Jam sudah menunjuk angka delapan malam, hati Ulfa semakin resah menunggu waktu yang tepat untuk berangkat. Alea pun telah dititipkan pada seorang tetangga yang memang sering membantu Ulfa, juga mendengarkan curahan hatinya.
Penampilan Ulfa terlihat berkelas. Di rumah memang selalu memakai daster, tetapi untuk acara tertentu dia selalu bisa menyesuaikan. Sano mungkin saja tidak tahu kalau orang tua Ulfa memiliki banyak aset sehingga dengan mudah meremehkannya.
Ponsel wanita itu berdering, dia segera merogoh tas branded-nya, hadiah ulang tahun dari saudaranya. "Halo, Mas, ada apa?"
"Kamu nggak nungguin aku pulang, kan, Sayang? Soalnya ini kerjaan lagi banyak banget. Sebenarnya aku pengen pulang, cuman dilarang sama bos."
Ulfa menarik sudut bibirnya tipis, lalu menjawab dengan suara pelan seolah dia sudah mengantuk. "Nggak, kok, Mas. Ini aku udah mau tidur sama Alea. Kamu jaga kesehatan, jangan lupa makan malamnya. Kalau capek jangan dipaksa, Mas."
"Iya, Dek. Kalau gitu mas tutup teleponnya. Sekali lagi maaf soal pagi tadi karena mas tiba-tiba marah sama kamu. I love you, Di ... Sayang."
Setelah itu, Sano menutup panggilan sepihak. Ulfa mengerutkan kening menyadari kalau tadi suaminya hampir salah menyebut nama. Siapa wanita berinisial D yang dekat dengannya?
Hati semakin gusar, Ulfa menghembus napas kasar berulang kali memikirkan pemilik nama berinisial D itu. Kalau saja tidak salah menyebut nama, Sano tidak akan menutup telepon sebelum mendapat balasan.
Ulfa sudah sangat mengenali suaminya, jadi meskipun hal sepele akan mempengaruhi pikirannya. Ulfa menarik napas panjang, lalu berdiri di depan cermin panjang untuk melihat apakah penampilannya sudah bagus atau belum.
Midi dress berwarna gelap sangat cocok di kulit Ulfa yang cerah, dipadu dengan tas Yves Saint Laurent hitam. Terlihat klasik dan sederhana, tetapi sangat cantik dan elegan. Baiklah, sekarang dia sudah siap untuk berangkat ke rumah mertua.
***
Setelah satu jam membelah jalan, akhirnya Ulfa berdiri di depan rumah sang mertua. Jantungnya berdegup kencang, berusaha menebak kalau benalu dalam rumah tangganya sedang bertepuk tangan sambil terus mengambangkan senyuman.
Perlahan, tangan Ulfa memegang handle pintu aluminium itu, lalu membukanya. Tampak semua orang yang berada di ruang tamu menatap terkejut, termasuk Sano dan seorang wanita yang bergelayut manja di lengannya.
Ulfa mengenali wanita itu. Dia adalah salah satu rekan kerja yang pernah Sano ceritakan padanya. Namanya Dita, wanita malang yang merantau ke kota demi sesuap nasi, ternyata sudah menjelma menjadi ular berbisa.
"Boleh bergabung?" tanya Ulfa basa-basi karena sekarang pun dia telah duduk di sofa.
Terlihat Sano menelan saliva, sementara Dita melirik ke kanan dan kiri. Ulfa tidak bisa menebak isi pikiran wanita sialan itu, lagi pula yang harus dia lakukan saat ini adalah menahan perih yang meraja dalam hati sambil terus menjaga ekspresi agar tetap terlihat tenang.
Menangis bukan sebuah solusi, itu yang Ulfa pikirkan sepanjang jalan. Selain dirinya, dia harus memikirkan kebahagiaan Alea. Jadi, malam ini akan menjadi penentu apakah rumah tangganya pantas dipertahankan atau tidak.
"Dita, kudengar kamu jadi selingkuhan suamiku. Betul?" Ulfa bertanya dengan nada santai seolah hatinya baik-baik saja.
Wanita yang namanya disebut, diam beberapa detik, sedangkan Sano melipat bibir. Dia berusaha memikirkan alasan yang tepat untuk mengelak dari tuduhan telak yang ditanyakan Ulfa tadi. Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya Sano membuka suara. "Ulfa, kurasa kamu salah paham, Dek."
"Iya, benar," sambung Dita cepat.
"Mas Sano selalu telat pulang, tadi pagi berangkat terlalu cepat. Apa yang kalian lakukan?"
"Dek, kamu salah paham. Aku tidak mel–"
"Tidur bersama. Maafkan aku, Fa, karena aku dan Mas Sano saling mencintai," potong Dita lagi, sengaja memanas-manasi hati Ulfa.
Akan tetapi, Ulfa berhasil menyembunyikan rasa cemburu yang terus membakar jiwanya. Meskipun dalam hati dia ingin menghajar mereka, menangis meluapkan kesedihan, tetapi Ulfa berusaha menepikan rasa itu.
Dia ingin terlihat sebagai wanita berkelas. Untuk apa saling menyerang jika pada akhirnya Ulfa akan disalahkan suami sendiri? Apalagi jika sampai tetangga tahu atau seluruh pihak keluarga membela Dita. Ulfa tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri.
Sano berdiri. "Dita, apa yang kamu lakukan? Apa kamu nggak bisa menjaga perasaan Ulfa?"
"Ini takdir. Kami ditakdirkan bersama." Dita melanjutkan kalimatnya tanpa mengindahkan perkataan Sano sebelumnya.
"Ditakdirkan bersama?" Ulfa tertawa kecil mendengarnya. "Aku terkejut sampai tidak bisa berkata-kata, Dit. Apa itu artinya kamu akan menjadi selingkuhan suamiku selamanya?"
"Iya."
"Tidak."
Ulfa kembali mengukir senyum mendengar jawaban keduanya. Dita begitu percaya diri dengan mengatakan 'iya' seolah dia memang sangat rendah dan tidak ada lelaki lain yang berminat menjadi suaminya.
Sementara Sano, kasihan sekali dia. Sano terlihat sangat gugup. Bagaimana pun, Ulfa tahu kalau Sano sangat mencintai putrinya. Dia pasti memikirkan bagaimana perasaan Alea jika orangtuanya harus berpisah.
Melihat ekspresi Sano yang semakin tidak tenang menambah kekuatan pada Ulfa sendiri. Kembali dia memanggil nama suaminya dengan tegas. "Sano Wijaya!"
"I-iya?"
"Ini kesempatan terakhirmu. Kamu ingin aku dan Alea menjadi orang asing atau tetap menjadi keluarga? Tentukan pilihanmu sekarang, kamu akan terus selingkuh sama dia?"
Sano melirik sekilas pada Dita yang sudah hampir menangis. Kasihan sekali wanita sialan itu, matanya dipenuhi linangan dan rasa cemburu. "Tentu saja tidak," jawab Sano pelan, terdengar ragu.
"Kamu tahu, Mas, malam ini ulang tahun Tantri dan aku nggak ingin membuat keributan. Kamu harus mengakhiri hubungan itu sekarang atau aku ...." Ulfa memberi tatapan tajam mematikan pada Sano. "Akan membunuhmu," lanjutnya.
Detik itu juga Sano tersentak. Dia tidak menduga kalau Ulfa yang lemah lembut bisa berkata seperti itu. Bahkan Sano menduga kalau wanita yang duduk di depannya bukanlah Ulfa, melainkan seorang gadis yang mirip dengannya. Lihatlah, kedua orang tua Sano tidak ada yang berkutik karena sama terkejutnya.
Sekarang Ulfa beralih memandang Dita dingin, lalu menunjukkan sebuah ponsel. "Kamu tahu, Dit? Aku memakai ponsel ini sejak enam tahun yang lalu dan beberapa hari ini sudah mulai hang. Seperti Mas Sano, bukan aku tidak mau membuangnya, tetapi ada bekas jariku di tubuhnya. Terutama jika ada seseorang yang berusaha merebutnya dariku. Jangan mencoba mencuri milik orang lain, belilah sendiri. Kamu mengerti maksud aku?"
Dita diam, berusaha menahan amarahnya karena dia selalu ingin terlihat baik-baik saja. Lagi pula, hatinya sakit mendengar penuturan Ulfa baru saja. Wanita itu diam-diam mengepalkan tangan kanannya.
"Tanya sama keluargamu, Dit. Bilang sama dia kalau kamu menjadi pelakor dan meminta restunya–"
"Dengar–"
"Diam!" bentak Ulfa memotong balik pembicaraan Dita. Suasana di rumah itu semakin tegang. Tantri bahkan bersembunyi di belakang ibunya karena gemetaran.
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N