Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
"Ulfa!" teriak Sano dari dalam kamar berhasil mengejutkan sang istri yang sedang menyuapi anak sematawayang mereka di ruang keluarga. "Ulfa, di mana kamu?!""Ada apa, Mas?"Terpaksa Ulfa beranjak dari duduknya, lalu melangkah cepat menuju sumber suara. Dia terkejut mendapati kamar dalam keadaan hancur seperti kapal pecah. Handuk basah diletakkan begitu saja di tempat tidur, sementara bantal teronggok di lantai bersama pakaian kotor.Ada apa? batin Ulfa bertanya-tanya. Padahal saat suaminya sedang mandi, kamar itu sudah rapi. Saat melirik ke lemari pakaian yang terbuka, ternyata sama berantakannya. Ulfa membuang napas kasar berusaha untuk bersabar."Dasi aku mana?! Kalau aku telat ke kantor, bukan kamu yang dimarahi sama bos!" teriak Sano dengan wajah merah padam."Kenapa kamu semarah itu, Mas? Dasi kamu ada di dalam lemari. Biasanya kamu langsung lihat, 'kan?"Sano mendengus kesal, tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun. Sementara Ulfa segera mengambil dasi berwarna biru navy, lalu
Hampir setengah jam Ulfa menangis di dalam kamar memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Perubahan sikap Sano tentu saja mengundang tanda tanya. Untung saja Alea kembali bersikap acuh tak acuh dan memilih menonton kartun di televisi.Dengan sisa tenaga yang ada, Ulfa berusaha bangkit. Matanya tidak sengaja menangkap sesuatu yang paling memungkinkan untuk memberi jawaban. Sesuatu itu adalah ponsel hitam milik Sano Wijaya. Dia pasti tidak sengaja meninggalkannya di nakas ketika mencari kartu ATM tadi.Tangan Ulfa menyambar benda pipih itu lantas membuka semua aplikasi sosial media untuk mencari bukti, barang kali suaminya memiliki selingkuhan. Sepuluh menit berlalu, Ulfa tidak juga menemukan bukti bahkan daftar blokir di semua sosial media Sano kosong."Kalau bukan karena main api, lalu kenapa kamu berubah, Mas?" tanya Ulfa pada dirinya sendiri dalam perasaan resah.Tiba-tiba ada yang mengusik perhatian Ulfa ketika melirik bar notifikasi. Dia mengerutkan kening, lalu menekan dengan
Jam sudah menunjuk angka delapan malam, hati Ulfa semakin resah menunggu waktu yang tepat untuk berangkat. Alea pun telah dititipkan pada seorang tetangga yang memang sering membantu Ulfa, juga mendengarkan curahan hatinya.Penampilan Ulfa terlihat berkelas. Di rumah memang selalu memakai daster, tetapi untuk acara tertentu dia selalu bisa menyesuaikan. Sano mungkin saja tidak tahu kalau orang tua Ulfa memiliki banyak aset sehingga dengan mudah meremehkannya.Ponsel wanita itu berdering, dia segera merogoh tas branded-nya, hadiah ulang tahun dari saudaranya. "Halo, Mas, ada apa?""Kamu nggak nungguin aku pulang, kan, Sayang? Soalnya ini kerjaan lagi banyak banget. Sebenarnya aku pengen pulang, cuman dilarang sama bos."Ulfa menarik sudut bibirnya tipis, lalu menjawab dengan suara pelan seolah dia sudah mengantuk. "Nggak, kok, Mas. Ini aku udah mau tidur sama Alea. Kamu jaga kesehatan, jangan lupa makan malamnya. Kalau capek jangan dipaksa, Mas.""Iya, Dek. Kalau gitu mas tutup telepon