Bella tampak bingung. Tentu Mirza hanya masa lalu, apalagi teringat dengan pertemuan terakhir kali dengan Arumi tentang tawaran menjual suami seharga satu milyar itu.“Apa, sih? Enggak, bukan urusanku juga. Nanti yang ada, aku harus berurusan lagi sama si Rumi. Males banget. Tapi Mirza ...”Bella kembali masuk ke dalam kelab. Sempat dilihatnya di ujung sana, wanita berambut pendek cat merah itu mengibas-ngibas amplop tebal saat bertransaksi dengan barang bagus miliknya.Beberapa pria tinggi besar, dan juga wanita berdandan menor dengan tampilan seksi itu, memegang pipi lelaki tampan yang tak sadarkan diri, kini telah menjadi mangsanya dengan senyum penuh kepuasan.Bella mencoba abai dan kembali ke duduknya.Kepala Bella terasa pecah karena hal yang dia lihat justru hadir setelah dirinya galau dikhianati sang kekasih. Kekasihnya, Bastian bahkan tak menghubungi untuk sekadar berbasa-basi dan meminta maaf.“Beneran nggak mau mabok?”Adel kembali menawarkan segelas minuman beralkohol saat
Hari hampir larut. Arumi menikmati camilan malamnya sambil menonton televisi. Sudah seharian sang suami pergi ke Jakarta, tak ada satu pun pesan atau panggilan masuk ke ponsel-nya."Suamiku kerja keras banget, ya! Beruntungnya aku."Tak dia sadari takdir buruk apa yang telah menjerat Mirza. Bahkan malam sudah terlewati, belum ada tanda-tanda Mirza akan pulang.Sebentar dia keluar rumah untuk menunggu kedatangan suami. Sudah hampir pukul sebelas malam."Ini kenapa ditelepon nggak diangkat, sih?" gusarnya sambil menatap layar. Tersambung, tapi tak dijawab. Tak lama, panggilannya beralih ke Sukma. Tak juga disahuti."Ini apa Mas Mirza nginap di sana dan nggak pulang, ya?"Bukannya khawatir, Arumi masuk saja ke rumah. Berbaring nyaman di kasur empuk sambil menatap amplop cokelat di sisi pembaringannya. Uang dari Sukma masih utuh, belum ada agenda akan dia ke mana kan tiap rupiah itu."Ini duitnya buat apa, ya? Belanja baju, udah, nyalon juga udah, kemarin. Emas juga udah banyak. Besok ma
“Hape kamu mati, Mas? Mas Seno neleponin aku terus.”Gerutu Arumi belum ditanggapi oleh Mirza. Sudah dua hari berlalu sejak kejadian itu, Mirza tak banyak bicara. Ponsel dimatikan karena enggan beraktifitas apa pun. Jiwanya masih terguncang pasca insiden kelab itu. Tak bisa marah pada siapa pun karena nyatanya, Arumi juga ditipu oleh temannya.“Mau sampai kapan kamu begini terus?” Arumi bertanya sambil meletakkan secangkir teh di atas meja. “Nganggur di rumah mau sampai kapan? Bukannya aku nggak perhatian sama kejadian kemarin, tapi mau dipikirin berlarut-larut juga nggak ada gunanya, kan? Udah hampir dua minggu sejak dipecadan kamu belum dapat kerjaan lagi, Mas.”Mirza menghela napas gusar, disekanya wajah sembari bergumam istighfar. Ya, dia tak bisa terus berpangku tangan. Arumi dan kandungannya harus dipikirkan.Mirza mengintip dari sisi pintu ketika melihat Arumi duduk sendirian di dapur pada malamnya. Setelah menyeduh segelas susu ibu hamil, sang istri bermain ponsel sembari ter
"Hai, Bel, ketemu lagi, ya!" seru Arumi, pongah. Senyum licik terukir di bibirnya. Bella belum menyahut. Arumi berjalan mendekati, menyenter penampilan teman lamanya itu dari ujung rambut sampai kaki. Begitu bergaya dengan merk ternama.'Kapan, ya, aku bisa pakai barang-barang branded gini?' lamunnya, membatin.Sejak tadi Bella berpikir. Ada angin apa tiba-tiba Arumi datang menemuinya?'Apa Mirza cerita kalau aku ketemu dia di kelab ke Arumi? Firasatku nggak enak banget, nih.'Lekas Bella menarik tangan Arumi untuk menyeret langkah keduanya. Bersantai sejenak dan bicara di coffee shop perusahaan."Katakan apa maumu? Kenapa kamu bisa ada di sini?" gerutu Bella, menghentak meja.Arumi tersenyum, meraih secangkit latte yang dihidangkan padanya. "Mas Seno, mantan supir kamu itu, masku. Saudara kandungku."Mata Bella membeliak. Sekian tahun Seno bekerja pada Keluarga Hermawan, bagaimana hal ini bisa terjadi?"Kamu adiknya Mas Seno? Apa dia ...""Dulu pas SMU, kamu juga nggak pernah ketemu
Mirza menatap nonanya yang mendekati dengan koper di sisi kakinya. Sudah dia dengar dari Danu bahwa Bella akan pergi tugas selama hampir seminggu di Bandung."Kamu setirin aku, ya. Papa yang minta," perintah Bella, cuek.Mirza mengangguk. "Ba-baik, Bel. Eum, Nona."Selama dua minggu ini, mereka tak saling bicara. Bella juga lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di luar. Sekalipun berpapasan di rumah, mereka saling mengabaikan seolah tak mengenal.Sepanjang perjalanan ke Bandung, sesekali Mirza menatap Bella dari spion. Wanita itu hanya sibuk dengan berkas dan ponsel di tangan."Fokus ke jalanan saja, Mirza!" tegur Bella."Ah, ya."Sebenarnya Bella sangat marah perihal kebohongan yang dilakukan Mirza. Pun sebab dia berpikir bahwa Mirza sama buruknya dengan Arumi.Setibanya di villa Bandung, Mirza menyeret koper Bella untuk masuk ke rumah inapan itu. Hanya ada seorang tukang kebun yang menjaga villa keluarga Hermawan."Kamar tidurmu di belakang. Dan juga, besok sekitar jam sepuluh pag
“Pak, ajak saya masuk, dong!” bujuk Arumi pada sang security.“Aduh, Mbak. Mirza, kan, nggak ada di rumah. Kalau saya bawa Mbak masuk, mau bilang apa ke Nyonya?”Arumi masih bersikeras. Tak sabar rasanya ingin menginjakkan kaki di rumah kaya berlantaikan marmer itu. “Saya adiknya, Pak. Seenggaknya izinin saya masuk, saya haus. Jauh-jauh dari kampung, masa harus pulang lagi? Nanti saya telepon Mas Mirza-nya, deh.”Satpam itu pun membawa Arumi masuk ke rumah besar milik Keluarga Hermawan. Langkahnya hati-hati, Arumi membuntuti dari belakang. Niat petugas keamanan itu hanya membawakan Arumi minuman dari dapur, tapi berpapasan dengan Mayang, sang pemilik rumah.“Itu siapa, Rus?” tanya Mayang.“Dia ngakunya adiknya Mirza.”Sejak tadi Arumi memandang tajam pada Mayang. Wanita itu terlihat kurang sehat. Sungguh penampilannya jauh berbeda dari Hermawan yang tampak gagah dan rupawan di usianya yang matang.‘Aduh, si tua ini nggak pantas rasanya bersanding sama Pak Hermawan. Kapan matinya, sih
Bella berjalan congkak, lalu duduk di hadapan mereka sambil melipat tangan di depan dada. Lucunya, bukannya pria itu duduk bersebrangan dengan Leona, mereka justru duduk berdampingan hingga membuat kepala Bella nyaris meledak.“Kenapa memanggilku ke sini? Mau menyampaikan undangan pernikahan kalian padaku?” Bella menatap nyalang pada keduanya, lalu menunjuk ke arah wajah Leona. “Atau mungkin kamu sedang hamil setelah menjual tubuhmu pada lelaki ini?”Meski selama ini berusaha tegar, melihat Bastian dan Leona duduk berdampingan seperti ini, ditambah lagi teringat aktivitas bergumul mereka itu membuat hati Bella mendadak nyeri.Leona belum menyahut, membiarkan Bastian mengambil alih alur perbincangan di depan sahabat yang ditikamnya beberapa tahun terakhir.“Kamu melihatnya saat itu, aku nggak bisa berdalih lagi. Tapi setidaknya, dengarkan penjelasan kami dulu. Bukannya kami sengaja mengkhianatimu, kami terpaksa melakukan ini karena-”Bastian tergagap saat Leona mencubit sisi pahanya.
Januari, 2013."Aku menyukai Mirza. Bisa berikan hadiah ini untuknya?"Arumi tersenyum getir, memandangi kotak kado yang diberikan sahabatnya, Bella. Pandangan keduanya terpatri pada teman sekelasnya yang sedang duduk di kursi sudut. Pemuda tampan yang mengisi jam istirahat sekolah dengan membaca sebuah buku pelajaran. Sesekali dinaikkannya kacamata yang membingkai netra hitamnya."Untukmu!" kata Arumi, tepat setelah dia tiba di hadapan Mirza.Mirza belum bergeming, mendapati kado yang diyakini berisi buku-buku hanya dari bentuknya saja. Lekas dia membuka. Matanya memindai sampul dari buku berjudul Laa Tahzan yang sudah sejak lama dia cari. Juga buku agama yang lain."Ini...""Ini dariku. Sepertinya cocok untukmu," ujar Arumi, menyadari bahwa Mirza yang cukup alim ini, tentu tertarik pada buku pemberiannya.Darinya, tak mengatakan bahwa itu dari Bella.Awal di mana Mirza hanya mematri pandangan pada Arumi, setelah hari itu. Mengabaikan Bella yang diam-diam menaruh hati, tetapi dikhian