"Kamu tahu, Mas, malam ini ulang tahun Tantri dan aku nggak ingin membuat keributan. Kamu harus mengakhiri hubungan itu sekarang atau aku ...." Ulfa memberi tatapan tajam mematikan pada Sano. "Akan membunuhmu," lanjutnya. Detik itu juga Sano tersentak. Dia tidak menduga kalau Ulfa yang lemah lembut bisa berkata seperti itu. Bahkan Sano menduga kalau wanita yang duduk di depannya bukanlah Ulfa, melainkan seorang gadis yang mirip dengannya. Lihatlah, pihak keluarga Sano tidak ada yang berkutik karena sama terkejutnya. Sekarang Ulfa beralih memandang Dita dingin, lalu menunjukkan sebuah ponsel. "Kamu tahu, Dit? Aku memakai ponsel ini sejak enam tahun yang lalu dan beberapa hari ini sudah mulai hang. Seperti Mas Sano, bukan aku tidak mau membuangnya, tetapi ada bekas jariku di tubuhnya. Terutama jika ada seseorang yang berusaha merebutnya dariku. Jangan mencoba mencuri milik orang lain, belilah sendiri. Kamu mengerti maksud aku?" Dita diam, berusaha menahan amarahnya karena dia selalu ingin terlihat baik-baik saja. Lagi pula, hatinya sakit mendengar penuturan Ulfa baru saja. Wanita itu diam-diam mengepalkan tangan kanannya. "Tanya sama keluargamu, Dit. Bilang sama dia kalau kamu menjadi pelakor dan meminta restunya–" "Dengar–" "Diam!" bentak Ulfa memotong balik pembicaraan Dita. Suasana di rumah itu semakin tegang. Tantri bahkan bersembunyi di belakang ibunya karena gemetaran. ______ Kisah perjalanan hidup seorang wanita yang dikhianati oleh suaminya. Mampukah dia tetap berdiri kokoh melawan setiap rintangan yang mencoba menghalangi jalannya? Yuk, ikuti terus ceritanya sampai tamat, ya!
Lihat lebih banyak"Ulfa!" teriak Sano dari dalam kamar berhasil mengejutkan sang istri yang sedang menyuapi anak sematawayang mereka di ruang keluarga. "Ulfa, di mana kamu?!"
"Ada apa, Mas?"
Terpaksa Ulfa beranjak dari duduknya, lalu melangkah cepat menuju sumber suara. Dia terkejut mendapati kamar dalam keadaan hancur seperti kapal pecah. Handuk basah diletakkan begitu saja di tempat tidur, sementara bantal teronggok di lantai bersama pakaian kotor.
Ada apa? batin Ulfa bertanya-tanya. Padahal saat suaminya sedang mandi, kamar itu sudah rapi. Saat melirik ke lemari pakaian yang terbuka, ternyata sama berantakannya. Ulfa membuang napas kasar berusaha untuk bersabar.
"Dasi aku mana?! Kalau aku telat ke kantor, bukan kamu yang dimarahi sama bos!" teriak Sano dengan wajah merah padam.
"Kenapa kamu semarah itu, Mas? Dasi kamu ada di dalam lemari. Biasanya kamu langsung lihat, 'kan?"
Sano mendengus kesal, tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun. Sementara Ulfa segera mengambil dasi berwarna biru navy, lalu memasangkannya di leher sang suami.
"Aku bisa sendiri!" ketus Sano lagi semakin membuat Ulfa bingung lantas mengerutkan kening.
Selama lima tahun pernikahan mereka, Sano tidak pernah berbuat kasar pada Ulfa apalagi teriak-teriak di pagi hari hanya karena masalah sepele. Sekarang dia berbeda, bahkan dari pandangan matanya, Ulfa bisa merasakan kalau Sano sangat benci padanya.
Akhirnya, dia berusaha mengingat-ingat kesalahan yang mungkin saja membuat Sano marah. Beberapa menit berlalu, Ulfa tidak berhasil menemukannya. Apalagi tadi malam mereka masih saling berbagi cerita karena tiga hari yang lalu Sano diangkat sebagai manager.
"Kenapa bengong di situ bukan ngurus Alea? Bau bawang!"
"Apa katamu, Mas? Bau bawang?"
"Iya, kamu bau bawang!" ulang Sano tanpa rasa bersalah padahal jelas ledekan itu teramat melukai hati Ulfa.
Ulfa sampai menitikkan air mata membiarkan Sano berlalu begitu saja. Padahal jam masih menunjuk angka enam lewat lima menit dan tadi dia mengatakan terlambat? Jarak dari rumah ke kantor saja hanya butuh waktu lima belas menit. Oh, ayolah, Ulfa merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Daripada terpaku di tempat, Ulfa melangkah cepat mengekori suaminya sampai di meja makan karena Alea pun terlihat sibuk bermain. "Kok, tumben sepagi ini udah siap, Mas? Biasanya juga kamu agak telat dikit."
"Maksud kamu apa? Kamu mau nuduh aku selingkuh?" Mata Sano langsung menyalak tajam. Nasi goreng yang baru saja dia kunyah langsung disemburkan ke sembarang arah. "Makanan apa ini? Kamu sebenarnya bisa masak nggak, sih? Nasi goreng asin begitu. Kamu mau tekanan darahku tinggi, lalu mati?"
Ulfa menggeleng menatap tidak percaya pada Sano. Benarkah dia Sano yang selama ini bersikap lembut padanya? Lalu jika iya, lantas ke mana semua kasih sayang dan cinta yang selalu dia tunjukkan itu?
Hal aneh lainnya yang mengganjal di hati Ulfa adalah cara berbicara Sano. Jika dulu dia akan menyebut dirinya 'mas', lalu memanggil Ulfa dengan sebutan 'dek', sekarang tidak lagi. Ulfa hanya mendengar kata aku dan kamu seolah mereka adalah orang asing.
"Mas, aku nggak nuduh kamu selingkuh. Aku cuma nanya, tumben kamu–"
"Bohong!" tampik Sano menolak alasan.
Ulfa yang sudah geram langsung memukul meja dengan keras. Selama ini dia selalu berusaha menahan amarah berharap rumah tangganya jauh dari perdebatan, tetapi kini Ulfa merasa harus tegas juga. Sudah banyak istri yang dianiaya oleh suami sendiri karena terlalu lugu dan bodoh.
"Mas, tadi kamu bahas nasi goreng yang asin, 'kan? Sejak kapan nasi goreng ini asin? Mas kira aku nggak nyicipin sebelum ngasih ke kamu, Mas? Lagian dari tadi marah-marah begitu sebenarnya ada apa? Mas kalau nggak mau aku ada di sini tinggal bilang aja biar aku pergi!"
"Oh, kamu mau pergi?"
Baru saja Ulfa ingin menjawab, tiba-tiba terdengar suara tangisan Alea. Jarak antara meja makan dengan ruang keluarga hanya dua meter, sehingga anak itu mungkin saja ketakutan. Ulfa langsung mendekat, lalu memeluk erat untuk menenangkannya.
Sano mendegus kesal, melempar piring ke lantai hingga menimbulkan suara nyaring. Tangis Alea semakin pecah, Ulfa memejamkan mata sambil terus berbisik memintanya tenang.
"Anak, istri sama aja, bikin pusing!" geram Sano sebelum akhirnya menghilang melewati pintu utama.
"Ma, papa kenapa marah-marah?"
Pertanyaan Alea mengiris hati Ulfa. Dia tidak tahu harus menjawab apa karena Ulfa sendiri masih bertanya-tanya. Perubahan yang terjadi pada Sano terlalu banyak, hampir sembilan puluh persen. Ulfa merasa seperti tinggal bersama Sano yang lain.
"Mama kenapa diam? Papa kenapa marah-marah dan nggak cium aku sebelum berangkat kerja?" tanya Alea lagi, sambil menghapus jejak di pipinya.
"Mungkin papa lagi ada masalah di kantor, Sayang. Papa, kan, sibuk nyari uang demi mama sama Alea. Jadi, kalau misal papa marah, pasti ada alasannya. Kamu mau maafin papa, 'kan?"
Alea mengangguk, tetapi tanpa senyuman. Ulfa pun kembali mengeratkan pelukannya karena bisa merasakan hati Alea sedang terluka. Seribu tanya meraja dalam hati Ulfa tentang perubahan sikap Sano yang terlalu mendadak.
Seorang lelaki yang dulu melamarnya dengan sejuta cinta dan kasih sayang. Sebenarnya keluarga Ulfa tidak setuju karena perbedaan suku, tetapi Sano terus berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk memberi kebahagiaan pada Ulfa.
Setelah menikah, Ulfa yang tinggal di Makassar langsung dibawa ke Tangerang. Sampai saat ini dia belum pernah pulang ke kampung halaman dengan alasan Sano belum memiliki uang untuk tiket pesawat dan harus menunggu lebaran.
"Kenapa tadi papa marahin mama? Mama ada salah?"
Ulfa menggeleng. "Tidak, Sayang. Mama nggak dimarahin sama papa, kok, tadi."
"Ulfa!" teriak Sano membuka pintu. Ulfa tersentak mengira lelaki itu sudah pergi, atau mungkin dia kembali karena ketinggalan sesuatu? batinnya bertanya.
"Apa, Mas?"
"Mana kartu ATM yang selama ini kamu pegang?"
"Loh, itu tabungan buat masa depan Alea, Mas. Kenapa kamu minta lagi?"
Sano tidak menjawab, dia melangkah cepat masuk kamar dan menggeledah lemari. Cukup lama dia mencari sambil terus menendang tidak jelas. Ulfa kesal, kedua tangannya terkepal kuat sebelum memukul bahu Sano keras.
Mereka saling beradu pandang dengan tatapan menyalak tajam. Napas Ulfa kian memburu, giginya gemeretak menahan amarah. "Mau kamu apain, Mas?"
"Aku butuh uang!" Sano mendorong Ulfa sampai wanita malang itu tersungkur ke belakang.
Tangan Sano kembali menggeledah dan menemukan sebuah dompet kecil di bawah nakas. Senyumnya mengambang sempurna ketika menemukan kartu ATM Mandiri di dalamnya. "Akhirnya, kartu ini ada di tanganku," gumam Sano yang masih bisa terdengar oleh Ulfa.
"Mas, kamu nggak boleh ambil kartu itu!" teriak Ulfa frustrasi, tetapi Sano sudah meninggalkan rumah dengan mobilnya.
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen