Share

SUAMIKU BERUBAH KARENA WANITA LAIN
SUAMIKU BERUBAH KARENA WANITA LAIN
Penulis: Bintu Hasan

Bab 1. Ribut di Pagi Hari

"Ulfa!" teriak Sano dari dalam kamar berhasil mengejutkan sang istri yang sedang menyuapi anak sematawayang mereka di ruang keluarga. "Ulfa, di mana kamu?!"

"Ada apa, Mas?"

Terpaksa Ulfa beranjak dari duduknya, lalu melangkah cepat menuju sumber suara. Dia terkejut mendapati kamar dalam keadaan hancur seperti kapal pecah. Handuk basah diletakkan begitu saja di tempat tidur, sementara bantal teronggok di lantai bersama pakaian kotor.

Ada apa? batin Ulfa bertanya-tanya. Padahal saat suaminya sedang mandi, kamar itu sudah rapi. Saat melirik ke lemari pakaian yang terbuka, ternyata sama berantakannya. Ulfa membuang napas kasar berusaha untuk bersabar.

"Dasi aku mana?! Kalau aku telat ke kantor, bukan kamu yang dimarahi sama bos!" teriak Sano dengan wajah merah padam.

"Kenapa kamu semarah itu, Mas? Dasi kamu ada di dalam lemari. Biasanya kamu langsung lihat, 'kan?"

Sano mendengus kesal, tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun. Sementara Ulfa segera mengambil dasi berwarna biru navy, lalu memasangkannya di leher sang suami.

"Aku bisa sendiri!" ketus Sano lagi semakin membuat Ulfa bingung lantas mengerutkan kening.

Selama lima tahun pernikahan mereka, Sano tidak pernah berbuat kasar pada Ulfa apalagi teriak-teriak di pagi hari hanya karena masalah sepele. Sekarang dia berbeda, bahkan dari pandangan matanya, Ulfa bisa merasakan kalau Sano sangat benci padanya.

Akhirnya, dia berusaha mengingat-ingat kesalahan yang mungkin saja membuat Sano marah. Beberapa menit berlalu, Ulfa tidak berhasil menemukannya. Apalagi tadi malam mereka masih saling berbagi cerita karena tiga hari yang lalu Sano diangkat sebagai manager.

"Kenapa bengong di situ bukan ngurus Alea? Bau bawang!"

"Apa katamu, Mas? Bau bawang?"

"Iya, kamu bau bawang!" ulang Sano tanpa rasa bersalah padahal jelas ledekan itu teramat melukai hati Ulfa.

Ulfa sampai menitikkan air mata membiarkan Sano berlalu begitu saja. Padahal jam masih menunjuk angka enam lewat lima menit dan tadi dia mengatakan terlambat? Jarak dari rumah ke kantor saja hanya butuh waktu lima belas menit. Oh, ayolah, Ulfa merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Daripada terpaku di tempat, Ulfa melangkah cepat mengekori suaminya sampai di meja makan karena Alea pun terlihat sibuk bermain. "Kok, tumben sepagi ini udah siap, Mas? Biasanya juga kamu agak telat dikit."

"Maksud kamu apa? Kamu mau nuduh aku selingkuh?" Mata Sano langsung menyalak tajam. Nasi goreng yang baru saja dia kunyah langsung disemburkan ke sembarang arah. "Makanan apa ini? Kamu sebenarnya bisa masak nggak, sih? Nasi goreng asin begitu. Kamu mau tekanan darahku tinggi, lalu mati?"

Ulfa menggeleng menatap tidak percaya pada Sano. Benarkah dia Sano yang selama ini bersikap lembut padanya? Lalu jika iya, lantas ke mana semua kasih sayang dan cinta yang selalu dia tunjukkan itu?

Hal aneh lainnya yang mengganjal di hati Ulfa adalah cara berbicara Sano. Jika dulu dia akan menyebut dirinya 'mas', lalu memanggil Ulfa dengan sebutan 'dek', sekarang tidak lagi. Ulfa hanya mendengar kata aku dan kamu seolah mereka adalah orang asing.

"Mas, aku nggak nuduh kamu selingkuh. Aku cuma nanya, tumben kamu–"

"Bohong!" tampik Sano menolak alasan.

Ulfa yang sudah geram langsung memukul meja dengan keras. Selama ini dia selalu berusaha menahan amarah berharap rumah tangganya jauh dari perdebatan, tetapi kini Ulfa merasa harus tegas juga. Sudah banyak istri yang dianiaya oleh suami sendiri karena terlalu lugu dan bodoh.

"Mas, tadi kamu bahas nasi goreng yang asin, 'kan? Sejak kapan nasi goreng ini asin? Mas kira aku nggak nyicipin sebelum ngasih ke kamu, Mas? Lagian dari tadi marah-marah begitu sebenarnya ada apa? Mas kalau nggak mau aku ada di sini tinggal bilang aja biar aku pergi!"

"Oh, kamu mau pergi?"

Baru saja Ulfa ingin menjawab, tiba-tiba terdengar suara tangisan Alea. Jarak antara meja makan dengan ruang keluarga hanya dua meter, sehingga anak itu mungkin saja ketakutan. Ulfa langsung mendekat, lalu memeluk erat untuk menenangkannya.

Sano mendegus kesal, melempar piring ke lantai hingga menimbulkan suara nyaring. Tangis Alea semakin pecah, Ulfa memejamkan mata sambil terus berbisik memintanya tenang.

"Anak, istri sama aja, bikin pusing!" geram Sano sebelum akhirnya menghilang melewati pintu utama.

"Ma, papa kenapa marah-marah?"

Pertanyaan Alea mengiris hati Ulfa. Dia tidak tahu harus menjawab apa karena Ulfa sendiri masih bertanya-tanya. Perubahan yang terjadi pada Sano terlalu banyak, hampir sembilan puluh persen. Ulfa merasa seperti tinggal bersama Sano yang lain.

"Mama kenapa diam? Papa kenapa marah-marah dan nggak cium aku sebelum berangkat kerja?" tanya Alea lagi, sambil menghapus jejak di pipinya.

"Mungkin papa lagi ada masalah di kantor, Sayang. Papa, kan, sibuk nyari uang demi mama sama Alea. Jadi, kalau misal papa marah, pasti ada alasannya. Kamu mau maafin papa, 'kan?"

Alea mengangguk, tetapi tanpa senyuman. Ulfa pun kembali mengeratkan pelukannya karena bisa merasakan hati Alea sedang terluka. Seribu tanya meraja dalam hati Ulfa tentang perubahan sikap Sano yang terlalu mendadak.

Seorang lelaki yang dulu melamarnya dengan sejuta cinta dan kasih sayang. Sebenarnya keluarga Ulfa tidak setuju karena perbedaan suku, tetapi Sano terus berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk memberi kebahagiaan pada Ulfa.

Setelah menikah, Ulfa yang tinggal di Makassar langsung dibawa ke Tangerang. Sampai saat ini dia belum pernah pulang ke kampung halaman dengan alasan Sano belum memiliki uang untuk tiket pesawat dan harus menunggu lebaran.

"Kenapa tadi papa marahin mama? Mama ada salah?"

Ulfa menggeleng. "Tidak, Sayang. Mama nggak dimarahin sama papa, kok, tadi."

"Ulfa!" teriak Sano membuka pintu. Ulfa tersentak mengira lelaki itu sudah pergi, atau mungkin dia kembali karena ketinggalan sesuatu? batinnya bertanya.

"Apa, Mas?"

"Mana kartu ATM yang selama ini kamu pegang?"

"Loh, itu tabungan buat masa depan Alea, Mas. Kenapa kamu minta lagi?"

Sano tidak menjawab, dia melangkah cepat masuk kamar dan menggeledah lemari. Cukup lama dia mencari sambil terus menendang tidak jelas. Ulfa kesal, kedua tangannya terkepal kuat sebelum memukul bahu Sano keras.

Mereka saling beradu pandang dengan tatapan menyalak tajam. Napas Ulfa kian memburu, giginya gemeretak menahan amarah. "Mau kamu apain, Mas?"

"Aku butuh uang!" Sano mendorong Ulfa sampai wanita malang itu tersungkur ke belakang.

Tangan Sano kembali menggeledah dan menemukan sebuah dompet kecil di bawah nakas. Senyumnya mengambang sempurna ketika menemukan kartu ATM Mandiri di dalamnya. "Akhirnya, kartu ini ada di tanganku," gumam Sano yang masih bisa terdengar oleh Ulfa.

"Mas, kamu nggak boleh ambil kartu itu!" teriak Ulfa frustrasi, tetapi Sano sudah meninggalkan rumah dengan mobilnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status