk mantap. “Iya, kamu dan Kevin itu sudah dijodohkan sejak kecil. Papa dan Om Faizal sudah berjanji satu sama lain akan menikahkan kalian ketika umur kamu dua puluh lima tahun.” “Are you kidding me, Daddy?” Astaga, Tuhan! Kepalaku kembali terasa pusing tujuh keliling. Tenggorokanku gatal, hingga akhirnya terjadilah peristiwa yang tidak terduga ini. “Huweeek!” Aku menumpahkan seluruh isi perutku ke arah baju Kevin. Semua orang langsung terkena serangan panik. Tanpa terkecuali Kevin. Saat laki-laki itu hendak bangkit dan ingin menghindar, muntahan kedua kembali terjadi. “Huweeek!” Cairan kuning dan berbau alkohol membuat kotor celana Kevin. Aku menyeka mulutku dengan punggung tangan sambil mendesah lega. Hah, enak sekali rasanya perut ini, akhirnya rasa mual yang sejak kemarin melilit perutku dapat keluar juga. Aku menyeringai geli saat melihat wajah Kevin yang tegang. “Maaf….” ucapku tanpa belas kasihan sambil bersendawa kencang. 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya