Hampir setengah jam Ulfa menangis di dalam kamar memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Perubahan sikap Sano tentu saja mengundang tanda tanya. Untung saja Alea kembali bersikap acuh tak acuh dan memilih menonton kartun di televisi.
Dengan sisa tenaga yang ada, Ulfa berusaha bangkit. Matanya tidak sengaja menangkap sesuatu yang paling memungkinkan untuk memberi jawaban. Sesuatu itu adalah ponsel hitam milik Sano Wijaya. Dia pasti tidak sengaja meninggalkannya di nakas ketika mencari kartu ATM tadi.
Tangan Ulfa menyambar benda pipih itu lantas membuka semua aplikasi sosial media untuk mencari bukti, barang kali suaminya memiliki selingkuhan. Sepuluh menit berlalu, Ulfa tidak juga menemukan bukti bahkan daftar blokir di semua sosial media Sano kosong.
"Kalau bukan karena main api, lalu kenapa kamu berubah, Mas?" tanya Ulfa pada dirinya sendiri dalam perasaan resah.
Tiba-tiba ada yang mengusik perhatian Ulfa ketika melirik bar notifikasi. Dia mengerutkan kening, lalu menekan dengan hati-hati. "Aero W******p?" gumamnya lagi setengah terkejut.
Sekarang Ulfa mengerti bahwa Sano memiliki dua aplikasi W******p. Tidak ada pesan di kolom percakapan. Untung saja Ulfa pernah memakai aplikasi itu dua tahun yang lalu karena permintaan temannya.
Setelah mengklik tulisan 'W******p' pada sudut kiri atas, muncullah semua pesan rahasia. Ada grup keluarga dan ... deret pesan dari sebuah kontak tanpa nama.
[Mas, tadi ibu bilang bakal ada acara keluarga nanti malam? Kamu jadi jemput aku, 'kan?]
[Jangan lupa bawa tas Ulfa yang warna putih itu, loh. Aku suka banget sama modelnya, Mas.]
[Kok, nggak dibalas? Lagi sibuk, ya? Ya sudah, kamu fokus kerja. I love you.]
Jujur saja, deret pesan itu berhasil menciptakan luka yang sangat dalam di hati Ulfa. Pasalnya selama ini dia menaruh kepercayaan penuh pada Sano sehingga tidak berpikir kalau suaminya akan mendua.
Meskipun tanpa penjelasan, Ulfa sudah tahu kalau suaminya mendua. Entah hubungan mereka sudah sah secara agama atau belum. Kaki Ulfa lemas seketika membuat wanita malang itu menjatuhkan dirinya di lantai.
Luka itu belum selesai ketika Ulfa membuka grup keluarga suaminya. Beberapa pesan tersebut membahas tentang acara nanti malam yang bertepatan dengan hari ulang tahun Tantri—adik ipar Ulfa. Saat mengecek anggota grup, tidak ada nama Ulfa di sana.
"Apa kalian sengaja buat grup baru tanpa aku?" lirihnya menghapus jejak di pipi.
Setelah memperbaiki perasaan, Ulfa berpikir untuk menyimpan nomor tidak dikenal itu ke dalam ponselnya. Entahlah, Ulfa sendiri masih bingung untuk apa, tetapi suatu hari pasti dibutuhkan.
***
Pukul sebelas siang, Ulfa mendengar suara mobil memasuki halaman rumahnya. Alea yang baru saja tidur langsung ditinggalkan menuju pintu utama. Benar saja, Sano datang dengan wajah ditekuk.
"Mas, aku mau bicara."
"Mau bicara apa? Aku buru-buru ini. Kamu lihat ponsel aku di kamar?"
Ulfa tersenyum pahit. "Nggak, aku nggak lihat. Kalau mau, cek sendiri gih!"
Mendengar itu, Sano menggeram sambil melangkah masuk kamar. Dia sedikit heran dengan perubahan sikap istrinya. Jika biasanya Ulfa menyambut dengan senyum hangat dan tutur kata yang lembut, kali ini tidak.
Bahkan Sano bisa melihat tatapan tajam Ulfa yang mematikan. Namun, itu semua tidaklah penting. Sano tersenyum ketika melihat ponselnya masih berada di tempat semula, itu artinya Ulfa berkata jujur dan rahasianya aman.
"Sayang, maaf ya kalau tadi mas marah-marah, soalnya di kantor lagi ada masalah. Tahu sendiri, kan, kalau pikiran mas lagi kusut itu susah buat–"
"Oh, di kantor lagi ada masalah?"
Sano mengangguk, kemudian mengulum senyum. "Pekerjaan juga pada numpuk, jadi mas bakal lembur. Mungkin mas pulangnya jam satu malam. Kamu nggak keberatan mas tinggal sama Alea, 'kan? Kalau nggak sanggup menunggu, tidur aja, soalnya ada kunci cadangan juga."
Lembur? Ulfa tersenyum kecut. Sekarang semakin jelas kalau Sano bermain api di belakangnya. Entah siapa wanita sialan yang menjadi selingkuhan Sano itu. Padahal selama ini Ulfa sudah berusaha menjadi istri yang baik, tetapi ternyata tidak dihargai.
Dan ya, pihak keluarga Sano juga mendukung. Buktinya dalam grup keluarga, Ulfa ditiadakan. Mereka membahas acara keluarga tanpa ada seorang pun yang mengingat Ulfa.
"Sayang, kenapa bengong? Kamu nggak keberatan, 'kan? Toh, aku juga lembur demi kamu, demi anak-anak kita," lanjut Sano dengan suara yang sangat lembut.
"Lalu uang yang di kartu ATM itu dikemanain, Mas?"
Sano tersentak, matanya memandang ke arah kanan dan kiri, terlihat tidak tenang. Beberapa menit berpikir, akhirnya dia menemukan jawaban. "Itu mas minjam dulu soalnya kemarin nggak sengaja ngerusakin laptop teman kerja. Jadi, mas diminta buat ganti rugi. Nanti mas ganti, kok."
"Oh ya?" Sano mengangguk, Ulfa pun mengulum senyum manis penuh kepalsuan. "Baiklah, nanti malam lembur aja, Mas. Aku nginap di rumah Ibu Mahika aja biar ada temennya. Soalnya Alea kadang suka nangis tantrum, kalau sendiri aku suka bingung."
"Ke rumah ibu?!"
"Iya, Mas. Mas, kan, tahu kalau aku nggak punya keluarga di sini. Selain ibu mertua, ya siapa lagi?"
Sano menghela napas berat, memijit kening pertanda bingung. Ulfa sendiri memilih diam, pura-pura tidak tahu pikiran suaminya. Beberapa menit menunggu, akhirnya Sano memegang tangan Ulfa erat.
"Tantri lagi sakit dan nggak mau periksa ke dokter, Dek. Maksudnya gini, kalau Alea ke sana, bisa-bisa dia mengganggu Tantri. Kamu di sini aja malam ini, oke? Mas usahain bisa pulang cepat dan kalau ada apa-apa, langsung kabari mas aja."
"Iya, Mas." Ulfa terpaksa mengiyakan, tetapi ada rencana lain yang dia pikirkan.
Sano pun tersenyum lega, lalu mengambil pakaian dalam lemari dan membawanya menuju mobil dengan dalih sore nanti harus berganti pakaian sebelum menemui bosnya. Alasan yang tidak masuk akal, tetapi Ulfa memilih mengangguk.
Sebenarnya dia sangat ingin menjambak rambut Sano sampai botak begitu mengingat pesan rahasia itu. Apalagi si pengirim mengatakan 'i love you' di akhir kalimat. Istri mana yang tidak cemburu ketika melihat pesan romantis seperti itu?
Mobil Sano meninggalkan halaman rumah, Ulfa pun kembali masuk ke kamar Alea dan menciumi wajah anaknya penuh kasih sayang. Tidak terasa, air mata telah jatuh membasahi pipi. "Kuatkan mama, Sayang. Kamu harus selalu ada buat ngasih mama kekuatan. Kita akan melawan papa dan semua keluarga yang memihaknya. Kamu harus selalu ada di samping mama!" pinta Ulfa mencium punggung dan telapak tangan Alea bergantian.
Malam nanti dia berniat untuk ikut hadir ke rumah sang mertua, meskipun hatinya akan semakin hancur. Kebenaran harus Ulfa lihat di depan mata, entah bagaimana ekspresi Sano mendapat kejutan dari sang istri.
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N